Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat - Kembali Tersenyum

Pagi ini aku kembali duduk menunggu dia datang. Di depan gerbang sekolah lagi-lagi aku mengedarkan pandangan seraya mencari sosoknya. Lagi-lagi Rena.

Cerita beberapa hari yang lalu belum juga terhapuskan sepenuhnya. Ada sebersit ingatan yang membuatku lemas. Ingatan tentang wajah Rena. Wajah yang benar-benar membuatku kacau. Wajah sendu yang bertahan dan menetap hingga kini.

Ia datang. Masih sama, kesedihan masih menjadi tirai di wajahnya. Matanya tertuju pada titik dimana ia mendaratkan langkahnya. Lengkungan di bibirnya bukanlah lengkungan bahagia. Ia tidak tersenyum.

Aku memandanginya cukup lama. Kurasa lebih dari dua puluh detik. Singkat? Untukku tidak. Cukup untuk membuatku tersenyum miris.

Rena menghilang diantara kerumunan siswa yang hendak melewati gerbang sekolah. Sudah tak ada alasan lagi untukku berdiam diri di sini. Aku beranjak dari tempatku duduk. Kedua telapak tangan masih bersarang dalam kantong celana panjangku.

Pandangan yang tadi beredar dan terkunci pada sosok Rena kini mendadak kosong. Lagi-lagi ada yang menciderai pikiranku. Entah apa itu. Yang aku tahu, ada sesuatu tentang Rena yang aku tidak tahu dan hal itu terus menggelitik naluriku untuk menerka-nerka. Aku tak bisa terus seperti ini. Aku akan bicara dengannya.

***

Ini hari yang baru. Ini hari yang baru. Ini hari yang baru. Tak peduli berapa kali aku memikirkan kata-kata itu, tak ada yang berubah dari diriku. Pikiranku masih saja mendung. Dadaku sesak. Aku masih tak bisa menerima cerita yang kini tertulis untuk kulalui. Simpatiku pada sosok kuat dan tegar semacam Dion masih menggores di relungku. Aku masih tak sudi mengakui Dion telah pergi.

“Rena!!” seseorang berteriak memnggilku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Hana berjalan kearahku. Aku melihat kearah matanya. Ia tampak cemas melihatku. Aku tidak nyaman dengan pandangannya. Ku kembalikan wajahku searah tubuhku menghadap.

“Ren, kamu gak apa-apa kan?”

“Aku gak apa-apa Han,” aku menjawab singkat sambil melanjutkan langkahku.

Hana menyamakan langkahnya dengan langkahku. Ia berjalan tepat di sampingku. Kali ini pandangannya lurus ke depan. Sesekali mengarah ke tanah, seakan takut tersandung sesuatu.

“Kamu masih gak mau cerita ya Ren?” Hana bertanya padaku cemas. Aku hanya diam.

Sebenarnya aku tak tega melihat sahabatku sudah tiga hari secemas ini, tapi aku masih tak ingin membaginya juga dengan siapapun. Memikirkan keadaan ini saja bisa membuatku perlu menahan tangis. Jika aku mengutarakan suasana batinku saat ini, aku tak yakin dapat menahan air mataku agar tidak meledak.

“Ren, ayo dong cerita sama aku, aku benar-benar gak tega ngelihat kamu kayak gini.”

“Aku gak apa-apa Han, kamu gak usah gitu banget ah, aku lagi banyak pikiran aja, gak lama lagi juga pikiran aku plong,” aku menjawab dan memberikan senyum palsuku untuk meyakinkan sahabatku yang satu ini. Aku benci bersandiwara, tapi kali disaat seperti ini, aku harus keluar dari zona nyamanku.

“Ya sudah kalau begitu, maaf ya aku terlalu berlebihan,” Hana bicara lebih tenang, Ia berhasil tertipu oleh topen yang kupakai. Aku benar-benar jahat memperlakukan temanku seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi.

Aku dan Hana berjalan bersama menuju kelas. Langkah kami bertambah cepat seiring bunyi bel tanda pelajaran dimulai bergema.

***

“Ayo Dhan, ke bazaar,” Rio menepuk punggungku cukup keras. Cukup membuatku mengerutkan dahi.

“Lo duluan aja Yo, nanti gue nyusul.”

“Lo jangan jadi sok misterius gitu lah Dhan,” Agas menimpali ucapanku dengan sedikit sinis. “Gue tahu ada yang lagi lo pikirin, gue gak akan minta lo cerita-cerita ke kita kok, tapi jangan sok-sokan galau gitu deh di depan sahabat lo.”

Aku agak jijik mendengar perkataan Agas. Tapi aku salut dengan kemampuan Agas membaca suasana hati dan pikiran orang lain. Entah menebak atau benar-benar bisa menilai, tapi yang ia katakana tentang aku atau Rio hampir selalu tepat. Sedangkan Rio hanya menampakkan wajah bingungnya.

“Emangnya lo kenapa Dhan?” tanya Rio dengan wajah bodohnya.

Aku tak menjawab pertanyaan Rio, “Ayo ke bazaar,” aku beranjak.

Rio mengeryitkan dahi dan Agas tertawa geli. Setelah itu mereka menyusul langkahku keluar kelas.

Kembali kami berjalan bertiga di koridor sekolah yang riuh dengan suara tawa, teriakan, ejekan, dan sahutan-sahutan lainnya. Suasana seperti ini selalu terjadi pada jam istirahat seperti ini. Aku tidak terlalu suka dengan keributan seperti ini. Kupercepat langkahku, Agas dan Rio menyesuaikan tempo langkahnya denganku.

“Buru-buru amat Dhan,” sahut Rio.

“Takut keburu masuk Yo,” aku menanggapi kata-kata Rio.

“Bilang aja lo alergi keramaian Dhan,” lagi-lagi Agas berkata jahil.

“Benar-benar ya lo Gas, hebat betul lo ngarang seakan-akan lo jago baca pikiran gue,” jawabku sinis.

“Lah, kok lo sewot? Yang gue bilang bener ya? Hahaha,” Agas tertawa lepas dan aku mempercepat langkahku.

Kami sampai di tempat tujuan kami, bazaar. Kami beruntung masih dapat tempat duduk. Kami bertiga tak selalu datang ke tempat ini untuk makan. Seperti sekarang, kami hanya ingin tertawa lepas diantara siswa-siswa lain yang asik menggoyang lidahnya masing-masing. Seperti biasa, hanya sebotol teh dingin atau segelas susu cokelat yang ada di atas meja kami.

Ini yang aku suka saat berada di tengah sahabat-sahabatku. Mereka selalu bisa membuatku tertawa hanya dengan celotehan-celotehannya yang tak terkontrol. Dari mulai mengejek guru hingga mengejek penghuni meja sebelah. Kami sering mendapat masalah dengan orang-orang yang terganggu oleh suara kami. Kami tak pernah peduli karena selalu berakhir dengan tawa bersama. Agas selain hebat membaca pikiranku dan Rio, Ia juga ahli dalam menangani orang-orang yang kesal pada kami dengan ke-supel-annya.

Meja kami yang tadi hanya terisi tiga orang, aku, Rio, dan Agas, kini penuh oleh empat orang siswa kelas lain yang berhasil dirangkul oleh Agas. Kami awalnya tak saling kenal, dan awalnya keempat orang ini kesal dengan kegaduhan yang kami bertiga buat. Tapi seperti yang kuceritakan tadi, Agas berhasil membuat keempat anak itu duduk bersama kami dan memperbesar polusi suara dari tawa kami.

Ditengah tawa kami, sekilas aku melihat wajah itu lagi. Menyembul diantara kerumunan. Mataku kontan terpaku padanya. Rena berjalan sendiri.

Lagi-lagi aku dihadapkan pada posisi yang membingungkan. Satu sisi aku ingin menyapa dan menghampirinya, satu sisi aku ingin menahan diri, aku bukan siapa-siapa.

“Rena!!”

Aku terkejut. Seseorang meneriakan namanya. Tak hanya itu, teriakan itu berasal dari meja ini. Rio memanggil namanya.

Rio sontak beranjak dari tempat duduknya. Ia tampak begitu bersemangat menghampiri Rena. Selain itu, ia tak canggung menjabat tangan dan melemparkan senyum tulusnya pada Rena. Dan Rena? Ia membalas senyumannya. Aku? Aku pun tesenyum. Miris.

Sikut Agas mendarat di lenganku. “Lo kesel Dhan?” Agas bertanya dengan kemasan bercanda.

“Kenapa gue kudu kesel?” aku menjawab dengan pertanyaan kecil. Lagi-lagi senyum miris terkembang di bibirku. Dan Agas, dia hanya tersenyum geli. Melihat wajahnya, aku tahu Agas sedang mengasihaniku. Berusaha menunjukkan simpatinya.

“Kesel juga gak apa-apa kali Dhan,” kata Agas setengah berbisik. “Gue tahu lu suka sama Rena,” tambahnya.

Aku diam. Berusaha menampilkan raut wajah senatural mungkin, tapi wajah kecut muncul lebih natural dari wajahku yang lain saat aku melihat Rio berbincang-bincang dengan Rena. Tak kulihat mendung di wajahnya lagi seperti tadi pagi. Rio berhasil membuatnya tersenyum. Aku iri padanya.

Saat aku memandang Rio dan Rena, tiba-tiba Rena melihat ke arahku. Sontak aku terkejut. Dari ujung mataku, kulihat ia datang menghampiriku bersama Rio. Ya Tuhan.

***

Aku berjalan menuju bazaar, tak ada Hana atau siapapun yang menemaniku. Sebenarnya aku tak ada niatan untuk keluar kelas di jam istirahat ini. Aku lebih ingin duduk diam dalam kelas, tapi tenggorokan keringku tak bisa diajak berkompromi. Aku beranjak keluar kelas hanya untuk melepas dahaga.

Hana sedang tertunduk serius di mejanya. Aku tahu ia sedang menyalin tugas. Kebiasaan.

Karena tak tega mengganggunya, aku berjalan sendiri. Tak seperti biasanya, aku kini lebih nyaman berjalan sendiri.

Beberapa langkah aku meniggalkan kelas aku baru bisa kembali merasakan atmosfer sekolah. Beberapa anak menyapaku ramah. Ada apa ini, aku tidak nyaman dengan keramahan yang begitu deras padaku hari ini.

Biasanya ku selalu mudah untuk bersikap manis pada siapapun yang ramah padaku. Kini, untuk tersenyum pun terasa ada yang mengganjal. Sulit untuk tulus.

Sembari menyusuri koridor sekolah, aku mulai berpikir apakah aku terlalu berlebih menanggapi nasib yang pahit. Dion memang sudah tidak ada, lalu kenapa? Apa aku harus sekacau ini?

Perih di ujung simpati pada satu anak yang sudah kuanggap adik sendiri tak seharusnya berlarut-larut. “Aku sudah tak apa-apa”, aku terus melafalkannya dalam hati.

Di ujung koridor aku disambuk oleh suasana siswa berdesakan keluar masuk area bazaar. Setengah dari dahagaku tadi seakan menghilang. Keadaan ini membuatku malas, bahkan untuk mencari segelas air sekalipun.

Entah apa yang merasuki, meskipun pikiranku menolak untuk ikut berdesakan, kakiku melangkah begitu saja. Rasa dahaga lebih berhasil membujuk tubuhku dibandingkan pikiran sendiri.

Di tengah kerumunan siswa lain, seseorang meneriakan namaku. Aku mencari-cari sumber suara tersebut. Tak kudapati siapa pun.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan ku lihat senyum yang tak asing buatku. Rio.

Aku membalas senyuman Rio. Ia menarik tanganku dan kami pun keluar dari kerumunan siswa yang sedang kelaparan.

“Sendirian aja?” Rio bertanya padaku. Senyumnya masih saja ia pajang dengan gratis. Aku hanya menjawab dengan anggukan.

“Ada yang beda sama kamu, kelihatan lebih cerah hari ini.”

Mataku terbelalak, hanya Rio yang mengomentariku seperti ini semenjak kejadia Dion. Aku yakin betul aku selalu memasang wajah suram. Begitu pula saat ini, aku masih belum bisa memperbaiki raut wajahku. Apa ini semacam sarkasme?

Aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya memandangi Rio tersenyum geli. Ya, aku yakin ia sengaja berkata sarkas.

“Heh, malah bengong, kalau kamu sendirian gabung sama kami aja.”

Aku bingung dengan kata kami dalam kalimat yang diucapkan Rio. Siapa yang ia maksud dengan kami.

Aku mengedarkan mata ke setiap suduk bazaar.

“Kamu nyari apa sih? Mau gabung gak?” Rio kembali bertanya sambil menunjuk salah satu meja. Aku melihat meja itu berisi enam anak laki-laki yang sama sekali tak aku kenali.

Apa yang Rio pikirkan. Mengajakku bergabung dengannya di meja itu sama saja membawaku ke sarang penyamun.

Tiba-tiba mataku terusik saat melihat salah seorang anak laki-laki yang duduk di meja itu. Tak lebih dari tiga detik mata kami saling terhubung. Ia langsung memalingkan wajahnya. Itu Dhani.

“Ah kamu banyak mikir Ren, ayo ikut aja.” Rio kembali menarik tanganku.

Akhirnya aku bergabung dengan sekumpulan anak laki-laki itu. Selama hampir lima belas menit aku mendengar mereka bercanda ria. Aku tak merasa risi sedikitpun. Mereka semua menyenangkan

Sejak awal aku hanya bisa memperhatikan mereka. Aku senang menilai orang-orang, termasuk mereka ini. Mulai dari Rio yang begitu liar dalam bercanda, sampai Agas yang begitu jenaka tapi terlihat paling dewasa diantara mereka semua.

Satu yang membuatku heran. Dhani tak bersuara sama sekali. Bahkan ditengah candaan teman-teman terdekatnya itu, dia tak bisa melepaskan tawa. Hanya dia yang tak bisa ku reka-reka. Seakan ada benteng yang membatasi kemampuanku menilai orang. Lucu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com