Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua - Menunggu Itu Tidak Menyenangkan

Pagi ini tidak seperti biasanya. Udara dingin yang biasa mengucap permisi kini dengan mudah menerobos sela-sela baju hangatku. Tidak sopan. Gigiku bergemertak karenanya. Kedua telapak tangan tak mau berhenti saling bergesekan satu sama lain. Gila, suhu Bandung pagi ini benar-benar gila.

Aku sudah berada di seberang sekolahku. Seperti biasa, aku tak pernah langsung melangkahkan kaki mendekati gerbang masuk. Aku hanya duduk di sepeda motor yang kuparkirkan. Aku menunggunya.

Satu menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit aku berpangku tangan dan terus menghentakkan ujung kaki di pijakan sepeda motorku. Lima menit lagi gerbang akan dikunci. Benakku berkecamuk. Cemas bercampur kesal.

Tiga menit. Dua menit. Satu menit sisa waktuku untuk berada di sini. Seorang petugas piket mendekati gerbang membawa sekumpulan anak kunci. Aku tahu ini waktunya gerbang terkunci. Aku sulit menelan ludah. Aku belum juga melihatnya. “Aku akan tetap menunggunya,” ujarku dalam hati.

Si petugas berkemeja batik memegang erat gerbang sekolah. Tekadku untuk tidak beranjak dari tempat ini runtuh seketika, dikalahkan oleh nyali yang ciut. Aku melomapat dan berlari melewati gerbang yang hampir tertutup rapat. Aku membayangkan diriku saat ini. Tragis.

Aku berjalan lemas. Setiap anak tangga kupijak tanpa meninggalkan jejak semangat sedikitpun. “Kemana dia?” aku terus bertanya-tanya dalam hati.

Hingga tubuhku duduk di bangku kelas, pikiranku tetap tidak hadir di sini. Melayang-layang mencari jawaban logis, dimana Rena. Dia bukanlah siswi yang menganggap wajar membolos. Yang aku pikirkan hanya berkisar pertanyaan, “Apa yang terjadi dengannya?”

***

“Ayaaaah,” aku berteriak histeris.

“Sudah siang yah, aku terlambat,” aku terus berteriak-teriak memanggil ayahku. Aku benar-benar panik.

“Rena, gak usah teriak-teriak begitu,” ibu menghampiriku sambil membawakan tas selempangku. “Kamu sudah sarapan belum?”

“Gak sempat bu, nanti di sekolah aku bisa makan waktu istirahat,” aku menjawab dengan terburu-buru. Walaupun aku tak yakin akan mendapat jam istirahat. Bahkan aku tidak tahu aku diizinkan masuk atau tidak oleh petugas piket yang galaknya seperti sedang menjaga gerbang neraka.

“Setidaknya kamu makan roti dulu,” kakakku datang membawakan selembar roti tanpa torehan selai ataupun mentega. Aku cepat mengambilnya, mengganjal mulutku dengan roti itu. Kedua tanganku sibuk menalikan sepatu.

“Ayah mana sih, aku terlambat nih,” aku bicara tak jelas karena roti yang masih mengganjal di mulutku.

“Makan dulu, baru bicara, kamu tuh kebiasaan banget,” ibuku mengomeliku, “Udah, ayah lama, kamu diantar kak Anto saja.”

“Gak mau ah, biar tahu rasa dia, siapa yang suruh bangun siang banget, tidur udah kaya kebo,” kak Anto hanya mencibir.

“Aku harus menyelesaikan tulisanku, jadi aku tidur larut malam,” aku menanggapi cibiran kakakku.

“Pusing punya adik tukang khayal, gak punya kehidupan selain nulis cerita-cerita gak jelas,” kakakku kembali mencibir. “Sudah siap Ren?” ayahku muncul dengan wajah datar. Aku tambah kesal. Langsung kutarik lengan ayahku dan menyeretnya langsung ke arah mobil. “Cepat yah, aku terlambat.”

Di dalam mobil aku masih saja tidak bisa tenang. Aku masih terus memikirkan wajah petugas piket yang akan aku hadapi nanti. Aku belum pernah berurusan dengannya sebelumnya. Aku tidak pernah terlambat.

“Tenang Ren, jangan panik gitu,” Ayahku mencoba menenangkanku sambil mengelus-elus kepalaku. “Kaya yang gak pernah telat aja,” tambah ayahku.

“Memang gak pernah,” jawabku ketus.

“Udah, gak usah panik gitu,” ucap ayahku. Aku memandang mata ayahku tidak percaya. Ayahku tidak tahu betapa menyeramkannya petugas piket yang selalu berjaga menunggu mangsa berupa siswa-siswi yang hadir lebih dari pukul 06.30 pagi. Bisa langsung dilahap dan ditelan bulat-bulat aku olehnya. Bisa-bisanya menyuruhku untuk tidak panik.

“Sekarang masih pukul 06.21, ayah bisa bawa kamu sampai sekolah kurang dari 5 menit,” ayah membual. “Ayah pengemudi andal, ga usah panik Ren,” tambahnya. Belum satu menit dari perkataan terakhir ayahku, aku tercengang.

Dibalik tikungan yang kami lewati, antrean mobil begitu menjulur panjang. Mataku terbelalak. Dengan ringannya ayahku berkata, “Oke, kamu boleh panik sekarang.”

***

Bel istirahat berdering, tapi otakku masih tak waras. “Kenapa aku harus sekacau ini, ia hanya tak hadir satu kali ini, bukan berarti ada apa-apa dengannya.”

Seseorang merangkulku dengan kuat dari belakang. “Kenapa lo? Kusut banget,” Agas datang mengejekku. Dia memang selalu menyiksa, mengejek, dan mengganggu. Dia bilang itulah gunanya teman. Wajar, tubuhku tergolong kecil di ukuran siswa kelas sebelas SMA, sehingga dengan mudah orang-orang bisa menganiayaku. Untungnya hanya dia yang melakukannya. Kubiarkan ia melakukan apa saja, aku sudah terbiasa dengannya sejak SMP.

“Oi, masih aja lo bengong gitu, ayo ke bazaar sebelum istirahat selesai,” Agas berteriak tepat di telingaku. Bazaar yang dimaksud adalah kantin di sekolahku. Entah sejak kapan nama itu ada.

“Lu bisa gak kalo gak teriak? Gue lagi pusing,” aku berbicara kesal.

“Hahaha, sorry dah, ayo cepetan,” Agas beranjak dari bangku di sebelahku. Aku ikut beranjak.

Kami berjalan menelusuri koridor sekolah. Biasanya kami selalu bertiga, aku, Agas, dan Rio. Rio sudah lima hari tidak masuk sekolah. Katanya dia sedang sakit, sakit apa? Aku tidak tahu. Rio paling jago dalam hal memalsukan surat izin. Dia juga sangat hebat dalam menyembunyikan kebusukannya di depan orang tuanya. Wajarnya, saat ada seorang siswa yang izin sakit lebih dari tiga hari, pihak sekolah akan menelepon orang tuanya. Entah cara apa yang Rio pakai, meskipun aku dan Agas tahu bahwa ia berpura-pura, pihak sekolah maupun orang tuanya tak pernah mendapatinya membolos dengan cara yang rapi seperti itu. Rio memang memiliki otak kriminal.

“Sialan ya si Rio, dia pasti lagi santai-santai depan komputernya,” ujar Agas kesal. Aku tidak mengomentarinya.

“Gue harus belajar banyak dari dia, hahaha,” Agas melanjutkan dengan gelak tawa. Aku masih tidak mengomentari.

Sesaat Agas melihat kearahku tajam. Keningnya mengerut. “Lo kenapa sih Dhan? Mikirin Rena?”

Seketika aku terkejut. Apa raut wajahku sebegitu mudah terbacanya. Aku baru ingat, itulah Agas. Dia memang kasar pada aku dan Rio, tapi untuk ukuran teman dia termasuk teman yang sangat baik. Diantara kami bertiga mungkin dia yang paling bisa diandalkan. Dia selalu mengetahui permasalahan aku dan juga Rio, walaupun kami tak pernah tahu permasalahannya. Mungking karena ia tak pernah membuat masalah, walaupun dia selalu melibatkan dirinya dalam masalahku ataupun masalah Rio. Dia selalu menjadi orang pertama yang membantu kami. Ya, dia teman yang baik. Tapi soal Rena, dia tahu dari mana?

“Ngomong apaan sih lo?” aku berusaha menjawabnya sedatar mungkin, agar pembicaraan dapat dialihkan dengan mudah.

“Dia gak masuk ya hari ini?” Mataku terbelalak. Kenapa dia masih saja membahas Rena. Tahu apa dia soal Rena.

“Lo sih, sok-sokan jadi stalker, lo tuh gak bakat Dhan,” ujar Agas geli. “Kalau stalking jangan setiap pagi dan di tempat yang sama,” kali ini ia berbicara sambil cekikikan.

“Sialan lo Gas,” aku hanya mencibirnya.

“Emang dia kemana Dhan? Sakit ya? Atau pura-pura sakit kaya Rio?”

“Rena gak akan pura-pura kaya si pemalas Rio, tapi gua juga gak ngarep dia sakit beneran juga.”

“Ya, Rena kelihatannya tipe cewek study oriented banget, gak mungkin dia bolos hahaha,” Agas tertawa.

“Lo tuh sok tahu banget Gas, kaya yang kenal aja sama Rena,” aku menanggapinya ringan diikuti senyum kecil.

“Wuiiiih, gila ya, berasa paling paham soal Rena aja lo Dhan, asal lo tahu ya, gue gak butuh kegiatan kuntit-menguntit buat tahu dia, jangan nantangin gue Dhan, nyesel lo nanti kalau kalah saing dapetin Rena,” Agas tertawa lepas. Kurang ajar memang orang satu ini.

Langkah Agas terhenti. Aku yang melihatnya mematung ikut menghentikan langkahku juga. Tiba-tiba senyum melengkung di bibir Agas. Tepatnya senyum cengengesan.

“Kenapa lo Gas?” aku bertanya heran.

“Lihat tuh siapa yang lagi duduk di sana,” jawab Agas sambil menunjuk kearah bangku paling barat di Bazaar. Mataku mencari-cari orang yang Agas maksud. Aku tidak paham siapa yang Agas tunjuk sebenarnya. “Oi pendek, lama banget nyarinya. Itu yang duduk paling ujung.”

Aku sedikit jengkel dengan kata-kata Agas, tapi aku tidak menanggapinya. Aku kembali mengedarkan padanganku. Kali ini ada wajah yang tertangkap oleh mataku. Rena.

***

Pukul tujuh lewat sepuluh menit, tubuhku benar-benar dibanjiri keringat dingin. Pertama yang aku cari adalah petugas piket yang selalu aku takuti. Aku berharap ia takkan menyambutku dengan emosinya yang meluap-luap.

“Semoga bapak itu tidak ada,” harapku dalam hati. Bagus bapak itu sedang menghakimi barisan siswa yang kurasa terlambat pagi ini. Raut mukanya mengerikan seperti biasa. Suara ceramahnya kupikir terdengar hingga seberang jalan. Aku semaking lemas. Kurasa aku tak akan mampu berdiri.

“Kamu takut sama bapak itu Ren? Kalau kamu takut ayah yang ngomong sama bapak itu ya, mau?” ayahku bertanya padaku saat mobil kami berhenti tepat di depan gerbang sekolah.

“Gak usah yah, salah aku juga bangun siang,” jawabku pasrah. Senyum ayahku terkembang.

Aku menginjakkan kakiku di tanah, keluar dari mobilku. “Selamat bersenang-senang di sekolah ya Ren,” ayahku tersenyum dan melambaikan tangan dari dalam mobil. Bersenang-senang? Apa maksudnya bersenang-senang. Terkadang ayahku itu benar-benar pintar. Pintar membuat emosi.

Aku melihat mobil ayahku menghilang di ujung jalan. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Aku memantapkan hati untuk melangkah mendekati gerbang sekolah. Aku siap menghadapi apapun konsekuensi yang akan diberi si petugas piket.

Langkah pertamaku benar-benar mantap hingga seseorang berkata, “Kamu  beneran mau diomelin habis-habisan sama guru piket? Ini udah jam tujuh lebih loh, kamu udah telat lebih dari tiga puluh menit.”

Aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang anak laki-laki berdiri dengan senyum geli. Aku tahu orang ini. Ia tidak asing bagiku. Laki-laki berhidung mancung, berkulit putih pucat, wajah bersih tanpa jerawat, tinggi badan kutaksir berkisar 168 cm dan berat sekitar 60 kg, sudah sering ku lihat. Ia salah satu anak laki yang sering bersama-sama Dhani dan Agas. Kalau tidak salah namanya Rio.

“Kalau saranku labih baik kamu hindari deh berurusan dengan bapak penjaga pintu neraka ini,” aku bingung, apa maksud anak ini. “Mau ikut aku gak?”

“Kemana?” aku bertanya heran.

“Udah, ikut aja deh,” tanpa aku sempat menjawab ya, ia langsung saja menarik tangan kananku. Ia membawaku berjalan menuju bazaar, kantin di sekolahku.

“Mau apa ke sini? Kamu mau ngajak aku bolos?”

“Kamu udah kelas sebelas masih aja kaya anak SMP, sesekali gak ikut pelajaran pertama gak apa-apa lah,” jawabnya santai. “Aku cuma mau ajak kamu masuk lewat jalan yang lebih aman,” tambahnya membuat aku semakin bingung.

Kami sampai di bazaar. Anak laki-laki itu mengajakku duduk di sisi paling barat bazaar. Aku masih saja tidak mengerti kenapa aku mau saja ditariknya ke tempat ini.

Sesaat kami saling diam hingga salah satu dari kami memecah diam kami. “Oh iya, aku Rio,” ia menjulurkan tangan kanannya. Aku tahu ia mengajakku berjabat tangan.

“Rena,” balasku sambil menjabat tangannya. Ini kali pertama kami berkenalan satu sama lain, walaupun aku sudah tidak asing dengan anak bernama Rio ini.

“Kamu gak usah takut gitu Ren, aku gak akan nyulik kamu kok,” kata Rio sambil melengkungkan senyum jahil.

“Aku gak takut kok, cuma aku bingung kenapa kita harus ke tempat ini, katanya kamu mau ngajak aku masuk,” ujarku sambil tetap memasang wajah tak mengerti.

“Gini Ren, gerbang depan itu bukan satu-satunya jalan masuk sekolah kita, satu-satunya jalan yang dijaga guru piket sih iya.”

“Tapi bukannya semua gerbang ditutup ya kalau udah jam setengah tujuh?”

“Ya, tapi gerbang di bazaar ini kan pasti dibuka saat jam istirahat nanti, nah itu waktunya kita masuk,” ucap Rio dengan wajah serius. “Semoga kamu rela ya mengorbankan empat jam pelajaran pertama daripada kamu harus diomelin guru piket kita yang super duper galak itu.”

“Jadi kita harus nunggu hampir tiga jam di sini? Bisa mati bosan aku.”

“Hehe, tenang tiga jam atau seharian bareng bareng aku tuh akan terasa lebih singkat dari satu jam pelajaran di kelas kok,” Rio menanggapinya dengan candaan yang cukup membuatku tertawa geli.

“Memangnya cara kita ini bisa berhasil, apa nanti saat istirahat gerbang bazaar gak ada yang jaga?”

“Yaelah Ren, kamu pikir sekolah kita ini penjara? Sampai-sampai waktu istirahat harus ada yang jaga gerbang juga? Tenang aja, aku sudah biasa kok seperti ini,” Rio kembali mengembangkan senyumnya sambil membusungkan dada. Dia terlihat sangat bangga dengan kebiasaan terlambatnya dan aku hanya bisa tersenyum geli untuk menanggapi kelakuannya.

***

Aku terkejut sekaligus heran saat melihat Rena sedang duduk manis di bazaar, “sedang apa dia di situ?” hati kecilku bertanya.

“Lo mau datengin dia dulu?” tanya Agas. Aku tak menjawab apapun, pikiranku yang sejak pagi berkecamuk kini sudah kembali tenang. Aku lega, Rena tidak apa-apa. Mungkin aku saja yang tidak melihatnya datang tadi pagi, mungkin dia datang lebih dulu, mungkin dia datang tepat saat pandanganku menoleh ke arah yang berlainan dengannya. Mungkin, mungkin, dan mungkin, kini pikiranku hanya terisi oleh banyak scenario yang mungkin terjadi tadi pagi. Ah, ternyata gemuruh di pikiranku belum sepenuhnya reda. Sudahlah.

“Gak, gue laper, kita makan aja deh.”

Sejenak setelah aku mengajak Agas mencari makanan, lagi-lagi Agas menghentikan langkahnya dan menepuk-nepuk pundakku panik. “Dhan, Dhan, Dhan, lo lihat, itu siapa?” Agas kembali menunjuk kearah Rena berada. Tapi kali ini objeknya jelas bukanlah Rena. Itu Rio.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com