Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Million Dollar | Part 1 - Meet Him

Playlist •

Satu-satunya hal yang merebut seluruh perhatian semua orang adalah pemuda bertuksedo hitam. Dia berdiri di depan supermarket  dengan sekaleng soda di tangan kanan berototnya, sedangkan tangan yang lain terangkat satu di telinga dengan ponsel di sana. Bibir merahnya terbuka dan tampak berbicara menggunakan benda pipih yang canggih itu. Kacamata hitam masih setia melekat menutupi mata tajamnya. Siapa pun yang melihat pemuda itu, pasti akan mengira bahwa ia jelmaan Eros—seorang Dewa Yunani.

“Ups!”

Pekikan suara gadis terdengar dari belakang tubuh si pemuda.  Pemuda itu seketika merasakan sesuatu mengenai punggungnya. Dengan gerakan memutar, dia melihat seorang gadis berambut pirang yang tengah berdiri dengan botol soda di tangannya, tetapi kini isi minuman tersebut sudah habis setengah. Well, ia yakin bahwa sebagian dari minuman itu tumpah di jasnya.

Pemuda itu menatap lama gadis yang menganga karena terkejut itu. Ia menunggu reaksi gadis itu untuk meminta maaf atau mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Di luar ekspektasi, gadis berambut pirang itu justru berlari tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Yeah, pria itu hanya bisa menatap punggung sang gadis yang kian menjauh dari pandangan.

“Hei!” pekik kasir supermarket yang melihat kejadian itu.

Sang pemuda menoleh dan menarik kedua ujung bibirnya. “Tak apa.” 

Gadis berambut pirang itu berlari sekuat mungkin, mengabaikan rasa sakit menjalar di kakinya akibat heels tiga senti sialan yang dia pakai. Dia juga tidak peduli bagaimana semua pasang mata menatapnya heran, seolah ia sedang dikejar oleh petugas keamanan karena kasus pencurian. Akhirnya, ia menerobos sekumpulan orang di tepi jalan dan menghiraukan teriakan kasar dari mereka yang tidak sengaja tersenggol. 

“Hei, kau ke mana saja?” tanya Anna— wanita dengan kawat gigi hijau.

Dengan napas yang memburu, sang gadis menegakkan tubuhnya dan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

“Aku baru saja membeli minuman dan aku tidak sengaja membuat jas seorang pria basah.” 

Kening berkerut merusak riasan Anna yang baru saja keluar dari toko make up. “Tunggu, aku tidak tahu masalahmu. Ceritakan dengan santai.” 

Anna membantu sahabatnya untuk menarik napas dan membuangnya secara perlahan.

Gadis berambut pirang itu mengulurkan botol soda di hadapan Anna. “Ini soda. Aku tanpa sengaja mengocok sebelum membukanya hingga minuman itu meletus seperti lava dan menumpahi jas pria yang sama sekali tidak aku kenal.”

Anna—wanita berkawat gigi itu memukul pundak sahabatnya dan menggeram. “Astaga, kau ini ceroboh sekali. Apa dia meminta ganti rugi?”

Crystal—gadis berambut pirang itu—menggeleng pelan. “Tidak. Aku lari tanpa meminta maaf padanya.”

Kini, bukan kening berkerut yang Anna tampilkan, melainkan wajah terkejutnya dengan bola mata yang hampir keluar dari tempatnya. “Apa, Crys? Apa kau tahu, kau malah membuat masalahmu semakin besar.”

“Ya, ya, aku tahu. Aku hanya takut pria itu memarahiku di depan umum dan meminta ganti rugi. Terlihat dari penampilannya, jas itu sangat-sangat mahal.  Aku yakin, aku tidak bisa membayarnya.” Crystal menggigit bibir ranumnya.

Anna menghela napas kasar. “Ya sudah, lain kali jangan ceroboh lagi. Mari, kau perlu beristirahat karena kau butuh mental yang kuat untuk menghadapi pengumuman besok.”

Crystal berjalan dengan lesu memasuki mobil Anna. “Aku tidak terlalu berharap, Anna. Kau tahu? Sudah tiga puluh perusahaan dan mereka menolakku dan jika perusahaan itu menolakku, maka itu yang ketiga puluh satu.” 

Anna berjalan mendekati Crystal yang siap menarik pintu mobilnya. Dia menarik kedua sudut bibir dan membentuk senyuman lebar hingga matanya menyipit. “Jangan putus asa, aku yakin perusahaan yang satu ini akan menerimamu. Lagi pula, mereka terlalu konyol untuk tidak menerima karyawan sepertimu, Crys.” 

Crystal Elsabrath, gadis berambut pirang panjang sesiku dengan iris mata biru kehijauan. Ia adalah wanita asal Texas dan jika saja ia tidak diterima di perusahaan yang terakhir ini, Crystal memilih pulang ke kampung halamannya. Ia akan mencari seorang petani kaya untuk dinikahi. Ia hanya berharap kepergiannya dari Texas dapat memperoleh pekerjaan yang setidaknya dapat membantu perekonomian keluarganya.

***

“Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu akhirnya datang!” seru El, pria yang kini berdiri sambil menggendong balita berumur dua tahun di tangannya.

Jack Exel Marquez berjalan sembari membuka jasnya yang basah dan meletakkannya di kursi kayu. Badan tegapnya ia jatuhkan di kursi sembari melepas kacamata yang sedari tadi melekat untuk menutupi matanya. Ia pun mendesah karena kaosnya yang basah dan lengket. 

“Ada apa? Kau terlihat tidak baik-baik saja,” tanya Max, pria di samping El, sembari mendekati Jack. Ia tidak sengaja mendengar temannya itu menghela napas.

Di sore hari ini, mereka mengadakan jamuan di teras depan rumah milik El yang memang memiliki pekarangan yang luas dan banyaknya tumbuhan hijau di sekitarnya. El dan Chelsea, istrinya, adalah pecinta tanaman dan tumbuhan, tak heran di hiruk-pikuknya bangunan beton, pasangan itu lebih memilih membangunan rumah mereka dengan dikelilingi tumbuhan hijau yang asri nan segar.

“Kau tahu, bukan? Dia sedang patah hati,” celetuk El dengan tawanya.
Merasa diremehkan dengan ucapan El tentang patah hati, Jack memasang wajah kesal. 

“Tidak. Aku tidak pernah patah hati. Aku hanya kecewa saja. Ingat itu!” tandas Jack penuh penegasan.

Menginjak usia 26 tahun, Jack Exel Marquez seorang billionaire muda ini baru saja ditinggalkan tunangannya yang memilih cinta pertama daripada dirinya. Well, Kristal wanita bodoh. Bagaimana bisa wanita itu menolak Jack yang terlihat lebih mapan dan tampan. Tuhan memang adil dalam menciptakan segalanya. Nyatanya, meski Jack memiliki paras yang rupawan, kaya, dan terhormat, kini dia berstatus lajang.

Bahu Jack yang tampak kuat dan lebar diregangkan. “Aku memutuskan tidak akan menikah selamanya. Aku benci wanita.”

“Hei, apa katamu? Kau membenci wanita? Apa kau melupakan aku di sini?” Chelsea, istri El datang membawa camilan manis dari dalam rumah dan memasang wajah protesnya.

“Sudahlah, Chelsea. Dia memang seperti itu. Kau tahu rasanya patah hati, bukan?” gurau El sembari menahan tawanya.

Ucapan El membuat suasana hati Jack memburuk. Dia menggertakkan gigi dan berseru, “El, Aku tidak putus cinta dan aku membenci kau mengatakan itu.” 

El terkekeh geli, mengangkat kedua tangannya di udara. “Baiklah, aku menyerah. Maafkan aku.” 

“Berhenti berdebat!” Chelsea berkacak pinggang dan menatap Jack dalam-dalam. “Kau harus menikah, Jack. Hanya karena model Las Vegas itu, kau memilih untuk melajang seumur hidupmu. Hei, ayolah! Masih banyak wanita di luar sana dan mereka mengantre untukmu. Kau tidak selamanya muda.”

Jack berdecak kesal. “Berhenti menyebut wanita itu di hadapanku.” 

“Benar kata Chelsea, Jack. Bukankah satu bulan lagi kau berjanji akan mengenalkan calon tunanganmu pada mamamu?” tanya El sembari merangkul pundak istrinya.

Pria bernetra abu-abu itu mendesah, seolah masalahnya benar-benar hal tersulit yang pernah ia jalani. Jack berkata, “Kau tahu sendiri, bukan? Wanita itu membatalkan pertunangan kami. Wanita mana yang harus aku kenalkan, El? Oh, astaga!”

 Jack Exel Marquez memijat keningnya. Ia mengingat kejadian di mana Kristal melepaskan cincin pemberiannya. Kejadian itu pun terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.

Dengan mengedikkan bahu, El berkata, “Mudah saja. Kau tinggal mencari wanita lain dan dalam waktu singkat kalian bertunangan.”

Memang mudah jika perkataan itu hanya keluar melalui bibir tanpa harus melakukan tindakan. Namun, untuk mendapatkan hasil harus melakukan aksi.

Terdengar helaan napas berat dari Jack. “Gagal lagi, begitu? Ini pilihan hidupku. Aku memilih tidak akan menikah seumur hidupku.”

***

Drt …, drt …, drt ....

Getaran yang berasal dari benda pipih membuat nakas di sebelah ranjang Crystal bergerak. Diraihnya ponsel itu memakai tangan kiri dan diletakkan di telinga tanpa melihat siapa peneleponnya. 

“Ya?” jawab Crystal bergumam dengan malas khas orang baru bangun tidur. 

“Dengan Miss Elsabrath?” tanya suara bariton dari seberang sana.

Come on! Siapa pria gila yang akan menelepon di pagi buta seperti saat ini.

“Selamat pagi. Selamat Anda lolos tahap pertama di Perusahaan Marquez Group. Untuk wawancara diharapkan datang dengan tepat pukul sebelas nanti. Selamat beraktivitas, maaf mengganggu waktunya.”

Tut ....

Energi Crystal belum sepenuhnya terkumpul. Namun, setelah mendengar nama perusahaan tempat ia mengajukan lamaran satu bulan lalu, wanita itu membuka matanya lebar-lebar menampilkan iris matanya yang indah.

“Wawancara? Hari ini?” Crystal menegakkan tubuh. Dia mengerjap berkali-kali menatap kosong layar ponselnya dalam diam. Sementara mulutnya mengangga seperti ikan.
Wanita itu bangun dari ranjang dan melihat jam yang terletak di nakas. Kedua tangannya sibuk mengikat rambut panjangnya dengan asal. 

“Astaga! Ini sudah pukul delapan!” Crystal berseru sembari berlari ke kamar mandi.

***

Rambut pirang yang menjuntai ke bawah jatuh tepat di atas punggung, terlihat kontras dengan kemeja hitam yang Crystal gunakan sekarang. Ia sedikit mengayunkan jarinya ke arah kiri mengikuti garis bibir. Ia pun memoleskan lipstik berwarna nude untuk bibir ranumnya, kemudian memakai krim untuk menutupi frekles—kulit bercak-bercak cokelat kecil-- yang sangat ia benci. Namun, bagaimanapun juga bintik itu masih terlihat. 

Crystal Elsabrath mematut diri di depan cermin. Rasa jengkel mengenai frekles menguap di udara saat membayangkan bagaimana hari pertamanya bekerja.
Tangannya yang putih bersih meraih ponselnya yang berada di atas ranjang untuk melihat jam. Masih pukul sembilan pagi. Ia akan berangkat 15 menit lebih awal. Dengan gerakan cepat, wanita itu memakai heels hitamnya dan tidak lupa menyambar sling bag sebelum ia menutup pintu apartemen. Ia sangat tidak ingin membuat kesan buruk di hari pertama bekerja.

“Oh, hai, Crys!” seru suara yang familier di indra pendengaran Crystal. Ya, dia adalah Julio. Pria keturunan Inggris dan Thailand itu baru saja keluar dari lift dan menyapanya.

Cukup terlonjak dengan sapaan di pagi hari ini, Crystal mengulas senyuman tipis yang menambah kecantikan di wajahnya. “Hai, Julio.”

“Kau …, rapi sekali. Akan ke mana?” tanya Julio tanpa basa-basi setelah meneliti penampilan Crystal dari atas ke bawah.

Crystal menunduk sebentar untuk melihat penampilannya pagi ini yang kelewat rapi. Ia malu mengutarakan bahwa ia baru saja diterima di perusahaan terbesar di Amerika dan sekarang ia siap bekerja hari ini.

“Aku ada urusan sebentar.”

Pria bermata sipit itu menaikkan sebelah alisnya. “Benarkah? Mau aku antar?” 

Crystal menggeleng. “Tidak perlu. Aku bisa naik taksi. Sampai jumpa, Juli.” 

Crystal memasuki lift dan mulai memencet tombol, menghindari tatapan bingung pria blasteran Eropa dan Asia tersebut. 

***

Rasa bangga dan senang berhasil menyelimuti hati Crystal saat kakinya berpijak pada marmer berwarna abu-abu. Lantai tersebut meski berwarna tidak terang, tetapi berhasil memancarkan sinar yang luar biasa, seperti permata. Tak sedikit  pegawai yang hilir mudik di sekitarnya. Sangat mendebarkan saat Crystal bisa satu lift bersama pegawai Marquez Group. Ini fantastis dan gila. 

Mereka sibuk dengan ponsel dan berkas mereka masing-masing, tidak ada percakapan ataupun obrolan. Semua sibuk dan tidak ada waktu untuk sekadar menyapa hingga pintu lift terbuka.

Kini, perasaan bahagia Crystal mulai dicampur rasa nervous ketika pintu kaca di depannya terbuka otomatis. Di dalam sana, seorang pria berambut cokelat gelap yang menunduk dan berkutik dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya membuat jantung Crystal berdegup kencang memukul dadanya. Pria itu terus bekerja, seolah tidak menyadari kehadiran Crystal. 

Pria itu terlihat menawan dan berkarisma dengan wajah bak Dewa Yunani, membuat setiap wanita yang melihatnya terpesona. Ditambah, setelan jas mahal tiga lapis yang membalut tubuh atletisnya yang memamerkan leher panjang bertato burung elang sana.

Dengan ragu, Crystal berujar, “Selamat pagi, Sir.”

Pria itu mendongak, kemudian meneliti wajah wanita yang baru saja membuka suara di antara keheningan. Netra abu-abunya menatap penuh arti ke arah Crystal. Dia termenung cukup lama dengan pikirannya, sebelum berkata, “Kau? Sepertinya aku pernah melihatmu.” 

Netra abu-abu pria itu menyipit ketika menggosok lehernya yang bertato di sana.

Sontak Crystal menatap bingung pemimpin perusahaan tersebut. Apa pria itu bercanda? Pernah melihat dirinya? Oh, yang benar saja. Crystal baru di Los Angeles satu bulan lalu. Si pemilik Marquez Group mengenalnya? It’s crazy.

“Ah, ya! Kau wanita botol, bukan? Kau yang menumpahkan minumanmu di jasku.” Seringai hiu bermain di bibir Jack. 

Tersentak kaget, Crystal membulatkan matanya. Jadi, Jack Exel Marquez, pria tilliunare termuda dan tampan itu adalah pria yang ia kotori jasnya. Oh Tuhan, kenapa harus pria itu? Crystal merutuki dirinya sendiri yang tidak sopan. 

Wanita berambut pirang itu menggigit bibirnya kuat-kuat, antara rasa malu dan bersalah. Lidah Crystal terasa kelu, tetapi dia berhasil berkata, “Jadi, pria itu adalah Anda?”

Jemari Jack yang kuat dan panjang itu menyisir rambut cokelat gelapnya dengan gaya maskulin. “Astaga, dunia memang sempit. Sepertinya, Tuhan memang sengaja mempertemukan kita agar kau bisa belajar dari pengalaman.” Terlihat ujung bibirnya tersenyum meremehkan.

“Maafkan saya, Sir.” Crystal menunduk takut. 

Huft, Crystal bisa apa selain kata ‘maaf’? Uang untuk menganti rugi? Yang benar saja! Ia saja baru melamar pekerjaan. Demi Tuhan! Apa ini artinya ia akan ditolak lagi? 

“Seharusnya kau ganti rugi, tetapi bukan masalah. Aku malas membahasnya lagi. Sekarang perkenalkan dirimu!” Jack Marquez tersenyum polos, tetapi yang Crystal lihat bukan seulas senyuman yang polos seperti anak pria berusia lima tahun, melainkan seperti sebuah seringaian serigala yang siap memangsa makanannya.

“Apa saya boleh duduk, Sir?”

Jack mengangkat kedua alisnya. “Tidak. Aku hanya ingin kau memperkenalkan identitasmu, lalu jelaskan kelebihan dan kekuranganmu.”

Dalam hati, Crystal memaki pria itu habis-habisan. Namun, tidak apa-apa, demi mendapatkan pekerjaan, apa pun akan wanita itu lakukan. Crystal pun menarik napas dalam.

“Izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Crystal Elsabrath, s—"

Belum selesai menyampaikan identitasnya, Jack kembali berseru dan memotong ucapannya dengan lancang tanpa permisi,  seraya memicingkan netra abu-abunya. “Namamu …, Kristal?” 

Crystal mengangguk dengan semangat. Kata ibunya, Crystal memiliki arti yang begitu indah dan ia bangga menyandang nama tersebut. Nama yang cantik, pemberian wanita yang telah melahirkannya di dunia ini. Jadi, Crystal patut berbangga hati. 

“Ya, dengan huruf C lebih tepatnya.”

Akan tetapi, kesenangan Crystal atas namanya ternyata bukan keberuntungannya saat ini, karena dari nama tersebut Jack berhasil mengguncangkan hati wanita berambut pirang itu dengan suaranya yang tegas dan tajam.

“Kau ditolak.”

What the heck! Ditolak? Apa Crystal tidak salah dengar? Tolak?

Satu kalimat yang sukses meruntuhkan kebahagiaan Crystal detik itu juga. Dia, bahkan belum mulai bekerja, tetapi pria itu seenak jidatnya memecatnya, benar-benar keterlaluan.

Kerutan di dahi Crystal tercetak samar. Dengan keberanian yang ada, Crystal bertanya, “Ditolak? A-apa saya tidak salah dengar, Sir?” 

“Kau tidak salah dengar, Miss.”

Jack meloloskan kata keramat itu dengan mudah dan terlontar begitu santai dari bibirnya, padahal orang lain bisa saja sakit hati atau kecewa dengan keputusan tersebut. Setidaknya,  ada selipan kata ‘maaf’ di sana.
Yeah, jelas Crystal memang terang-terangan dipecat.

What the heck! Seumur hidup ia baru mengalami hal seperti ini. Ditolak setelah memperkenalkan nama. Apa hanya ia yang mengalami hal seperti ini? Miris sekali.

“Kenapa?”

Jemari-jemari panjang Jack menyugar rambut  cokelat gelapnya ke belakang. “Karena namamu Crystal.” 

Crystal melipat keningnya. Merasa terganggu dengan alasan Jack Marquez. “What's wrong with you, Sir? Saya bahkan belum menjelaskan kelebihan saya!" 

Crystal berdecak, jikalau tidak ada kamera pengawas dia akan melempar heels itu tepat di depan bibir Jack. Namun, ia masih cukup normal untuk tidak membuat masalah dengan kasus kekerasan.

“Aku tidak ingin mendengar lebih banyak tentangmu. Kau tetap ditolak. Pintu keluar ada di balik punggungmu.”

Alis Crystal terangkat. Dia paham benar bahwa Jack Marquez telah mengusirnya secara langsung. Crystal tahu Jack terganggu dengan namanya. Namun, apa yang salah dengan nama seseorang di bumi ini?

Keputusan Jack benar-benar menampar hatinya. Jack tidak tahu seberapa Crystal membutuhkan pekerjaan itu dan  dengan seenak jidat telah memecatnya. Well, dia bosnya. 

"Kau menyebalkan dan aneh!"

Rasa putus asa mengambil diri Crystal. Wanita berambut pirang itu keluar dari ruangan dengan perasaan kesal luar biasa. Dia menghentak-hentakkan heels-nya yang menancap pada lantai marmer, mencoba merobohkan bangunan milik Jack Marquez meski itu mustahil bisa Crystal lakukan, kecuali Sang Kuasa menolongnya. 

Crystal akan berniat menemui Anna setelah ini. Sahabatnya itu telah mengirimnya pesan singkat 10 menit yang lalu. Crystal butuh sandaran untuk tempatnya berteduh dan berkeluh kesah. Tangannya melambai ke jalan, menghentikan sebuah taksi untuk segera menuju kafe yang Anna kirimkan lokasinya. 

***

“DITOLAK?!”

Sama halnya dengan Crystal, Anna, sahabat baiknya juga terkejut dengan keputusan owner dari Marquez Group. Wanita dengan kawat giginya itu mengepalkan tangan seolah amarah yang dirasakan Crystal juga ikut ia rasakan. Dadanya naik turun menahan gejolak yang bergemuruh di dalam hatinya. Maksud undangannya ke kafe adalah untuk merayakan keberhasilan Crystal karena mendapat pekerjaan. Namun, nyatanya hal itu tidak sesuai yang diperkirakan. 

Crystal menghela napas berat sembari meminum lemon tea-nya. “Aku tahu itu konyol, tetapi memang itu yang terjadi.” 

Wanita itu mengedikkan bahunya putus asa, seolah semua hidupnya sudah berakhir sia-sia.

“Siapa orang konyol yang memberinya wewenang menolak seorang Crystal Elsabrath? Apa yang salah denganmu? Astaga, keterlaluan sekali.” Anna menggebrak meja, membuat semua pengunjung kafe menatap ke arah mereka dengan tatapan heran dan tidak suka. Memang seperti itulah Anna, tidak tahu malu.

Dengan berat hati, Crystal menatap sekelilingnya dan tersenyum tidak enak. Setelah meminta maaf, dia menatap Anna dengan geram.

“Anna, kau membuat mereka memperhatikan kita.”

Seolah itu hal yang biasa, Anna memutar bola matanya sembari meraih jusnya sebelum berkata dan menarik napas. “Aku tidak peduli. Apa alasan dia memecatmu?”

Tanpa mengindahkan tatapan pengunjung kepadanya, Anna hanya bersikap biasa saja dan menopangkan dagu, menatap Crystal—sahabatnya.

“Sebelumnya, aku memang yang bersalah.” Crystal menatap sendu pizanya. “Kau tahu? Tempo lalu ketika aku menabrak seseorang di supermarket?”

Anna menggangguk, masih mendengarkan meski jarinya mengaduk bibir gelas minumnya dengan santai.

“Pria itu adalah pria yang tadi memecatku.”

“APA—“

Tidak mau menjadi pusat perhatian untuk kedua kalinya, Crystal menutup mulut Anna, sebelum suaranya membuat jendela restoran itu pecah. Ah, itu sangat berlebihan.

Crystal menggaruk kening yang terasa sedikit gatal. “Ya, dia mengenaliku. Alasan dia menolakmu adalah—“

“Karena kau menumpahkan soda di jasnya?” tanya Anna penuh selidik.

Kening Anna mengerut ketika Crystal menggeleng, tanda bahwa tebakannya salah.

 Dengan rasa penasaran yang menumpuk, Anna mencondongkan tubuhnya ke depan. “Lalu?”

“Karena namaku.”

*

Frekles itu seperti ini dear, ada bintik-bintik di wajah. Nah, kira-kira Crystal kayak gini freklesnya.

Halo, sudah lama tidak menyapa di lapak ini. Beberapa ada yang Didi ubah cerita ini, jadi kalian bisa baca ulang cerita ini mulai awal, hehehe.
Jangan lupa vote dan komennya, terima kasih. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com