Better Person 4
Kenapa kita harus banyak yang berbeda, sih? Dengan begitu, gue susah ngerubah lo, meski gue tahu, cuma cinta yang ngebuat gue bertahan di sisi lo. Gak ada yang lain.
🎀Better Person 4🎀
.
.
.
.
.
Pagi itu, kicauan burung sudah terdengar di mana-mana. Di waktu itu, Chika membuka matanya spontan. Tangan kanan dan kirinya masih digunakan untuk tumpuan saat tertidur. Rambutnya terlihat kusut dan matanya bengkak.
"HUA! GUE TELAT!" teriaknya sembari bangkit dari tempat tidurnya dan menatap jam dinding Hello Kitty-nya menunjukkan pukul setengah tujuh. Bahkan, ia tidak sempat untuk tidur kembali atau bermalas-malasan menunggu jam enam seperti hari biasanya.
Terdengar suara yang bergemuruh dari luar. Terlihat Tiara tengah menaiki tangga sembari tertawa dalam hati. Bahkan, posisinya sama. Belum mandi atau memakai seragam.
"Makanya, siapa suruh lo tidur malam-malam? Tahu juga besok hari Senin, tapi malah nyolot buat nge-stalker temen sekelas lo sampai nangis kejer tengah malam. Mama udah bangunin lo tiga kali sesuai aturan, tapi lo masih asyik terlelap bersama mimpi-mimpi itu. Dia udah nyiapin sarapan di bawah."
Tiara menyembulkan kepalanya dekat dengan pintu Chika dengan mulut yang tengah mengunyah makanan. Alisnya naik sembari membentuk mulut huruf o. Bedanya dari Chika, wajahnya lebih segar karena kemarin ia asyik menghina, bukan menangis seperti Chika.
Chika yang berlari mengambil seragamnya dari lemari itu menatap sinis kakaknya sendiri. Kepalan tangannya sudah disiapkan dan mulai ia tiup-tiup sendiri. "Ngapain lo di sana? Gak sekolah? Gue juga nyesel, cuma penasaran itu seperti mau ngebunuh gue, Kak."
Gak biasanya gue dibangunin sampai tiga kali, tapi gak bangun-bangun.
Chika menghela napasnya. Tak mau ada perang lagi pagi ini karena ia sudah melakukan kesalahan yang tak bisa ia kembalikan. Matanya mulai terpejam dan kakinya berjalan santai. Moga aja Rifki sempet mikirin gue juga sampai stalker begitu. Meski itu mimpi sekalipun.
"Sekolah gue ada rapat penting. Makanya, gue kemarin santai sambil nonton film horor di kamar. Nah lo? Bunuh diri padahal tahu 'kan hari ini upacara?" terka Tiara yang melihat aksi tak biasa dari adiknya itu. Biasanya, setiap Senin, Chika selalu siap duluan, namun sekarang, ia justru melenceng.
"Iya-iya," ucap Chika sembari membenahi handuknya yang hampir jatuh dari lehernya.
"Jangan ngebuat diri lo jadi anak nakal ya, Chik. Gue gak mau, kata 'cinta' itu ngerubah diri lo yang normal jadi asing. Karena cinta itu mengubah dari buruk menjadi baik. Intinya, lo yang ngerubah dia. Gue tahu, kok, orangnya kayak gimana."
Tiara mengangkat kedua bahunya dan mulai berbalik. Tak menunggu apa jawaban Chika yang sudah hampir selangkah ke dalam kamar mandinya sendiri.
"Gue kurang ngerti sama ucapan lo gara-gara masih setengah sadar. Tapi, denger kata-kata itu, ada sesuatu yang membuat hati gue semakin sakit, Kak."
Chika memejamkan mata setelah melihat kepergian kakaknya secara tiba-tiba. Ia mulai memasuki kamar mandinya sembari merefleksikan segala yang dipikirkannya kemarin dan sekarang. Rifki dan dunia nyata. Mereka sama-sama penting.
***
"Ya Tuhan, gue bener-bener gak murid teladan lagi kalau begini caranya," gerutu Chika sembari mengenakan topinya di depan pagar. "Gue sebegitu salahnya untuk suka dia sampai eror kayak begini?"
Mata Chika sebelumnya melihat sopir yang sudah pergi dari keberadaanya. Untung, Tiara tak bertekad untuk ikut bersamanya, sehingga ia tak akan malu berdiri di depan pagar. Ini pertama kalinya, selama ia sekolah di sini. Tempat di mana lebih sempit karena berkumpul dengan anak tukang telat.
"Telat ya telat aja, gak usah nyalahin takdir. Sakit kuping gue dengerinnya. Andai gue bisa menjauh dari lo yang asyik mikirin status kesiswaan."
Chika mengerutkan dahinya. Ia mulai mendongak, tepat seorang laki-laki yang dipikirkannya semalam. Rifki. Wajahnya begitu dingin, membuat Chika menelan ludahnya sendiri.
Apa gue harus turutin kata Kak Tiara untuk gak merubah diri seperti apa yang dia suka? Jujur, pendidikan ini penting buat gue.
"Apa, sih, yang buat lo ngeremehin kayak begitu, Rif? Dengan tertib, lo bisa dapat masa depan yang jauh lebih baik."
Chika tak berani menatap Rifki saat itu. Takut jika hatinya terbunuh seketika akan kesinisannya. Entah apa yang membuat Chika jatuh cinta meski dihina berulang kali.
"Percuma tertib, gue gak dapat masa depan yang baik juga."
Detik itu, Chika merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Kenapa kita harus banyak yang berbeda, sih? Dengan begitu, gue susah ngerubah lo, meski gue tahu, cuma cinta yang ngebuat gue bertahan di sisi lo. Gak ada yang lain.
Beberapa murid lain tampaknya juga asyik berbisik satu sama lain. Ada guru yang mengawasi diam-diam jika mereka berbuat senonoh, seperti kabur. Di samping Chika, ada seorang perempuan yang rambutnya berantakan, pakaiannya tidak rapi, namun wajahnya cukup menarik.
"Gue gak bisa kayak perempuan di samping gue, Rif. Itu namanya kita akan sama-sama tersesat suatu saat nanti," ucap Chika pelan lebih dari bisik-bisiknya yang tadi. Tangan kanannya mulai terangkat dan jemarinya melakukan hormat.
Meski gue tahu, cinta itu selalu bersama, namun ada kalanya, kita harus perlahan berbeda, berubah menjadi lebih baik, dan bersama itu memang akan jadi hal yang sepantasnya.
Sedari tadi, tubuh Chika gemetaran sendiri. Bahkan, ketika salah satu guru tiba-tiba marah ke murid lain akibat tak sesuai dengan pelaksanaan upacara. Chika merasa sangat asing, takut, dan salah berada di sini. Ia tak senyaman wajah datar milik Rifki.
"Heh, kamu. Jangan sibuk ngoceh sekeras itu! Ini upacara, fokus ke depan!" ucapnya dengan galak dan sangat dalam.
"Iya, Pak. Ini si Joan ganggu terus. Yang seharusnya dimarahin itu dia, Pak."
"Ngeles terus kamu bisanya. Itu, lihat, si Rifki, setelat-telatnya dia, dia tetap diam."
"Ye, Bapak kan gak tahu dia aslinya gimana, Pak."
Chika yang sedari tadi berdiri di samping Rifki sembari mendengarkan ucapan mereka itu ingin sekali menatap Rifki. Memandang matanya, betapa gelap hidupnya. Namun, itu semua lagi-lagi harus tertahan. Apakah benar, Rifki bisa menjadi lebih buruk dari ini?
Detik-detik itu, kaki Chika mulai lemas. Tangannya yang semula hormat itu kemudian mulai memegangi pagar di depannya secara spontan. Sedangkan tangan lainnya mulai memegang kepalanya yang terasa pusing. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke arah Rifki yang mulai terheran-heran.
Semua ungu. Semua mulai menggelap. Bahkan, telinga Chika berdengung hebat. Ia goyah perlahan-lahan. Yang bisa ia lihat sekarang adalah Rifki. Entah kenapa, sepusing apa pun Chika, ia merasa tenang ada Rifki di depannya.
"Eh, Pak, Chika!" teriak Joan yang mulai peka akan keadaan.
Bapak penjaga murid telat itu kemudian menatapnya tajam. "Ngeles terus kam-"
Detik itu, Chika mulai tumbang sembari tersenyum melihat Rifki. Ia kumat. Sudah ia bilang, ia tidak akan tahan. Apa lagi, di sini lebih panas dibandingkan di dalam.
"CHIKA!!!"
Benar, detik itu pula, Chika jatuh ke pelukan seseorang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com