Better Person 18
Demi satu hal yang cukup penting, gue usahain tanpa kenal lelah.
🎀Better Person 18🎀
.
.
.
.
.
Chika menatap kaget ruang kelas yang kosong. Padahal, ia barusan meninggalkan kelas itu selama sepuluh menit untuk mengumpulkan tugas dari buku paket yang diperintah guru ke kantor. Lantas, setelah kembali dengan tangan yang kosong, ia seperti kesepian.
"Ini pada ke mana, ya?" tanya Chika pada dirinya sendiri. Langkahnya mulai memasuki kelas itu. Melihat papan tulis yang telah ditulis Chela sebagai sekretaris di sana.
"Chik, mau lihat bareng?" tanya seseorang dari balik pintu.
Chika membacanya sekilas. Ada sesuatu yang bergerumul di hatinya sekarang. Tulisan yang ada di papan tulis adalah tulisan yang ingin ia pungkiri. Apa lagi, sosok lelaki yang memanggil namanya barusan, membuatnya berjengkit kaget sembari mengusap dada. Tentu saja ia terkejut karena tempat itu sebelumnya sepi dan sekarang suara seseorang seperti haluan baginya.
"Ba-Bagas?" tanya Chika setelah membalikkan tubuhnya.
"Gue lihat lo di kantor tadi secara gue juga ada urusan di sana. Gue yakin, lo ketinggalan semua ini. Kelas lo kayaknya antusias banget, ya. Sampai sekelas bisa kosong kecuali lo. Di kelas gue pada males piknik gara-gara asik main game di rumahnya. Gue juga pengin ngetik juga, tapi demi satu hal yang cukup penting, gue usahain tanpa kenal lelah."
"Satu hal?"
"Ah udahlah. Ayo, cepet. Sebentar lagi temen-temen lo pada ke sini, Chik. Gue juga mau ke sana pula meski temen gue ada yang gak ke sana sekalipun."
Bagas tersenyum sekilas. Tanpa basa-basi, ia mulai berjalan menuju tangga berada, tanpa memedulikan respons Chika sekarang ini. Bahkan, hingga ia melewati kolam ikan yang banyak lumut nan indah itu, ia masih tak menoleh.
"Sebegitu sukanya Bagas dengan piknik yang akan datang ini?" tanya Chika dengan senyum malu-malunya. Pikirannya ke mana-mana. Ia pasti ingin mencari inspirasi di tempat itu.
"Chika, cepet!" ucap Bagas dengan suara yang samar-samar. Sudah Chika duga, Bagas pasti selalu memastikan Chika mengikutinya. Suara itu tak terdengar kasar. Chika kemudian merapikan rambutnya sedikit dan mulai berjalan keluar kelas dan perlahan-lahan mulai berlari karena Bagas lebih cepat dibanding yang ia kira.
"Ish, tungguin gue!"
Chika kembali menilik jam tangannya. Ia baru sadar, jam istirahat hampir habis padahal ia serasa barusan menghabiskan waktunya. Melihat tangga yang berlantai sedikit licin dan berdinding oranye itu, serta Bagas di depannya, membuatnya teringat pada Rifki yang pernah menangkapnya di sini.
Ia malu.
Malu setengah mati.
Untuk apa ia melakukan itu? Hal yang bahkan tak berguna untuk dilkaukan maupun diingat. Chika benci hal yang sebenarnya tak pantas untuk ia kenang sekarang. "Lepas segera pikiran anu lo itu, Chik," desis Chika sembari memukul kepalanya sendiri.
"Chik, kenapa diem? Itu, dipanggil temen lo dari tadi!" ucap Bagas dengan senyum khasnya itu. Matanya ukuran normal jika dilihat dari pandangan Chika. "Chik?" Bagas mulai menepukkan kedua tangannya di depan wajah Chika, memastikan Chika tak kenapa-napa.
"Iya, gue lihat kok, Gas, gue cuma mikirin sesuatu di sini," ucap Chika sembari menuruni anak tangga dan Bagas mengangguk.
Tampak Riku dan Keyla seperti orang terpergok dan juga ingin kabur, tetapi mereka memaksakannya dengan memanggil Chika dan melambaikan tangannya ke arahnya.
"Chik, maaf ya, tadi gue itu istirahat dulu gara-gara si Riku yang iming-imingi gue makanan baru di kantin. Ya, katanya sih udah tenar gitu di sekolah ini. Makanya, gue penasaran. Mau nyoba? Ini masih sedikit, hehe." Keyla mengedipkan matanya berulang kali sembari menyodorkan sebuah gorengan yang sebenarnya menurut Chika itu biasa saja.
Mereka tengah duduk di suatu deretan kursi yang tak jauh dari aula, tempat tujuan Chika saat ini. Riku tampak tenang, masih dengan sorotan mata tajamnya, tetapi jantungnya ikut bertebaran karena meninggalkan Chika sendirian atau pergi ke kantin tanpa bersama sahabatnya itu.
"Bukan gue juga kali, Key. Siapa suruh lo terpikat? Cowok ganteng di kelas sebelah aja terpikat, apalagi makanan?"
"Gue gak suka cowok siapa pun tahuuuu."
Chika berdeham. Tempat atau papan pengumuman yang banyak dan diletakkan di aula itu masih dikerubungi banyak murid. Chika hanya menatap miris dari sini. Meski ada yang tak minat dengan piknik ini, sebagian besar murid tetap menyukainya hingga berdiri di sana berjam-jam, mengamati namanya di setiap urutan bus.
"Chik, seperti yang lo harapin, lo satu bisa sama Rifki, yaitu bus 6, sedangkan Bagas berada di bus 4, secara kelas Bagas kan beda sama kita. Kita 8E sedangkan dia 8C," tukas Keyla masih melahap gorengannya hingga minyak tercemot di sekitar bibirnya.
Tubuh Chika membeku mendengar itu. "Se-serius?"
"Serius, Chik, gue juga mastiin, kok," sahut Riku yang masih menyeruput minuman lewat sedotan putih itu. Bahkan, Riku yang jarang bercanda pun memastikan semuanya. "Lo seneng, 'kan? Gue aja yang jadi sahabat lo senengnya gak karuan."
Chika segera duduk di samping Keyla sembari tak menggerakkan tubuh lagi. Kini, pikirannya kembali melayang ke mana-mana. Diamatinya tempat parkir di depannya dengan bayangan yang tak ingin terjadi dalam hidupnya. Sesuatu yang hanya Chika tahu sendirilah karena orangnya sendiri labil.
"Chik, lo gak ada apa-apa 'kan sama si item itu?" tanya Riku yang seolah salah untuk menekankan dirinya satu bus dengan Rifki.
Bagas tanpa bertanya atau permisi hanya tersenyum nanar dan juga berlari ke tempat aula, mendesak banyak murid yang ingin tahu meski harus berjinjit sekalipun. Ada sekitar tiga papan di sana. Papan pengumuman, bertuliskan kendaraan berapa mereka akan liburan ke Bali.
"A-ah, gak ada apa-apa, kok. Gue senenggggg banget," ujar Chika berbohong. Keyla justru menepuk pundak sahabatnya itu dan turut senang mendengarnya. "Ngomong-ngomong, dia manis, tahu!"
Riku menutup mulutnya seolah baru pertama kali Chika memuji sosok Rifki. Sejujurnya, ada yang salah pula di pikiran Riku mengenai Chika dan Rifki. Sesuatu yang rasanya, sangat rumit. Riku bukanlah seorang peramal. Namun, dengan insting kepercayaannya, ia bisa mengambil garis kecil maupun besarnya meski bukan seluruhnya.
"Sekali-kali gue gitu yang manis. Jangan cuma dia doang. Gue kan udah syantik trulala gini," ujar Keyla sembari memilin rambutnya di ujung dan memainkannya. Chika yang memasang dua wajah itu hanya tertawa disusul Riku yang meniup telinga Keyla.
"Mimpi terus dah nih anak," balas Riku sarkas.
"Apaan, sih, anak tomboi," ucap Keyla mengusap daun telinganya yang terasa gatal karena Riku barusan habis minum kopi dan terkadang, Keyla tak suka bau mulut Riku yang kadang menyesakkan paru-parunya. Lebai, memang.
"Tomboi, tapi pahlawan, 'kan?"
"Pahlawan apanya, sampai kemarin aja, Chika yag justru nunjukkin kewibawaannya sebagai ketua kelas, padahal statusnya juga full perempuan, bukan kayak lo yang setengah-setengah."
Mereka berdua bercanda berduaan, sedangkan Chika semakin dibuat pusing, hingga kepalanya sedikit nyeri. Ada kejadian yang membuatnya untuk mengingat dan melupakan saat-saat kemarin. Di mana mading kelas sudah jadi separuh dalam satu hari.
"Gue bener-bener gak tahu akan dihadapkan dengan kondisi ini," ujar Chika sembari menimbrung temannya lagi, berharap ia dapat menenangkan otak dan juga menyegarkan kembali dengan candaan tak senonoh yang selalu muncul dari mulut mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com