Sebelas - Confession I
Rio keterlaluan. Bisa-bisanya aku dan Rena ditinggal di Puncak. Mau tidak mau kami harus mencari kendaraan umum yang tepat agar dapat sampai di kota kami lagi, kota Bandung.
Sepanjang jalan aku dan Rena tak banyak berbincang. Hanya sesekali aku bertanya dan Rena menjawab seperlunya atau sebaliknya. Wajar saja jika Rena cukup dingin pada sekitarnya. Suasana hati Rena sedang tidak baik.
Empat jam yang kami habiskan di perjalanan pulang begitu hambar. Tapi ya sudahlah, itu sudah dua bulan yang lalu.
Hari ini adalah hari terakhir masa ujian. Yang terbersit di pikiranku hanya ujian ini segeralah usai. Aku ingin secepatnya lepas dari beban ini.
Seperti biasanya aku, Rio, dan Agas duduk-duduk di bazaar sekolah. Pertemanan aku dan Rio tak berubah meskipun kami sama-sama ingat apa yang terjadi dua bulan lalu di puncak. Mungking karena pertemanan kita sudah terlalu kuat.
Sejak kejadian di puncak, kami tak pernah lagi berkumpul dengan Hanna dan Rena. Rena seakan menjauhi Rio dan Hanna sejak dulu memang tak pernah lepas dari Rena. Mau tak mau ia pun ikut menjauh dari kami.
Keberadaan Rena di sekolah pun kini berkurang. Ia hanya terlihat saat jam pelajaran. Setelah jam pelajaran usai ia pasti langsung pulang.
“Dhan, gue mau minta tolong dong,” ucap Rio.
“Apaan?”
“Barang-barang Rena masih ada di rumah gue sampe sekarang,” raut wajahku berubah. Begitupun dengan raut wajah Agas yang sekejap mengarah langsung pada Rio.
“Lo pada gak usah mikir macem-macem, maksud gue barang Rena yang dia bawa waktu ke vila gue kan ketinggalan di mobil gue.”
Jika aku ingat-ingat lagi, waktu itu Rena memang meninggalkan mobil Rio dengan spontan. Dia pasti tak terpikirkan untuk membuka bagasi mobil dan membawa barang-barangnya.
“Lo ingin gue balikin itu barang ke Rena?” aku menanggapinya seolah tahu maksud Rio.
“Ya begitulah,” jawab Rio.
“Kenapa gak lo balikin sendiri aja Yo?”
“Jangan bikin gue kesel deh Dhan, lo kan tahu sendiri gimana sikap Rena ke gue sekarang,” Rio menanggapinya dengan sedikit kesal.
“Ya biar sekalian lo bisa minta maaf Yo.”
“Minta maaf gimana? Gue kan cuma nembak dia di puncak, kalau dia nolak dengan caranya, bukan salah gue dong.”
“Nyolot bener lo Yo, kesel ya ditolak,” Agas masuk di tengah perbincangan aku dan Rio, dan dia tergelak.
“Sialan lo Gas,” ucap Rio. “Pokoknya tar siang lo ke rumah gue Dhan, ambil tuh barang-barang orang yang lo puja-puja itu,” tambahnya.
Aku tak menanggapinya lagi. Aku hanya mengiyakan permintaannya. Lagi pula apa sulitnya membantu Rio untuk mengembalikan satu tas berisi barang-barang milik Rena.
***
Pukul 15.23 aku sudah melajukan sepeda motorku menuju rumah Rena. Aku sudah mengganti baju seragamku dengan kaos oblong berwarna hijau daun polos, tak bermotif.
Sesampainya di depan gerbang rumah Rena, aku melepaskan helm yang melekat di kepalaku. Aku memandangi rumah itu. Sudah lama aku tak mendatanginya. Senang rasanya bisa datang kembali ke tempat ini.
Aku ingat, terakhir kalinya aku datang kemari saat aku mengerjakan tugas seni musik bersama Rena. Cukup berkesan buatku, walaupun saat itu berakhir juga dengan tangis Rena di pemakaman.
Kini aku sedang berdiri menatap tombol bel rumah Rena. Entah kenapa aku sedikit gemetar. Aku sudah lama tidak ngobrol dengan Rena dan kini aku akan bertemu dengannya. Mungkin ini kesempatan baik untuk kembali menyusun perasaan yang selama ini mulai runtuh sedikit demi sedikit.
Ting…tong…
Aku menekan tombol bel rumah Rena. Tak lama setelah itu seseorang membukakan pintu. Kepala Rena menyembul di balik pintu itu.
“Eh Dhani,” Rena membuka pintu lebar-lebar setelah melihatku. Ia masuk dan menghilang kembali di balik pintu. Tak lama ia keluar membawa kunci gerbang rumahnya.
“Sendirian?” ia bertanya sambil sibuk mencari anak kunci yang cocok untuk gembok gerbangnya.
Aku hanyan mengangguk sambil tersenyum.
“Ayo masuk,” ucap Rena saat gerbang rumahnya berhasil dibuka.
Kini aku sudah berada di teras rumah Rena. Sebenarnya Rena menawarkanku untuk duduk di ruang tamunya. Tapi aku lebih memilih untuk duduk di teras rumahnya. Aku lebih nyaman berada di sini.
“Mau minum apa?”
“Gak usah Ren, aku gak akan lama” jawabku.
“Oh gitu,” ia duduk di bangku sebelah.
Kami berbincang-bincang cukup lama. Banyak hal yang kami bicarakan. Mulai dari soal ujian yang memusingkan, kejadian-kejadian lucu di sekolah, tentang Hanna, Agas, dan lainnya. Hanya saja kami tak sedikitpun membicarakan Rio. Aku tak menyinggung apapun tentang Rio, khawatir dengan suasana hati Rena yang bisa saja tiba-tiba berubah.
Aku teringat dengan maksud utamaku datang kemari.
“Oh iya Ren, aku ke sini bawain barang-barang kamu yang ketinggalan di mobil Rio waktu itu,” aku berbicara sambil menyodorkan tas milik Rena.
“Wah, makasih ya Dhan, aku lupa buat ngambil ini di Rio,” ucap Rena. Tercium sedikit aroma kebohongan di kata-kata Rena. Aku tahu, dia memang tak ingin bertemu Rio dan membiarkan barang-barangnya tetap berada di tempat Rio.
Setelah beberapa menit kami terdiam, bulir-bulir air mulai berjatuhan dari langit. Aku tak melihat mendung datang dan hujan turun begitu saja.
“Wah hujan,” aku berkata sambil menatap langit berawan yang masih setengah cerah.
Tak lama setelah hujan turun, sebuah picanto hijau berhenti di depan rumah Rena. Seorang pria keluar dan berlari menuju pagar rumah Rena. Wajahnya tak asing, om Tio, ayah Rena.
Kemeja biru yang dikenakan oleh om Tio tak begitu basah disentuh hujan. Saat ia merdiri di teras rumahnya, ia menatapku sampil tersenyum tipis.
“Eh ada kamu Dhan,” om Tio menyapaku dengan ramah.
“Siang om,” aku menanggapinya dengan senyum tipis pula. Berusaha tampak sopan dihadapan beliau.
“Gak dibuatin minum Ren?” tanya om Tio pada Rena.
“Aku gak lama kok om, ini udah mau pulang,” aku buru-buru menanggapi ucapan om Tio sebelum Rena.
“Hujan begini? Kamu bawa jas hujan?”
Aku tak menjawab pertanyaan terakhir dari om Tio. Aku ingat, aku tak membawa jas hujan. Aku hanya menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Ren, kamu buat teh hangat sana, buat untuk ayah juga ya.”
Rena langsung bergerak masuk ke dalam rumahnya. Om Tio meletakkan tas jinjingnya di samping pintu lalu ia duduk di tempat Rena duduk tadi.
Ayah Rena adalah orang yang baik. Ia mampu berbaur dengan teman-teman Rena, termasuk aku, Rio, dan Agas. Kami pernah bermain futsal bersama. Om Tio benar-benar berjiwa muda.
Saat aku pertama bertemu om Tio, aku mengira ia adalah kakak laki-laki Rena. Saat kutanyakan pada Rena, Rena menertawaiku dengan puas. Dia bilang usia ayahnya sudah kepala empat. Aku cukup terkejut. Beliau tampak terlalu muda untuk menjadi ayah dari anak seusia Rena.
“Gimana sekolah Dhan?”
“Hmmm… Biasa aja om?”
“Gimana kamu sama Rena?” Om Tio menanyakan hal membuatku sedikit tersentak. Ia hanya membumbui pertanyaannya dengan senyum geli.
“Gimana apanya om?” aku menanggapinya agak canggung.
“Om udah jarang liat kalian berdua bareng-bareng kaya dulu?”
“Mungkin karena kita udah sama-sama sibuk om, jadi gak banyak waktu main bareng kaya dulu,” aku kembali menjawab tanpa tahu apa yang sebenarnya aku katakan.
“Masih suka ke yayasan bareng Rena?”
“Rena udah lama banget gak ngajak aku ke yayasan om.”
“Dia masih suka sedih gak di sekolah?” om Tio kembali bertanya, kali ini dengan wajah khawatir.
“Gak kok, dia di sekolah kelihatan selalu ceria,” aku menjawab ditambah sebuah senyuman.
“Oh gitu ya, syukur kalo gitu,” Om Tio tampak lega mendengar jawabanku. Ia bersandar pada sandaran kursinya.
“Oh iya, kalian sekolah kan tinggal satu tahun lagi, kamu udah punya niat lanjut kuliah?” topik perbincangan kami kini berganti.
“Aku ingin lanjut ke ITB om, aku ingin kuliah di teknik informatika,” jawabku mantap.
“Oh gitu, kalo menurut kamu Dhan, kira-kira kalo Rena lanjut sekolah arsitek gimana?” Om Tio mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ia tampak menunggu-nunggu jawabanku.
Aku sebenarnya tak mengerti mengapa ia menanyakan hal semacam ini. Ia tampak seperti yang benar-benar menginginkan Rena menjadi seorang arsitektur.
“Kelihatannya sih cocok om, Rena hebat banget kok di pelajaran gambar teknik,” aku menjawab pertanyaan Om Tio sambil sedikit membayangkan Rena menjadi seorang arsitek.
“Om ingin banget Rena jadi arsitek,” Om Tio berkata sambil memandang langit yang masih saja menebar gerimis kecil, “Om juga udah nyiapin kejutan buat Rena.”
Sebelum om Tio menyelesaikan perbincangan ini, Rena datang membawa dua cangkir teh dengan asap yang mengepul diatasnya.
“Serius banget, ngomongin aku?” Rena memecah percakapan aku da nom Tio.
“Ge-er kamu Ren, ya udah kalian lanjut lagi ngobrolnya, ayah mau masuk dulu,” ucap om Tio sambil berdiri dan menjingjing tas yang tadi ia letakkan dekat pintu.
“Lah terus tehnya?” tanya Rena dengan wajah sedikit kesal.
“Oh iya,” om Tio kembali dan menghisap teh hangat yang dibawakan Rena tadi. Ia hanya meneguk sedikit dan meletakkannya kembali di atas meja. “Makasih ya saying,” tambahnya sambil mengusap-usap rambut Rena. Ia pun berlalu masuk ke dalam rumah.
“Diminum Dhan,” ucap Rena sambil mengambil posisi duduk.
“Oh iya, makasih,” aku mengangkat dan menghirup aroma melati dari teh hangat buatan Rena.
“Masih suka teh melati kan?” tiba-tiba Rena bertanya saat aku sedang meneguk teh tersebut.
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan Rena tersenyum. Teh hangat ini terasa semakin manis saat aku melihat Rena tersenyum.
Setelah hujan reda, kami menutup sore ini dengan saling melambaikan tangan. Aku memacu sepeda motorku dan meninggalkan Rena. Dari kaca spion, kulihat Rena tetap berdiri di depan pagar rumahnya saat kulajukan sepeda motorku.
***
Aku membaringkan tubuhku di atas kasur pegasku. Sebenarnya tak ada rasa lelah yang menjadi-jadi yang membuatku hanya bisa berbaring. Pada kenyataanya aku berbaring sambil terus tersenyum. Aku tak bisa menahan rasa bahagia ini. Seperti ada kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya dalam perutku.
Ya, Dhani, dia yang membuatku seperti ini. Aku tahu ada yang istimewa darinya. Sebenarnya aku menyadari ini sudah cukup lama, sejak kami dibebankan tugas bersama oleh Pak Pampam. Tapi setelah kejadian di puncak, perasaan ini semakin menjadi dan aku semakin yakin dengan perasaanku itu.
Tadi sore adalah waktu yang sudah lama aku nantikan. Hanya dengan berbincang ringan dengannya cukup membuatku bahagia.
Semenjak kejadian tak menyenangkan yang aku alami bersama Rio, aku dan Dhani memiliki jarak yang cukup lapang. Aku tak menyangka sisa dari momen dipuncak itulah yang justru mempertemukan kami kembali. Kalau bukan karena barang-barangku yang tertinggal di mobil Rio, mungkin aku dan Dhani akan lebih lama tak bertemu.
“Rena! Ayo makan.”
Sekali lagi kudengar ibuku meneriakkan namaku. Suaranya memecah lamunanku. Seperti biasa, ini memang waktunya ibu memanggilku untuk makan malam bersama. Tubuhku masih terkapar. Sebenarnya aku tak ingin bangkit. Aku ingin sekali cepat melalui malam ini dan kembali ke sekolah esok hari.
Aku bangkit dari posisi merebah. Bukan karena ingin turun untuk makan, tapi telepon genggamku bergetar. Aku mengambilnya dari atas meja belajarku. Kulihat sebuah pesan masuk. Pesan dari Dhani.
Ren, besok pulang sekolah sibuk gak?
Begitulah isi pesan dari Dhani. Aku mempunyai firasat Dhani ingin mengajakku pergi. Kemana? Entahlah.
Enggak kok, ada apa Dhan? Aku membalas pesannya.
Tak lebih dari satu menit pesan balasan kembali masuk.
Besok aku ingin ajak kamu main, mau gak?
Firasatku benar. Tanpa berpikir dan tanpa bertanya kemana, aku langsung menjawab ya.
Boleh, besok ketemu di bazaar aja pulang sekolah.
Tak ada pesan balasan setelah itu. Seyum kembali melengkung di bibirku.
“Ren, ayo turun!” tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan kak Anto berbicara dengan suara yang cukup keras.
“Bisa gak kalau masuk kamar cewek ketuk pintu dulu?” aku berkata sinis pada kak Anto.
“Aku udah laper Ren, kan kamu tahu sendiri ibu gak akan ngebolehin siapapun makan sebelum semuanya ada di meja makan,” kak Anto menanggapinya dengan nada yang lbih tinggi lagi.
Aku tak menanggapi kak Anto. Aku hanya berjalan mendahului kak Anto menuju ruang makan.
Ayah dan Ibu sudah duduk di meja makan. Aku duduk di samping ibu dan ibu langsung mengambilkan piring untukku. Kak Anto pun datang dan seperti biasa, ia langsung menyambar piring, sendok, garpu, nasi, dan lauk pauk di atas meja. Ia langsung melahap semua makanan di piringnya seperti orang kelaparan.
“Kebiasaan kamu, To, makan kaya orang kesurupan,” ujar ibu sambil menggelengkan kepala tapi kak Anto tampak tak menghiraukannya. Ia hanya fokus pada makanannya.
Aku melihat Ayah terus tersenyum sambil melahap makanan di piringnya. Semakin aku memperhatikannya, senyum itu malah semakin menjadi.
“Ayah kenapa senyum-senyum gitu?” aku mulai terusik dengan prilaku ayah itu.
Ayah meletakkan sendok dan garpunya. Ia mengunyah dan menelan makanan di mulutnya secara perlahan. Setelah semua isi mulutnya tertelan, ia baru bisa berbicara.
“Ren, kamu masih mau jadi Arsitek?” pertanyaan itu. Ini bukan pertama kali ayah menanyakan pertanyaan itu. Ia tampak begitu menginginkanku menjadi seorang arsitek.
Aku tak pernah menolak keinginan ayah itu. Aku belum memiliki cita-cita yang jelas, dan aku menyukai pelajaran gambar teknik di kelas. Sehingga menjadi arsitek sepertinya bukan pilihan yang buruk untukku.
Aku mengangguk alih-alih bersuara untuk menjawab pertanyaan ayah. Mulutku masih penuh dengan nasi goreng buatan ibu.
“Bagus, ayah seneng banget kamu mau jadi arsitek,” ucap ayah sambil kembali melanjutkan makan malam.
“Ayah juga punya satu tawaran untuk kamu Ren, kamu sekolah di Amsterdam ya, ayah siapin semuanya kalau kamu mau,” ayah melanjutkan perbincangan dengan pernyataan yang membuatku hampir tersedak.
“Serius yah? Aku? Sekolah di Amsterdam?” aku benar-benar terkejut. Aku bertanya dengan mulut yang masih dipenuhi makanan, sehingga suaraku kurang jelas terdengar da nada beberapa butir nasi yang melompat keluar dari mulutku.
“Ya kalau kamu mau,” lanjut ayahku.
Aku menelan makanan di mulutku sekali jadi, “Jelas mau yah,” ucapku dengan wajah berbinar.
“Syukurlah kalau kamu senang, bulan depan kita berangkat.”
Kali ini aku terdiam. Bulan depan? Secepat itu?
“Aku kan baru mau naik kelas tiga yah,” ucapku.
“Ya, kamu lanjutin sekolah di Amsterdam sebelum kamu kuliah,” kini aku tak tahu harus berkata apa. Bulan depan aku pindah sekolah. Itu artinya sisa waktuku di sekolah ku sekarang ini hanya satu bulan. Lalu bagaimana dengan Dhani? Kami baru saja berada di titik temu yang membuatku berbunga-bunga.
“Gak bisa kalau diundur sampe aku lulus SMA yah?”
“Gak bisa Ren, ayah ingin kamu serius, jadi harus disiapin dari sekarang, kalau setengah-setengah lebih baik jangan Ren,” jawab ayahku.
“Kamu pikir-pikir dulu aja malam ini, besok malam kita bicarakan lagi,” ayahku menutup percakapan dengan senyum.
***
Kini aku sudah terbaring kembali di tempat tidur. Apa aku harus pergi? Apa aku sudah siap meninggalkan teman-temanku? Meninggalkan Dhani?
Aku tahu, dunia kini sudah modern. Komunikasi sudah mudah. Ada yang namanya media sosial. Tapi itu tetap akan berbeda dengan aku berkumpul langsung dengan teman-temanku. Dan besok? Apa yang akan aku katakana pada Dhani? Entahlah.
Mata sulit terpejam, alih-alih memaksakan tidur aku malah mengambil mp3 player yang tergeletak di atas meja belajar. Aku menyelipkan earphone pada satu telinga lalu kutekan tombol play.
Sebuah lagu yang dinyanyikan suara yang tak begitu berat dan hanya diiringi oleh suara gitar terdengar di telingaku.
She is dancing in sorrow but you don’t ever know
She is lying so hard but you don’t even care
She has many fake faces but you don’t have any idea
At least I know her, because she’s crying loud on my back.
…
Untaian kata yang terpotong itu kurekam saat Dhani menyanyikan lagu karangannya sendiri di vila Rio. Ya, hanya sepenggal. Tak seluruh lagu sempat terekam olehku. Walau begitu, lagu yang mengalun itu cukup membuat bulir bening meleleh di ujung kelopak mataku. Ah, andai saja aku dapat mendengarkan lagu itu dengan utuh untuk sekali lagi saja.
***
Pukul 14.32, sudah setengah jam aku menunggu di sini. Kemana Dhani? Dia terlambat. Atau dia lupa, dia mengajakku pergi hari ini? Aku benci menunggu. Apalagi menunggu sendirian seperti ini. Apa aku kesal pada Dhani? Ya, aku sedikit kesal.
Aku duduk di bangku kosong di bazaar sekolah. Kondisi bazaar siang ini setengah sepi. Entah kemana orang-orang yang biasa memadati tempat ini. Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan hal itu.
“Hei,” seseorang menepuk pundakku. Tanpa menoleh aku tahu itu Dhani. Aku sudah hafal betul dengan suaranya.
“Aku telat banget ya?” ia bertanya sambil duduk di sebelahku.
“Gak kok, baru setengah jam doang.”
“Itu sindiran?” iya kembali bertanya sembari tersenyum geli.
“Pikir aja sendiri,” aku menanggapinya sambil membuang muka.
“Wah bisa ngambek juga ya,”senyumnya semakin lebar dan dia mengacak-acak rambutku.
Aku tak bisa menahan senyumku. Entah mengapa aku merasa senang saat Dhani mengerjaiku, walau hanya dengan mengacak-acak rambutku. Setelah itu Dhani beranjak dari tempat duduknya.
“Ayo pergi, keburu sore.” Ia berkata sambil menarik lengan kananku.
***
“Kita mau ke mana?” aku bertanya setengah berteriak, tak mau kalah dengan suara angin dan mesin sepeda motor Dhani yang menggebu.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Aku dapat melihatnya dari kaca spion.
“Aku serius, kita mau ke mana? Kalau gak kasih tahu, aku gak mau ikut,” ujarku sedikit mengancam.
“Gitu banget sih Ren,” ia menahan tawa. “Aku mau ke makam Dion,” tambahnya.
Apa? Dion? Kenapa Dhani membawaku ke sana.
“Kamu mau temenin aku kan?”
Aku mengangguk perlahan. Kurasa Dhani melihatnya di kaca spion. Kaca spion Dhani sepertinya memang tidak berguna seperti seharusnya. Seakan-akan kedua kaca spion itu dijadikan media untuk aku dan Dhani saling melihat.
Setelah percakapan kecil itu kami saling diam. Deru mesin dan angin menang. Mereka lebih berhasil memecah keheningan sepanjang perjalanan.
***
Kini kami duduk di samping pusara Dion. Kali ini Dhani yang berada lebih dekat dengan nisan bertuliskan nama Dion. Ia menabur bunga yang masih segar dan menyiramnya dengan air dingin. Ritual yang biasa dilakukan orang-orang yang ziarah.
“Kamu tahu Ren, sejak terakhir kita ke yayasan dulu aku jadi kepikiran sesuatu terus,” Dhani mematahkan diam diantara kami berdua.
“Ingat waktu Dion bilang, aku gak akan jadi anak laki-laki seperti dia kak, aku akan jadi anak laki-laki yang bersikap baik pada siapapun, apa aku seburuk itu ya?” ia berkata miris. Ia menatap dan mengusap nisan Dion.
“Kamu anggap serius kata-kata Dion Dhan? Dia masih kecil, masih polos,” aku menanggapi perkataan Dhani dengan sedikit senyum geli.
“Ya, dia masih kecil, masih polos,” ia kembali berkata lirih. “Tapi ucapan anak polos itu biasanya langsung dari hati Ren,” kini ia tersenyum sinis. Aku melihat ada sesuatu yang sendu di mata Dhani.
“Kamu kenapa benci anak kecil?” tiba-tiba kata-kata itu terlontar dari mulutku.
“Benci? Kata-kata itu kayanya kejam banget di telinga aku Ren,” ia menghadapkan wajahnya padaku. Menampakkan senyumnya yang khas.
“Aku gak benci Ren, aku cuma kesel, kenapa masa kecil aku singkat banget, jadi ngeliat anak kecil dengan bebasnya main dan ketawa-ketawa aku jadi iri,” kali ini ia bicara sambil memandang langit yang sejak tadi tak berawan.
“Aku ngerasa masa kecil aku gak seru banget, padahal yang aku tahu seharusnya masa kecil itu menyenangkan, iya kan Yon?” ia kembali menghadapkan wajahnya pada nisan Dion sambil tersenyum, seakan mengajak Dion untuk tersenyum bersamanya.
Aku sedikit miris mendengar kata-kata Dhani. Apa masa kecilnya benar-benar sedatar itu. Aku jadi kasihan.
Pukul 16.04, terlintas sebuah ide di benakku.
“Sekarang kamu mau antar aku gak?” kali ini aku yang memecah keheningan setelah beberapa saat kami saling diam lagi.
“Kemana?” Dhani mengangkat sebelah alisnya.
“Gak usah nanya,” kini aku tersenyum usil.
Dhani memalingkan wajah. “Aku serius, kita mau ke mana? Kalau gak kasih tahu, aku gak mau,” iya berkata dengan wajah serius, tapi tak lama. Setelah melihat aku mengerucutkan bibir, ia terkekeh.
Aku berdiri dan berjalan meninggalkannya. Bisa-bisanya dia mengembalikan kata-kataku. Dasar Dhani.
***
Sepanjang jalan aku tak berhenti bicara. Tak seperti perjalanan pertama tadi, kali ini mau tak mau kami mengalahkan suara angin dan deru mesin. Kami lebih menguasai suasana.
Aku menjadi penunjuk jalan. Dhani tak tahu kemana aku akan membawanya, jadi mau tak mau aku terus menyuruhnya lurus atau berbelok. Ibarat kapal, Dhani nahkodanya dan aku navigatornya.
Pukul 17.13, kami sampai di tempat tujuan. Aku melihat wajah Dhani yang terus memperhatikan sekitar dengan seksama. Seperti perantau yang baru datang ke negeri yang tak ia kenal.
Pasar malam, sebuah karnaval di tengah kota. Aku membawanya ke sana. Kami berjalan diantara anak-anak yang berlarian. Aku melihat wajah takjub Dhani saat melihat bianglala yang sebenarnya tak begitu besar. Ia seperti anak kecil.
“Di sini semakin malam semakin ramai Dhan,” ucapku.
“Kamu sering ke sini?” Dhani bertanya sambil terus memperhatikan sekitar.
“Lumayan, aku suka pasar malam,” jawabku.
Sesaat dia menatap ke arahku dengan senum menyeringai. “B…o…c…a…h,” dia mengejah kata itu perlahan, dan senyumnya mengembang semakin lebar hingga terlihat deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. Dia mengejekku dan berlalu meninggalkanku.
***
Pukul 19.21, tak terasa sudah dua jam lebih kami berada di sini. Kami menaiki semua wahana yang ada, bahkan kami naik wahana bianglala sampai tiga kali karena terpesona dengan langit jingga, senja di tengah kota yang kami lihat dari puncak bianglala.
Cukup lelah setelah mengitari seisi pasar malam, kami duduk di bangku yang cukup panjang. Kami ditemani oleh gula kapas besar yang Dhani belikan untukku. Aku tidak memintanya, tapi dia membelikannya.
“Ini terlalu besar Dhan, bantu aku habisin,” ucapku pada Dhani
“Habisin sendiri aja, aku beliin untuk kamu,” ia menanggapinya dengan senyum geli.
“Ayolah Dhan, gak akan habis nih,” aku memohon.
“Ya udah kalau kamu maksa,” kini ia terlihat menikmati gula kapas yang aku pegang. Dasar bocah, kenapa tidak bilang ia menginginkan gula kapas ini. Alih-alih membelinya untuk diri sendiri, ia malah membelikan untukku.
“Kenapa?” ia berkata sambil menatapku curiga. Seakan ia dapat membaca pikiranku.
Kami berhasil menghabiskan gula kapas kami. Kami masih duduk-duduk di bangku panjang ini.
“Tunggu sebentar ya,” setelah kami terdiam sejenak, Dhani pergi meninggalkanku. Entah apa yang ingin ia lakukan, mungkin ke toilet.
Tak lama setelah Dhani pergi, ia kembali membawa dua buah balon gas berwarna hijau dan putih.
“Ayo main,” ia berkata sambil menyodorkan balon yang berwarna putih ke arahku.
Aku tak mengerti apa maunya Dhani. Aku hanya mengikatkan balon putih ini di lengan kiriku.
Dhani terlihat mengeluarkan dua buah spidol hitam. Ia menyerahkan salah satunya padaku.
“Sekarang kita main buka-bukaan, caranya nanti kita gantian ngasih satu pertanyaan dan yang lainnya harus tulis jawabannya sejujur-jujurnya di balon masing-masing, paham?”
Aku mengangguk perlahan. Sebenarnya aku tak begitu mengerti dengan penjelasan singkat Dhani tadi. Ya sudahlah, aku ikuti saja permainan ini.
“Aku mulai duluan ya, dari pertanyaan standar dulu, makanan kesukaan kamu apa?” iya mulai memberikan pertanyaan. “Ayo tulis,” ucapnya saat melihatku hanya diam sambil memegang balon ini.
Aku menulis es krim.
“Sekarang giliran kamu.”
Aku berpikir sejenak. Aku tak tertarik dengan permainan ini. Membosankan.
“Sama deh, makanan kesukaan kamu?” ucapku dengan sedikit lemas.
“Lah kok sama?” Dhani protes.
“Gak apa-apa dong, kan gak ada aturannya,” aku menanggapinya ringan.
Dhani tak menanggapi pernyataanku. Ia sibuk menulis di balonnya. Aku memcoba mengintip apa yang ia tulis, tapi ia menyadarinya dan langsung berkata, “Gak boleh ngintip Ren.” Ya Tuhan, apa menariknya permainan ini. Kenapa Dhani terlihat begitu menikmatinya?
“Selanjutnya, tempat favorit?” ia kembali melanjutkan permainan yang tidak jelas ini.
Aku menulis, pasar malam.
Lalu aku melanjutkan juga permainan ini. “Sama, tempat favorit?” kali ini Dhani tidak protes dan langsung sibuk menulis.
“Ok, cukup dengan pertanyaan membosankan, kapan kamu terakhir suka sama cowok?”
Kali ini mataku terbelalak. Pertanyaan macam apa itu. Tanpa berpikir panjang aku tulis, saat ini, aku suka kamu. Aku tersenyum setelah menulis jawaban dari pertanyaan ini. Aku mulai tertarik dengan permainan ini.
“Jumlah mantan kamu?” tanyaku dengan mata berbinar. Aku penasaran dengan jawabannya.
Dhani terlihat menulis cukup panjang di balonnya. Aku bertanya jumlah mantan, bukan minta disebutkan nama-nama mantannya. Kenapa ia menulis sepanjang itu.
“Ok cukup, sekarang pertanyaan special, aku bakal tanya tiga pertanyaan sekaligus, terus kamu tulis di balon ya,” Dhani berkata sambil menatapku lekat.
“Kok gitu?” aku bertanya heran.
“Ini permainan aku, jadi aku bebas kasih peraturan.”
Seenaknya dia bicara seperti itu. Dasar gak mau kalah. Tanpa protes lagi aku bersiap menulis.
“Ini studi kasus, jadi agak lebih berat, denger baik-baik,” ia berkata kembali dengan senyum usil itu.
“Kalau ada cowok yang dengan tulus bilang dia sayang sama kamun dan ingin jadi pacar kamu, kamu mau apa?”
Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Kenapa Dhani bisa bertanya seperti itu.
“Aku gak bisa jawab Dhan, itu tergantung siapa orangnya,” aku langsung menjawabnya tanpa menulis apapun.
“Ok, kalau gitu langsung ke pertanyaan ke dua aja, kalau akan ada yang bilang sayang sama kamu dan kamu tahu dia tulus, kamu berharap itu siapa?”
Aku lebih tersentak dengan pertanyaan ini. Aku gemetar. Dengan tangan yang ikut gemetar aku menulis sebuah nama, Dhani. Keringat dingin mulai hadir di keningku. Aku merasa aneh saat menunggu pertanyaan berikutnya.
”Sudah?” Ia bertanya lembut.
Aku mengangguk perlahan.
“Ok, terakhir. Kalau orang itu adalah aku, kamu mau bilang apa?”
“Kenapa kamu suka sama aku Dhan?” sekejap, setelah mendengar pertanyaan terakhir, aku langsung bertanya sebelum menulis apapun di balonku.
Dhani tersenyum. Ia tak menjawab. Ia malah menulis sesuatu di balonnya.
“Ok, aku anggap itu pertanyaan lanjutan permainan ini,” ia tak menjawab langsung pertanyaanku dan ah, dia menampakkan senyum itu lagi. “Udah ya, permainannya kita sudahi dulu,” tambahnya.
“Kenapa kamu suka sama aku Dhan?” aku masih melontarkan pertanyaan yang sama.
“Permainan udah selesei Ren,” jawabnya ringan.
“Aku serius, aku ingin kamu jawab, kenapa kamu suka sama aku? Aku ngerasa banyak cewek yang lebih cantik yang bisa kamu dapetin di sekolah kita Dhan,” aku berkata lirih penuh pengharapan ia mau menjawab pertanyaanku.
Setelah meletakkan spidol dalam tasnya, Dhani menatapku lekat.
“Ren, kalau kamu anggap semua laki-laki itu suka perempuan yang cantik, kamu gak salah, tapi untuk perempuan yang akan dibawa laki-laki tersebut menemui orang tuanya, cantik bukanlah syarat utama,” ucapnya lembut, “Aku sayang kamu Ren.”
Sesaat udara terasa begitu dingin saat kudengar ucapannya. Ingin sekali aku mendekapnya agar kurasakan hangat.
Kami terdiam sejenak. Aku tak menanggapi apapun yang dikatakan Dhani tadi.
“Kamu gak nulis jawaban dari pertanyaan aku yang terakhir tadi Ren?” tanyanya.
“Permainan udah selesai,” aku menjawabnya singkat.
“Aku gak akan tulis, aku bakalan bilang langsung,” kalimatku menggantung, dan langsung kusempurnakan, “Aku juga sayang sama kamu.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com