Better Person 7
Meskipun gue tahu percuma untuk terluka berkali-kali, gue akan tetap sayang sama lo.
🎀Better Person 7🎀
.
.
.
.
.
Wajah Chika ketakutan saat itu. Ada seorang lelaki yang mencengkeram tangannya kuat-kuat hingga menariknya untuk bersembunyi. Venanya ditekan sangat dalam, membuat Chika meringis kesakitan.
"Jangan sentuh gue," ujar Chika takut. Saat itu, napasnya tidak karuan. Langit sudah mulai menggelap dan dia sekarang terjebak bersama orang asing.
"Lo ke sini untuk bermain, 'kan?" tanyanya dengan seringaian lebar. Bahkan, meski mata Chika berusaha melihat area lainnya, pria tersebut tidak menghiraukan. Ia sibuk menatap wajah putih mulus dan mata Chika yang tengah jatuh cinta.
Padahal, tatapan itu untuk Rifki, bukan pria asing itu.
"Gak, gue mau nyari se-seorang," jawab Chika gemetaran dan terbata-bata.
Chika mulai mencoba keluar dari kurungan pria tersebut yang mana mengurungnya pada suatu tembok putih terpojok dan sedikit lumutan pada bawahnya. Tubuh Chika saat itu benar-benar dekat dengan lelaki asing, alasan Chika sulit mengatur keberanian dirinya. Gue udah bilang untuk tahu segalanya, seharusnya gue tahan sama risikonya, Rif.
Laki-laki itu lebih tua dibandingkan Rifki. Banyak tato di sekitar tubuhnya. Berkulit hitam dengan balutan celana jeans yang lututnya sobek, sedangkan pakaiannya, bau sekali, meski tampak sangar dengan logo komunitas.
Saat berusaha menunduk dan keluar dari kurungan oleh laki-laki tersebut, justru, satu tangan menghalanginya. Wajah pria itu semakin mendekat dan napasnya terasa di permukaan wajah. Sungguh, Chika serasa mati rasa sekarang. Kakinya gemetaran. Keringatnya bercucuran, sedangkan untuk melawan, ia terlalu lemah.
"Biarin gue pergi, please." Chika tak menatap wajah yang menyeramkan itu. Matanya bahkan terlalu buruk untuk dilihat. Ia takut setengah mati. Benar, senakal-nakalnya Rifki, Chika lebih tahan untuk melihatnya.
"Chika lo di mana? Chika?" Suara Bagas membuat semangat Chika meningkat. Ia segera melihat ke kiri, tempat di mana ia awalnya terjebak dan terakhir melihat Rifki.
"Bagas, gue di sini! Tolongin gue, Gas!" isak Chika dengan nada lemah. Bahkan, kedua tangannya mulai terangkat untuk diletakkannya di sekitar mulut agar lebih keras. Kedua kakinya sempat berjinjit-jinjit untuk melihat batang hidung Bagas saat itu.
"Chika, tahan, Chik, gue bakal dateng!" Suara Bagas semakin keras dan terdengar khawatir. Bagas sendiri yang saat itu tampak kelelahan tak berputus asa demi Chika sendiri. Napasnya ikut memburu untuk mengejar langkah Chika, tetapi ia tak menemukannya. Hanya rumah-rumah yang pintunya sudah tertutuplah yang bisa dilihatnya.
"Ssshh, sekali lagi lo teriak, lo bakalan mati!" tukasnya sembari mengarahkan jari telunjuk ke bibir Chika.
"Ba-"
Chika yang semula menatap tajam orang di depannya itu kemudian berubah sayu. Tangannya yang terangkat kemudian lemas dan tubuhnya lunglai dengan angin yang meniup-niup rambut indah tersebut. Lelaki itu membawa sapu tangan dengan bau obat-obatan yang diyakininya mengandung efek tenang. Dia membekapnya hingga hidung Chika sendiri, terasa tersendat.
Meskipun gue tahu percuma untuk terluka berkali-kali, gue akan tetap sayang sama lo, Rif.
Dalam hati, Chika terisak sepenuhnya. Entah kenapa hanya Rifki yang ada di benaknya. Mata hitam tersebut berair, dadanya sesak, dan saat terpejam, ia memang benar-benar menitikkan air matanya dan jatuh dalam pelukan orang yang salah. Tolong gue siapa pun itu.
"Lo milik gue," ujar laki-laki itu sembari membopong tubuh Chika susah payah hingga kaki Chika terlihat menggantung dan tangannya terayun-ayun.
Hanya beberapa meter untuk berjalan. Mata laki-laki itu melihat lorong kecil yang digunakannya sebagai jalan pintas menuju rumah gelapnya sendiri. Ia sudah hampir sampai.
Lelaki tersebut memang bertubuh agak besar. Cukup membuat Chika terbawa dengan mudahnya oleh kedua tangan tersebut. Langkahnya bahkan diam-diam, hingga gang kecil itu membuatnya menghela napas karena tempat tersebut memang tempat sepi. Banyak sampah berceceran, barang antik yang statusnya bekas, dan juga sebuah rumah yang tak karuan rupanya.
"Jangan sentuh dia."
"Ngapain lo di sini, Rif? Bukannya ini udah jadi tugas gue?"
"Masalahnya lo nyentuh punya orang lain."
"Dia natap gue penuh cinta."
Laki-laki yang berambut seperti anak punk itu kemudian menurunkan tubuh Chika yang terlelap dengan pelan ke tanah kecokelatan. Ia masih sibuk dengan Rifki yang tiba-tiba menghadangnya saat masuk ke rumah.
"Oh, ya?"
"Lagian, gue gak bakal ngapa-ngapain dia."
"Lo setengah mabuk, Ger. Kalau ada masalah, silakan cerita sama gue, jangan pakai orang lain yang bahkan gak bersalah sama sekali. Lagian, umur lo udah hampir dua puluh tahun, masih gak mau ngasih contoh yang baik ke adik lo yang masih kecil itu?"
Rifki tak melakukan apa pun. Ia dengan celana berjersey itu masih menatap Gero dengan tatapan tajam. Bahkan, Gero-lah yang harus dilelapkan agar tenang, bukan Chika.
"Bacot, lo! Padahal lo juga suka mabuk, 'kan selama ini?" teriaknya tidak waras sembari mengepalkan tangannya ke arah Rifki.
Rifki tahu, teman gelapnya ini sedang minum-minum lagi berdasarkan informasi temannya yang lain.
"Itu beda lagi alasannya! Soalnya lo gak punya alasan untuk ini semua!" Rifki mulai menangkis suatu pukulan dan membalas dengan memukul-mukul perutnya menggunakan tangan. Bahkan, hingga wajah Gero seperti orang kesakitan sekalipun, baginya melihat seorang perempuan sampai segitunya, perasaan Rifki justru semakin sakit dan memihaknya.
"Pengecut, lo! Bukannya lo juga gak punya alasan untuk itu semua? Bukankah takdir emang menyuruh kita untuk melakukan ini? Udah berapa kali lo ngelakuin hal kayak gini sama gue, hah?"
Mata Rifki memanas. Bahkan, aibnya disebar tak tahu diri seperti itu. Rasanya, ia marah sekali akan perkataan tersebut. Ada rasa tak tega dan bersalah dalam hati kecilnya sekarang.
"LO YANG PENGECUT, GERO!" Rifki mulai mengepal tangannya dan meninju semakin keras. Bahkan, kini mulai melayangkannya ke tulang pipi milik Gero. Hingga suara retak dan teriakan kesakitan tak membuat Rifki puas.
Tak ada orang yang benar-benar baik datang ke tempat itu karena hal tersebut memang tempat tersembunyi mereka. Bahkan, jika mereka menelusuri lebih, akan ada lagi tempat-tempat gelap dan jauh mengerikan untuk orang tak bersalah.
"MUNAFIK LO JADI TEMEN! APA JANGAN-JANGAN LO SUKA SAMA GADIS ITU, HM?" tanyanya dengan sikut yang mulai mengarah ke dadanya. Membuat Rifki membelalakkan matanya dan merasakan sakit yang amat dalam. Bahkan, rusuknya seperti patah waktu itu juga. Jantungnya terasa berdetak lemah untuk beberapa waktu.
Perkataaan demi perkataan yang membuat hatinya tertusuk itu tetap membuat Rifki membrutal tak karuan. Kebiasaanya jika orang berbicara tak tahu diri. Dia tak pernah tahu, siapa yang akan membuatnya sadar lagi, kecuali Chika.
"CUKUP, GER!" Rifki menendang tubuh Gero hingga terhempas ke atas tanah dan terdengar suara orang terjatuh. Darah muncul di sekitar wajah Gero dengan amat mengerikan. Keringat Rifki turun satu per satu. Bahkan, semburat sarafnya hingga terlihat. Rifki tahu, bahwa tempat itu memang sudah sering menjadi tempat terakhir hidup banyak orang. Namun, bukan berarti Rifki harus mengakhiri segalanya di sini.
Gara-gara lo, Chik. Gue harus berantem sama temen gue sendiri.
"Rifki?" tanya Chika kala masih sangat pusing. Tiba-tiba, ia terbatuk, membuat Rifki yang masih sibuk menunggu laki-laki itu pingsan seketika mengedarkan pandangannya ke arah Chika. Senyum Chika terukir saat itu juga. "Udah gue bilang, gak ada yang gak mungkin di dunia ini."
Detik saat Gero pingsan dan suara lembut Chika mulai meraung di telinga, Rifki segera berlari ke arah gadis tersebut. Wajah Chika sangat pucat saat itu. Membuat Rifki hanya bisa menghela napas.
"Lo seharusnya gak perlu tahu lebih tentang gue. Lo masih terlalu kecil." Kali ini, Rifki mulai menelusuri jemari tangan Chika yang lembut, menatapnya nanar, dan sedalam mungkin. Dari tatapan Chika pun, ia terlihat kesakitan akan kehadirannya.
Chika tersentak. Rasanya, genggaman itu terasa hangat dan menyembuhkan segala hal menyakitkan selama ini.
Apa lo belum mencintai gue walaupun satu persen sekalipun, Rif?
Suara Rifki masih berat dan menantang. Membuat Chika yang tatapannya bertaut itu kembali berpikir, Rifki bukan melakukan ini karena dirinya. Apakah Rifki mempunyai alasan lain untuk melakukan hal ini?
"Karena cinta belum tentu bisa datang untuk kedua kalinya dengan perasaan yang sama, jadi gue milih bakal sakit sekarang atau di kemudian hari, Rif," ucapnya dengan lemah dan air mata yang turun di pipinya. Sungguh, kali ini, suara Chika terdengar memilukan.
Gue gak akan kecewa semudah itu sama penuturan lo. Meski sesak sekalipun, gue akan jadi orang yang kuat, Rif.
"Lantas gue gak tahu apa itu cinta karena itu cuma omong kosong belaka yang emang gak akan pernah terjadi sama gue."
Menit itu juga, Chika seperti tersedak sesuatu, matanya semakin berkaca-kaca, dan tangisnya semakin deras.
Bersamaan rasa sakitnya, tenggorokan Chika terasa sempit. Ia berusaha untuk memejamkan mata sembari menekuk lutut, tak berani menatap mata Rifki yang seolah menyuruhnya pergi.
"Gue gak akan nyerah, Rifki!" isaknya dengan sedikit berteriak dan memukul lengan Rifki berulang kali.
Karena tanpa lo, gue justru akan lebih lemah dari ini!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com