Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepuluh - Kado istimewa

Aku dan Hanna kini ada di dalam tenda yang sama. Ditemani lampu darurat yang menyala begitu terang. Bahkan aku tak bisa tidur karenanya. Sedangkan Hanna, ia sudah terlelap seperti bayi.

Telepon genggamku bergetar. Kulihat satu pesan masuk.

Ren, udah tidur?

Pesan singkat itu berasal dari Rio.

Belum Yo, ada apa?

Aku menjawabnya.

Jalan-jalan sebentar yuk, mau gak? Aku di luar tenda

Aku tak menjawab pesan singkat yang terakhir itu. Aku bangkit dan menarik resleting jaketku rapat-rapat. Sebenarnya aku ingin tidur, karena aku belum tidur sejak berangkat sore tadi, tapi aku tak bisa memejamkan mataku. Jadi kuputuskan untuk ikuti saja ajakan Rio.

Aku keluar dan menutup kembali tendaku. Aku tak mau sahabatku Hanna disentuh oleh angin malam.

“Hanna udah tidur Ren?” tanya Rio.

“Udah,” aku menjawab singkat.

“Kenapa kamu belum tidur?”

“Tadi udah mau tidur tapi kamu ngajak jalan-jalan, ya udah aku bangun,” aku menjawabnya diikuti senyum kecil, “bercanda Yo. Aku gak bisa tidur,” tambahku.

Rio mengajakku berjalan ke halaman belakang vila. Halaman belakang vila Rio cukup luas. Mungkin ukurannya setengah lapangan sepak bola. Di sini terdapat banyak pepohonan dan kolam ikan dengan banyak sekali ikan berwarna-warni berenang di dalamnya. Di sisi kolam juga terdapat ayunan yang terbuat dari besi dan dicat berwarna merah. Kami berdua duduk di ayunan tersebut.

Niat awal berjalan-jalan, kini kami hanya duduk-duduk di atas ayunan di sisi kolam. Rio membawa selembar roti tawar. Ia merobeknya kecil-kecil dan melemparkannya kedalam kolam. Sontak ikan-ikan itu naik ke permukaan memperebutkan potongan kecil roti yang dilemparkan Rio. Ia merobek setengah dari rotinya dan memberikannya padaku. Aku pun ikut memberi makan ikan-ikan itu.

“Vila kamu keren Yo,” aku memulai pembicaraan dengan basa-basi, sekedar memecah diam kami. Aku tak tahan dengan suasana yang begitu sunyi padahal ada orang lain selain aku di sini.

Rio tersenyum dan berkata, “Ini bukan vilaku Ren, ini vila keluarga besarku.”

“Ya, sama aja,” aku menanggapinya sambil tersenyum pula.

“Kalau kamu gak ke sini, vila ini gak ada yang nempatin Yo?”

“Ada kok, biasanya Pak Amron yang nempatin, dia yang selalu ngejaga vila ini Ren, tapi kalau ada keluarga aku yang dateng, biasanya beliau gak mau diam di sini, mungkin canggung,” ucap Rio.

Kami kembali terdiam. Kami terfokuskan pada ikan-ikan yang berkumpul di permukaan air menunggu lemparan roti selanjutnya.

“Kamu takut ikan gak Ren?” Rio bertanya padaku.

“Enggak lah, kenapa emangnya?” aku menjawabnya dengan wajah heran. Jelas ikan baik seperti ini aku tidak akan takut. Kecuali ikan piranha atau hiu putih yang dipelihara di kolam ini, mungkin aku baru takut.

Rio berdiri dan menarikku ke tepi kolam.

“Buka tangan kamu Ren,” Rio memintaku untuk membuka tanganku.

Aku membuka telapak tangan kananku dan Rio menaruh semua potongan rotinya diatasnya. Lalu Rio membuatku menggenggam roti itu.

“Pegang ya,” Rio berbicara sambil memasukkan tanganku ke kolam. Jelas aku terkejut. Air itu begitu dingin. Aku masih tak mengerti maksud Rio. Hingga ia menggerak-gerakkan tanganku dalam air.

Ikan-ikan itu menghampiri dan mengerubuni tanganku. Mulut-mulut ikan itu menyentuh tanganku. Rasanya geli. Aku tertawa dan Rio terlihat tersenyum senang melihatku tertawa.

Rio menarik kembali tanganku dari dalam air setelah semua roti yang kugenggam tadi habis dihisap oleh moncong-moncong ikan.

“Gimana?” Rio bertanya sambil tersenyum geli.

“Tangan aku geli Yo,” aku menjawabnya sambil tak berhenti tertawa ringan. “Bilang-bilang dong kalau mau masukin tangan aku ke air, dingin banget Yo,” aku kembali berbicara masih sambil tertawa.

“Dingin ya? Maaf-maaf, soalnya aku udah biasa sama air di sini, jadi buat aku ini gak dingin,” Rio menanggapi perkataanku juga dengan dibumbui tawa geli.

Aku menarik tangan yang sejak tadi digenggam oleh Rio. Lalu aku kembali memasukannya ke dalam kolam dan mengusapkannya ke wajah Rio. Ia tampak terkejut.

“Udah biasa ya? Kok kaget?” aku tertawa lepas. Begitupun dengan Rio.

Rio berdiri dan berjalan ke arah ayunan. Lalu ia duduk kembali di ayunan tersebut. Aku masih duduk di tepi kolam.

“Kamu seneng di sini Ren?” Rio kembali bertanya hal yang aku tak tahu kemana arahnya.

Aku hanya mengangguk dengan semangat. Dan terlihat ada senyum yang melengkung di bibirnya.

“Syukur deh, awalnya aku udah takut banget kalau gangguan listrik ini ngerusak acara kita semua,” Rio tampak begitu lega dengan anggukanku.

“Aku suka sama kamu Ren.”

Tiba-tiba Rio menyatakan sesuatu yang membuatku sulit menelan ludah. Aku terkejut dengan kata-kata itu. Aku tak tahu harus berbicara apa. Bukan, aku bahkan tak bisa bicara apapun. Mataku terkunci pada riak-riak air di kolam. Aku tak berani melihat wajah Rio.

“Aku suka sama kamu. Aku ingin tahu sebaliknya. Apa kamu juga suka sama aku?”

Aku semakin tak bisa berbicara. Aku semakin sesak napas. Mengapa semuanya terlalu tiba-tiba seperti ini.

Dari ujung mataku, aku melihat Rio berjalan mendekatiku dan aku mendengar langkahnya berhenti tepat di belakangku. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan.

Kali ini kedua tangan Rio mendarat di bahuku. Kontan aku berdiri karena terkejut. Akan tetapi aku masih tak bisa berbalik menghadap Rio. Tubuhku masih membeku. Aku benar-benar takut dengan keadaan ini.

“Ren, gimana?” Rio kembali bertanya padaku.

Aku memberanikan diri berbalik menghadap Rio. Kukumpulkan setiap keping nyali yang masih tersisa sehingga aku bisa bersuara.

“A…Aku…” aku tak mampu berkata-kata.

“Kamu? Gimana Ren?” Rio kembali mendesakku untuk menjawab.

Aku hanya mampu menundukkan kepalaku. Aku ingin menangis. Aku tak sanggup menjawabnya. Aku memang begitu dekat dengan Rio, dia juga begitu baik padaku, tapi teman ya teman. Rio tak lebih dari itu. Bagaimana aku harus mengatakannya tanpa melukai perasaannya.

Aku melihat raut penuh pengharapan di wajah Rio. Mataku kini terpaku pada sepatu cats yang dipakai Rio. Aku tak berani menegakkan kepala. Air mata sudah terbendung di kelopak mataku.

Aku mencoba menarik napas dalam dan melepaskannya hanya untuk menenangkan diri. Cara ini memang tak begitu berpengaruh, tapi aku sadar, mau tak mau aku harus menghadapi ini semua. Aku siap menjawab.

“Yo, aku…”

Sejenak suasana sepi saat suaraku tersendat di tenggorokan. Tiba-tiba kudengar suara yang tak asing. Suara Dhani.

“Happy birthday to you…”

Aku lihat Hanna, Agas, dan Dhani datang membawa sebuah kue dengan lilin yang menyala diatasnya dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Aku terpaku. Seluruh darah mengalir ke kepala. Aku tak bisa berpikir. Ada apa ini sebenarnya.

Setelah lagu selamat ulang tahun habis dinyanyikan, Hanna berdiri tepat didepanku menyodorkan lilin-lilin kecil yang menyala manis. Aku masih tak berkata-kata.

“Muka kamu pucet banget Ren, udah kaya beruang kutub,” Hanna mengejekku dan tertawa lepas. Sialan. Ini semua ternyata kerjaan temanku ini. Aku sudah hampir pingsan menghadapi Rio yang bertingkah tiba-tiba seperti itu.

“Awas ya Han, nanti aku balas,” ujarku sambil mengulum bibir.

“Yah kamu dikasih kejutan malah ngambek,” Hanna menanggapiku dengan cengengesan.

Aku hanya tersenyum lalu memejamkan mata. Aku hanya pura-pura membuat harapan, sebab aku memang tak percaya dengan mitos-mitos yang disebut make-a-wish sebelum meniup lilin. Sesaat setelah itu aku membuka mata dan meniup semua lilin hingga padam. “Makasih ya semuanya,” aku melemparkan senyum terbaikku.

***

Aku terbangun dari tidurku. Aku melihat Hanna yang masih tertidur di sampingku dan aku menyentuh dinding tenda yang hangat tersiram sinar matahari.

Aku keluar dari tendaku dan kulihat tenda sebelah masih tertutup rapat. Asumsiku, mereka masih tidur. Aku berjalan menuju teras vila Rio yang tampak berantakan dengan krim kue yang tercecer di mana-mana. Aku duduk di salah satu kursi di teras itu.

Aku mengingat-ingat kejadian semalam. Bukan saat aku diberi kejutan ulang tahun, tapi aku teringat saat Rio menyatakan perasaannya. Entah kenapa aku merinding jika mengingat-ingat hal tersebut.

Lamunanku pecah saat Dhani muncul dari balik pintu vila Rio. Rambutnya tampak berantakan, benar-benar seperti baru bangun tidur. Matanya menyipit karena sinar matahari. Aku tak tahan ingin tertawa melihatnya. Aku mengulum bibir agar tak tertawa.

Dhani berjalan perlahan dan duduk di kursi yang letaknya tak lebih dari dua jengkal di samping kursiku.

“Kalau mau ketawa gak usah ditahan,” ia berbicara masih sambil menyipitkan matanya. Kontan tawaku meledak.

Aku mencoba menghentikan tawaku. Namun perutku masih terasa geli. Hingga akupun melihat senyum melengkung di wajah Dhani.

“Berantakan banget kamu Dhan,” aku berkata sambil terus berusaha menghentikan tawa.

“Namanya juga baru bangun tidur, kamu juga kalau bangun tidur jangan lupa hapus dulu bekas air liur di pipi kamu tuh.”

Kali ini aku benar-benar berhenti tertawa. Sontak aku langsung mengusap pipi kanan dan pipi kiriku dengan panik. Benar-benar memalukan. Kali ini aku melihat Dhani yang terkekeh puas.

“Aku bercanda Ren,” ujarnya sambil cengengesan.

Kurang ajar. Dhani mengerjaiku. Aku yakin wajahku sudah berubah merah karena malu.

“Selamat ulang tahun ya Ren,” tiba-tiba Dhani berucap seperti itu. “Aku belum sempet ngucapin semalem, maaf juga ya, aku gak ngasih apa-apa,” tambahnya.

“Bukannya kamu yang duluan nyanyi happy birthday Dhan?” aku menanggapinya sambil tersenyum.

“Masa sih? Aku gak inget,” Dhani kembali menanggapi dan kali ini diikuti tawa kecil.

“Baru semalem udah lupa,” akupun membalas tawanya. “Tapi makasih ya,” tambahku.

Dhani tersenyum. Aku senang dengan keadaan seperti ini. Kami berbincang-bincang seolah tak pernah terjadi masalah diantara kami. Aku benar-benar senang, kejadian tak menyenangkan sebelumnya bisa selesai tanpa kami yang selesaikan.

***

Pukul 10.13 kami bersiap untuk kembali ke bandung. Liburan kami memang pendek. Itu sebabnya kami tak bisa berdiam di tempat ini lebih lama lagi. Besok, kehidupan kami yang monoton sudah menanti.

“Semua barang udah masuk?” tanya Agas.

“Sudah komandan,” jawab Hanna penuh semangat. Hanna membawa barang-barang paling banyak diantara kami berlima. Ia membawa banyak sekali barang-barang yang sebenarnya tak perlu dibawa. Mulai dari catokan rambut hingga bantal kesayangannya.

“Ya udah, ayo masuk semuanya,” Agas membukakan pintu belakang mobil milik Rio. Hannalah yang pertama kali melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil. Diikuti oleh Agas dan Dhani.

Kini hanya aku dan Rio yang berdiri di luar mobil.

“Ren,” Rio memanggil namaku sebelum sempat kubuka pintu depan mobil miliknya.

Aku menoleh ke arahnya. Ia tampak mematung di tempatnya berdiri. Aku memandangnya heran. Ia hanya memanggil namaku dan kini hanya diam.

“Aku suka sama kamu.”

Bola mataku seperti ingin melompat keluar. Suara yang samar-samar terdengar di telingaku itu cukup membuatku lemas.

Aku tak bisa berkata-kata. Sama seperti kejadian semalam, hanya saja aku tak yakin kali ini lagi-lagi adalah scenario Hanna.

“Jangan bercanda, Yo,” aku menanggapinya dengan senyum getir.

“Aku serius, kok lo bisa nganggep aku bercanda sih?”

Aku tak menanggapinya dan langsung masuk ke dalam mobil. Pernyataan Rio ini bukan hal yang ingin aku dengar saat ini.

“Si Rio ngapain sih di luar,” Agas membuka jendela belakang mobil Rio. “Yo, ngapain lo, ayo cabut,” ujarnya pada Rio yang masih mematung di luar mobil.

Rio membuka pintu dan duduk di kursi kemudinya. Ia tak menghadapkan wajahnya padaku sama sekali. Begitupun denganku. Ia hanya menginjak  pedal gas perlahan.

Atmosfer diantara aku dan Rio benar-benar kaku, dingin, meskipun tawa Agas dan Hanna meledak-ledak di kursi belakang. Mereka tak tahu apa yang baru saja terjadi diantara aku dan Rio. Aku tak peduli.

***

Tawa Agas dan Hanna tak henti-hentinya meledak. Aku sedikit pusing mendengarnya. Aku tidak paham dengan mereka. Hal yang menurutku tidak lucu sama sekali masih saja mereka tertawakan. Mereka seperti memiliki dunianya sendiri dan aku tak bisa menembus batas dunia mereka itu. Bahkan aku rasa, Rena dan Rio pun tak dapat menembusnya.

Tiba-tiba mobil yang sedari tadi melaju dengan laju yang cenderung konstan kini terhenti di sisi jalan. Kontan tawa Hanna dan Agas pun meredup.

“Lo ngantuk Yo jam segini?” tanya Agas.

Semua suara dalam mobil menghilang. Termasuk suara mesin mobil yang sejak tadi bergemuruh lembut. Hanya tersisa suara musik dari radio yang masih menyala.

“Ren, aku serius, tolong kamu tanggepin.”

Rio tiba-tiba menjadi aneh. Setelah iya tiba-tiba menghentikan mobilnya, kini ia berkata hal yang tak jelas. Aku tak mengerti maksud ucapannya pada Rena. Yang aku tahu, saat itu wajah Rena memucat.

Semua orang di dalam mobil terdiam. Agas memandang mereka berdua dengan heran. Begitu juga dengan Hanna. Sedangkan aku? Aku hanya menerka-nerka sebenarnya apa yang terjadi diantara mereka.

Tak terdengan sedikitpun suara dari mulut Rena. Ia hanya memegang sabuk pengaman yang sejak tadi melintang di tubuhnya. Tangan kanannya perlahan menarik dan melepaskan sabuk tersebut. Tangan kirinya membuka pintu mobil di sampingnya. Ia melangkahkan kakinya keluar mobil dengan perlahan.

“Ren,” Hanna berteriak, “kamu mau ke mana?”

Hanna tampak begitu panik.

“Yo, lo apa-apaan? Sebenernya kalian kenapa?” Agas bertanya setengah berteriak pada Rio.

Aku tak menghiraukan percakapan dalam mobil. Aku tak ada hasrat untuk terlibat dalam percakapan itu. Tubuhku spontan beranjak dari tempat dudukku dan mengikuti langkah Rena yang semakin menjauhi mobil.

Jarak kakiku dan kaki Rena yang terus melangkah tak lebih dari tiga meter. Aku mengikutinya berjalan menjauhi mobil. Aku tak memanggil ataupun menghentikannya. Aku hanya terus mengikuti langkah kecilnya sambil memandanya terisak.

Tak lama setelah itu, langkahnya melambat. Aku memperlebar langkahku dan bergerak menyamai langkahku dengan langkahnya. Kini aku berjalan di sampingnya.

Aku masih melihatnya menundukan wajah dan tetap terisak. Saat itulah aku menggenggam tangannya. Rena menghentikan langkahnya dan tangisnya meledak.

Ini kali ke tiga aku melihatnya menangis. Bedanya, kali ini ia tak menangis di balik punggungku. Kali ini ia menangis di sampingku.

***

Rena menangis tak kurang dari tujuh menit. Saat tangisnya reda, aku melepaskan genggamanku.

Ada sebuah kursi panjang di depan kami. Kami sudah berjalan cukup jauh dari mobil Rio tadi. Aku menarik Rena untuk duduk di kursi itu. Sisa-sisa air mata yang mengering masih tampak di wajah Rena. Pandangannya kini kosong.

“Dia kenapa kaya gitu?” Rena berkata sambil menatap tanah. “Kenapa dia gak bisa ngerti?” tambahnya.

Aku tak menanggapi setiap kata yang keluar dari mulut Rena. Aku hanya mendengarnya bicara. Ia menceritakan semua yang terjadi. Ia menceritakan semua yang dikatakan Rio padanya. Aku tidak begitu terkejut mendengarnya. Aku sudah tahu Rio akan melakukannya.

 “Maaf ya Dhan, aku cengeng banget ya?” ucap Rena sambil mengusap bekas air matanya.

“Ya, kamu emang cengeng Ren,” aku menanggapinya sambil melempar senyum kearahnya.

Ia tersenyum kecil sambil mencubit lengan kananku. Hari ini seharusnya menjadi hari istimewa untuk Rena yang berulang tahun. Tidak seharusnya diwarnai tangis. Aku bersyukur dapat membuatnya tersenyum setelah ia menangis. Semoga ini bisa menjadi kado yang cukup istimewa untuk dia kenang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com