Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Better Person 15

Harapan gue masih banyak. Hanya saja, kehilangan satu harapan penting seperti ini, ngebuat gue sakit meski harus mengikhlaskan.
🎀Better Person 15🎀
.
.
.
.
.

"Terima kasih, Ma." Chika menutup pintu mobil dengan sangat keras dan terkesan buru-buru. Matanya menyipit. Ia tersenyum. Dilambai-lambaikan tangan kanannya dan dibalas anggukan yang tersamar oleh jendela mobil tersebut.

Jika kalian bingung, papa Chika di mana, maka itulah yang paling disedihkan Chika saat ini. Ia paling benci, semakin ia naik tingkatan sekolah, papanya pula semakin sibuk. Bahkan, saat dirinya berada di lomba puisi seperti ini, ia tak ada sekalipun. Tak menyempatkan untuk memberi dukungan atau pelukan hangat sekalipun.

Chika rindu Papa.

Ditatapnya lamat-lamat kendaraan beroda empat itu dengan helaan napas yang panjang. Menatap kepergian itu, hatinya semakin sakit. Namun, tiba-tiba, sahutan seseorang membuatnya menoleh dan membiarkan lukanya berlalu secepat kilat.

"Chik, udah siap?" tanya Bagas dengan wajah yang sangat ceria. Ia membawa sebuah kalung yang bertuliskan nomor peserta.

Chika tersenyum. Bagas mulai memasangkan benda berlaminating dan berisi kertas itu ke leher Chika. Seharusnya, ini dilakukan guru atau Chika sendiri. Namun, melihat begini, Bagas selalu mengambil kesempatan.

Chika membiarkan matanya menatap dada Bagas yang sama-sama dibalut pakaian batik saat itu. Hingga selesai, Chika hanya menarik sudut bibirnya sembari mengangguk. Matanya memang terlihat niat sekali dan membuat tegang sendiri dari sikapnya. Itulah yang disukai Bagas sendiri.

"Tentu. Gue udah ngehafalin dari dulu, jadi lebih siap. Makasih, ya."

Bu Nanik datang dari pintu masuk dengan jilbab segi empatnya yang berwarna kuning, sesuai dengan pakaian khas guru itu. Ada satu tahi lalat di sekitar bibirnya. Tangannya terulur ke pundak Chika dan mengajaknya masuk.

"Nomor kalian jangka dua saja. Chika lebih lama. Jadi, kamu lebih lama nanti majunya. Tunggu saja, ya."

Chika dengan rambut terkuncir seluruhnya sekadar mengangguk tanda paham. Ia mulai berjalan untuk mengikuti ke mana Bu Nanik pergi. Sedangkan Bagas, ia hanya melihat Chika dengan helaan napas. Chika bahkan benar-benar tak pernah menganggap semuanya berlebihan.

"Gue gak pernah tahu, kenapa gadis kayak lo bahkan gak ngerasa ada yang ganjal dari perlakuan gue. Kenapa lo harus menutup hati serapat itu untuk orang lain kecuali Rifki, sih? Gue kurang apa, Chik?"

Terkadang, selalu ada rasa yang salah di diri Bagas sekalipun. Namun, bagaimana lagi, ia juga tak pernah bisa bergerak dari satu orang dan dia juga benci itu. Menyukai seseorang tanpa tahu, bahwa orang tersebut selamanya tak pernah memalingkan wajah.

"Bagas, kok ngelamun?" tanya Chika yang tiba-tiba menoleh. Melihat Bagas yang termenung dan menatap Chika. Bahkan orang-orang yang berlalu di sekitarnya tak membuatnya berkutik sekalipun. Chika lagi-lagi mengukirkan senyumnya yang membuat Bagas kembali berharap.

"Ah, gue gak ngelamun, kok, Chik. Cuma, mikir gimana nantinya. Gak usah dipikirin," ucap Bagas mengalihkan.

Chika memejamkan matanya dan membalikkan badannya dan berjalan lagi, lantas Bagas mulai mengikuti Chika dengan harap-harap tinggi di hatinya.

"Seharusnya, dengan jadi peserta, gue juga bisa lebih sedekat nadi, Chik."

Mereka mulai duduk ke sebuah ruangan yang terkesan tertutup. Banyak peserta yang seukuran dengannya dan juga dengan ekspresi yang berbeda-beda.

Chika dan Bagas mulai duduk bersampingan. Sungguh, siapa pun tak akan pernah ada yang tahu, bahwa jantung Bagas berdetak tak karuan. Berkat dengan konsentrasinya, ia bisa mengalihkan.

"Gue udah maju, Chik. Jadi, habis ini gantian lo."

Chika menaikkan kedua alisnya dengan tangan yang dari tadi menyatu satu sama lain. Bagas tahu, Chika pasti berharap banyak dengan lomba ini. Dilihat dari harap-harap cemas Chika saat ini. Ia tentu tengah berdoa dan memantapkan hati semenjak peserta satu mulai menampilkan kehebatan dirinya.

Seorang siswa perempuan dengan wajah semringahnya turun dari panggung. Wajahnya cantik. Kala Chika mulai benar-benar mendongak dan menatap dirinya, ada rasa yang membuatnya ingin berpaling dan pergi dari tempat ini cepat-cepat.

"Salsa," bisik Chika refleks. Matanya mengamati Salsa yang juga melihatnya. Ternyata, ia juga ikut lomba puisi dan dari seragamnya, Chika tahu ia datang dari SMP favorit. "Udah gue duga, dia bahkan lebih baik dari yang gue kira sekalipun. Dia selalu bisa menguasai apa yang gue bisa pula. Ah, gue benci saat-saat ini."

Sungguh, Chika ingin segera pulang, tetapi bagaimanapun, ia tetap mengarahkan langkahnya ke arah panggung dan mulai berdiri di depan mikrofon yang akan digunakan. Ada banner lomba sastra untuk puisi di belakang Chika. Berwarna biru muda dengan logo pemerintahan.

"Semangat, Chik!" ujar Bagas samar-samar yang diketahui oleh Chika. Chika kali ini kembali bermantap hati, sembari memegang kertas di tangannya dan mulai bersiap untuk bicara. Ternyata, memang benar, bahwa Bagas selalu bisa diandalkan di setiap momentum. Seperti saat ini misalnya. Di saat ada nanar yang muncul di permukaan hati, ia selalu hadir tanpa luka yang sama.

Tiba-tiba, darah muncul di hidung Chika bagian kanan. Chika menarik napasnya, sedangkan Bagas mulai berdiri dari tempat duduknya dengan tangannya yang mulai menunjuk ke arah Chika.

"Chika! Hidung lo gak papa?" tanya Bagas dengan berteriak. Jujur, ia sangat kaget tahu Chika seperti itu.

Chika mengusap bawah hidungnya dan darah itu hilang seketika. Chika menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyum merekah ke arah Bagas. Tanda ia baik-baik saja. Chika kembali mengamati kertas yang dipegangnya, membiarkan guru-guru atau juri di sana tahu, ia sudah membaik. Mereka tampak ragu Chika baik-baik saja.

Satu tetes. Mata Chika berkaca-kaca kala melihat darah dari hidungnya jatuh lagi ke atas kertas. Jujur, ini kesempatan pertamanya setelah lomba yang dinanti-nanti memang benar datang. Tangannya tiba-tiba gemetar, dengan wajah yang mulai memucat.

"Kenapa, sih, saat gue mau bersinar, gue harus redup lagi?"

Banyak kesedihan saat itu. Dengan air mata yang mulai berjatuhan, Chika mulai terjatuh dengan mikrofon yang semula terdengar suara isak tangis sosok Chika. Suara ambruknya sosok Chika saat itu membuat orang panik, terutama Bagas.

Di atas karpet merah itu, Chika hanya bisa menatap nanar dinding kuning yang menjadi saksi kejatuhannya.

"Seharusnya, dia harus jaga kesehatan kalau tahu hari ini lomba," sahut guru lain membuat hati Chika terasa pedih.

Siapa sangka, Chika selemah ini? Bahkan, belum mengutarakan sepatah katapun puisinya yang ia buat selama ini. Gurunya sendiri terdengar memihak orang lain dengan kata yang diperlembut.

"CHIKA! LO GAK PAPA?" tanya Bagas dengan sangat khawatir. Chika hanya bisa tersenyum melihat Bagas yang sangat perhatian sepeti itu. Wajahnya pun semakin memucat dan pandangan Chika semakin memburam pula. "Chik, bangun, kalo gak, lo bakalan didiskualifikasi."

Air mata Chika terus-menerus turun. Tak ada yang pernah tahu hatinya justru semakin perih di saat tahu ada orang yang masih mau mengenalnya. "Harapan gue gak cuma ini, Gas. Harapan gue masih banyak. Hanya saja, kehilangan satu harapan penting seperti ini, ngebuat gue sakit meski harus mengikhlaskan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com