Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Better Person 12

Sekuat apa pun lo untuk merjuangin, nyatanya, tanpa pikiran dewasa, lo gak bakalan kuat.
🎀Better Person 12🎀
.
.
.
.
.

"Akhirnya, jam istirahat. Gue pergi ke kamar mandi dulu, ya. Lo masih nulis gitu, kan kasihan," ucap Keyla sembari berjinjit-jinjit dengan memejamkan matanya kesakitan. Ia sedang menahan pipis.

Tangannya perlahan meraih tangan lain di belakang tubuh Chika. Tepat seorang Riku tengah memandang segan si Keyla. Bahkan, mata Riku membelalak seperti ingin membuang ludah pada Keyla yang menyentuh tangannya.

"Dih, gue gak mau kali!" umpat Riku sembari berlari-lari karena Keyla masih menggenggam tangannya dan secara, Keyla tak bisa menahan jika ada hal mepet seperti ini. Riku saat itu sempat menoleh ke arah Chika dengan senyum mengenaskan kepada Chika dan tempat duduknya sendiri.

Chika menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya masih melirik ke papan tulis, di mana materi terpampang nyata dan ia masih merangkum sepenuh hati. Senyum Chika pagi ini terukir. Bagaimana tidak, kemarin malam, ia disemangati Bagas lewat ponselnya ditambah Keyla yang merasa bersalah karena ia tiba-tiba pulang.

"Kayaknya gue bakalan lebih terbuka lagi sama Bagas dan sahabat-sahabat gue," ucap Keyla masih menulis dengan kaki yang ia luruskan karena lelah.

Tempat duduknya Riku berada di pojok kanan tepat di depan mading berwarna biru yang dihiasi banyak kertas lipat serta kumpulan batang-batang pohon yang dibentuk unik. Masih belum ada banyak gambar yang menunjukkan foto kelas ini karena hal paling mengesankan dan kegiatan mading belum dimulai.

"Rifki," ucap Chika kala ia menoleh. Tepat sosok Rifki yang berada di pojok kiri bagian dua itu tengah menatap papan tulis sembari menulis. Ia merangkum hal tersebut sendirian tanpa dukungan seseorang di sisinya saat ini.

"Sejak kapan lo ngerangkum?" tanya Chika memberanikan diri sembari terus menulis. Matanya sesekali melihat Rifki yang masih berdiam diri. Tempat itu sepi. Hanya ada mereka berdua. Biasanya, hanya ada Chika seorang atau murid teladan lainnya. Namun, kini hanya ada mereka berdua.

"Sok tau."

Helaan napas yang keras membuat Rifki menoleh ke arah Chika. Sosok Chika yang bahkan tampak berusaha membencinya pula, meski dalam hatinya, ia masih mengharapkan sosok Rifki. Hal kemarin-kemarin ternyata belum mempan untuk menghancurkan perasaanya.

"Gue gambar anime."

Chika menaikkan salah satu alisnya. Tangannya berhenti bergerak. Setahunya, di jam istirahat, Rifki selalu tidur atau tidak, nongkrong bersama teman-teman meski hanya berdiam diri sekalipun. Nah ini, menggambar?

"Serius?" tanya Chika antusias. Setidaknya, ia menambah daftar untuk hal yang disukai Rifki. Ternyata, mudah untuk menerima dan mengeseolahkan hari kemarin tak terjadi jika ada yang mendukung. Hati Chika seolah diperbarui menjadi lebih segar sehingga bisa memulai lagi.

Rifki berdecak. Ia kemudian mengambil penghapusnya dan menghapus seperempat bagian kertas itu. Chika lagi-lagi menghela napasnya. Harusnya ia sadar bahwa Rifki tetaplah Rifki. Sosok yang terus membencinya tanpa kenal lelah.

Sudah lima menit berlalu dan tempat itu sepi. Jangka waktu istirahat ialah setengah jam. Cukup karena kantin selalu ramai. Ditutupnya sebuah buku dengan penuh huruf rapi itu dan menilik sakunya yang sudah tedapat uang jajan. Ia berdiri dari duduknya, sesekali melihat Rifki yang tetap mengacuhkannya.

"Ya udah, semangat, Rif. Gue mau ke kantin ngehampiri mereka di kantin."

Itulah ucapan perjuangan Chika pertama kali. Meski ada beribu kesedihan di otaknya kala Rifki mengacuhkannya. Sesekali, sepatu hitam itu melambatkan langkahnya karena Chika masih menunggu apa respons berikutnya.

Tempat guru kosong. Menyisakan wadah alat tulis yang lonjong yang terbuat dari kaleng dan lapisan kain flanel kupu-kupu, papan tulis yang belum dihapus tinta spidolnya, dan juga penggaris besar yang masih menggantung di sampingnya. Rifki tak menanggapi Chika sekalipun, hingga langkah terakhir keluar dari tempat tersebut.

Chika tak sadar, bahwa kala Chika memejamkan mata saat sampai di luar pintu, Rifki mulai mendongakkan kepalanya sembari melihat bayangan Chika yang hilang.

"Never mind, Chik," teguhnya pada diri sendiri sembari berjalan menuju kantin dan menapaki lantai marmer putih itu.

***

"Kenapa, sih, Chik lo percaya bahwa usia begini, cinta itu ada?" tanya Riku sembari menyeruput es teh dan menghadapkan wajahnya ke arah Chika yang tengah menopang dagu, memikirkan makanan apa yang pantas ia makan hari ini.

"Sebab, gue ngerasa, bahwa cinta itu bisa jadi kenyataan di masa depan. Ya, siapa tahu."

"Pikiran lo itu sempit banget, tahu gak, Chik? Gue ngerasa, ada buruknya kalo lo percaya sama hal begituan sekarang. Sekuat apa pun lo untuk merjuangin, nyatanya, tanpa pikiran dewasa, lo gak bakalan kuat."

Riku seperti menyadari sesuatu dari raut wajahnya. Matanya melirik ke arah Keyla yang menunduk dan masih asyik dengan bakso berkuahnya itu. Ada hal yang aneh dari Keyla, tetapi ia tak bisa menebak seluruhnya seperti biasa.

"Tumben lo ngejatuhin," ucap Riku tegas. Tiba-tiba, Keyla tersedak. Matanya melotot ke arah Riku yang merasa ada hal salah. Riku sendiri tak berkedip. Ia selalu berusaha menganggap serius setiap hal yang berhubungan dengan sosok terdekat.

"Gue?"

"Iya."

Chika yang menyenandungkan sepatunya kemudian berhenti membeku. Matanya melirik kedua sahabatnya. Berusaha mencari celah, apa yang diperbicarakan. Ia dapat melihat bahwa Keyla berbicara seperti hari kemarin, tetapi memang tak ada yang berubah sama sekali. Keyla berbicara normal.

"Mungkin lo terlalu buruk sangka, Rik," sela Chika.

"Gue gak ngejatuhin. Gue berbicara apa yang perlu gue bicarain."

"Lo bohong, Key."

Chika menahan napasnya. Ucapannya seperti angin lalu yang dibiarkan mereka berdua.

"Gue gak bohong, Rik. Kenapa, sih, lo selalu ngomong kayak gini? Sama Bagas, bahkan ke gue sekalipun?" tanya Keyla sembari menaruh sendoknya ke pinggir mangkok bening itu dan menatap tajam Riku. Nyatanya, ada bagian Keyla yang ingin bersikap lembut. Namun, mengingat ia benar-benar ditentang, ia harus menolaknya untuk masalah ini. Takut Riku mengubah segalanya. "Gue tuh muak sama sikap lo!"

"Ssshh, Key." Chika melambaikan tangannya di depan wajah Keyla. Keyla masih saja tak menghiraukan.

"Sesekali, gue boleh muak sama temen gue, 'kan?" ucap Keyla sembari tersenyum miring.

"Lo gak kebiasa ngelakuin hal ini, Key. Marah-marah, padahal selama ini, kita akur, 'kan?"

Riku berdiri dari tempatnya kasar sembari mencengkeram lembut tangan Chika yang masih melambai di depan wajah Keyla. Ada rasa api di mata petarung itu. Riku-lah yang biasanya marah-marah, tetapi mereka berdua selalu meredakannya. Jika sekarang yang meredakan hanya Chika, apa yang akan terjadi?

"Kalian emosi hanya perkara gue? Logis gak, sih? Seharusnya gue yang bisa marah akan semua ini!" ucap Chika sedikit berteriak. Untung saja kantin itu masih ramai pengunjung, sehingga suara mereka teredam sedikit.

Sebelah tangan Chika mulai ia ulurkan pada pundaknya untuk menurunkan tubuh Riku agar duduk lagi. "Kalian emosi! Jangan berubah hanya soal gue! Omongin baik-baik!"

Riku menghela napas sembari memejamkan mata lelah. Ia mulai duduk dengan rok biru tuanya. "Maaf, kalo gue emosi karena ini sifat gue dari dulu. Cuma, gue yakin, bukan gue yang salah. Jadi, selamanya gue berinisiatif untuk gak takut selama gue pikir itu bener."

Chika menatap wajah Keyla yang tidak imut lagi hanya karena amarah itu kemudian menyatukan tangannya sembari memberi bahasa isyarat padanya agar membalas ucapan Riku dengan baik.

"Maafin gue juga."

Gue gak tahu, kenapa topik Rifki bisa ngebuat mereka kayak begini. Semoga ini pertama dan terakhir kalinya terjadi.

Ya, Chika tak pernah sadar, bahwa kejadian ini bisa terulang lagi hanya karena satu sumber masalah yang belum terpecahkan dan terahasiakan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com