Bab 3
Aku terbangun saat sinar matahari yang menembus jendela kamar menyinari mataku dan suara burung berkicau terdengar dari luar kamar.
Aku duduk sejenak sambil menghirup udara segar. Merasa sudah siap mengawali hari, aku berdiri dan meninggalkan kamarku.
Segera setelah aku menutup pintu, pemandangan yang tak enak tersorot oleh mataku. Ruang tamu diluar tampak berantakan. Lagi- lagi, Max lupa merapihkannya. Apa yang akan dikatakan teman-temannya saat nanti mereka datang? Rumah kecil ini perlu sedikit perbaikan kurasa.
Empat bulan lalu adalah saat terakhir dimana Max dan aku membersihkan rumah ini. Jadi kurasa kalian dapat membayangkan seberapa kotornya rumah kami.
Aku menghela nafas sambil mengambil sapu dan pel dari loteng.
Ergh.. Max, kau berhutang banyak padaku.
_______________
Aku sedang merapihkan meja tamu ketika aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Asalnya dari arah tangga.
"Wah, wah, rajin sekali adik kecilku ini." Puji seseorang yang tak lain adalah Max sambil mengacak- acak rambutku.
Aku memberikannya muka sebal dan lanjut mengelap meja.
"Kau tahu, kau berhutang banyak padaku. Temanmu tak akan mau menginap disini jika melihat rumahmu kotor. Kau beruntung adikmu ini suka menolong."
"Yah, kurasa begitu," Max mengangkat bahu.
"Oh ya, mereka akan sampai beberapa jam lagi. Sebaiknya kau mempersiapkan diri," Aku mengangguk.
"Baiklah, kau mengurusi yang lain. Aku akan bersiap."
Tanpa menunggu respon dari Max, aku segera berlari ke kamarku untuk bersiap.
Belum sampai satu jam, lebih tepatnya beberapa menit setelah aku selesai bersiap-siap, terdengar ketukan pintu-- yang kuyakin berasal dari lantai bawah--. Itu pasti mereka.
Aku segera mengikat rambutku keatas dan mengaca sekali lagi, memastikan aku sudah tampak rapih. Aku berlari ke bawah, mengambil kunci dan membuka pintu.
Tampak dua orang dengan koper dan barang-barangnya yang besar. Namun, hal pertama yang memikat mataku adalah seorang laki- laki dengan rambut coklat dan matanya yang biru. Tubuhnya yang tinggi dan wajahnya nyaris tak bercacat mengatakan bahwa ia hanya lebih tua sedikit dariku.
Di sebelahnya adalah seorang perempuan-- yang kurasa adalah kakak dari laki- laki ini-- dengan senyumannya yang menghangatkan. Ia memiliki warna mata yang sama dengan saudaranya.
"Kalian pasti sahabat Max. Silahkan masuk." Mereka mengangguk dan masuk dengan sopan sambil membawa barang-barang.
"Ah, kau pasti Sierra. Sierra Luzader. Aku telah mendengar banyak tentangmu. Perkenalkan, aku Sarah dan yang ini adikku, James." Ia mengulurkan tangan dan dengan pelan, aku menjabatnya.
"Senang bertemu denganmu Sarah," balasku sambil tersenyum balik
Aku mengulurkan tanganku kepada James, berharap untuk bisa berkenalan dengannya. Ia terlihat menarik untuk dijadikan teman.
"James." Ucapnya sambil tersenyum manis dan menjabatku.
"Sierra." Aku tersenyum malu.
Terdengar suara langkah kaki dari belakang, yang tidak lain adalah langkah kaki Max.
"Sarah, akhirnya kau sampai." Kata Max yang baru saja keluar dari kamarnya dan memeluk Sarah.
"Perjalanan kami tidak semudah yang kau bayangkan, Max." Kata Sarah.
"Ya aku tahu," Max menengok kearah aku dan James sambil memberikan isyarat kepadaku.
"Kalian berdua tunggu dibawah. Ada hal yang harus kukatakan ke Sarah. Sierra, kau boleh ajak James keliling," perintahnya.
"Keliling?" Tanyaku gembira.
"Ya, kau boleh pergi, tapi ingat jangan melewati jam sembilan. Kau mengerti?"
Aku hanya mengangguk. Max dan Sarah naik ke lantai atas dan meninggalkan aku dan James dibawah.
"Hei, kau mau jalan?"
"Tentu, kau mau kemana?" Tanyanya.
"Keliling kota, aku akan menunjukanmu tempat- tempat yang kusuka."
_______________
Sudah lama aku tak mengunjungi ruang bawah tanah. Lupakan masuk ke dalam, melihat saja pun tidak. Terakhir kali aku menginjak ubin ini adalah saat Max menyuruhku mengambil sekrup untuk memperbaiki alatnya yang rusak.
Aku sadar betapa kotor dan berdebu nya ruangan ini. Ternyata rumah ini perlu banyak perbaikan dan akan ku urus setelah ini.
Aku menyalakan lampu tua setengah redup--satu- satunya lampu yang ada-- itu. Tak kusangka, cahayanya masih cukup menerangi seluruh ruangan.
Aku menuruni tangga kecil kemudian diikuti James. Kurasa ia adalah anak yang pendiam. Ya, mungkin karena ini kali pertama kami bertemu.
"Maafkan semua kekacauan ini. Aku sudah lama tak merapihkannya." Ucapku sambil menarik sarung mobil yang menyelimuti truk tuaku.
James tertawa kecil, membentuk lesung pipi yang ditemani oleh senyuman manisnya.
"Aku ingin sekali mempunyai ruang bawah tanah seperti ini. Kau tahu, kau dapat melakukan segala sesuatu dibawah tanpa harus dilihat oleh orang lain." Ujarnya.
Aku senyum balik menanggapi.
"Siapa yang memiliki truk ini?" Tanyanya sesaat setelah melihat aku membuka pintu truk.
"Max. Baru saja ia memberikannya kepadaku beberapa bulan yang lalu. Kuharap mesinnya masih bisa berjalan."
Aku mencoba menyalakan mesin. Awalnya, tak ada tanda apapun, tetapi setelah berkali- kali mencoba, akhirnya suara nyaring truk terdengar, menandakan bahwa mesinnya sudah menyala.
"Masuklah, aku yakin kau takkan mau berjalan kaki keliling kota." Aku membuka pintu sebelah until memudahkannya masuk.
Ia mengangguk dan duduk di kursi sebelah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com