Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Better Person 8

Karena dari banyak perumpamaan, gue jadi lebih kuat.
🎀Better Person 8🎀
.
.
.
.
.

Chika masih terus menundukkan kepalanya sembari memukul lengan Rifki, sedangkan Rifki ikut memejamkan matanya seolah merasakan sakitnya perasaan Chika.

"Seharusnya gue gak sesakit ini ngelihat lo, Chik," ucap Rifki sembari melepaskan pukulan Chika dengan melepasnya kasar. Sungguh, mata Rifki terasa berair untuk kejadian seperti ini. "Lagi pula, banyak alasan gue harus ngelakuin ini. Gue benci lo."

Chika sibuk dengan perasaanya saat itu. Rasanya, baru pertama kali ia seperti ini. Apa yang akan terjadi esok hari jika hari sebelumnya saja sudah semenyakitkan ini?

"Gue tahu gue masih kecil, tapi apa gue salah untuk ngerasain ini?" isak Chika benar-benar bukan akting semata. "Kalo ini bener-bener cinta monyet, seharusnya gue gak ngerasain lara sesakit yang lo rasain pula!"

Rifki mengedarkan pandangannya. Wajahnya terpampang sangat sedih saat itu. Matanya berkaca-kaca dan ia menghela napas lelah berulang kali.

"Apa lo ngelakuin ini karena seseorang?"

"Gak ada yang bener-bener tahu gue, Chik."

Rifki mengusap wajahnya kasar tak membiarkan air matanya hampir jatuh sembari berdiri dan mengamati Chika yang masih menangis. Bahkan, air mata Chika yang terjatuh ke tanah terlihat, sekalipun ia menutupnya rapat-rapat. Gue bisa lihat apa pun yang lo rasain, Chik. Namun, bukan berarti gue harus nerima segala hal serupa.

"Jangan nangis apalagi buat gue karena gue gak pantes ngedapetin ini. Masih banyak orang yang sesuai atau jauh lebih baik dari gue di usia yang lebih matang," lanjut Rifki lagi. Entah kenapa, mengatakan itu sendiri, Rifki ingin segera lepas dari perasaanya. Perasaan untuk menyukai seseorang lebih dari orang yang dibenci.

Chika memelankan isakannya kali ini. Kepalanya mulai mendongak ke arah Rifki yang bahkan bicara seolah rasa yang dipendam Chika selama ini hanya, omong kosong.

"Itulah gue. Sekali ada kesempatan, gue bakal perjuangin. Bukan kayak lo yang bahkan menyia-nyiakan banyak kesempatan!"

Hati Rifki tiba-tiba menjerit kesakitan. Air matanya tak segan-segan keluar meski hanya setetes.

"Seperti tugas-tugas yang selalu dapet nilai sempurna? Gue bukan benda, Chik."

Rifki berusaha untuk mencari banyak alasan untuk menghindar dari perasaanya yang terus menyerobot memahami Chika. Padahal, diri lainnya berkata bahwa ini semua memang jalur yang salah.

"Karena dari banyak perumpamaan, gue jadi lebih kuat, Rif ...."

Chika mengusap tangisnya perlahan-lahan. Kali ini, ada hal yang paling membuat dadanya lebih sesak. Yakni kala Rifki mulai membalikkan badan dan berjalan pergi meninggalkannya seorang diri. "Pergi sebelum Gero bangun atau lo beneran mati."

Ingin sekali Chika meraih tangan Rifki yang mulai terayun dan menjauhinya. Mengatakan agar ia menemaninya atau bahkan mengajaknya berdebat lagi. Ia merasa, dekat dengan Rifki, hatinya terasa lebih bahagia.

Chika mulai melihat telapak tangannya dan mengusap usapnya. Perlahan-lahan air matanya jatuh ke sana. Lagi-lagi gue gak bisa menggapai lo, Rif.

Tangis Chika semakin menjadi sembari membangkitkan tubuhnya. Ia mulai megambil tisu dari tas selempangnya. Mengusap air matanya yang semakin lama membekas dan membuatnya lebih bengkak. "Gue juga benci lo, Rif, tapi, perasaan benci itu gak selalu berakhir buruk, namun kebalikannya."

Chika mulai berlari meninggalkan tempat tersebut dengan tersedu-sedu. Bahkan, air matanya masih saja tak tertahan untuk keluar. Bahkan, baru berkorban sekali, gue udah gak tahan untuk gak menangis ....

Langkah kecil sedikit terseret-seret itu membuat Chika semakin lama semakin menjauh. Matanya menyusuri jalanan yang sulit dikenali. Namun, dari jauh, Chika memang benar-benar melihat jalan perginya ke sini. Dinding putih tempat ia bersembunyi.

Sepi seperti hatinya. Bahkan, langit memang benar-benar menggelap. Chika menilik jam tangannya sendiri. Sudah jam setengah enam sekarang. Senja bahkan ingin menutup dirinya saat itu. Chika terus belari dengan sesenggukan yang menyesakkan. Satu tisu bahkan tidaklah cukup untuk menampung segala rasa sakitnya.

"Rifki jahat!" tukas Chika sembari menatap langit yang luas itu. Entahlah akan jadi apa Chika nanti di rumah. Ia pasti akan menangis sejadi-jadinya dan esoknya berjuang, lantas kecewa lagi. "Lo jahat!"

Angin terasa begitu menyesakkan sore itu. Masuk tanpa diminta, membuat Chika semakin ingin memaki-maki banyak hal.

"Chi-Chika?"

Chika menutup matanya separuh akan cahaya kendaraan yang mulai menyerang matanya dan suara itu, membuat Chika malu setengah mati. "Gue benci saat-saat ini."

"Lo kenapa nangis, Chik?" tanyanya khawatir. Bahkan, ia mulai menghentikan kendaraannya dan menghampiri Chika yang memelankan langkah sembari menutup wajahnya. Tubuh Chika terlihat gemetaran, bahkan, sesenggukannya sedari tadi membuat sang pengedara turut bingung.

"Gue gak papa," ucap Chika. Kali ini, ia mulai menyembunyikan wajahnya, dengan maksud ingin mengusap wajah sepenuhnya dan menelan rasa sakit dalam-dalam. Namun, tangan Chika justru malah ditarik untuk memeluknya.

"Lo bohong sama gue. Gak ada gunanya bohong sama kakak lo sendiri," ucap Tiara sembari menatap wajah Chika yang sangat merah. Bahkan, tangis Chika sangat deras saat itu. Chika sendiri hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

"Gue benci dia, Kak. Namun, gue gak bisa," isak Chika sembari menarik napasnya dalam-dalam. "Please, pergi dari tempat ini sekarang juga, gue gak mau hal bahaya lainnya nyerang gue, termasuk sakit hati sekalipun ...."

Tiara hanya menatap lingkungan sekitarnya dengan amat curiga. Diusapnya kepala Chika dengan sayang. "Temen lo yang namanya Bagas tadi bilang kalo dia harus balik ke sekolah dan ngambil HP-nya yang ketinggalan. Secara, dia bener-bener gak bisa ngebantu lo. Dia nelpon gue untuk nyari lo lewat pelacak di HP."

"Gue gak peduli itu," ucap Chika sembari menghela napas dan melepas pelukannya.

"Kita pergi sekarang juga," ujar Tiara yang mulai mengerti kondisi Chika sekarang. Ia yang tak mau tahu segala sesuatu yang jauh dari satu topik. Entahlah, ada rasa yang tak mau diganggu di mata Chika. Tiara sendiri hanya bisa memejamkan mata lelah.

"Iya," gumam Chika sembari meneteskan air matanya untuk terakhir kalinya hari itu. Ia tak mau ada tangis lagi untuk menit berikutnya di hari banyak kegiatan penting. Masih ada tugas yang tak perlu tangis sebagai penghalangnya. Meski hatinya terus-terusan sakit, setidaknya, otaknya tetap harus berjalan.

Chika mulai berjalan menuju motor Tiara yang berwarna kuning cerah dengan dua helm di atasnya.

"Mama di mana?" tanya Chika yang mulai menyadari sesuatu. Diambilnya salah satu helm yang berwarna ungu dan memakainya.

"Gue kira, lo emang butuh mikirin diri lo sendiri. Mama lagi ada urusan katanya dan kebetulan banget, kakak lo yang baik ini jemput dengan perasaan yang selalu memahami," ujar Tiara dengan senyum tipisnya. Perlahan-lahan, dihidupkannya mesin sembari menatap wajah Chika yang sudah siap untuk menyambut karir itu lagi lewat spion. "Perasaan lo emang gampang berubah, ya?"

"Gue beneran gak peduli kalau lo muji-muji diri sendiri gitu," ujar Chika sembari mengeluarkan senyumnya perlahan. Lega rasanya bisa tersenyum lagi, meski bukan orang yang diharapkan sekalipun. "Makasih."

Dalam langit yang benar-benar menggelap itu, kendaraan Tiara melaju dengan kecepatan normal. Sesekali, Chika terus tersenyum akan hiburan kakaknya. Dia memang penerang dalam kegelapan sebagai saudara.

Gue bener-bener gak akan nyerah, Rif. Secara, mood gue udah berubah drastis berkat kakak gue. Bukankah gue gak punya alasan untuk menjauh lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com