9. Si Tuan Rumah.0
Dia menunjuk jendela mobil, "Udah nyampe."
Di luar jendela, kulihat sebuah air mancur bulat bersusun tiga dengan ornamen batu pahat berbentuk katak mengelilinginya, diselingi dengan tanaman hias.
Sekitar sepuluh meter dari air mancur, terdapat rumah dua lantai megah dengan pilar marmer menjulang dari lantai teras ke atap lantai dua. Mirip seperti di film-film.
Ares keluar dari mobil lalu berjalan memutar untuk membuka pintu di sampingku dan mengulurkan tangannya untuk membantuku keluar. Nggak tau itu cuma modus atau dia memang seorang gentleman.
Seorang pria paruh baya bertubuh subur sedang duduk di teras rumah sambil mengelus seekor anjing golden retriever tua.
Anjing tua itu bernama Bruno. Bruno adalah anjing yang dipelihara oleh Tante Nia sejak Renata masih bayi. Dulu saat weekend aku sering menginap di sini dengan Renata sehingga cukup mengenal Bruno. Bruno ditemukan di dekat rumah mereka dalam kondisi baru lahir dan ari-ari masih menempel padanya. Saat melihatku dia langsung melompat-lompat kegirangan dan menghampiriku, minta disayang-sayang.
"Selamat siang, Om Ivan," Ares memberi salam.
Pria itu berdiri untuk menyambut kedatangan tamunya. "Loh, cepet juga datengnya. Om kira bakal nanti malam atau besok," katanya sambil menyalami tangan Ares.
"Jah, Ijah ... ambilin minum sama suguhan buat tamu!" teriaknya ke dalam rumah, lalu menengok ke arahku yang berada di belakang Ares.
"Mariska? Ini bener Mariska?" tanyanya, kelihatan banget nggak menyangka kalau Ares bakal datang denganku.
Aku mengangguk dan menyalaminya, sementara Bruno tak mau jauh-jauh dari sisiku.
"Kirain Ares dateng sama pacar. Kok bisa kenal?" tanya om Ivan sambil mengarahkan kami untuk duduk di sofa ruang tamu mewah yang didominasi warna merah dan gold.
"Ini calon istri, Om ...," jawab Ares gak tau malu, membuatku ingin menjambak rambutnya.
Om Ivan membuat mimik lucu di wajahnya sambil menggumamkan kata 'wow'.
Wanita berusia 30-an yang bernama Ijah kini menata tiga gelas jus jeruk dan berbagai macam cemilan di atas meja yang berada di hadapan kami, sebelum mengangguk sopan dan masuk kembali ke dalam.
"Kalian kok, bisa saling kenal?" tanya si om heran.
"Ya itu sebenarnya, alasan Ares hubungin Om. Tapi sebaiknya, Mariska aja yang jelaskan," kata Ares.
Om Ivan menoleh ke arahku yang duduk di samping Ares. "Silahkan, Mar."
"Sebelumnya saya masih tinggal di rumah Om, di jalan bulus nomor 58—"
"Sebelumnya?" potong Om Ivan.
Sambil tanganku tetap mengelus kepala Bruno yang duduk di sampingku, aku mengangguk. "Iya, sesuai dengan pesan almarhumah Tante Nia, saya tetap tinggal di sana walaupun Renata sudah pindah ke Singapore," kataku.
"Lalu sekarang, nggak lagi? Kenapa?" tanya Om Ivan heran.
Aku melihat ke arah Ares yang mengangguk supaya aku memberanikan diri untuk cerita.
"Uhm ... semenjak Tante Nia meninggal dan Om nggak pernah ke sana lagi, Bik Minah menyewakan rumah itu sebagai kos-kosan, juga bawa keluarganya pindah untuk tinggal di situ," kataku.
"Ya ampun. Sejak kapan kamu pindah?" tanya Om Ivan.
"Kemarin saya diusir," jawabku malu.
"Hah?! Diusir gimana? Yang punya kuasa di rumah itu kan harusnya kamu, Mariska," Om Ivan bilang dengan kesal.
"Saya telat pulang kerja karena nunggu hujan reda. Saya gajian tiap tanggal 2, dan selalu bayar ke Bik Minah sepulang kerja. Saat sampai rumah barang-barang saya sudah di teras."
"Saya coba ketuk pintu untuk ajak ngobrol baik-baik, tapi Bik Minah malah marah, suruh saya pindah karena bayarnya telat terus dan tutup pintunya di depan muka saya."
"Saya nggak ambil pusing dan lebih milih cek barang-barang saya yang sebagian kena hujan, karena dibutuhkan untuk kuliah. Saat itu baru saya tau kalau kucing saya juga di luar, kehujanan. Saya yang nggak tau harus ke mana ngemasin semua barang dan cepat-cepat pergi dari sana, kuatir Pippo sakit."
"Tau-tau motor saya sudah berhenti di depan rumah Ares, yang di depannya ada tulisan terima kos putri. Saya bilang kalau cari kos, lalu saya diterima ngekos di sana," ulasku.
Kulihat ekspresi Ares berubah jadi marah sekali, yang aku nggak ngerti alasannya. Sementara Om Ivan memijat keningnya.
"Ya ampun, kenapa Mariska nggak hubungin Om saat pertama kali Minah minta bayaran?" tanyanya.
"Maaf, saya pengen tapi nggak punya kontak Om," jawabku sambil menunduk malu.
"Mariska nggak kontak Renata?" tanyanya lagi.
"Sudah satu tahun saya nggak bisa hubungin Renata, Om. Gimana kabarnya?" tanyaku.
"Serius?! Rena nggak hubungin kamu sama sekali? Kalian dulu dekat sekali seperti saudara," kata Om Ivan, lalu menghela napas panjang. "Renata sudah dioperasi satu setengah tahun yang lalu. Well ... ada berbagai tes dan serangkaian kemoterapi enam bulan sebelum dan sesudah operasinya, tapi sejak sebelas bulan yang lalu Dokter sudah menyatakan bahwa Rena 90% sembuh."
Kabar ini jelas mengagetkan bagiku. Mungkinkah Renata lupa gitu aja sama aku?
"Renata berubah. Bukan lagi anak manis seperti dulu, dia nakal sekali sekarang. Om nggak tau sebabnya dan setiap kali kami bahas tentang ini, dia marah. Om gak bisa handle dia seperti almarhumah mamanya," ceritanya sedih.
Kutoleh Ares yang sedang menyeruput jusnya. Saat ini nggak ada ekspresi di wajahnya.
"Kalian saling kenal sudah lama?" tanya si Om setelah beberapa saat terdiam.
"Baru kemarin saya ketemu Ares," jawabku.
"Wow, udah dijadiin calon istri aja. Ares gercep ya, kalo ketemu yang bening?" goda Om Ivan. Ares tertawa.
"Tau nih, sampek takut saya," gumamku. Gantian Om Ivan yang tertawa.
"Oke, Minah jelas nggak bisa dibiarkan. Gimana kalau kita ke Bulus sekarang? Biar Om selesaikan urusan sama si Minah," tawarnya.
"Nggakpapa kalau Om nggak repot," jawabku.
"Habis itu Mariska mau tinggal di sana lagi, kan?" tanyanya.
"Mariska biar tinggal sama saya saja, Om. Saya kuatir kalau dia jauh dari saya," serobot Ares.
Aku menoleh padanya dengan syok. Dia serius?
Om Ivan mengangguk. "Biar Om siap-siap dulu."
"Om ikut di mobil saya aja, nanti biar saya antar balik ke sini," tawar Ares.
"Halah, gak mau saya jadi obat nyamuk. Lagian Om juga sekalian ke daerah sana, ada urusan. Om sama sopir aja," katanya. Ares nyengir.
Kami sekalian berpamitan. Setelah Om Ivan masuk ke dalam rumah, aku meminum habis jusku sebelum Ares mengajak kami pergi dari sana.
"Makan dulu, ya?" tanyanya begitu kami memasuki mobil.
"Di rumah?" tanyaku, Ares menoleh dengan wajah seperti habis menang lotere.
"Denger kamu nanya gitu, bikin pengen cepet-cepet nikah, deh," gumamnya.
"Apaan, sih? Maksudku, di rumah banyak makanan," sungutku.
"Biar dimakan yang lain, kita makan di luar aja," katanya.
"Nanti Om Ivan nungguin," kataku.
"Nggak bakal, Om Ivan itu siap-siapnya nggak mungkin di bawah satu jam," katanya yakin.
"Kok tau? Jangan-jangan—"
"Perlu aku buktiin sekarang kalau aku tertariknya sama cewek? Pindah aja ke jok belakang—"
"Ares!" bentakku, dia tertawa.
Dia segera menstarter mobilnya dan kami berlalu dari kediaman Om Ivan.
"Mau makan di mana? Jangan bilang terserah, aku belum tau kamu sukanya apa," tanyanya tanpa menoleh padanya dan tetap fokus ke jalan raya.
"Aku nggak rewel kok, apa aja boleh," jawabku.
"Mekdi?" tanyanya. Aku mengangguk.
Sepuluh menit kemudian mobil Ares sudah terparkir di lahan parkir gerai Mekdi terdekat.
.
𝕁𝕒𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕝𝕦𝕡𝕒
🇰 🇱 🇮 🇰 ⭐🇻 🇴 🇹 🇪
𝕕𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕒𝕝𝕜𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com