Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

REALITY BITES

Mattea merasa damai sekali. Dadanya terasa begitu lega. la berada di Negeri Pelangi. Rebah di hamparan rumput hijau yang luas, bersebelahan dengan taman bunga. Langitnya dihiasi warna warni pelangi, indah berkilau. Mattea memejamkan matanya rapat-rapat, menikmati hembusan angin semilir. Negeri Pelangi ini tanpa polusi, nggak kayak Jakarta. Mattea merasa ia bisa tinggal selamanya di Negeri Pelangi. Mattea...Mattea... Oh, no! Please, not now. Whoever you are. Please, let me stay at least a little bit longer. Just go away. Go away. Mattea sayang... Go away... Bangun sayang...

Aduh, nggak ngertian amat sih...jangan ngegangguin dong... Mattea merasa seperti ada yang menariknya pergi dari Negeri Pelangi. Mata Mattea terbuka perlahan, berharap yang dilihatnya masih hamparan rumput hijau dan warna warni pelangi di langit, tapi ternyata samar terlihat olehnya tempat tidurnya yang berantakan, laptopnya masih menyala.

"Mattea, bangun, Nak." Suara Ibu.

Mata Mattea mengerjap, berat banget. "Jam berapa sih, Bu?" Mattea belum bergerak dari posisi tidurnya yang tertelungkup. Tubuhnya terasa kaku.

"Jam dua siang. Kamu baru tidur jam berapa?"

Mattea menguap lebar, mulai melemaskan otot-ototnya. "Jam tujuh pagi."

"Nulis lagi?" tanya Ibu sambil mengusap kepala Mattea penuh sayang. Ibu duduk di pinggiran tempat tidur Mattea.

Mattea nyengir lebar. "lya, Bu, ngejar deadline, kalau nggak nanti Mattea nggak punya duit."

"Kan masih ada Ayah sama lbu. Kalau kamu perlu apa-apa minta aja. Anak Ayah Ibu cuma Clare dan kamu, jadi ya apa yang Ayah Ibu punya itu juga punya kalian."

"Ah, Ibu, masak udah gede gini Mattea masih nyusahin Ayah Ibu?" Mattea memindahkan kepalanya ke atas paha Ibu dengan manja.

"Jangan ngomong gitu, kalian itu nggak pernah nyusahin Ayah sama Ibu."

"Eh, Ayah udah berangkat praktek lagi ya, Bu?"

"Barusan aja berangkat. Tadi Ayah pengen ngajak kamu makan siang bareng, tapi kamu tidur nyenyak banget."

"Yaaa, kenapa nggak dibangunin, Bu?" "Kasihan kata Ayah..." Mereka berdua terdiam. Ibu masih mengelus rambut Mattea.

"Bu..." Mattea ragu-ragu. la ingat sebelum tertidur tadi pagi, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Bhrian - Keira, dan bayangan dirinya sendiri yang absolutely will be broken kalau nantinya ternyata Bhrian benar-benar pacaran dengan Keira.

"Ya?" sahut Ibu.

"Bian...hhmm..." Mattea masih ragu-ragu antara keinginan curhat pada Ibu atau memendam perasaannya sendiri.

Ibu seperti bisa menebak apa yang akan dibicarakan Mattea. "Bhrian ketemu cewe lain?"

Mattea terkejut. "Kok Ibu tahu?"

"Kamu anak Ibu, dan Ibu kenal Bhrian sejak kecil."

Mattea nggak percaya, sekuat itukah insting orang tua terhadap anaknya? Eh, mungkin juga sih ya. Buktinya Ibu tahu (untung hanya Ibu yang tahu) perasaan cintanya pada Bhrian, waktu itu Bhrian baru pacaran dengan Amabel dan Mattea jadi sering marah-marah di rumah.

"Mattea, sampai kapan kamu mau kayak gini?" tanya Ibu hati-hati.

"Maksud Ibu?" Mattea nggak mengerti atau pura-pura nggak mengerti.

"Dulu kamu bilang, kamu nggak mungkin ngebiarin Bhrian tahu kalau kamu cinta dia karena itu bakal ngerubah segalanya. Itu kan berarti nggak ada masa depan buat kalian berdua?" lbu berhenti sebentar, "jadi apa nggak sebaiknya kamu mulai membuka hati kamu buat cowo lain?"

Mattea terkejut. la duduk menatap Ibu, ingin mengatakan sesuatu tapi nggak ada suara yang keluar dari mulutnya, karena Mattea tahu kalau Ibu benar.

"Ibu tahu banget, nggak gampang ngelupain perasaan cinta buat seseorang, apalagi orang itu ada di dekat kamu tiap hari, tapi mungkin sekarang saat yang tepat buat kamu untuk nggak nengok ke belakang..." Ibu mengelus rambut Mattea lagi, "atau kamu berubah pikiran? Ngambil kesempatan yang ada? Ngasih tahu Bhrian perasaan kamu yang sebenarnya?"

Mattea menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu..."

"Pilihannya cuma dua itu, Mattea. Apapun keputusan kamu, pikir baik-baik ya. Ibu nggak mau kamu terluka..." 

Mattea memeluk Ibunya. Cuma Ibu yang mengerti perasaan Mattea, cuma Ibu yang bisa Mattea ajak ngomong soal ini. "What will I do without you, Bu..."

"Ya udah, mandi gih sana. Tuh ada Bhrian." lbu menunjuk ke arah jendela,

Mattea menoleh, dilihatnya Bhrian cengar cengir di depan jendela. "Bian nggak dengar kan, Bu?" bisik Mattea panik.

"Nggak, dia baru muncul kok. Nggak tahu ya kalau dari tadi nguping dari balkonnya," goda lbu dengan suara pelan. Mattea makin panik, Ibu menenangkan.

"Kamu udah makan?" tanya Ibu pada Bhrian. "Kalau belum, abis Mattea mandi kalian turun ke bawah ya. Ibu masak rendang kesukaan kalian."

"Makasih ya, Bu, tahu aja di rumah nggak masak," kata Bhrian girang.

Ibu tersenyum dan beranjak keluar dari kamar Mattea. Sementara Bhrian menunggu Ibu pergi dulu, baru masuk ke kamar Mattea lewat jendela. Mattea merapikan rambutnya, mengikatnya ke atas, mematikan laptop dan bersiap mandi.

"Gue mandi dulu." Mattea salah tingkah, ia sungguh berharap Bhrian nggak dengar apa yang tadi ia bicarakan dengan Ibu.

"Eh, Matt, Rara ngundang gue ke pesta yang dia adain di apartment-nya Sabtu depan, loe temenin gue ya."

"Nggak," jawab Mattea cepat. "Gue nggak mau jadi orang ketiga."

"Yah, Matt, please...please...please..." Bhrian memohon dengan wajah iba. "Kalau ada loe kan gue jadi ada temen ngobrol."

"Yeah, sure, sebelum loe keasyikan ngobrol sama Miss-Hi-l'm-a model dan akhirnya ninggalin gue sendirian. I see the picture," kata Mattea ketus.

"Nggak mungkin dong gue setega itu sama loe," elak Bhrian, meskipun ada ketidakyakinan dalam suara Bhrian. We'll see, batin Bhrian bandel. "Please, Matt, please...kalau nggak, gue nggak jadi dateng ah." Bhrian pura-pura ngambek.

Good idea, batin Mattea, mending gitu. Tapi ketika dilihatnya wajah Bhrian yang amat sangat berharap, Mattea jadi nggak tega. la menghela napas. "You do like this girl..."

"Yeah, but it doesn't matter, it won't go anywhere though." Bhrian mengangkat bahu, masih bertingkah ngambek.

"OK...OK...I'll go...sekarang gue mau mandi, loe turun duluan gih, katanya mau makan rendang kan," usir Mattea.

"You're the best." Bhrian mencium pipi Mattea dan sambil bersiul turun ke bawah.

And you don't know how I really feel. Oh, right, that's because you don't want him to know, Mattea. It's your fault, not his. Nope, it's also his fault, he's so not sensitive. Stop it, you can go crazy if you continue this. OK...OK... Mattea buru-buru masuk kamar mandi. Pasti enak sekali mengguyur kepalanya dengan siraman air dari shower. Dinginnya air bisa membuat pikirannya lebih jernih. Mungkin.

♡♡♡

Suara musik pesta Keira terdengar dari luar. Nggak terlalu kencang. Bhrian menekan door bell apartment Keira. Mattea yang berdiri di sampingnya tampak sekali nggak bersemangat. Bhrian menyenggol Mattea. Telunjuknya menunjuk bibirnya yang membentuk seulas senyum. Bhrian meminta Mattea tersenyum, tapi malah dibalas dengan juluran lidah oleh Mattea.

"Hai, kamu datang juga." Keira yang membukakan pintu, kelihatan lebih cantik dari waktu terakhir Bhrian melihatnya.

"Sorry telat..." Bhrian dan Mattea baru sampai di apartment Keira jam sembilan malam.

"Nggak apa. Oh, sama Matt ya..." Keira terlihat agak terkejut karena tadi sewaktu Keira mengintip dari lubang kecil di pintu apartment-nya ia nggak melihat Mattea. "Hai, Matt..."

"Hai, Keira," balas Mattea datar. 

"Masuk yuk..." Apartment Keira yang nggak terlalu besar membuat Bhrian dan Mattea bisa langsung melihat beberapa teman Keira yang sudah lebih dulu datang. Beberapa ada yang mengobrol, ada juga yang bergoyang kecil mengikuti musik yang diputar.

"Guys, ini Bhrian." Keira memperkenalkan Bhrian dan Mattea pada mereka. "Bhrian ini fotografer handal Iho, dan ini Mattea, asistennya."

BUKAN! Gue bukan asisten Bhrian! Tapi Mattea malas meralat.

"Makan dulu gih, self-service ya...gue masak sendiri Iho, pasta-pasta doang sih emang...tapi dijamin enak, cobain deh. Gue tinggal dulu bentar ya." Keira berlalu dengan gayanya yang sangat model. Tubuhnya meliuk indah selaras dengan alunan musik yang terdengar.

Jadi sekarang tambah satu point Keira? Model, cantik, pinter masak, huh. Mattea makin nggak bersemangat.

"Cheer up," kata Bhrian. "Yuk, nyobain spaghetti, kayaknya sedap." Sayangnya spaghetti buatan Keira memang sedap dan Mattea yang lapar (berharap dengan makan banyak bisa membangkitkan semangatnya yang menguap entah kemana) menghabiskan sepiring spaghetti dan sepiring lasagna.

"Gimana? Enak kan?" Keira menghampiri mereka setelah tadi menyapa teman-temannya yang lain. Tipe tuan rumah yang baik. Beda sekali dengan Mattea, yang biasanya lebih memilih 'sembunyi' di kamarnya kalau Ayah atau Ibu mengadakan acara (paling sering arisan keluarga) di rumahnya.

"Banget. Wah, nggak nyangka kamu jago masak ya," puji Bhrian. "Enak nggak, Matt?" tanya Keira pada Mattea.

"Enak." Mattea merasa nggak adil aja kalau ia yang sudah menghabiskan dua piring pasta, nggak mengakui kalau masakan Keira memang enak.

Keira tersenyum senang. Sebentar kemudian Bhrian dan Keira terlibat dalam pembicaraan yang seru. Mattea beranjak menjauh, ia mulai merasa menjadi orang ketiga. Mattea dengan lesu mencoba satu persatu kue yang ada. What else can I do, keluhnya, mulai menyesal mengiyakan ajakan Bhrian datang ke pesta Keira.

"Matt..." panggil Keira yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.

Damn! Ngagetin amat sih! Maki Mattea dalam hati.

"Enjoy the party?" Keira basa basi.

Enjoy? No way! Masih untung makanannya enak. "Yah, lumayan bisa buat cari inspirasi buku gue."

"Oh, iya, Bhrian cerita kalau loe penulis ya."

"Baru satu buku, sama cerpen cerbung atau artikel di majalah," jelas Mattea asal-asalan. "Mana Bhrian?" Mattea celingukan mencari Bhrian.

"Ke kamar mandi," jawab Keira singkat. "Kalian udah lama kenal ya? Kelihatannya akrab banget."

"Siapa? Gue sama Bhrian? Oh, gue kenal Bhrian sejak dia belum bisa mandi sendiri." Mattea curiga, pertanyaan Keira seperti mengarah pada sesuatu. "Kenapa?"

"Oh, nggak...kalian...uhm...pacaran?"

SEE??? SEE??? Gue tahu, pasti itu yang mau dia tanya, teriak Mattea dalam hati, kenapa juga nggak nanya Bian, nggak berani ya? 

"Bhrian pernah bilang kalau kalian nggak pacaran sih," lanjut Keira. "Bhrian bilang kalian lebih kayak saudara."

Bian ngomong gitu? Bian sialan, belum-belum udah klarifikasi kalau gue bukan cewenya. Mattea kecewa. "Nah, itu udah tahu, kenapa nanya lagi?" ketus Mattea.

"Yah, gue pengen dengar dari loe aja."

"Dengar apa? Kalau gue sama Bhrian emang nggak pacaran?"

"Matt," kata Keira hati-hati, "gue suka Bhrian, jadi kalau emang loe cuma temenan sama Bhrian...gue harap sih gue bisa lebih dekat sama Bhrian..."

Is this girl asking for my permission? batin Mattea nggak percaya. Jadi gue mesti gimana? Bilang : oh, silakan, deketin aja Bhrian, l'm totally fine. I AM NOT!

"Jadi Matt, loe nggak apa kan kalau gue dekat sama Bhrian?" tanya Keira.

Mattea memandang Keira lama, membatin, something about this girl that I don't like. Bukan karena dia suka sama Bhrian, dan dengan berat hati musti diakui kalau Bhrian juga suka Keira. It's just...

"Matt?" Keira membuyarkan lamunan Mattea.

Mattea melihat Bhrian berjalan menghampiri mereka. "Gue nggak pacaran sama Bhrian, cuma itu yang bisa gue bilang." Mattea nggak mau bohong, karena ia sama sekali nggak baik-baik saja kalau Keira mendekati Bhrian.

"Jadi gue anggap loe nggak keberatan ya?" Keira bersikeras meyakinkan.

Mattea mengangkat bahu. Keukeuh amat nih cewe.

"Hai, ngomongin apa?" tanya Bhrian yang sudah ada di dekat mereka. "Ngomongin gue ya?"

"Ge-er..." tukas Keira sambil bergeser mendekat pada Bhrian.

Mata Mattea langsung menyipit, nggak senang. Buru-buru memberi isyarat pada Bhrian, mengajak pulang. Tapi Bhrian menolak, ia menggeleng sambil bibirnya membentuk kata: bentar lagi. Melihat wajah cemberut Mattea, Bhrian akhirnya mengalah dan pamit pada Keira. "Gue masih boleh ke sini kan?" tanya Bhrian.

"Boleh banget, kapan aja kamu mau." Keira memberikan senyum termanisnya. 

Di dalam mobil Bhrian, masih dengan perasaan sebal, Mattea memutar CD dengan volume yang cukup membuat telinga pekak. Entah lagu apa, tadi Mattea hanya asal ambil sebuah CD dari laci dashboard mobil Bhrian tanpa melihat penyanyinya.

"Kenapa sih loe, Matt? Bete gitu. Gue kan nggak ninggalin loe tadi." Bhrian mengecilkan volume sampai lirik lagu yang diputar terdengar lebih jelas di telinganya.

"Says who? Sempat lagi..." Mattea berkata ketus.

"Yah, sebentar doang juga. Lagian kita tadi di situ juga nggak lama kan."

"Kalau mau berlama-lama jangan ngajak gue dong. Kan loe tahu gue paling males datang ke pesta kayak gitu."

Bhrian memandang Mattea gemas. "Kenapa sih loe?" 

"Nggak kenapa-napa, gue cuma NGGAK SUKA aja."

"Nggak suka? Nggak suka ke pesta atau nggak suka sama tuan rumahnya?" Bhrian sempat membatin jahil, lebih tepatnya putri rumah kali ya.

"Whateva...

"Hih! Keluar deh judesnya."

"Biarin!" Mattea sudah setengah mau menangis. Dia tahu persis nggak akan bisa meredam rasa yang ada di antara Bhrian dan Keira dan sekali lagi ia hanya bisa melihat Bhrian dari jauh. Mattea bermain dengan pikirannya sendiri, hanya saja bedanya sekarang mereka sudah dewasa, 23 tahun, bagaimana kalau hubungan mereka jadi serius nantinya?

"Gue drop loe aja ya. Gue mau pergi lagi." Mereka sudah sampai di depan rumah Mattea.

"Kemana?" selidik Mattea.

"Ada deh..."

Entah kenapa, jawaban Bhrian membuat Mattea panas dingin. "Tapi kan, hari ini kita mau nonton Lake House di kamar loe." Mattea masih berusaha mencegah.

"Besok aja ya, atau minggu depan deh." Bhrian mendorong pelan Mattea keluar dari mobilnya. "Gih sana, cuci kaki cuci muka terus bobo, kakak mau ada urusan."

Mattea nggak menanggapi candaan Bhrian, tapi ia menurut juga. Dibantingnya pintu mobil Bhrian dengan wajah bertekuk, dan berlari masuk ke dalam rumah.

Melihat itu Bhrian menurunkan jendela mobilnya dan berteriak. "Woi, janji ya jangan nonton duluan, tungguin gue!"

Mattea berhenti berlari, menengok ke belakang. Ujung bibir kirinya tertarik sedikit membentuk seulas senyum, tipis, tapi Bhrian masih bisa melihatnya. Itu berarti persahabatan mereka baik-baik saja.

Bhrian mengarahkan mobilnya kembali ke arah apartment Keira. la memberanikan diri mengikuti nalurinya, yang sejak awal pertemuan dengan Keira mengatakan there's a connection between them. Jadi sekarang Bhrian berniat menemui Keira lagi. Menyambung pertemuan mereka yang tadi terputus gara-gara Mattea bete nggak karuan. Sesampainya di apartment Keira, setelah melapor pada Security dan Keira setuju untuk menemuinya, Bhrian naik ke atas. Di dalam lift degup jantungnya nggak menentu.

I've gotta remain calm. Tarik napas, uufffhhh, keluarin, tarik napas, uuufffhhh, keluarin.

"Ada yang ketinggalan?" Suara Keira mengejutkannya.

Bhrian kehilangan akal sejenak. Tadi rasanya ia masih di dalam lift.

"Kok bengong? Ada yang ketinggalan?" Ulang Keira.

"Nggak." Bhrian mengatur suaranya. Gayanya mendadak jadi flamboyant, serasa James Bond yang sering membuat patah hati ribuan perempuan. Tapi karena ini Bhrian, malah jadi nggak banget (membuat Keira tertawa terkikik). Bhrian lalu mengubah sikapnya menjadi biasa lagi. Berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tadi kamu bilang gue masih boleh ke sini kapan aja gue mau kan?"

Keira melirik jam tangannya. It's already so late. Hampir jam dua pagi. Pestanya sudah usai sejak jam satu malam. Keira merespon 'permainan peran' Bhrian. Bergaya seperti Marilyn Monroe, mengundang masuk Bhrian. Suara Keira menjadi berdesah seksi. "Masuk...kita juga belum sempat ngobrol banyak tadi..."

Bhrian masuk ke dalam apartment Keira. Di dalam, mereka berdua tertawa tergelak, menertawai diri mereka sendiri.

♡♡♡

Mattea berusaha mengalihkan pikirannya dari Bhrian. la sengaja tertawa-tawa bersama keluarganya. Ayah, Ibu dan Clare di sofa ruang keluarga tempat mereka biasa ngobrol atau nonton TV bareng.

"Kita nonton Just Like Heaven aja yuk, yang main Reese Witherspoon sama Mark Ruffalo, katanya romantis banget lho," usul Clare. "Anggep aja nonton midnight."

Ayah dan Ibu sama sekali nggak keberatan, sedangkan Mattea hanya mengangguk-angguk saja, ia sudah menonton film itu dua kali bersama Bhrian.

"Eh, ternyata Just Like Heaven itu adaptasi buku yang judulnya If Only It Were True lho," ceplos Mattea. Nggak penting sih, tapi ingatan itu mencuat di kepalanya di antara pikiran-pikiran tentang Bhrian. Hening lama. "Apa?" tanya Mattea polos ketika tatapan Clare nggak beralih darinya.

"Ya terus? Bagus bukunya?" tanya Clare.

Mattea mengangkat bahu. "Masih di toko buku."

"Apanya?" Clare bingung.

"Bukunya," sahut Mattea tanpa ekspresi.

Clare menoyor kepala Mattea. Malam ini adiknya nggak jelas banget. Ayah dan Ibu hanya menertawai ulah mereka.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com