Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan - At least, she's crying on my back

Pukul 22.02 kami tiba di vila Rio. Tidak ada acara tersesat dalam perjalanan kami. Tepat saat sampai di puncak, Agas terbangun. Ia yang menjadi navigator selama Rio tertidur. Ia sudah hafal betul di mana letak vila Rio. Ia sudah berkali-kali datang kemari bersama rio dan aku. Meskipun intensitasku dan Agas hampir sama, aku memiliki kelemahan dalam mengingat jalan. Ingatanku tak sekuat Agas.

Hingga kuparkirkan mobil di halaman vila, Rio masih saja tertidur. Butuh effort lebih dari sekedar mengguncang-guncang tubuhnya untuk membangunkan Rio. Dasar kerbau.

Pukul 22.37 kami telah selesai menurunkan semua barang-barang dari mobil dan duduk melingkar di teras vila Rio yang cukup luas. Agas membuka kebersamaan kami dengan lelucon jenakanya. Kami semua tertawa lepas malam itu. Termasuk Rio yang sebenarnya masih setengah hidup karena baru saja dibangunkan paksa oleh kami semua.

Suasana berubah saat kami dikuasai oleh kegelapan. Semua lampu yang sejak tadi menyala setengah terang kini mati seluruhnya. Kami semua terkejut. Terutama Hanna yang yang langsung melompat dan menyergap tangan Agas. Responya spontan. Hanna sangat takut kegelapan.

“Kenapa nih Yo?” aku bertanya pada Rio. Aku tidak takut akan gelap, aku hanya merasa kurang nyaman jika tak bisa melihat sekitarku.

“Gue juga gak tahu nih, jarang-jarang di sini mati lampu,” ujar Rio.

“Cepet benerin dong, masa kita harus gelap-gelapan gini,” Hanna berbicara dengan panik sambil terus memeluk tangan Agas dengan erat dan tetap menutup mata rapat-rapat.

“Gue harus ke rumah Pak Amron dulu, dia yang bisa ngebenerin listriknya,” Rio berbicara dan menyebutkan nama penjaga vilanya. Rumah Pak Amron tak begitu jauh, tapi juga tidak dekat. Kurang lebih 100 meter jarak vila Rio dengan rumah Pak Amron.

“Lo buruan ke sana Yo, tangan gue udah mulai kesemutan, bentar lagi keram nih tangan,” ucap Agas konyol seperti biasanya.

Aku memutuskan untuk menemani Rio mendatangi rumah Pak Amron. Kami berjalan keluar dari area vila Rio. Kami berjalan berdua ditemani sebuah lampu senter. Jalan yang kami lewati memang jalan beraspal dan bukan jalan setapak dalam hutan, tapi kami tak bisa melihat dengan baik tanpa bantuan lampu senter. Semua lampu jalan yang berdiri di sepanjang jalan pun mati. Firasatku berkata biarpun kami mendatangi Pak Amron, tak akan ada yang berubah, sebab listrik padam tak hanya di vila Rio. Artinya, kerusakan bukan pada gardu listrik atau pun sikring listrik vila Rio.

“Sialan,” Rio tiba-tiba mencibir. “Kenapa harus pake mati lampu segala sih,” Rio memaki keadaan. Dalam gelap, kulihat samar-samar senyum miris di wajah Rio.

Aku tak menanggapinya.

“Tadinya gue mau nembak Rena male mini,” tiba-tiba Rio mengucap kalimat yang bembuat dadaku sesak.

Aku semakin tak bisa menanggapi ucapan Rio.

Percakapan yang sangat singkat itu ditutup dengan keheningan. Hingga saat kami berdiri di depan rumah Pak Amron, tak ada satu kata pun terucap dari bibirku.

Rio mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati yang terlihat kokoh. Sesaat kami tak mendapat respon apapun dari pemilik rumah. Rio terus dan terus mengetuk pintu sambil memanggil-manggil nama Pak Amron. Ada suara langkah kecil di balik pintu. Akhirnya ada yang membukakan pintu untuk kami.

“Bi, bapak ada?” tanya Rio pada Bu Imah, istri Pak Amron.

“Wah, bapak tadi keluar bareng warga lain,” jawab Bu Imah. “Katanya sih mau cek gardu listrik pusat,” tambahnya.

Firasatku benar. Padamnya listrik bukan akibat rusaknya atau ada masalah dengan listrik di vila Rio saja. Memang listrik di seluruh komplek vila Rio padam. Tanpa berlama-lama kami berjalan kembali menuju vila Rio.

Di jalan yang tergolong pendek ini pikiranku berkecamuk. Secepat itu kah proses Rio dan Rena? Aku benar-benar tak bisa menerimanya. Biarpun sejak awal aku berperilaku seolah-olah mendukung hubungan mereka, tapi pada kenyataanya memang aku tak bisa menerima.

Sejak awal aku tak mau bersaing dengan Rio untuk seorang Rena, tapi kini aku sedikit terguncang dengan pernyataan bahwa Rio siap menyatakan perasaannya pada Rena. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar bingung.

Aku selalu ingin bersama Rena. Aku saja yang terlalu lemah, tak mau memperjuangkan apa yang layak kuperjuangkan. Tapi pada titik ini aku memang harus memilih. Mengalah untuk sahabat, atau berjuang untuk diri sendiri.

Lamunanku pecah saat langkah terakhirku membawaku ke depan gerbang vila Rio. Rio menggeser pintu gerbang lalu terdiam. Ia berbalik menghadapku yang berdiri di belakangnya.

“Gue ingin tetap nembak Rena Dhan,” Rio kembali membuatku tak karuan. Kenapa Ia harus mengatakan hal seperti itu padaku. Ia seakan mengujiku. Apakah aku benar-benar rela dia bersama Rena atau tidak. Jika ia memang ingin tahu jawabannya. Jelas jawabanku adalah tidak.

Aku tak punya banyak waktu untuk berpikir. Aku harus memilih, mendukungnya atau tidak.

“Gimana pendapat lu Dhan?” Rio kembali mendesakku untuk menjawab.

Aku diam sejenak. Aku mencari jawaban yang tepat. “Kenapa cepet banget Yo?” akhirnya aku mendapatkan jawaban yang kurasa cocok. Aku menjawab dengan pertanyaan.

“Cepet gimana?” Rio balik bertanya.

“Lo ngerasa tiga bulan itu cukup?” aku kembali menjawab dengan pertanyaan, ”Rena bukan orang yang mudah luluh Yo.”

“Gue pikir langkah yang gua ambil selama tiga bulan ini membuahkan hal yang baik Dhan, gue sama Rena semakin dekat. Tiga bulan ini gue selalu buat Rena senyum, dan gue rasa itu cukup.”

Rio tampak begitu percaya diri dengan segala yang telah dia lakukan. Tapi ada hal dia tak dapatkan dari Rena. Rena terlihat seperti gadis yang sangat kuat tapi kenyataannya dia sangatlah rapuh. Rena sangat senang menunjukkan rona bahagia sambil menunggu penderitaan datanng kembali. Dari seorang perempuan, senyum adalah hal pertama yang tak bisa kupercaya.

”Ya, begitulah Rena. Semoga yang lo pikir benar Yo,” aku menanggapinya ringan.

“Kenapa lo ngomong gitu Dhan? Seakan-akan lo paham banget soal Rena,” Rio mengernyitkan dahi, “lo suka sama Rena Dhan?”

Aku merasa ditinju tepat di ulu hati. Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh Rio padaku. Aku menjawab tidak. Kali ini aku tak yakin dapat menjawab dengan jawaban sama.

“Dhan?”

“Gue suka sama Rena,” aku menjawab setelah mengumpulkan semua keberanianku.

Rio terdiam. Aku melihat pandangan kosong di matanya. Tak lama kemudian, senyum getir melengkung di bibirnya dan wajahnya tenggelam dalam gelap.

“Dan lo baru bilang sekarang,” Rio bergumam perlahan tapi masih bisa kudengar.

Kami terdiam sejenak. Rio yang memecah keheningan pertama kali. “Gue bakal tetap nembak Rena,” ujarnya.

“Gue udah terlanjur ngebiarin perhatian gue dicuri olehnya. Gue gak akan lepas dia Dhan. Maaf, untuk sahabat gue bakal kasih apapun. Tapi Rena,” Rio berhenti berbicara sesaat, “gue gak bisa kasih ke lo.”

Aku tersenyum. Tentu senyumku bukan senyum tulus.

Do your best, sejak awal gue gak mau saingan sama lo, sejak awal gue udah menempatkan diri sebagai pengecut, dan sejak awal Rena adalah mimpi gue Yo. Kali ini gue akan kembali ngejar mimpi gue, dan gue gak akan ngelepas mimpi gue sebelum dia benar-benar jadi punya lo,” aku berbicara dengan kepala tegak dan sedikit membusungkan dada, “tapi saat Rena sudah benar-benar milih lo, gue akan berlaku adil, gue bakal mundur,” tambahku dan diikuti senyum yang lebih lebar.

Rio tak menampakkan ekspresi apapun. Ia tetap memandangku kosong. Tak lama setelah itu, ia mengulurkan tangan kanannya. Ia memberi isarat untuk berjabat tangan. Dengan hati-hati aku menjabat tangannya erat. Akhirnya senyum terkembang di bibirnya.

“Gue akan jadi orang pertama yang habisin lo kalau persahabatan kita rusak setelah gue dapetin Rena,” ujar Rio.

“Sekalian lo juga akan jadi orang pertama yang babak belur kalau persahabatan kita rusak setelah gue yang dapetin Rena,” aku menanggapinya diikuti raut wajah lega. Aku lupa, Rio sahabatku. Rio tak suka memiliki teman seorang pengecut.

Aku tahu, aku sudah tertinggal jauh oleh Rio. Melihat posisiku saat ini dimana Rena masih tak ingin bicara banyak denganku sedangkan Rio, hubungannya dengan Rena tiga bulan belakangan sungguh berwarna. Aku tak peduli. Saat ada hal yang layak ku perjuangkan, akan aku perjuangkan. Rena, ia jauh lebih dari layak untuk aku perjuangkan.

***

Gelap. Malam ini memang benar-benar gelap. Kami bertiga duduk di teras vila menunggu Rio dan Dhani kembali membawa Pak Amron untuk membenarkan listrik.

“Mereka dimana? Kenapa lama banget?” Hanna bertaya sambil gemetar. Ia masih menutup matanya. Aku heran dengan orang yang takut gelap seperti Hanna bisa berlaku seperti ini. Bukankan saat memejamkan mata jauh lebih gelap dari pada keadaan teras vila saat ini.

“Sebentar lagi juga dateng, rumah Pak Amron gak jauh kok,” jawab Agas lembut.

“Maaf ya Gas, gue pinjem tangan lo sebentar,” ucap Hanna memelas tetap dengan mata tertutup.

“Iya, tapi kalau bisa agak lo longgarin sedikit dong, kalau tangan gue diamputasi lo juga kan yang bakal repot Han,” ucap Agas.

“Masih aja lo bisa bercanda,” ucap Hanna sambil tersenyum. Aku melihat ada senyuman kecil juga di wajah Agas. Dia orang yang baik. Dia sangat tahu kondisi orang-orang di sekitarnya, dan dia selalu tahu apa yang harus ia lakukan.

Kepala Rio menyembul di balik pintu gerbang yang terlihat dari teras tempat kami bertiga duduk-duduk. Aku hanya melihat dua kepala yang menghampiri kami dan diantara keduanya tak ada wajah yang asing. Rio dan Dhani. Kemana Pak Amron yang disebut-sebut sejak tadi.

“Satu komplek mati lampu semua,” ujar Rio, “maaf ya, kayanya kita harus gelap-gelapan malam ini.”

Yang pertama histeris tentu saja Hanna. Ia benar-benar panik. Ia sudah seperti orang yang baru saja dicabut indera penglihatannya. Hanna semakin kencang mencengkram tangan Agas.

“Gini aja, yang cewek tunggu dalem mobil, nyalain aja lampu mobil, jadi terang. Yang cowok buat api unggun, male mini kita tidur di tenda aja, setau gue lo punya dua tenda di dalem vila kan Yo?” Ucap Agas sambil melihat ke arah Rio.

Solusi yang ditawarkan Agas cukup baik. Rio menyalakan lampu mobil dan Hanna dibawa masuk ke dalam mobil.

“Akhirnya gue bisa gerakin tangan gue,” ucap Agas setelah Hanna melepaskan tangannya dan membuka mata saat duduk di kursi belakang mobil.

Ketiga anak laki-laki itu meninggalkan kami bertiga dalam mobil. Aku melihat Rio mengangkut kayu dari halaman belakang vila yang cukup luas, dan gelap. Dhani dan Agas membangun tenda yang dibawanya dari dalam rumah. Dan kami berdua hanya memperhatikan mereka dari dalam mobil.

Agas menghampiri kami dan saat sudah ada di depan pintu mobil yang terbuka ia berkata, “Han, lo gak usah takut nanti tidur di tenda, tadi gue nemu lampu darurat yang bisa dipake pas lo tidur.” Agas melanjutkannya dengan senyum lembut. Setelah itu ia pergi meninggalkan kami lagi. Aku tidak paham dengan anak itu, sikapnya sering berubah-ubah, kadang dewasa, kadang juga jahilnya seperti anak kecil.

“Ren,” Hanna tiba-tiba menepuk pundakku. Ia benar-benar tampak berbeda dari sebelumnya saat ia mencengkram tangan Agas kuat-kuat. Kini ia tampak sangat tenang. Aku mengangkat alis memberi isyarat bertanya ada apa.

“Kamu sama Rio gimana?” Hanna tiba-tiba bertanya pertanyaan yang aku tak pernah duga akan keluar dari mulutnya. Kontan sikapku berubah.

“A… apa maksud kamu Han?” aku bertanya balik gelagapan. Aku tahu akhir-akhir ini aku memang dekat dengan Rio, dan aku pun merasa dia menyukaiku, tapi aku masih merasa ia tak lebih dari sekedar teman.

“Idih sok-sokan gak ngerti ya,” Hanna mulai cengengesan. Terlihat sekali dari senyumnya, ia mengolok-olokku. “Aku tahu kok Ren, kamu sama Rio dah deket banget kan?” tambahnya.

“Ya terus kenapa?” aku memalingkan muka menghindari pandangan Hanna.

“Gak asik ah, kamu gam au cerita-cerita sama temen kamu sendiri,” Hanna memonyongkan mulutnya.

“Aku harus cerita apa Han? Orang gak ada apa-apa juga.”

“Rio udah nembak kamu belum?” Deg! Pertanyaan Hanna yang ini sudah kelewat batas. Aku merasa seperti ditusuk oleh belati tumpul.

“Apaan sih Han?” aku tak menjawab pertanyaannya.

“Ih emosian ya kamu Ren, aku cuma nanya. Aku heran aja kalian udah sedeket itu tapi kok belum jadian juga. Aku kan khawatir, takutnya kamu di-PHP-in Ren,” Ujar Hanna sambil menegakkan posisi duduk dan melipat tangan di dada.

“Aku sama Rio cuma temenan Han, gak akan lebih,” aku menanggapi ucapan Hanna.

“Yah, berarti kamu yang PHP Ren,” ucap Hanna diikuti tawa geli.

“Mana ada? Aku gak pernah ngasih harapan apa-apa kok ke Rio,” aku kembali terpancing untuk menanggapi ucapan Hanna.

“Ya dengan kamu gak pernah ngasih harapan, bukan berarti Rio gak ngarepin kamu Ren. Cepat atau lambat kamu harus siap Ren, dia pasti nembak kamu.”

“Sok bijak banget kamu Han,” aku menanggapi kembali kata-kata Hanna. Kami tertawa lepas.

Jika dipikir-pikir, kata-kata Hanna mungkin ada benarnya. Bagus, sekarang aku benar-benar takut membayangkannya.

***

Pukul 23.47, tenda dan api unggun yang disiapkan oleh Agas, Rio, dan Dhani sudah siap. Rio menghampiriku dengan wajah berbinar.

“Ayo Ren, Han, api unggun sama tendanya udah jadi,” ujarnya dengan semangat.

Sudah hampir tengah malam tapi kami lebih memilih melingkari api unggun dibandingkan tidur dalam tenda. Mungkin kami sudah terlalu puas tidur di perjalanan tadi, walaupun aku dan Dhani sebenarnya tak sempat tidur saat dalam perjalanan.

Ada yang bilang, semakin malam suasana kebersamaan akan semakin terasa. Aku akui itu. Tak banyak hal yang kami lakukan malam ini. Kami hanya bertukar cerita dan bernyanyi bersama. Diiringi oleh permainan gitar Rio yang terbilang merdu.

Suasana malam ini benar-benar diaduk-aduk. Permainan gitar Rio mampu membuat semua mulut menganga karena terkagum-kagum. Agas yang jenaka mampu membuat rahangku sakit karena terlalu banyak tertawa. Selain itu Agas juga sangat pintar mengarang cerita seram yang membuat kami merinding. Secara keseluruhan, malam ini benar-benar merupakan satu momen yang mungkin akan teringat-ingat terus.

“Gue dah cape ketawa Gas, jangan ngomong lagi lo,” ujar Rio setelah tertawa lepas mendengar lelucon Agas yang begitu lucu. Aku tak habis pikir, Agas seperti tak pernah kehabisan ide untuk melucu.

“Ya udah gue gak akan ngomong lagi deh, tapi kayanya ada satu orang yang dari tadi cuma jadi penonton setia di sini,” Agas berbicara sambil melirik ke arah Dhani.

“Oh iya, lo kenapa diem aja Dhan?” Hanna bertanya pada Dhani yang sejak tadi memang hanya diam dan hanya ikut tertawa jika semuanya tertawa.

“Lo cerita-cerita dong tentang lo, setelah itu kita tidur,” Hanna tersenyum lebar. Menunjukkan gigi putihnya yang tertata rapi.

“Gue gak ada cerita, Han,” Dhani menanggapinya ringan. Tentu dengan menorehkan senyum juga.

“Ah gak seru lo Dhan,” ucap Hanna kesal.

“Ya udah, pokoknya malam ini harus ditutup sama lo Dhan, terserah lo mau ngomong apa,” Agas kembali mendesak Dhani untuk bercerita sesuatu.

Dhani terlihat hanya diam. Sesaar dia menundukkan kepalanya. Dia tampak sedang berpikir.

Setelah beberapa saat diam, Dhani berdiri dan mengambil gitar yang ada di tangan Rio. Kemudian ia kembali duduk dan terdiam. Semua mata kini tertuju padanya. Terlihat wajah Hanna yang menunggu-nunggu jari Dhani memetik gitar itu.

Petikan pertama pun lahir. Hingga nada demi nada melantun. Aku tak pernah mendengar barisan nada ini. Asing, tapi merdu di telingaku. Aku terbuay oleh suara gitar yang dipetik olehnya. Hingga saat dani melafalkan beberapa kata, bulu kudukku berdiri. Aku begitu lemas mendengar lirik yang dinyanyikan oleh Dhani.

Buddy I wanna tell you

A story about her, a strong and tough girl

Buddy I wanna tell you

Her pain that lies behind her laugh

She is dancing in sorrow but you don’t ever know

She is lying so hard but you don’t even care

She has many fake faces but you don’t have any idea

At least I know her, because she’s crying loud on my back.

“Ini tugas musikalisasi puisi yang dulu gak gue bawa,” Dhani berkata dengan suara lemah sesaat setelah iya memberikan petikan terakhir di gitarnya.

Dadaku sesak. Aku mungkin terlalu berlebihan menangkap isi lagu yang dimainkan Dhani. Bahkan aku tak tahu perasaan apa ini. Yang aku tahu, kekesalanku pada Dhani mulai tenggelam oleh perasaanku saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com