Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Better Person 2

Lo gak salah, kok, suka sama seseorang. Tapi, jangan buat rasa suka itu ngerubah diri lo. Karena cinta itu bakal nerima apa adanya, bukan penuh kepura-puraan yang justru membuat lo tertekan.
🎀Better Person 2🎀
.
.
.
.
.

Gadis berusia lima belas tahun itu mengambil peralatan tulis dan menatap lapangan basket dari jauh. Ia tengah duduk di sebuah kursi yang berada di sekitar kantor guru. Jika jam sore seperti ini, semua ruangan sudah ditutup kecuali lapangan basket dan tempat ekstrakurikuler lainnya.

"Salah gak, sih, kalau gue suka lo?" tanya Chika sembari melihat Rifki yang berdiri di bawah dekat ring untuk melakukan rebound. "Apa gue harus jadi tim basket juga biar jadi lebih mudah? Lo sendiri, 'kan yang bilang, gue bukan tipe lo, jadi gue harus bisa kayak gitu."

"Lo gak salah, kok, suka sama seseorang. Tapi, jangan buat rasa suka itu ngerubah diri lo. Karena cinta itu bakal nerima apa adanya, bukan penuh kepura-puraan yang justru membuat lo tertekan," kata seseorang yang tiba-tiba datang sembari meminum kopi.

Chika yang tengah melamun memikirkan hal tentangnya itu menaikkan kedua alisnya. Ia yang semula bersandar mulai menegakkan badannya kala seorang laki-laki bernama Bagas mulai duduk di sampingnya.

"Lo lagi jatuh cinta?"

Pertanyaan itu membuat jantung Chika berdebar. Ia kemudian menyembunyikan catatannya yang tertulis tentang banyak kisah roman, di mana memang didedikasikan untuk Rifki.

"Enggak."

"Selama berkutat di bidang jurnalistik, gue sadar banyak hal aneh sama lo akhir-akhir ini. Lo lebih suka nulis tentang percintaan remaja dibanding kisah inspirasi pada cerita yang diajukan. Gue tahu lo bohong."

Chika dengan rambut tergerai dan jaket yang ritsletingnya terbuka mulai memajukan kepalanya ke arah Bagas, membuat laki-laki itu salah tingkah sendiri.

"Sejak kapan lo peduli sama gue sampai segitunya?" tanyanya penuh selidik.

Bagas melipat tangannya sembari menyentuh pucuk hidung Chika gemas. Mata Chika sangat bersinar kala ditanyai cinta begini. Membuat Bagas sendiri merasa, sebentar lagi, akan ada bagian yang hilang dalam dirinya.

"Gue temen deket lo, apa lagi sosok penting di ekstrakurikuler ini. Jadinya, gue wajib tahu tentang kalian. Tentang lo juga."

Sampai ke akar-akarnya termasuk perasaan.

"EH TEMAN-TEMAN, INI GIMANA, YA? KOK ADA YANG EROR KAYAK OTAKNYA SI BIMA?" tanya Keyla, teman sekelas Chika yang kebetulan memilih tambahan sama.

"Sekalipun pengin tahu, semua ada batasnya, Gas. Ngomong-ngomong, kayaknya ada masalah lebay di dalam sana, gue harus cek dulu," ucap Chika sembari mengarahkan jempolnya ke dalam ruangan jurnal itu. Tempat di mana laptop-laptop dan buku-buku berjajar.

Ah, Chika memang benci jika orang lain tahu apa perasaannya sedangkan dirinya bukanlah orang penting dalam hidup Chika.

"Lo emang pandai buat gue penasaran, Chik. Gue salut sama sifat lo itu," ucap Bagas yang mulai mengedarkan pandangannya ke arah bunga-bunga di sekitar tempat tersebut.

Chika mulai memasuki ruangan dan melihat tempat Keyla yang cukup berantakan. Memang benar-benar gadis itu. Bahkan, sesantai apa pun dia, tempatnya tak akan pernah rapi. Buku tersebar ke mana-mana, bolpoin jatuh, hingga biasanya membuat orang terpeleset.

"Ya ampun, Keyla! Kalau lo ribut itu kayak seluruh sekolahan yang ribut tau, gak!" Chika menyampirkan rambutnya ke belakang telinga sembari menghampiri tempat Keyla yang dekat dengan jendela. Tempat jurnalistik itu disusun secara urut. Hanya ada sepuluh bangku di sana.

"Chik, ini gimana, ya? Kok mati dipencet-pencet terus nggak mau hidup?" tanya Keyla sembari menekan tombol power.

Chika mendesah. Ia mulai mengetahui penyebab masalah Keyla. Sudah berapa kali Keyla lupa tentang operatornya? Bahkan sampai suhu badannya panas sekalipun, kalau tidak ada orang lain di tempat kejadian, bisa separah apa nanti?

"Kayaknya lo harus banyak baca buku metode penggunaan, deh Key. Lagian, lo juga kasar, sih jadi cewek. Jurnalis itu harus sabar. Padahal ya, penulis itu ingatannya kuat. Mungkin lo emang harus banyak belajar."

Chika mulai membenahi kesalahan yang dilakukan Keyla dengan menekan banyak tombol secara lama. Setelah ada tulisan restart, Chika mulai berjalan kecil menuju tempat jurnalisnya sendiri. Mencari buku-buku yang disebutnya perpustakaan kecil.

"Ye, gue ikut ektrakurikuler ini juga gara-gara ajakan lo. Apa lagi, gue di rumah isinya chattingan, jadinya, 'kan berbakat buat ngetik sesuatu."

Mata Chika terhenti pada seseorang yang sedang berdiri di depan pagar dari jendela berbingkai persegi panjang. Menatap gadis yang terlihat seumuran dengannya tengah melambaikan tangannya ke arah Rifki. Mereka sangat dekat.

"Chik? Lo kenapa? Ada apa?" tanya Keyla sembari melihat Chika yang membeku di sana. Dia terlihat antusias. Namun, diam-diam, Chika meremas pelan buku metode itu sembari menghela napas berat.

Apa sesusah itu ngedeketin bad boy kayak dia? Sampai dia harus dideketin perempuan lain, padahal gue belum maju satu langkah sekalipun.

"Ada apel yang tengah meledak di sana, Key. Parah, buat gue ngeri sendiri," kata Chika sembari mendelik pada jendela yang terbuka itu. Ruang jurnalistik memang berada di lantai satu. Membuat Chika dapat melihat sosok itu dengan jelas. Luka pertama udah gue dapetin.

"Chika Nadyana Salwa! Jangan bercanda, deh! Ada apaan? Kok kayaknya lo sedih gitu, sih? Gue mager, bokong udah nempel banget." Keyla tampak kesal melihat sahabatnya yang terlihat kesusahan itu. Kemudian, matanya berbinar. Laptopnya kembali menyala berkat Chika.

"Gak ada apa-apa, kok," kata Chika sembari memutarbalikkan badan kala mereka sudah pergi dari tempat itu. Napasnya sejujurnya tak karuan menahan sakit.

"Ya udah, bawa ke sini bukunya. Laptopnya udah nyala, nih! Thanks, My Friend! Kalau ada sesuatu yang buruk atau penting, ngomong aja. Keyla si berantakan ini siap mendengarkan celotehan Chika!"

Chika menundukkan kepalanya sejenak. Menganggap itu perjuangan pertama yang perlu ia tempuh. Kemudian, ia berjalan menghampiri Keyla sembari menyodorkan satu buku bersampul batik. Keyla menyambutnya dengan anggukan semangat. Entahlah akan ia baca atau tidak.

Lagi, Chika kini memundurkan langkahnya sembari mengambil buku catatan dan menuliskan beberapa ide yang tersemat dari kejadian tadi. Setidaknya, akan berguna untuk alur ceritanya meski diubah banyak unsur intrinsiknya menjadi karya fiksi.

"Ngomong-ngomong, kapan lagi kita ngeriset? Gue kangen, nih!" tanya Hana yang berkacamata hitam bulat dan mata sipit itu. Jari-jarinya masih sibuk mengetikkan sesuatu. "Tadi, Bu Dina yang dateng juga minta kita ngelakuin itu soalnya. Semacam kerja kelompok gitu, yang penting jangan ganggu mapel akademi."

"Ngeriset aja dikangenin. Sekali-kali ngangenin gue, gitu," gurau Keyla sembari memberikan sedikit pose.

"Gak mau," balas Hana.

Chika mulai melirik Hana yang super sibuk itu. Ia kemudian melirik jam tangannya serta kalender secara bergantian. "Besok, jam seperti biasa. Gue bisanya hari itu doang." Dan tepat pada waktu yang sama, Rifki juga akan tiba ikut ekstra basket. Lagi-lagi, gue harus merelakan waktu untuk ini dibanding dia.

Lampu di ruangan itu padam. Beberapa penyangga buku dan tumbuhan hidroponik diletakkan di sana. Chika kemudian bergumam meminta persetujuan.

"Jam ekstrakurikuler? Gue pikir, itu waktu yang tepat buat orang lain juga, yang mana udah pada pulang duluan tadi." Hana mengacungkan jempol ke arah Chika.

Mungkin itu tepat buat kalian. Tapi, buat gue, itu ngebuat kesempatan gue sangat miris untuk ngedapetin hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com