18 | sin al fine
1 8
s i n a l f i n e
[It] Sampai akhir.
ULANG TAHUN KADEN yang kedua puluh lima tampak seperti beberapa hari Natal dan hari ulang tahunku yang digabung menjadi satu. Dan itu bahkan bukan perbandingan yang cukup setara. Hal pertama yang kuperhatikan ketika aku mulai bekerja pada hari Kamis pagi adalah kenyataan bahwa mejaku, dan area umum di luar ruang kerja Kaden, dibanjiri hadiah yang ditujukan kepadanya.
Ada botol-botol anggur dan sampanye mahal, sertifikat hadiah dan bundel mewah, kartu dengan ucapan berisikan doa dan selamat ulang tahun. Semua itu adalah pemanis untuk kue ulang tahunnya. Ada setidaknya delapan kue ulang tahun yang masih terbungkus dalam kotaknya—dengan selipan tiket perjalanan ke berbagai negara dan kunci untuk dua mobil berbeda yang mungkin diparkirkan untuknya di luar.
Parker yang mengambil cuti untuk mengantarku ke tempat kerja dan secara bersamaan mengucapkan selamat ulang tahun kepada Kaden, terlihat lebih seperti merasa geli daripada terkejut. "Ini hanya dari klien bisnisnya," kata Parker kepadaku, dengan hati-hati menggeser beberapa hadiah ke lantai sehingga dia bisa duduk di ujung mejaku. "Kau harus melihat pestanya yang sebenarnya."
Alisku mengernyit. "Kupikir Kaden tidak akan mengadakan pesta ulang tahun."
"Orang tuanya menyelenggarakannya setiap tahun. Ini lebih seperti pesta bisnis daripada apa pun, cara untuk membuat seluruh masyarakat tahu bahwa putra mereka salah satu bujangan paling berpengaruh di dunia."
"Kau akan hadir?"
"Aku?" Parker memutar bola matanya dan terkekeh. "Aku sama sekali tidak seberpengaruh atau sekaya Kaden. Nolan diundang setiap tahun, tapi dia lebih suka mencolok bola matanya sendiri daripada menghabiskan malam bersama Lawrence dan Adelaide Bretton. Berbicara tentang merayakan ulang tahun, Isla, kau harus bergabung bersama kami untuk minum Sabtu ini," tambahnya, sebelum nyengir. "Awalnya hanya akan untuk kami bertiga, tapi aku yakin Kaden ingin kau di sana."
"Kurasa tidak," seringai kecil muncul di bibirku ketika aku meletakkan tasku di tempat kosong di atas meja dan mulai memindahkan hadiah-hadiah itu ke meja kopi dan sofa-sofa yang berdampingan di seberangnya. Parker cepat-cepat turun dari meja untuk membantu. "Aku tidak pernah bermimpi merusak bromance di antara kalian bertiga. Karena rupanya, Nolan sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga api cinta kalian."
"Tidak ada bromance," Parker mencela, "terutama ketika Nolan terlibat dalam begitu banyak hubungan terbuka sehingga dia bahkan tidak memiliki waktu untuk bertemu Kaden atau aku untuk minum di akhir pekan."
Aku sangat terhibur. Aku sudah tahu sejak dulu kalau Nolan itu tukang gombal, tetapi aku tidak tahu kalau dia dalam hubungan terbuka, apalagi memiliki lebih dari satu hubungan semacam itu. Interkom berbunyi pada saat itu sebelum aku dapat menjawabnya, dan aku harus buru-buru bergerak ke arah benda itu untuk mengangkat panggilan, mengaturnya dalam mode loudspeaker. "Kantor Tuan Bretton, ada yang bisa kubantu?"
"Isla?"
Itu suara Dylan, dan sebuah senyum melengkung di wajahku ketika aku mendengar nadanya yang letih. "Hei, Dylan! Semuanya baik-baik saja?"
"Ya, hanya saja—ada beberapa orang di sini—di lobi yang ingin bertemu dengan Tuan Bretton. Haruskah aku mengirim mereka masuk?"
Ini adalah sesuatu yang tidak terduga. Kaden belum ada di ruang kerjanya dan aku sama sekali tidak tahu di mana dia. Aku melemparkan tatapan panik pada Parker yang segera mengangkat tangannya dalam tanda-x.
Beralih kembali ke interkom, aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan sarafku yang tegang. "Tuan Bretton saat ini sedang sibuk, Dylan, bisakah kau meminta mereka untuk menunggu?"
"Tentu—mereka hanya terlihat agak tidak sabaran sehingga keadaan tidak terlihat begitu baik. Aku akan mencoba untuk menahan mereka, tapi tolong hubungin meja resepsionis saat Mr Bretton luang."
"Baiklah," aku berjanji dan segera menutup telepon. Lalu aku menoleh ke Parker, yang terlihat terhibur. "Apakah situasinya selalu gila di hari ulang tahun Kaden?" Aku tidak bisa menahan pertanyaan itu.
Parker menyeringai. "Itu—salah satu cara untuk mengatakannya. Oke, ini rencananya," dia berdiri dan meluruskan jasnya, sebelum melirik ke arahku. "Aku akan pergi ke bawah untuk melihat apa yang bisa kulakukan tentang kerumunan itu. Dan kau akan menemukan Kaden."
Mulutku terbuka. "Bagaimana aku bisa melakukan itu?"
"Isla, kau asisten pribadinya. Seharusnya tidak sulit."
"Well, itu agak sulit karena aku adalah salah satu dari orang-orang yang selalu dia hindari."
Pernyataanku sama sekali tidak berlebihan. Kaden terus menghindariku dan berusaha berinteraksi denganku sesedikit mungkin. Percakapan kami telah meredup dan berkurang menjadi sekadar komunikasi formal yang semuanya berhubungan dengan pekerjaan.
Parker memberiku tatapan simpatik. "Tidak ada salahnya mencoba. Aku rasa dia pasti ingin berada di sekitarnya hari ini." Aku membuka mulut untuk mendebatnya, tetapi dia menggelengkan kepalanya. "Sudah waktunya untuk mengendalikan kerusakan, Isla. Aku benar-benar harus pergi."
Dengan enggan, aku mengikuti Parker menuju lift. "Apakah kau dan Nolan harus melakukan ini pada setiap hari ulang tahun Kaden tahun lalu?"
"Well, tidak—tahun lalu, Kaden menghabiskan sepanjang hari ulang tahunnya bersembunyi di ruang kerjanya sampai tiba saatnya untuk pergi ke pesta yang orang tuanya selenggarakan untuknya."
Aku menatapnya dengan heran. Rasanya agak konyol bahwa seseorang sekaya dan sekuat Kaden Bretton akan menghabiskan hari ulang tahunnya sendirian. Entah bagaimana, pemikiran itu membuat dadaku sesak. "Kau bercanda."
"Aku harap begitu," Parker kembali, dengan senyum sedih. "Tapi itu hanya salah satu keistimewaan dari seorang Kaden Bretton."
Menggelengkan kepalaku, aku melambaikan pada Parker yang masuk ke dalam lift dan mengawasi pintu-pintu yang perlahan-lahan menutup. Begitu Parker tidak terlihat, aku berbalik dan kembali ke mejaku, meraih ponselku di saku mantelku. Nomor Kaden tersimpan di dalam kontakku semata-mata untuk keperluan darurat, karena aku melihatnya di tempat kerja setiap hari dan dia telah secara eksplisit menjelaskan bahwa tidak ada hubungan apa pun di antara kami selain hubungan boss-karyawan.
Duduk di kursiku, aku buru-buru menghubungi nomor Kaden dan menempelkan ponsel ke telingaku. Butuh sekitar lima dering sebelum dia mengangkatnya, suaranya lembut dan dalam, tapi tentu saja dengan nada penuh kecurigaan seperti biasanya.
"Isla?"
Aku mengerjap. "Apakah aku pernah memberimu nomorku sebelumnya?"
Satu detakan, sebelum dia berbicara lagi, kali ini terdengar agak defensif. " Apakah aku pernah memberimu nomorku sebelumnya?"
Cerdas. Aku tidak bisa menahan senyum kecil mengembang di bibirku ketika aku teringat bagaimana aku meminta nomor Kaden pada Parker. Apakah Kaden melakukan hal yang sama?
"Itu tidak penting," kataku dengan santai, mendorong pemikiran tentang nomor telepon dan tujuan Kaden Bretton sesungguhnya dengan tegas keluar dari pikiranku, sebagai gantinya berfokus pada masalah yang ada di tangan saat ini. "Di mana kau? Dylan berkata bahwa ada puluhan rekan bisnis dan kenalanmu yang menunggu di lobi."
"Dylan?"
"Dia dari keamanan–"
"Oh, maksudmu kekasih rahasiamu?" Nada curiga dalam suara Kaden membuatku memutar bola mataku secara spontan.
"Semacam kekasih rahasiaku sama halnya seperti Diane Crossbow untukmu," kata-kata itu meluncur melewati bibirku sebelum aku dapat berpikir dua kali. Aku menggigit bibirku, bertanya-tanya apakah sarkasmeku terdengar tidak pantas, tetapi suaranya memotong lebih dulu sebelum aku bisa bicara.
"Apakah dia memberitahumu itu?" Dia terdengar jengkel samar-samar.
"Apa?" Merasa agak tidak memahami pertanyaannya, aku mengerutkan kening dan menggelengkan kepala, sebelum menyadari bahwa itu adalah gerakan yang tidak ada gunanya karena dia bahkan tidak bisa melihatku. "Tidak, aku hanya ingin membuatmu kesal–"
"Jadi dia belum–"
"Lupakan saja," aku terkekeh ketika dia mengeluarkan suara gelisah di ujung telepon. "Ngomong-ngomong, di mana kau? Apakah kau akan datang untuk bekerja hari ini?"
"Aku di gedung sialan ini, Isla."
Kata-katanya membuatku merengut, karena aku belum melihatnya di mana pun sedari tadi. "Bagian mana dari bangunan ini?"
"Tangga," katanya dengan enggan, setelah jeda yang cukup panjang, "bagian yang paling dekat dengan ruang kerjaku."
Bibirku menyeringai dalam senyum geli. "Apa yang kau lakukan di sana?" tanyaku, terus menekan ponsel ke telingaku bahkan ketika aku berdiri dan mengambil tasku, mengayunkannya dengan asal di pundakku.
Pikiranku berpacu dengan gagasan tiba-tiba yang terlintas di benakku, dan aku bertanya-tanya apakah aku bisa membuat Kaden setuju. Melirik sekilas untuk memastikan tidak ada yang melihat, aku berjalan cepat menuju tangga. "Apakah kau bersembunyi?"
"Tidak–" dia terdengar hampir tersinggung dan aku menahan tawa. "–aku harus naik tangga sialan ini karena ada terlalu banyak orang di lobi lift."
"Kedengarannya seperti bersembunyi bagiku," aku terkekeh, berjalan menuruni tangga dengan cepat.
"Apa yang kau inginkan, Isla?"
"Tidak ada–hanya saja agak sulit untuk memulai pekerjaanku ketika mejaku ditutupi hadiah yang bahkan bukan untukku."
"Aku akan meminta seseorang untuk membersihkannya. Hanya itu?"
"Tidak, terus saja bicara," aku berhenti ketika aku melihat rambut hitamnya yang familier pada dua lantai di bawah. "Tidak, lupakan, lihatlah ke atas."
"Isla, apa yang kau—" Dia mendongak, alisnya naik sebentar ketika dia melihatku, dan aku tersenyum padanya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Menuruni beberapa anak tangga terakhir, aku berhenti ketika aku cukup dekat darinya. "Seberapa sibuk kau hari ini?"
Dia mengerutkan kening, kecurigaan berkilat di matanya saat dia menatapku. "Aku cukup sibuk–"
"Bahkan di hari ulang tahunmu?"
Dia tampak tersentak, dan itu cukup meyakinkanku untuk menutup celah di antara kami, mengulurkan tangan untuk mengamit lengannya. Aku bisa merasakan hangat yang menguar dari tubuhnya terlepas dari semua lapisan di bawah jasnya, dan dia tampak membeku.
"Isla–"
"Kurasa kau bisa mengambil cuti sehari," kataku padanya, menatapnya tepat di mata. "Akulah yang mengatur jadwalmu dan aku tahu selain meeting dengan human resources mengenai acara makan malam perusahaan, kau tidak memiliki janji lain. Jadi aku pikir kau bisa mengambil cuti dan ikut denganku."
Dia menarik lengannya dari genggamanku. "Sebenarnya, aku seharusnya bertemu dengan beberapa orang yang menungguku di lantai bawah. Dan Diane dan aku memiliki janji makan siang—"
"Baik."
Sulit untuk menyembunyikan kekecewaan dari suaraku dan aku memalingkan wajah, di dalam kepala mencaci diriku karena terlalu sombong. Aku pernah berhasil sebelumnya, kau tahu, ketika aku membawa Kaden ke pantai. Namun, kali ini situasinya berbeda. Dia tidak lagi sama, tak lagi memercayaiku seperti dulu.
"Aku akan menjadwal ulang itu," kata Kaden akhirnya, kata-katanya mengejutkanku. Aku menatapnya, hanya untuk menemukan bahwa tatapannya sedikit melembut, tetapi ekspresi wajahnya masih tak terbaca seperti sebelumnya. "Kemana kita akan pergi?"
Penawarannya seperti oasis di antara semua hari kala dia menutup diri dan aku dengan bersemangat mengambil kesempatan ini.
"Ke suatu tempat."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kami akhirnya mengambil mobil Kaden. Perdebatan sengit telah terjadi di antara kami berdua di tempat parkir, karena Kaden, sebagai gentleman yang selalu menjunjung kesopanan, tidak ingin mendengar dan membiarkanku menjadi sopirnya ke mana pun. Namun, aku bersikeras untuk mengemudi, karena aku ingin tempat itu menjadi kejutan.
Pada akhirnya, kami mencapai titik kompromi. Kami masuk ke mobilnya setelah dia bersikeras bahwa aku tak perlu khawatir tentang harga bahan bakar untuk mobilnya sendiri, dan melemparkan aku kuncinya sebelum aku masuk. Ini agak mengejutkanku, karena Parker tidak pernah membiarkanku mengendarai mobilnya sebelumnya, dan Nolan selalu mengawasi mobilnya seolah itu adalah hal terpenting dalam hidupnya.
Namun, Kaden tampaknya tidak terlalu memedulikannya. Bahkan, posturnya tampak santai ketika dia masuk ke dalam mobil, dan dia tidak memberiku tatapan cemas yang biasa diberikan Parker atau bahkan ayahku ketika aku mengemudi.
Ini mungkin hanyalah hal-hal sepele—tetapi fakta bahwa Kaden melihatku sebagai seseorang yang mahir dan sama terampil dengannya dalam mengemudi adalah hal penting untukku. Aku suka diperlakukan sebagai orang yang setara, dan aku selalu menghargai sikap penuh kesopanan para pria kepadaku, dan inilah alasan kenapa aku sering lupa jarak di antara kami, baik fisik maupun psikologis.
Kaden tampak sibuk selama perjalanan. Ponselnya berdering karena orang-orang meneleponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi aku segera menyadari bahwa ucapan-ucapan itu terlalu formal dan hanyalah sebuah kewajiban yang dilakukan oleh mereka, percakapannya selalu berubah menjadi tiga-enam-puluh menit untuk aspek bisnis.
Aku sudah bekerja bersama Kaden selama beberapa minggu, tetapi itu cukup bagiku untuk menyadari bahwa sebagian besar rekan bisnisnya ada di sana hanya untuk menjalin hubungan bisnis dengannya. Hampir tidak pernah sebaliknya. Ini tidak seperti perusahaan Nolan, The Mortezion, yang membutuhkan aliran pelanggan yang konstan untuk menegakkan reputasi mereka. Bretton Industries sendiri adalah tambang emas, dan perusahaan ini cukup mapan untuk menebarkan uang di udara tanpa mendapat dukungan keuangan dari perusahaan lain.
Dan mungkin aku melibatkan pendapat subjektifku dalam hal pekerjaan, tetapi tampaknya ini sangat tidak adil kalau Kaden harus menerima setiap panggilan dan mencoba untuk menyusun perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kecil untuk perusahaannya di hari ulang tahunnya.
Jadi ketika ada jeda di antara panggilan telepon, aku menarik mataku sebentar dari jalanan dan menoleh padanya. "Ini hari ulang tahunmu, Kaden," kataku pelan, "kau tidak wajib menerima setiap panggilan telepon."
Ponselnya berdering lagi, dan dia tampak meragu, sikap sopannya alamiahnya berusaha menguasai dirinya. Setelah tiga deringan lagi, dia menggeser layar ponselnya untuk mengakhiri panggilan itu. Kemudian dia mematikan ponselnya sepenuhnya.
Sulit untuk menjaga senyuman yang mengancam keluar dari wajahku. Jadi alih-alih tersenyum atau menggodanya karena dia benar-benar mendengarkanku, aku malah memfokuskan diri untuk mengemudi. Butuh sekitar setengah jam perjalanan sebelum mobil yang kami tumpangi masuk ke jalanan yang terlihat lebih familier. Melakukan ini membawaku bernostalgia dalam kenangan manis dan pahit yang melelahkan, terutama ketika aku mulai melihat kafe yang ingin kutunjukkan pada Kaden.
Ketika kami akhirnya tiba dan berhenti di tempat parkir, mau tak mau aku mendapati fakta bahwa mobil hitam Kaden tampak tidak cocok di antara tempat yang berdebu dan agak tua. Aku memarkirkan mobilnya di tempat terbaik yang bisa kutemukan, sebelum keluar dan mengembalikan kuncinya pada Kaden. Dia hanya diam ketika kami melangkah menuju kafe, tetapi di tengah jalan, dia berhenti tiba-tiba.
Aku meliriknya dari balik pundakku, hanya untuk menyadari bahwa dia memindai sekeliling dengan mata menyipit. "Apa yang salah?"
Dia berbalik ke arahku dan menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ayo pergi," gumamnya, dan melanjutkan langkahnya.
Bingung, aku memandangi sosoknya yang mulai mendahului selama satu atau dua detik, sebelum menganggapnya sebagai hal yang tidak penting. Dengan beberapa langkah cepat, aku menyusulnya lagi. Melalui jendela kaca kafe, aku bisa melihat bahwa tempat itu relatif kosong. Ini masih pagi tetapi sudah melewati jam sibuk pagi hari, jadi tempat ini lebih senyap dan sunyi dengan hanya beberapa pelanggan, yang artinya cukup bagus, karena Kaden toh tidak suka orang banyak.
"Jadi, selamat datang di Sugar Rush—kafe terbaik yang kuketahui. Aku tahu tempat ini tidak tampak mewah, tapi mereka memiliki cupcake red velvet terbaik," aku menambahkan, tersenyum ketika kami mencapai pintu masuk dan dia menahan pintu itu terbuka untukku sebelum dirinya ikut masuk juga untuk menyusulku. "Kau akan mendapatkan cupcake gratis di sini pada hari ulang tahunmu."
Kaden berhenti, menatapku dengan tatapan tak percaya yang terlihat sangat lucu. "Kau membawaku ke sini untuk mendapatkan cupcake gratis?"
Aku membuka mulut untuk menjawab, tetapi seseorang yang sangat akrab berdiri di konter melambaikan tangannya, seringai lebar membelah wajahnya ketika dia melihatku. "Hei, Isla!"
Aku tersenyum otomatis saat melihat sahabatku. Sejak pindah ke apartemen Parker, aku, Castor, dan Millie tidak sering bertemu. Kami semua sibuk dengan pekerjaan, dan aku memang berharap dapat melihat Castor pada shift-nya hari ini.
"Hei," sapaku, tertawa ketika Castor dengan bersemangat melompat ke atas meja, bergegas untuk memelukku. Menarik tubuhku ke belakang, aku melirik ke arah Kaden yang terlihat agak tercengang. "Kaden, ini sahabatku Castor Matherson. Cas, ini Kaden Bretton. Bosku," aku menambahkan, agak geli, karena aku sering lupa bahwa aku adalah bawahannya di tempat kerja.
Kaden secara otomatis mengulurkan tangan untuk menjabatnya, tetapi mata Castor melebar ketika dia menatap Kaden, yang dua inci lebih tinggi darinya. "Apakah ini pria yang harus kuhajar itu?"
Kaden otomatis menegang, matanya bergerak mengamati Castor dan aku dengan bingung. Namun, aku sama bingungnya dengan dia.
"Cas, apa yang kau bicarakan?"
"Ini dia, kan? Pria yang membuatmu menghabiskan waktu dengan menangis selama berbulan-bulan? Aku ingat malam itu ketika kau muncul di tempat Millie, dan kau benar-benar tampak kacau, kita belum pernah melihatmu begitu hancur sebelumnya karena dia—"
Namun, dia berhenti tiba-tiba ketika aku membekap mulutnya dengan kuat. "Jangan dengarkan dia," kataku dengan tergesa-gesa kepada Kaden, berusaha mengabaikan fakta bahwa matanya yang hijau sedang menelisik wajahku untuk melihat apakah Castor telah mengatakan yang sebenarnya. "Dia hanya suka mengoceh seperti biasanya." Castor mengeluarkan suara kesal di belakang tanganku dan aku cepat-cepat melepaskannya, buru-buru mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ngomong-ngomong, Dink mana?"
Castor melemparkan satu tatapan tajam terakhir ke arah Kaden sebelum mundur satu langkah ke belakang. "Di dapur," katanya, melirik ke konter dan meninggikan suaranya untuk berteriak, "hei, Dink, Isla ada di sini!"
Aku segera menyuruhnya diam, melihat sekeliling dengan waspada. "Kau memiliki pelanggan lain, Cas!"
Dia hanya menyeringai dan mengangkat bahu. "Tenanglah. Para karyawan di sini saling berteriak sepanjang waktu, dan Dink berteriak paling keras."
"Sejak kapan aku berteriak?" suara marah berseru dari belakang kami.
Aku berbalik, senyum lebar melengkung di bibirku ketika aku melihat Dink menuju ke arah kami, menyeka tangannya di celemeknya dengan asal-asalan. Setidaknya sudah tiga bulan sejak terakhir kali aku melihatnya, dan aku perhatikan dia memiliki tato baru di sepanjang tulang selangkanya. "Hai, Dink. Merindukanku?"
"Selalu," dia mengedipkan mata, bergerak mendekat untuk menarikku ke dalam pelukan singkat. "Bagaimana kabarmu?"
"Pekerjaan membuatku sibuk," aku menjawab dengan jujur, sebelum beralih ke Kaden, yang hanya terdiam dalam seluruh percakapan ini. "Kaden, ini Dink–er, aku tidak pernah benar-benar tahu nama aslimu, Dink–"
"Dan kau tidak akan pernah tahu," dia tertawa ketika aku memutar bola mataku.
"–dan Dink, ini Kaden Bretton, bosku, yang ulang tahunnya kebetulan bertepatan dengan hari aku datang mengunjungimu. Jadi, um, bagaimana aku mengatakannya dengan cara yang baik..." Aku terdiam, menatap Dink dengan tatapan usil bermain di mataku.
Dia memelototiku dengan tatapan menghina. "Apakah kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mendapatkan cupcake gratis untuk bosmu?"
"Um–"
"Aku bersumpah, Isla, jika bukan karena semua tip yang diberikan wanita itu kepada kami setiap kali dia membawamu ke sini, kami akan selalu merugi setiap kau datang."
Kata-katanya membuatku kaku. "Yeah, well," aku mencoba menyamarkannya dengan senyum tipis, dengan hati-hati menghindari cara Kaden menatapku dengan penuh perhatian. "Tidak akan rugi kali ini, aku janji. Ayo." Aku mengulurkan tangan untuk menarik Kaden menjauh dari mereka, dan dia mengikuti tanpa sepatah kata pun. "Apakah duduk di sudut ruangan seperti ini tidak masalah?"
Dia mengangguk, tetap diam saat menyelinap tubuhnya di bangku di seberangku. Dengan setelan hitamnya dan rambutnya yang ditata dengan sempurna, dia tampak sangat tidak cocok di kafe tua yang sudah agak memudar ini. Hal ini adalah pengingat bahwa Kaden Bretton tidak cocok dengan duniaku, karena aku tidak cocok juga dengan dunianya. Aku belum pernah memikirkannya sebelumnya, tidak ketika aku berada di rumah pantai bersamanya, tetapi sekarang segalanya lebih jelas dari sebelumnya.
Castor segera datang dengan menu dan dia menatapku dengan wajah khawatir. "Kau baik-baik saja di sana, Isla?"
"Aku baik-baik saja," dan aku tidak melewatkan cara mata Kaden menyipit ketika kebohongan itu melewati bibirku dengan begitu mudah. "Aku ingin dua cupcake red velvet dan cokelat panas."
Kaden bahkan tidak repot-repot melihat menu, hanya mengangguk pada Castor. "Aku ingin yang sama."
Castor segera pergi, dan kemudian tidak ada apa pun selain keheningan di antara kami berdua. Merasa terdorong oleh kebutuhan untuk mengatakan sesuatu, aku melipat tanganku di atas meja dan meniup rambut-rambutku yang jatuh ke mataku. "Maaf tentang sebelumnya. Tempat ini—hanya saja selalu membawa kembali kenangan baik dan buruk. Aku sering datang ke sini dengan–seseorang."
Kaden tidak membalas begitu lama sehingga aku hampir berpikir dia bermaksud mengabaikanku lagi. Namun, ketika dia berbicara, suaranya tiba-tiba terdengar berhati-hati, seolah kata-katanya memiliki kemampuan untuk menghancurkanku. "Ibumu atau Rosemary?"
Napasku tersendat di tenggorokan karena–bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dia tahu?
"Apa?" Akhirnya balasku serak.
Dia mengangkat bahu. "Tidak perlu seorang jenius untuk mengetahuinya. Aku tidak terlalu yakin tentang ibumu, tetapi Parker memberitahuku bahwa kau dulu cukup dekat dengan ibunya sampai sebelum mereka pergi."
Lucu sekali... bagaimana mungkin Kaden yang terasa begitu jauh dariku sekarang, tahu lebih banyak tentang hidupku daripada kebanyakan orang. Bahkan Castor, yang telah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun, tidak tahu tentang Rosemary. Millie juga tidak.
Aku menghela napas dalam-dalam dan memusatkan pandangan pada goresan pudar di atas meja. "Rosemary. Dia membawaku ke sini setiap akhir pekan untuk sarapan, karena mereka menyajikan pancake dan bacon yang enak juga. Kami tidak pernah mengajak Ayah atau Parker, karena dia bilang ini semacam hal pribadi kami, hanya kami berdua. Dan, kau tahu," aku menelan ludah susah payah, memaksakan setiap kata keluar dari mulutku, "pada saat itu, aku benar-benar memercayainya."
Kaden diam, sesuatu yang membuatku merasa senang. Aku tidak ingin dia mengatakan kalimat simpatik apa pun tentang kepergian Rosemary, atau mencoba menyelipkan alasan setengah hati tentang kenapa wanita itu melakukannya. Terkadang, keheningan dan telinga yang mendengarkan adalah solusi terbaik untuk semua jenis sakit hati.
"Pokoknya," aku melanjutkan, suaraku beberapa tingkat lebih lembut kali ini, "setelah dia pergi, aku tetap datang ke sini sendirian. Itu gagasan yang bodoh, tapi aku tidak bisa berhenti berharap bahwa Rosemary akan sedikit merindukanku dan mungkin kembali berkunjung. Tapi dia tidak pernah datang. Akhirnya, aku menyerah dan sejak itu, aku hanya datang pada acara-acara khusus, seperti ulang tahunku atau pada hari Natal. dan sekarang ulang tahunmu."
Ada jeda. Dan kemudian Kaden mencondongkan tubuhnya ke seberang meja untuk meraih tanganku. Mataku melebar dan aku membeku karena terkejut ketika jemarinya mengusap punggung tanganku sekilas, semua terjadi begitu cepat hingga aku nyaris tak menyadari kontak itu, tetapi tangannya masih di sana dan aku tidak sedang berhalusinasi.
Kau dapat memberi tahuku tentang sejuta satu cara untuk bereaksi terhadap hal ini dan aku akan melakukannya, jika saja aku memikirkannya saat ini. Namun, pikiranku kosong, dadaku terasa sesak karena rasanya Kaden begitu dekat untuk kuraih, tetapi aku tidak memiliki keberanian untuk membalas tindakannya, untuk menggenggam jemarinya dengan erat dan tak pernah melepaskannya.
Dan dia menarik dirinya kembali sebelum aku sempat menyadarinya, wajahnya datar dan tanpa emosi. Aku tidak mengatakan sepatah kata pun karena kesunyian kali ini terlalu rapuh untuk dipecahkan. Rasanya hampir seperti kami bergantung pada udara, dengan segudang emosi yang terlalu kuat untuk dihindari dan kata-kata yang terlalu sulit untuk diucapkan dengan keras.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com