Satu - Halaman Pertama
Satu, dua, tiga. Jepret.
Jika bukan karenanya, aku tidak akan pernah mau melakukan ini. Membidik fenomena-fenomena dengan lensa kameraku memang sudah menjadi hobiku sejak lama. Tapi memotret sekumpulan bocah, aku benar-benar tidak menyukainya. Aneh memang, tapi aku benci anak kecil. Bahkan saat ada orang bertanya bagaimana jika aku nanti punya anak, aku hanya akan menjawab ringan. "Tenang saja, kan ada ibunya."
Bocah-bocah yang kupotret itu seketika tertawa lepas, tanda bahagia. Senyumku terpaksa kutarik melengkung tanggung. Lagi-lagi karena dia. Rena.
"Maaf ya Dhan," Rena berkata lembut padaku. "Kamu jadi harus terlibat seperti ini," dia berkata seperti itu dan aku tergelak. Apa dia bisa membaca pikiranku? Atau apakah dia tahu bahwa aku benci anak kecil? Tiba-tiba aku menjadi kikuk.
"Kenapa harus minta maaf?" tanyaku heran dengan sedikit cemas. Rena sangat menyukai anak kecil, dan aku? Aku jelas membenci mereka. Aku tidak ingin Rena membenciku karena aku membenci hal yang paling dia sukai.
"Ya, maaf aja," dia berkata singkat sambil sedikit melengkungkan tawa kecil. Aku semakin khawatir dia benar-benar tahu aku benci anak kecil. "Kamu mau minum? Aku buatkan ya, kamu bisa main dulu dengan anak-anak." Jika itu bukan Rena aku akan langsung menolaknya dan beranjak untuk mengambil minuman sendiri.
Rena berlalu pergi ke dapur. Aku dikelilingi oleh anak-anak yang berada di ruangan ini. Ini mimpi buruk. Aku harus melakukan apa?
Tiba-tiba seorang anak kecil menarik-narik bajuku dari belakang. "Kak, temenin aku main video game yuk."
"Kamu coba ajak yang lain saja, aku tidak suka main game."
Anak laki-laki yang tidak memiliki sehelai rambut itu pun pergi dengan raut kecewa. Dia tampak berjalan menjauhi console yang ada di depan layar 18 inch. Aku tahu, dia tidak jadi memainkan video game-nya.
Aku heran mengapa aku bisa benar-benar tidak suka dengan anak kecil. Bahkan aku bisa berlaku kejam pada anak kecil tempat ini, sebuah yayasan kanker. Ya, aku terlalu kejam.
Rena datang membawa sebuah nampan dengan dua buah gelas diatasnya. Dari aromanya, aku tahu itu adalah teh melati. Rena suka sekali teh melati. Ia pernah berkata, selain pena dan buku yang selalu menemaninya menuangkan semua imaji dalam bentuk tulisan, teh melati selalu membantunya membuat pena menari-nari manis dengan caranya sendiri.
"Teh melati lagi?" aku menggodanya.
"Kenapa? Kamu gak suka teh melati?" ia membalas tanya kecilku dengan sebaris senyum nyinyir. Aku tertawa geli. "Kamu mudah tersinggung ya," jawabku ringan.
"Kamu gak suka anak kecil ya?" tanya Rena membuat mataku terbelalak. Dia benar-benar bisa membaca pikiranku. Aku mencoba tenang dan menjawabnya dengan ringan pula, "Ya begitulah."
"Terus kenapa kamu mau ikut ke sini? Kamu tahu kan tempat ini penuh anak kecil?" satu lagi pertanyaan yang membuatku terpojok. "Karena kamu," aku ingin menjawab seperti itu tapi tidak mungkin. Dia akan risi mendengarnya.
"Aku gak akan sembuh kan kalau gak nyoba ngelawan," aku menemukan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya, dan aku melihat ada senyum yang melengkung.
Tidak kurang dari 10 menit kami membisu. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutku ataupun mulutnya. Aku hanya memandangi hasil jepretan di kamera DSLR-ku dan sesekali pandanganku beralih pada Rena yang hanya memandangi anak-anak yang sedang bermain riang. Ia tampak seperti seorang kakak yang memiliki sekian banyak adik kandung dan sedang dititipkan untuk mengurus adik-adiknya selama orang tuanya pergi. Tidak, ia tampak seperti ibu dari anak-anak itu. Rena begitu tampak dewasa, tidak tampak seperti anak remaja yang baru duduk bersamaku di bangku kelas dua SMA.
Pandanganku kembali pada kamera DSLR-ku. Ibu jari tangan kananku berhenti menekan tombol saat aku melihat salah satu hasil jepretanku tadi. Tampak raut bahagia dari wajah Rena dan semua anak-anak yang berada dalam foto itu, kecuali satu. Seorang anak yang berdiri paling samping kanan foto itu memasang wajah muram. Benar-benar terlihat kontras. Tenggorokanku kering seketika hingga sulit menelan ludah. Aku tahu anak ini, dia yang mengajakku bermain tadi. Aku tidak nyaman melihat wajahnya. Merusak estetika hasil jepretanku. Aku mencoba menerka-nerka apa yang membuatnya muram. Tidak mungking akibat tolakanku tadi, karena foto ini diambil sebelum itu.
"Ren, anak ini siapa?" aku menunjuk pada anak berwajah muram dalam foto.
"Dion, dia anak yang paling lama tinggal di tempat ini dibandingkan teman-temannya," Rena menjawab dengn wajah sedikit gelap. "Pasti kamu heran kenapa dia gak sebahagia teman-temannya yang lain kan? Semua teman-teman sepermainannya dulu sudah pergi lebih dulu. Satu per satu temannya meninggal akibat penyakit yang sama dengannya," Rena menceritakan semua tentang Dion. Aku sedikit merinding mendengarnya, dan anehnya aku tidak merasa bersalah sedikitpun akan sikapku tadi padanya. Hatiku memang benar-benar sudah membatu untuk kasihan pada anak kecil.
"Mau kukenalkan dengannya?"
Aku terdiam. Aku sebenarnya tidak ingin terlibat dengan anak-anak ini terlalu jauh. Akan tetapi aku juga tidak ingin terlihat terlalu kejam di mata Rena. Aku mengangguk. Rena menarik tanganku dengan semangat.
"Dion, ada yang ingin bertemu denganmu" Rena berbicara dengan Dion yang sedang membaca majalah anak-anak. Dion melihat wajahku sejenak dan mengembalikan fokusnya pada majalah yang ia pegang tanpa berkata-kata. "Dion..." Rena mendekati dan merangkulnya. "Ini kenalkan, Kak Dhani, teman sekelasku." Dion melihat langsung pada mataku. Seakan ada kilat diantara mataku dan matanya.
"Dari sekolah yang sama, dari kelas yang sama, tapi kenapa sikapnya berbeda? Dia tidak semanis kak Rena," aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Anak ini kutaksir usianya belum lebih dari delapan tahun, tapi sudah bisa berkata-kata seperti itu. Aku sedikit jengkel.
"Begitulah anak laki-laki Dion, mereka tidak bisa semanis perempuan seperti aku hahaha" Rena tertawa manis.
"Aku gak akan jadi anak laki-laki seperti dia kak, aku akan jadi anak laki-laki yang bersikap baik pada siapapun," ujar Dion sambil kembali melihat ke arahku.
"Ini pasti karena aku menolak bermain denganmu ya?" aku berbicara mencari alasan agar tidak tampak kalah dengan anak kecil. Aku melengkungkan senyum dan berkata, "Aku minta maaf ya, tadi aku sedang asik dengan kameraku."
Rena tersenyum. Dion bermuka datar. "Permintaan maaf diterima," Dion seketika melemparkan senyum lebar hingga menampakkan gigi putihnya. Begitu mudahnya merubah emosi anak ini. Heran.
Untunglah waktu tidak pernah berhenti, dan waktu membuatku tak bisa diam di tempat ini selamanya. Kami harus pergi. Pukul tiga sore adalah waktunya Rena kursus piano. Aku harus mengantarnya pulang segera.
***
Matahari begitu terik. Aku sudah cukup penat berada di antara anak-anak kecil dan kini matahari begitu tidak bersahabar denganku. Peluh terus mengalir.
"Kamu masih kesal Dhan?" Rena bertanya setengah berteriak, berlomba dengan suara angin dan mesin motor yang kukemudikan.
"Kesal kenapa?"
"Kamu harus berurusan dengan anak kecil seperti tadi," Rena masih setengah berteriak. Aku melihatnya di kaca spion, ia tersenyum geli.
"Gak kok, soalnya aku gak ketemu anak kecil yang membuatku pusing, mereka semua anak baik," ujarku dengan mantap. "Kalau saja ada anak yang nakalnya kaya anak iblis, aku yakin aku gak akan tahan diri untuk memberinya kepalan tanganku," tambahku diikuti tawa lepas.
"Kejamnya..." ucap Rena sembari turut tertawa geli.
Suasana kembali dikuasai oleh deru angin dan raungan mesin sepeda motorku. Kami tak lagi mengucap satu kata pun. Kami hanya menikmati terik matahari pukul dua siang. Menit-menit terus berlalu. Aku tahu kebersamaan ini akan berakhir segera saat ku dapati istana mungil di ujung jalan. Istana mungil tempat bernaungnya putri kecil. Rena.
"Sudah sampai Ren." Aku menghentikan sepeda motorku dan Rena sekejap menginjakkan kakinya di tanah.
"Makasih ya Dhan," lalu ia berlalu dan menghilang di balik pagar. Aku tersenyum.
Aku ingat betul saat aku melihatnya pertama kali. Raut lugu yang aku lihat dulu masih menetap di wajah Rena. Rena memang bukan gadis yang dikejar-kejar semua anak laki-laki di sekolahku, tapi setiap orang di sekolah pasti setuju denganku bahwa Rena memang menarik. Untuk yang tidak mengenalnya pasti menganggap Rena itu gadis yang pemalu, pendiam, dan lugu. Tapi untuk yang sudah mengenalnya cukup jauh, setidaknya sejauh aku mengenal Rena, pasti mengetahui setiap sisi gadis itu yang begitu unik. Rena di satu sisi begitu dewasa, tapi di sisi lain kekanak-kanakan. Ada kalanya dia begitu manis dan anggun, tapi ada kalanya juga ia begitu lincah seperti anak kelinci yang baru bisa melompat. Itu yang membuat Rena begitu kompleks dan sulit ditebak. Tapi, aku menyukainya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com