Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Better Person 22

Sekarang, gue percaya, kalo malam emang waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa tanpa disadari pemiliknya sendiri.
🎀Better Person 22🎀
.
.
.
.
.

"Ngapain?" tanya Chika sembari menjawab ajakan tersebut. Kali ini, matanya mengintip, tetapi hidung dan mulutnya tidak ia tampilkan di layar. Matanya menatap sangat tajam. Ingat, ini sudah jam dua belas. Bahkan, jam dinding yang terletak di atas lemari itu, jarum jamnya terdengar jelas.

"Gak papa," ucap Rehan dengan cengegesan khasnya. Bahkan, di video itu tak menunjukkan siapa pun. Hanya tembok dan seprai putih. Kalau begini caranya, untuk apa Chika menjawabnya.

Alasan khususnya untuk menjawab ialah, setidaknya ia menghargai Rehan yang berusaha untuk bekerja lebih keras untuk mading kemarin. Ditambah, ia pernah berdebat akan tugas yang belum terkumpul. Siapa tahu, ia ingin minta maaf dengan cara yang ekstra?

"Gak niat," ucap Chika sembari menghela napas. Bahkan, tangannya sempat ingin menekan tombol mati agar video itu bisa berhenti. Wajah Chika terlihat sedikit lebar karena dekat sekali. Ia segera menjauhkannya dan matanya sempurna melotot.

A-A-APA? ADA RIFKI DI KAMARNYA? SEJAK KAPAN MEREKA SEKAMAR?

Chika segera menghilangkan wajahnya dari ponsel tersebut tanpa menekan tombol mati sekalipun. Rasanya, rencana yang dibangun susah payah sudah tidak ada apa-apanya lagi. Ia seperti melupakan segalanya saat melihatnya secara langsung. Mereka bertiga. Dio, Rifki, dan Rehan dengan wajah yang menyembul malu-malu ke layar.

"Gue serasa diserang malam-malam begini. Apa mereka mau ngerjain gue, ya?"

Chika menyembunyikan ponselnya ke dalam kasur dan menegakkan punggungnya. Tangannya berusaha mengelus dada dengan napas yang memburu. Sungguh, ia sangat kaget. Bahkan, jika dibandingkan kaget mendapatkan ranking satu dan melihat wajah mereka bersamaan, ia lebih kaget dengan hal yang kedua.

Chika dengan tangan kanan yang memasukkan ponsel ke dalam selimut itu kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Tadi, Rifki tersenyum ke arahnya, membuat hatinya semakin berdebar dan ingin copot. Ini seperti mimpi baginya.

"Tuhan, gue masih pengen hidup," tukas Chika sembari menatap televisi yang sedang iklan. Tiba-tiba saja, telepon kamar hotel mereka menyala, membuat Chika semakin terheran sendiri. "Ini bukan horor, 'kan?"

Chika memegang dua telepon dengan dua tangannya. Apa yang terjadi? Telepon itu, seperti menakut-nakutinya. Suaranya direndahkan dan napasnya membuat suara telepon itu lebih eror.

"Chika ... kamu di mana? Hati-hati di belakangmu ...."

Detik itu juga, ia mematikan teleponnya sepihak tanpa berkata apa-apa lagi. Apa ini alasannya tak bisa tidur karena ia wajib untuk diganggu terlebih dahulu? Rasanya, ini sangat keterlaluan. Keringatnya bahkan menetes. Wajahnya memucat. Ia sendiri yang masih sadar di ruangan itu. Hanya dia. Siapa yang mampu menenangkannya sekarang?

"Maafin mereka ya, Chik?" tanya Rifki di layar itu dengan mata yang perlahan menyembul. Sungguh, Chika ingin menampar wajah mereka karena sikap jahil. Bahkan, terdengar suara terbahak-bahak dari dalam ponselnya. "Mereka nyoba-nyoba untuk nelpon kamar lo."

Tunggu.

Apa? Nomor telepon kamar? Sejak kapan mereka tahu kamar Chika? Apa semudah itu menemukannya? Chika pikir, tidak. Itu pasti ada perjuangan mereka mendapatkannya atau sesuatu mulai merasuk hingga memata-matai Chika seperti itu.

Rif, apa lo emang beneran suka sama gue? batin Chika dengan lirih. Ia mulai menunjukkan wajahnya lagi. Kali ini, hanya ada Rifki seorang di sana. Chika melihat jam di ponselnya sendiri sudah jam setengah satu. Rasanya, ini adalah hal yang tak boleh terlewatkan di hidupnya. Ini langka.

"Lo ngagetin gue," ucap Chika dengan perasaan yang tak karuan.

"Kenapa lo ngejauhin gue, Chik?"

Percakapan tersebut terasa begitu cepat bagi Chika. Sebab, ia merasa ada rasa yang perlahan muncul lagi di antara mereka. Sungguh, Chika menangis terharu malam itu. Tangannya bahkan mengusap ujung mata perlahan dan senyum-senyum sendiri. Tepat saat bulan benar-benar menunjukkan jati dirinya dan hari sudah mulai berganti.

Sekarang, gue percaya, kalo malam emang waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa tanpa disadari pemiliknya sendiri. Bukankah gue gak boleh nyerah gitu aja, sekarang?

Chika berbicara dengan sangat lama sekali. Bahkan, hingga ada nomor yang mulai meng-add akun Line-nya. Itu dari HP Rehan, HP yang dipakai Rifki untuk berkomunikasi saat ini.

"Gue bakal chat lo lebih sering, Rif," tukas Chika dengan perasaan yang amat bahagia. Hingga ia pikir, perasaanya terbalas. Perasaanya akan berbunga-bunga dan hidupnya akan lebih ceria dibanding sebelumnya. Chika memang tak benar-benar tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tentang bagaimana maksud dari semua ini.

Ya, Chika melupakan misinya hingga mungkin, ia tak akan pernah tahu jalan keluarnya.

***

Chika kembali ke dalam bus setelah lamanya berfoto di pantai dengan para guru dan teman-temannya. Foto-foto yang diambil cukup tidak niat. Riku bahkan sempat tertawa sendiri karena stres tidak mendapatkan wifi dan jaringannya cukup lemot untuk kartunya. Ah, Chika ingin mempermasalahkannya sekarang.

"Lain kali gue foto aja sendiri kalo tahu gitu," ucapnya sembari menanjaki bus yang cukup besar itu dengan berpegangan pada sebuah tiang. Di belakangnya, ada Riku yang membawa kamera dengan tertawa terbahak-bahak disusul dengan Keyla yang cukup bahagia karena bisa pergi ke sana.

Jika dilihat dari jauh, ada tulisan Pantai Pandawa yang berada di atas. Tinggiii sekali. Bahkan, Pantai Pandawa terlihat cukup jernih, ditambah dengan patung-patung Pandawa sendiri saat berangkat sebelumnya. Tidak kotor, sehingga mereka cukup senang. Namun, yang disayangkan, rambut Chika bergerak liar karena angin yang kencang sehingga gambar yang sudah acak itu semakin tak terkira hasilnya.

"Sabar, Chik!" ucap Keyla sembari menyentuh perutnya karena tak kuat menahan tawa. Sedangkan Riku justru mengelak karena itu meman keinginan Riku sendiri. Ia justru ingin saja melampiaskan perasaanya. Namun, berkat Resa yang datang senang hati menenangkan Riku, Chika dapat foto terbaik meski hanya satu buah.

"Key, tadi ombaknya kelihatan besar banget, ya? Gue pengen adu jotos gitu, sama mereka."

"Lo adu jotos, langsung tenggelam gue syukurin mau?" tanya Chika yang tersenyum miring. Diam-diam, ia melihat Rifki yang sudah menaiki bus lebih dulu. Matanya tampak melihatnya begitu dalam. Sungguh, tanpa Chika tahu, senyumnya mengembang sembari berjalan ke arah tempat duduknya.

"Yeee, gue mah gak gitu-gitu amat kali, Key. Gue, 'kan juga bisa renang gaya batu," tukas Riku dengan wajah membekunya. Chika sendiri membalasnya dengan senyuman. Pikirannya justru melayang ke arah Rifki. Tentang semalam. Apa Rifki mabuk hingga mengatakan itu? Apa hari ini akan jadi lebih baik dibanding sebelumnya?

Mereka bertiga duduk di tempat masing-masing. Chika yang sudah duduk itu kemudian mengamati jendela dan hamparan pasir putih sedikit kekuningan. Di Pantai Pandawa ini, mereka lebih memilih mengabadikan foto dengan bebatuan atau karang besar dibandingkan asyik dengan air maupun berdiam di dalam bus. Banyak pepohonan dan juga payung atau tempat berjemur. Duduk bersama para turis dan juga orang lokal.

"Menurut lo, tempat ini penting gak? Gue gak sabar lihat kura-kura setelah ini," ucap Keyla dengan mata yang berbinar. Ia bahkan menyempatkan untuk memakai topi khusus pantai sehingga tampak selayaknya tamu modern.

Chika yang merasa ditanyai itu seketika menoleh. Rambutnya masih terlihat berantakan. Ia sekadar menaikkan kedua bahunya, pertanda ia tidak tahu. Karena yang penting dari semuanya, yaitu cara gue bisa dekat atau melupakan dia di tempat seindah ini. Sebab, bagaimanapun, itu akan jadi kenangan dan pengalaman yang berbekas di masa kini hidup gue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com