Better Person 10
Masalahnya, hati gue belum sembuh. Hati gue itu bukan superman, yang bisa berubah secepat menghidupkan kipas angin.
🎀Better Person 10🎀
.
.
.
.
.
Sekitar jam dua siang, Chika dan Keyla dengan pakaian kasualnya mulai berjalan ke arah tempat duduk yang bawahnya dicat warna kuning sedangkan atasnya polosan abu-abu. Mata Chika menelusuri tempat tersebut yang sudah disesaki banyak pengunjung. Ada yang membawa drum, serta banner untuk dikibarkan nanti.
"Kalo ini gak wajib sesuai kata Riku, gue gak bakalan dateng, Chik!" ucap Keyla sembari menghela napas. Ia mengambil ponselnya dari saku bajunya sembari melirik area pertandingan yang masih kosong. Masih belum dimulai.
"Sebenernya, wajib atau gak itu akal-akalannya guru olahraga biar ekstra ini lebih aktif. Kita juga gak perlu dateng. Entah kenapa, gue ngerasa ada suatu hal paling penting untuk lo ngajak gue ke sini. Padahal, kelas tujuh dulu, lo gak ngajak gue, 'kan?"
"Tuh kan, lo ikutan molor kayak karet tetangga gue. Kita itu harus menurut. Lagi pula, katanya lo habis diculik, 'kan? Lihat aja, deh buat bahan pelajaran lo. Terus lihat Riku yang sok-sokan itu. Gue pengin lihat ntar pukulannya semengerikan apa."
"Riku mah udah jadi juara karate di sekolah. Lebih baik gue jadi anak alim karena ada pelindungnya. Itu pasti."
Karena lo yang pelindung gue, Rif. Udah kebukti, 'kan kemarin?
Keyla menggeserkan tubuhnya ke kanan agar menjauh dari tingkat keramaian di sana. Rasanya, ia ingin duduk seorang diri di tempat ini agar bisa bebas. Namun, khayalannya terhenti karena ini tempat umum.
Ada jarak lima meter antara tempat Chika dan gerombolan sekolah. Berulang kali kakak kelas menyuruh Keyla dan Chika agar merapat, tetapi Keyla justru menyentuh wajah Chika yang hendak menoleh, agar mengabaikanya. Keyla memang berpengalaman untuk mengacangi orang.
"Jangan lihat kakak kelas yang itu, ntar lo jatuh cinta."
"Key, kayaknya lo salah mikir, deh."
Pandangan Keyla tetap lurus. Matanya tak melirik sedikitpun. Namun, bibirnya sibuk menyerocos banyak hal. Bahkan, sebelum kakak kelas itu berbicara, telinga Keyla sudah disumpali sebuah earphone.
Chika kali ini mendengarkan ucapan Keyla untuk tak menoleh sembari mendesah. Matanya melirik ke belakang, tepat ada Rifki dan teman-temannya yang membuat jantungnya tiba-tiba berdetak cepat. Saat itu, mata Chika dan Rifki bertautan lagi. Ada rasa sakit yang menusuk Chika bertubi-tubi.
"Key, di sini ada Rifki. Gue pulang aja, ya?"
"Iya, gue tahu, ada Rifki di mana-mana, termasuk di otak lo. Kenapa lo harus pulang? Bukannya lo perlu meraih baik-baik sosok itu?"
"Masalahnya, hati gue belum sembuh. Hati gue itu bukan superman, yang bisa berubah secepat menghidupkan kipas angin."
"Udah, tunggu aj—"
Mata Keyla membelalak kala sedang meng-scroll HP-nya. Kini, ponselnya ia remas sembari menatap ke depan. Kakinya menginjak-injak lantai sembari menggeram keras. "Buset, dia ngebohongin gue."
"Kenapa?" tanya Chika bingung.
"Gue baru aja nge-chat sama temen sekelas kita yang duduk di sana-sana, ternyata kita itu dateng buat nge-support tim basket. Rifki berarti juga bakalan ikut." Keyla melepas earphone-nya sebelah. Kepalanya mulai ia tolehkan ke belakang, tepat sang empu benar-benar ada di belakangnya. Entah kenapa, tatapannya sangat tajam membuat Keyla menelan ludah. Tahu gini gue juga pengen pindah posisi.
"Sedih gue, lo baru nyadar, Key."
Chika yang beralas kaki flat shoes itu kemudian hendak berdiri dan berjalan ke arah jalan keluar untuk pulang karena tidak ada kepentingan apa pun di sana. Namun, tangannya justru ditarik Keyla dengan keras.
"Sama aja, Chik. Gue gak mau nyia-nyiain kumpulan duit gopek gue buat masuk ke sini," tangkas Keyla dengan kedipan mata imut itu. Tangannya mulai terlipat sembari menaikkan kedua aslinya. Seyumnya merekah dengan penuh rayuan.
"Kalo gue bisa ngumpat, menit ini juga gue udah ngumpat, Key," ucap Chika sembari memejamkan matanya dan menggertakkan gigi emosi. Dahinya mengerut. Ada rasa penyesalan kala ia mendengar tim basket yang sekarang akan bermain. Bahkan, salah satu tangan Chika mulai ia gunakan sebagai penopang dahinya setelah lepas dari cekalan Keyla. "Gue juga lelah. Secara, gue gak ada fungsionalnya sama bidang olahraga."
Keyla mulai menarik tangan Chika untuk kembali ke barisan pendukung sekolahnya agar emosi Chika yang terpendam sedari tadi mereda. Chika hanya bisa menurut. Sebab dengan begitu, ia jadi bisa menjauh dari tempat duduk permulaan sang atlet olahraga. Meski tak terlalu jauh sekalipun.
"Gue juga baru nyadar lagi, ini bukan tempat umum, tapi tempat di mana atlet sangar yang pantas duduk."
"ADUH KEYLA, GUE UDAH BILANG DARI TADI. TERUS YA, GUE NYESEL PUNYA TEMEN KAYAK LO, TAPI BOHONG," ujar Chika sembari memijat-mijat lengan Keyla. Kali ini, kepalanya mendelik gemas, tak mau melihat Rifki yang masih tak jauh dari penglihatannya. Nyatanya, pandangannya tak akan pernah hilang meski terus mencoba.
Keyla tersenyum sembari terkikik geli. Bukan masalah besar seseorang salah tempat duduk sebenarnya. Namun, ia tahu, bahwa ada hati yang siap-siap terluka jika terlalu dekat setelah kehancuran kemarin.
"Riku pasti kabur, Chik. Secara, katanya lagi, jadwal lomba karate itu udah berbulan-bulan yang lalu. Awas aja si Riku. Sampai sekolah lagi besok, gue jadiin tempe penyet dia."
"Emang bisa?"
"Gak."
Tiba-tiba, seseorang yang Chika kenali mulai berjalan di depan pagar besi pendek yang membatasi area pendukung dan pemain. Sosok dengan rambut digerai yang terlihat lembut, mata tenang, dan juga wajah yang meyakinkan. Ia memakai rok merah muda selutut dengan kemeja lengan pendeknya.
Sorak-sorai mulai terdengar dari tempat Rifki dengan siulan. Suara Rifki juga terdengar menggema di sana. Menyebutkan nama temannya yang tentu, sudah dihampiri oleh salah satu gadis tersebut.
"Hai," ucapnya kala sudah mendekat dengan tempat Rifki. Mata orang lain tak sibuk memperhatikannya, secara, tempat tersebut memang cukup berjarak jauh dan perbincangan tersebut ialah kepentingan pribadi.
Ternyata, bukan. Bukan orang lain yang didatangi perempuan itu. Namun, Rifki. Rifki terlihat berdiri dengan pakaian yang berjersey oranye, entah diganti sejak kapan dari oblong putih sebelumnya. Mata Chika hanya sibuk melirik dalam diam. Dadanya sesak tak karuan. Untuk kesekian kali, air mata Chika jatuh. Ia mulai memalingkan pandangannya.
Meski udah menjauh sekalipun, gue gak akan pernah tahan untuk gak ngelihat segala sesuatu tentang lo, Rif.
"Gue gagal lagi, Key."
Chika juga tiba-tiba berdiri dengan keadaan tubuh berbalik sembari mendongakkan kepala. Pakaian polkadot dan celana yang sedikit ditekuk itu menjadi bukti kesedihan Chika untuk kesekian kali. Bahkan, isakan yang terdengar sangat mengerikan di telinga Keyla.
"Ada apa?" tanya Keyla pura-pura tak tahu sembari menaikkan kedua alisnya. Dilepasnya semua bagian alat musik yang menyumpal telinga. Kali ini, memang benar-benar serius. Keyla seolah sumber kesalahan dari semua ini.
Chika mulai mengusap-usap kantung matanya sembari memejamkan matanya. Ia mulai berlari kencang dengan langkah terburu-buru. Banyak pasang mata yang melihatnya berlari karena Chika tampak butuh pertolongan darurat. Menjejali tempat yang sudah ramai pengunjung, untuk naik ke tempat lebih tinggi. Tepatnya balkon gedung olahraga.
"Chika!" teriak Keyla dengan helaan napas yang kasar. Ponselnya kembali teremas oleh jari-jari itu. Ada rasa tak tega di matanya. Chika seperti orang yang paling kacau di bulan ini selama ia lihat. Kaki Chika sempat tersenggal, pada langkah yang salah.
Maafin gue, Chik, dengan begitu, lo semakin sadar, bahwa semua ini salah.
Chika hanya bisa mengamati kakinya dengan air mata yang berjatuhan. "Lo seharusnya sadar, Rif semenjak kemarin. Bahwa hati perempuan itu gampang bahagia dan menangis. Lantas, lo buat gue menangis lagi tanpa hati nurani. Gue seharusnya sadar pula, bahwa ada orang yang lebih pantas menyukai lo, bukan gue."
Kaki Chika sudah sampai di puncak tertinggi. Cukup satu langkah lebar untuk benar-benar sampai balkon. Sudah hampir jam setengah tiga, tepat pertandingan akan dimulai, bersamaan dengan perasaan Chika yang meningkat. Chika tahu, balkon itu akan sepi, membiarkan perasaanya lepas satu per satu.
"Sebab, gak selamanya gue butuh seseorang dalam kesepian gue kayak sekarang, termasuk sahabat gue sekalipun." Detik itu, Chika mulai melangkahkan kakinya ke luar dengan udara sejuk yang menerpa wajah, serta helaian rambut sedikit cokelat itu. Meneriakkan nama seseorang yang bahkan, tak pantas untuk ia ucapkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com