Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam - Menerima Kenyataan

Lagi-lagi aku harus melaju di bawah matahari yang begitu terik. Aku mengayuh sepedaku sambil menggendong gitar di punggungku. Rumah Rena sudah terlihat di ujung jalan yang kulalui sekarang ini.

Saat aku datang, Rena sudah duduk di teras rumahnya. Ada meja dengan tiga kursi di situ. Salah satu kursinya diduduki oleh Rena. Diatas meja sudah ada kertas-kertas berserkan.

Saat aku mengunci sepedaku di pagar rumah ini, Rena melihat kearahku dan tersenyum. Aku tak membalas senyumnya dan langsung berjalan melewati pagar rumahnya. Aku menghampirinya. Saat aku sudah berada tepat dihadapannya, senyuman itu masih melengkung di bibir Rena.

“Kamu bisa sampai sini juga ternyata, aku kira kamu udah lupa rumah aku,” kata Rena diikuti tawa kecil.

Aku langsung duduk di hadapannya dan berkata, “udah jadi berapa puisi?”

“Sebentar lagi enam puisi,” Rena menjawa pertanyaan sambil terus menulis.

“Sini kasih aku satu yang udah jadi, biar langsung aku coba musikalisasi.”

“Yang ini dulu deh.” Rena menyodorkan selembar kertas berisi tulisan-tulisan yang sebenarnya sulit untuk aku baca, terlalu banya coretan yang ia toreh di kertas itu. “Jangan komentar, aku emang gak bakat buat puisi,” tambahnya.

Aku mengeluarkan gitarku dari bungkusnya. Aku membaca tulisan Rena dengan seksama. Perlahan-lahan aku memetik gitarku sambil bersenandung. Aku kira musikalisasi puisi itu mudah, ternyata aku salah.

Mencari nada yang tepat untuk puisi yang sudah tertulis itu sangatlah sulit. Sudah lebih dari sepuluh menit aku masih belum menemukan musik yang pas untuk satu bait pertama.

Rena meletakkan penanya di atas meja. Aku lihat ia sudah selesai menulis puisi ke enam. Aku tak mau terlihat tak berguna oleh Rena. Aku kembali mememetik gitarku dan kembali mencoba mencari nada yang tepat.

Aku melihat dengan ujung mataku. Rena tersenyum geli. Aku tak tahan dengan senyumannya yang menurutku itu senyuman mengejek.

Rena beranjak dari tempat duduknya dan berkata, “aku ambil minum ya, mau minum apa?”

“Apa aja Ren, asal jangan teh melati hangat lagi,” aku menjawabnya dengan diikuti seyum kecil.

Rena pun tersenyum tipis. Iya menangkap candaanku. Tapi sebenarnya yang aku katakana itu serius. Di siang yang terik ini aneh saja jika harus menyeruput teh hangat.

Selagi Rena tak ada, aku mengeluarkan buku dan pena. Aku mencoba membuat tablature kasar. Aku terus memetik gitar sambil bergumam membaca tulisan Rena. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Aku tak mampu menciptakan nada yang tepat.

Aku meletakkan kembali puisi yang satu itu dan aku mengambil puisi Rena yang lainnya. Aku membaca satu per satu dengan maksud menemukan puisi mana yang paling mudah aku musikalisasikan.

Diantara enam lembar kertas yang terisi tulisan dan coretan Rena, aku menemukan satu yang cukup membuatku terenyah. Sambil membaca tulisan di lembaran itu, aku menyimpan lima lembar lainnya. Aku membaca dengan seksama.

“Kamu tidak pernah sendiri di sini

Ada aku yang sedia berjalan bersamamu

Berjalan, bergandengan tangan, bersenandung bersama

 

Kamu tidak pernah sendiri di sini

Ada aku yang sedia bercanda bersamamu

Bercanda, bergurau, menikmati momen bersama

 

Kamu tidak pernah sendiri di sini

Ada aku yang sedia menghabiskan waktu bersamamu

Menghabiskan waktu, siswa waktu yang kini telah habis

 

Kamu tidak pernah sendiri di sini

Di tempat tanpa angan, di tempat tanpa harapan

Dan pada akhirnya, aku sendiri yang mengucap selamat jalan”

Aku terdiam setelah aku membaca habis hingga bait terakhir. Aku teringat masa dimana Rena tak seperti sekarang. Rena dengan raut mendungnya. Rena dengan wajah getirnya. Aku teringat saat Rena menangis di balik punggungku.

Rena kembali. Terlihat dari warna oranyenya yang pekat, ia membawa dua gelas sirup jeruk.

“Ini minumannya Dhan,” ia berkata lembut sambil meletakkan segelas minuman yang ia bawakan tepat di depanku.

“Makasih banyak, Ren,” kataku dengan sedikit senyum membumbui ucapan terima kasihku.

Aku meneguk minuman itu perlahan sambil melihat Rena kembali duduk di kursinya. Pikiranku yang sempat menggantung setelah membaca tulisan Rena tadi kembali menggelitik.

Aku meletakkan gelas yang aku pegang. Gelas itu kini sudah tak berisi.

“Kamu haus banget ya Dhan?” tanya Rena. Wajahnya tampak terkejut melihat gelasku yang kosong dalam waktu singkat. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.

Kami kembali terdiam. Rena kembali mengambil pena dan meliuk-liukan ukiran di kertas putih.

Aku kembali memecah suasana hening dengan satu pertanyaan yang sudah mengusikku sejak beberapa hari lalu.

“Kamu kenapa Ren?” tanyaku, membuat Rena menghentikan aktivitas menulisnya.

Rena memandangku heran, “Kenapa apanya?”

“Tempo hari, sehari setelah kita pergi ke yayasan,” ucapku tidak begitu jelas.

“Aku kenapa?” Rena kembali bertanya. Iya menunjukkan wajah tak mengerti.

“Sehari setelah kita pergi ke yayasan, di hari kamu datang terlambat sampai tidak mengikuti pelajaran sampai jam istirahat, kamu kenapa?”

“Aku bener-bener gak  ngerti Dhan, maksud kamu tuh apa?”

“Oke aku perjelas, waktu kamu minta aku anter pulang, aku liat kamu nangis hari itu kaya yang terpukul banget, dan besok-besoknya sikap kamu beda banget, kamu ngerti lah maksud aku,” aku berkata panjang lebar. Meluruskan pertanyaanku, aku sudah tanggung penasaran dengan apa yang terjadi padanya.

“Oh itu,” Rena menjawabnya singkat. Ia kembali menulis dan aku tak berani meneruskan pertanyaanku. Aku pun ikut diam.

“Ya, aku emang lagi terpukul banget waktu itu,” tiba-tiba ia melanjutkan kalimat yang sempat menggantung. “Hari itu aku mendapat kabar yang mengejutkan. Dion meninggal di hari itu.”

Aku tersentak. Apa Dion yang ia maksud adalah anak di yayasan kanker waktu itu?

“Dion udah aku anggap kaya adik sendiri, Dhan. Aku bener-bener kacau waktu aku dengar kabar itu.”

Ada raut pilu di wajah Rena. Aku merasa simpati.

“Tapi aku sekarang udah gak apa-apa kok, aku udah bisa nerima,” raut wajah Rena kini berubah karena dia melemparkan sedikit senyum. Aku tidak tertipu. Dari matanya aku masih melihat suasana getir.

Aku tak tahan melihat wajah Rena yang sedang berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Aku memalingkan wajah ke tanah. Jadi selama ini Rena terpuruk karena hal itu. Aku benar-benar bodoh. Membaca keadaan Rena saja aku tak bisa.

Setelah diam cukup lama, aku berdiri. “Dimana Dion dimakamkan?” tanyaku pada Rena.

Rena kembali berhenti menulis dan memandang sejenak ke arahku.

“Aku juga gak tahu,” jawab Rena sambil menundukan wajahnya. “Aku juga belum pernah ke makamnya,” tambah Rena.

Kali ini giliran aku yang memandang Rena. Ia masih menundukkan wajahnya. Aku tahu ia benar-benar terpukul hingga mendatangi makan Dion saja ia tak mampu. Tapi aku ingin ia menghadapi kenyataan.

“Kalau gitu ayo kita cari tahu,” ucapku.

Rena kembali menunjukkan wajahnya yang sendu. Lalu ia tersenyum kecut dan berkata, “Kamu gila Dhan, masih banyak yang harus kita kerjain kan?”

“Lo jangan lemah Ren.”

Aku melihat Rena terkejut saat mendengar kata-kataku. Wajar saja, aku tidak pernah menggunakan panggilan gue elo pada Rena.

“Lo harus hadapin semuanya, lo gak suka? Tapi ini kenyataan. Lo gak bisa terus nolak kenyataan. Gue ingin lo nerima kenyataan Ren.”

Wajah Rena semakin tenggelam di bawah rambut hitamnya yang terjatuh karena ia menunduk.

Aku diam sejenak lalu kembali meneruskan perkataanku, “Lo gak berani ngehadapin semuanya?”

Rena tak juga bicara satu kata pun. Aku mulai merasa terlalu menekannya.

Di tengah diamnya, akhirnya ia berkata, “Kamu gak ngerti Dhan, aku…”

“Kalau gitu buat gue ngerti Ren, kenapa lo segitu takutnya? Kenapa lo segitu gak maunya ngehadapin ini semua?” aku menaikkan nada bicaraku, memotong perkataan Rena.

“Aku juga gak tahu, Dhan,” Rena menanggapi dengan nada lebih tinggi, “Aku cuma…” ia kembali menggantungkan kata-katanya. “…takut,” tambah rena selang beberapa detik.

Aku mencoba menerka yang ia rasakan, tapi sulit. Aku hanya bisa mendorongnya. Aku kehabisan kata-kata. Aku merasa sudah terlalu berlebihan.

Aku kembali duduk. Cukup lama kami saling diam.

“Maaf Ren,” aku bicara dengan lebih lembut. “Aku cuma gak mau kamu berlama-lama kaya gini, mungkin sekarang kamu merasa baik-baik aja, tapi kamu belum sepenuhnya ngusir perasaan terpukul kamu,” aku mencoba mengungkapkan perasaanku.

“Aku ingin nemenin kamu ngehadapin semuanya.”

Setelah beberapa lama kami saling diam, Rena mengeluarkan Hand phone-nya. Ia mencoba menghubungi Ibu Tari. Ia menanyakan dimana Dion disemayamkan. Tubuh Rena gemetar. Aku melihatnya secara jelas.

Setelah kami mendapatkan informasi di mana Dion dimakamkan, Rena beranjak dari kursinya, menutup pintu rumah yang terbuka, dan menarik tanganku.

Aku mengayuh sepedaku dengan senangnya. Biarpun ini siang yang begitu terik, aku tetap ingin menemaninya melalui semuanya.

Setelah kurang lebih dua puluh menit aku mengayuh sepeda sambil membonceng Rena, kami sampai di pemakaman umum tam makam pahlawan. Komplek pemakaman ini cukup padat. Kami cukup sulit mencari makam Dion.

Setelah kami bertanya-tanya pada petugas setempat akhirnya aku menemukan nisan bertuliskan nama Dion. Di atas makamnya terdapat taburan bunga yang masih cukup segar. Aku rasa belum lama tadi ada yang mengunjungi makam Dion.

Rena duduk di samping makam Dion. Dia mengelus-elus nisan bertuliskan nama Dion tersebut.

“Yon, maaf ya, kakak baru bisa ke sini. Kakak sulit nerima kalau Dion pergi. Kakak terlalu lama terpuruk. Kakak terlalu terpukul. Tapi sekarang kakak udah bisa terima. Kakak udah gak apa-apa,” ucap Rena dengan suara yang sedikit goyang.

Aku melihatnya menahan luapan emosi yang ia pendam sekarang ini.

Rena berkata, “Aku gak apa-apa.” Ia terus mengulang kata-katanya, “Aku gak apa-apa.” Semakin lama suaranya semakin melemah. Rena pun menitikan air mata.

Aku berdiri membalikkan tubuhku dan menghadapkan punggungku pada Rena. Aku masih mendengar Rena masih mengulang kata-kata, “Aku gak apa-apa.”

Dari isakannya, kali ini aku yakin, air mata Rena yang terus menetes kini semakin deras mengalir. Lagi-lagi Rena menangis di balik punggungku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com