Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga - Kenyataan

Riuh siswa di kelas menandakan waktu belajar telah habis. Tak ada lagi guru yang duduk-duduk di depan kelas. Aku melihat semua orang sibuk berinteraksi dengan sekitarnya. Bukan pekerjaan rumah yang mereka bicarakan. Aku mendapati seseorang menepuk kepalaku. Tepat di ubun-ubun. Aku meringis. Lagi-lagi Agas.

“Dhan, ayo kita pergi sekarang,” Ajak Agas yang sedang merangkul Rio dengan tangan kanannya. Hanya masalah waktu, Agas pasti akan merangkulku juga dengan tangannya yang lain.

“Kemana?” aku balik bertanya tak tertarik dengan ajakan Agas.

“Yaelah Dhan, masa lo lupa? Hari ini pentas seni di SMAN 2, lo gak mau pergi?” Rio menimpaliku.

“Lo kaya yang gak tahu Dhani, Yo,” kata Agas geli. “Dia pelupa akut,” tambahnya.

Rio dan Agas tertawa lepas. Aku tidak tertarik untuk turut tertawa bersama mereka. Aku beranjak dari bangku tempatku duduk sedari pagi. Aku melengos pergi sebelum mereka berhenti tertawa dan hanya berkata, “Gue duluan ya,” tanpa senyum, tanpa basa-basi degan mereka. Aku tahu, Agas dan Rio pasti heran melihat sikapku. Aku yang hari ini memang tidak biasa. Ada yang berbeda denganku.

Aku kembali menelusuri koridor sekolah. Saat ini aku kembali memutar-mutar pikiranku. Sejak kapan Rena mengenal Rio? Aku terus dihantui rasa penasaran. Sejak kapan ia dekat dengan Rio? Hingga berujung pada pertanyaan, apa yang terjadi diantara mereka? Aku akui, aku memang menyukai Rena.

Ponselku berdering dan bergetar kencang. Cukup untuk memecah khayalanku. Cukup untuk membangunkanku dari bayang-bayang tak jelas. Kulihat jajaran huruf menunjukkan siapa si pemilik panggilan ini. Rena.

Dengan perasaan canggung aku menjawab panggilannya dan kukesampingkan kegelisahan yang sejak pagi menghantuiku. “Ha.. halo, Rena.”

“Dhani, maaf aku ganggu kamu. Kamu dimana?”

Aku terkejut. Rena menanyakan keberadaanku. Aku tersenyum, berprasangka baik pada keadaan. Yang meliuk-liuk di relungku hanya perasaan berbunga yang sunggu luar biasa. Tidak setiap hari Rena akan menanyakan keberadaanku.

Dhan, kamu masih di situ?” Rena bertanya setelah beberapa detik aku terdiam menghayati kebahagiaan ini.

“Oh, ya, aku di koridor Ren, ada apa?”

Kamu sibuk hari ini?” Rena kembali menanyakan hal yang membuatku girang. Tapi kali ini berbeda, aku mendapati sedikit atmosfir yang berbeda pada pertanyaan kali ini.

“Gak kok Ren, kenapa?”

Rena terdiam selama beberapa detik. Sepertinya dia sedang memikirkan jawaban yang tepat. Semakin lama Rena terdiam, semakin keras juga perasaanku bergejolak. “Ada apa dengannya?” aku bertanya dalam hati.

Mau antar aku hari ini?” tanya Rena. Ada sedikit suara isakan. Aku terkejut mendegarnya. Rena benar-benar terisak.

Aku memberanikan diri untuk bertanya, ”Ada apa Ren?”

Rena tak bersuara. Aku tak mengerti apa yang membuatnya seperti ini. Aku menunggu jawaban pertanyaanku tadi tapi aku rasa ia tak akan bisa menjawabnya dengan cepat. Aku tak menunggu lagi jawabannya dan sekejap berkata, “Tunggu aku di gerbang sekolah, aku ambil motorku dulu.” Aku memutuskan sambungan teleponku dan bergegas menuju tempat sepeda motorku terparkir.

***

Aku melajukan sepeda motorku ke arah gerbang sekolahku yang setengah terbuka. Ada Rena yang berdiri di depannya. Wajahnya sembab. Matanya berkaca-kaca. Aku tahu dia baru saja menangis.

Aku menghentikan sepeda motorku tepat di depan Rena. Tanpa bertanya apapun aku menunggu Rena yang berjalan perlahan mendekatiku. Tanpa berbicara sedikitpun Rena duduk di belakangku. Perlahan kupacu mesin sepeda motorku. Aku berjalan berhati-hati. Pikiranku tak fokus pada jalan. Entah kenapa hari ini pikiranku hobi sekali berkecamuk.

Setelah cukup lama aku berjalan tanpa arah, aku berani memecah kebisuan. “Kita mau kemana Ren?” aku bertanya hati-hati.

Rena tak menjawab pertanyaanku. Aku merasakan hawa dimana Rena sedang menahan tangis. Apa yang harus kulakukan. Aku tak mungkin terus melaju tanpa arah seperti ini. Aku menghentikan sepeda motorku tepat di sisi jalan Belitung, tak jauh dari sekolahku. Aku tahu emosi Rena sedang tidak stabil. Ia masih saja terisak. Aku tidak berani melihat wajahnya. Aku tak nyaman dengan keadaan seperti ini.

“Kalau kamu mau nangis, lepaskan Ren,” aku berkata lembut. Tangis Rena meluap. Entah kenapa aku tidak terkejut mendengar Rena menangis lepas. Wajarnya seorang lelaki menyediakan bahu untuk tempat perempuan menangis. Tapi yang terjadi saat ini Rena menangis dibalik punggungku. Aku merasa tak bisa melakukan apapun. Yang aku bisa lakukan hanya menemaninya hingga mendung dan hujan di relungnya reda.

Siang ini adalah siang yang cukup berat bagiku. Melihat Rena seperti itu membuatku kacau. Hingga akhir tangisannya aku masih tak bisa menebak apa yang terjadi padanya. Yang aku tahu Rena saat itu tak butuh apapun, ia hanya butuh teman.

Setelah tangisannya berakhir, Rena memintaku mengantarnya pulang. Tanpa pikir panjang aku langsung mengantarnya. Sepanjang jalan tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku atau mulutnya. Kami hanyut dalam keheningan.

Di akhir kebersamaanku dengan Rena dibawah terik matahari, Rena mengembangkan senyum kecil. Aku tahu betapa sedihnya Rena saat itu, Ia tak akan tega melihatku terlibat dalam emosinya. Ia mengucapkan terima kasih dan berlalu menghilang di balik pagar rumahnya yang tinggi. Setidaknya ada hal yang membuatku lega. Senyum Rena tampak begitu tulus.

***

Aku hanya membolos dua pelajaran pertama, tapi mengapa aku merasa hari ini benar-benar berantakan. Aku mengikuti pelajaran ke tiga dan seterusnya dengan baik, aku mendapatkan banyak hal di kelas, tapi aku masih merasa tak cukup. Mungkin aku harus mengunjungi Dion siang ini. Setidaknya aku bisa melupakan banyak masalahku saat bermain dengan anak itu.

Aku selesai melahap habis makan siangku. Aku beranjak dari bazaar dan bergerak menuju gerbang depan dan menanti angkutan umum dengan semangat. Aku akan bermain banyak permainan dengan anak-anak di yayasan kanker tempat Dion tinggal saat ini.

Belum lama aku menunggu angkutan umum, telepon genggamku berdering. Aku tahu siapa yang menghubungiku. Ibu Tari, pemilik yayasan yang kubicarakan.

Aku tak memikirkan apapun saat menjawab panggilan bu Tari. Tak butuh waktu lama sampai aku terkejut mendengar bu Tari berbicara cepat dengan paniknya. “Rena, Ibu membawa Dion ke Rumah Sakit Santosa, dia jatuh saat ada di ruang baca tadi, kamu ke sini ya,” seketika bu Tari memutuskan sambungan teleponnya. Aku mematung dan kakiku bergetar. Aku melangkah mundur beberapa langkah dan terduduk di samping trotoar jalan Belitung. Aku benar-benar tak bisa berpikir apapun. Aku menggenggam erat ponsel di tanganku dan masih belum bisa berpikir.

Setelah beberapa lama aku masih belum bisa menenangkan diri. Aku menarik napas dalam tapi tak berhasil membuatku lebih baik. Dadaku terasa semakin sesak. Aku ingin menangis.

Aku berdiri dan berjalan seperti zombie kembali ke gerbang sekolahku. Aku masih tak bisa berpikir jernih. Aku ingin sekali berlari menuju rumah sakit yang disebutkan bu Tari tadi, tapi aku tak bisa. Aku memandangi ponselku dan memberanikan diri menghubungi satu-satunya orang yang kupikir dapat membantuku. Ayahku.

Aku mencoba menghubungi ayahku tapi tak ada jawaban. Aku semakin kacau. Aku harus bagaimana. Tangiskupun tak dapat tertahankan.

Entah apa yang kupikirkan aku mencari nama Dhani di kontak ponselku. Sebelum aku sempat menghubunginya. Satu panggilan masuk membuat ponselku kembali berdering. Aku menjawab panggilan tersebut. Bu Tari terdengar berbicara sambil terisak. Beliau memberikan kabar yang membuat tulangku semakin melunak. Dion meninggal.

Aku tak menangis kali ini. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Aku seakan kehilangan emosi. Kembali seperti zombie.

Aku memungut ponselku yang tadi terjatuh ke tanah. Aku kembali mencari nama Dhani di kontak ponselku. Jemariku bergetar, tapi aku berhasil menghubunginya. Aku tak bisa berkata banyak. Aku hanya bertanya apa dia bisa mengantarku. Saat ia bertanya padaku apa yang terjadi, aku kehilangan kekuatan untuk menjawab. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku.

Aku benar-benar kosong, tak bisa berpikir. Aku pun tak sadar bahwa aku sedang menitikan air mata saat ini. Bahkan aku tak sadar aku berhenti berbicara dengan Dhani di ponsel tanpa memutuskan sambungan teleponku. Yang aku tahu Dhani muncul dengan sepeda motornya tak lama kemudian.

Aku duduk di sepeda motor Dhani tak begitu lama. Dhani menghentikan sepeda motornya di sisi jalan. Ia berbicara padaku “Kalau kamu mau nangis, lepaskan Ren.”

Dadaku semakin sesak. Aku mendapati Dhani dapat membaca batinku yang sedang menangis meskipun tak ada air mata yang ia lihat. Tangisku meledak. Aku tak mengerti, saat ia berkata seperti itu, aku benar-benar tak dapat menahan emosiku. Aku menangis di punggung Dhani. Seperti yang dikatakan Dhani, aku melepaskan semuanya dalam tangisanku.

***

Setelah tangisanku mereda, aku mulai dapat berpikir lebih jernih. Hari ini memang hari yang berat untukku. Bahkan aku masih merasa ini bukan kenyataan. Lebih tepatnya aku berharap ini bukan kenyataan.

Kami masih terdiam di tepi jalan Belitung. Kurasa Dhani hanyut dalam suasana yang aku bawa. Tak ada satu katapun yang kusodorkan padanya. Yang ia dengar hanya keheningan setelah cukup lama ia mendengar tangisanku yang meluap-luap dan akhirnya mereda.

“Dhani,” akhirnya aku memecah kebisuan.

“Sudah lebih baik?” Dhani bertanya tanpa menoleh kearahku. Ia tampak tak ingin melihatku dalam keadaan seperti ini. Tak apa, aku pun tak ingin terlihat sekacau ini.

“Bisa antar aku pulang?”

Aku tahu, kabar tentang Dion cukup membuatku kacau hari ini. Wajarnya aku langsung menuju tempat Dion terbaring sekarang ini. Akan tetapi aku tahu, aku tak akan kuat jika harus benar-benar melihat tubuhnya kaku. Aku memutuskan untuk pulang

Tanpa menjawab apapun, sepeda motor yang tunggangi melaju perlahan. Aku tahu Dhani pasti heran mengapa aku ingin diantarnya pulang, tapi aku juga tahu ia tak akan tega menanyakannya padaku dalam kondisi seperti ini. Aku hanya ingin menenangkan diriku di kamar. Kamarku mempunyai kekuatan magis yang dapat mengusir awan mendung di benakku.

Lagi-lagi suasana sunyi menguasai. Semilir angin menyentuh pipiku lembut. Bulir air mata yang tersisapun tersapu olehnya. Tujuh belas menit aku dan Dhani tenggelam dalam diam.

Saat sepeda motor Dhani terhenti tepat di depan rumahku, aku melangkah perlahan. Aku membalik tubuhku menghadapnya, melemparkan senyum tulusku dan mengucapkan terimakasih. Ia berhak mendapatkannya. Terasa ataupun tidak, ia sudah sangat berjasa hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com