Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Perfect Abnormality

Terlahir sebagai anak sulung laki-laki yang sering kali dipuja-puji banyak pihak di keluarga ini tidak semata-mata membuat aku bangga. Bagi mereka aku adalah sosok pemuda berprestasi, penuh bakat yang kemampuannya pantas diketahui oleh khalayak ramai. Acapkali aku malu, waswas hingga berakhir takut kala mendapati Ibu mulai membawa-bawa namaku dalam topik pembicaraannya. Takut apabila akhirnya Ibu dan Ayah mengetahui tentang betapa sebetulnya anak laki-laki mereka ini memiliki banyak sekali kekurangan.

Sebuah abnormalitas yang semenjak aku duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar mulai sering mengganggu pikiran dan sudut pandangku dalam menilai diri sendiri. Sisi aneh yang aku sadari menggerogoti kewarasanku hari demi hari.

Satu waktu aku bertanya-tanya, terkait bagaimana aku begitu berhasrat pada cowok yang sesama jenis denganku saat tahu betul sebagai anak laki-laki seharusnya aku menaruh ketertarikan pada lawan jenis.

Disusul termenung lama, mencari-cari jawaban tentang mengapa aku tidak bisa turut memakai baju cantik dan lucu yang adik perempuan bahkan sepupu perempuanku sering kenakan--atau setidaknya, diizinkan berpakaian layaknya para gadis anggun di luar sana?

Berangsur memikirkan, mengapa remaja laki-laki seperti aku tidak dibiarkan berdandan serupa para perempuan kebanyakan? Memakai lipstik, pewarna mata, perona pipi hingga bedak tebal yang bisa mengubah total rupaku menjadi cantik. Aku juga ingin terlihat cantik, loh.

Tertampar oleh realita ketika sadar orang-orang di sekelilingku tidak menormalisasikan segala hal yang aku ingin bisa lakukan selama ini.

Menyimpulkan bila Tuhan mungkin salah memilihkan jenis kelamin untukku. Berpikiran bahwa seharusnya aku terlahir sebagai perempuan saja saking banyaknya perkataan "Laki-laki gak boleh begitu!" yang aku dengar atas itu semua.

Seketika panik melanda setelahnya. Ketakutan mengundang bimbang tak berkesudahan. Dilema dan tertekan. Gamang tentang apa yang harus dilakukan. Sampai kemudian aku bertemu dengan sosok pengamen pria yang berdandan sebagai wanita. Orang-orang menyebut mereka; bencong, banci atau waria.

Menumbuhkan rasa penasaran yang mendorong aku untuk nekat. Mengendap-endap ke dalam kamar sepupuku atau Ibu secara bergantian setiap mereka sedang tidak di rumah, lantas mulai coba mendandani diriku sendiri. Memulas bibir dengan lipstik. Memberi warna pada kelopak mata. Tanpa lupa memoles bedak ke wajah. Mengagumi kecantikan yang terpampang di cermin.

Kecantikan yang tercipta yang ingin sekali aku tunjukkan pada orang-orang. Akan tetapi, sadar betul bahwasanya ini bukanlah sesuatu yang akan dianggap wajar apalagi normal.

Seiring bertambahnya usia dan masa, didukung semakin matangnya cara berpikir dan pengetahuanku mengenai berbagai hal lain yang terjadi di penjuru bumi, mencetetuskan sebuah keputusan di dalam kepala; mengenai aku yang akan mempertontonkan sisi cantikku pada dunia secara diam-diam saja.

Tidak boleh ada yang tahu identitasku.

Tidak akan ada yang mengenali siapa aku sebenarnya.

Mustahil orang lain, bahkan keluargaku sendiri, dapat menemukan sosok Setya Febrianu dalam rupa gadis yang aku ciptakan.

Sampai suatu hari, seluruh keyakinkan itu hancur begitu saja ketika aku didatangi oleh salah satu murid cowok paling terkenal di SMA tempatku bersekolah. Menunjukkan foto diriku yang tengah menjelma sebagai hode di platform game yang kujadikan sarang penyamaran sekaligus tempatnya memergoki aku.

"Ini elo, 'kan?" Ervano Johannes Rafael bertanya sambil memperlihatkan fotoku sebagai Selya yang belum lama aku unggah.

Mati-matian aku meredam panik. Berusaha keras untuk tidak menelan ludahku yang seolah mencekik tenggorokan. Sebelum akhirnya mampu menjawab dengan cukup tegas.

"Emm, sorry. Kayaknya elo salah orang."

Tanpa berani memandang sorot matanya yang seolah-olah coba membaca seluruh isi di dalam kepalaku.

"Really?" Nada bicaranya terdengar tidak percaya. "Dipikir elo bisa ngebodohin gue?"

Aku buru-buru berdalih, "Bukan begitu. Tapi yang ada di foto itu cewek. Dan gue cowok."

"Tapi cewek ini adalah elo."

"Bukan!"

"Bisa buktiin?" tuntutnya tiba-tiba yang spontan membuat aku mendelik.

"Bu-buktiin gimana? Kan jelas-jelas gue cowok!"

Ah, Setya. Jangan panik! Nanti yang ada cowok jangkung ini malah tambah curiga. Lagipula aku heran kenapa dia sangat sulit untuk dikelabui. Jika terus begini, posisiku sebagai Selya bisa terancam bahaya.

Dari sudut mata, aku lihat Ervano menyeringai seraya membungkukkan badan tingginya lebih ke depan. "Gue tantang elo. Kalo berani, coba dandan kayak cewek ini. Biar hasilnya yang nanti akan menentukan. Apakah cewek ini betul elo atau bukan."

Aku disuruh ngapain, katanya?

Aduh, Setya. Buruan, pikirkan alasan lain. "T-tapi gue nggak bisa dandan dan gue nggak punya--"

"Gue akan siapin semuanya. Alat makeup, wig, baju cewek yang sesuai untuk elo juga. Size lo M, 'kan? Tenang aja. Tinggal terima beres deh elo."

Penjelasan panjang lebarnya makin-makin menyudutkanku.

"Berarti elo bakal minta gue untuk cosplay gitu?" responsku pura-pura tidak mengerti.

"It's not cosplay, duh." Sekali lagi, fotoku sebagai Selya diperlihatkan. "Just, I want to see you as you in this picture."

"But that's not me!" sangkalku masih. "Why can't you just believe me and leave me alone?" cecarku seraya kian menggeser posisi berdiri sampai berada di pojok dinding demi menjauhinya.

Mendadak dia mendengkus pelan. "And why don't you stop lying then?" Matanya terasa melirik aku dari atas hingga ke bawah. "Your beauty isn't something that should make you feel ashamed." Puncak kepalaku tahu-tahu diusapnya sampai bikin aku terlonjak, sebelum dia akhirnya membalikkan badan. "Gue tunggu elo di salon dekat Alfa menuju persimpangan jam 2 siang. Hari Minggu. Bye, Satya."

Eh, apa aku tidak salah dengar? Dia memanggilku apa barusan? Satya?

Sejak kapan memangnya aku berganti nama?

___


Namun, sejak pertemuanku dengan Ervano yang terjadi di perpustakaan kemarin, mengingat setiap kalimat yang dia katakan, sampai menitah aku berdandan sebagai Selya hanya demi memastikan kecurigaannya, semua itu sungguh membuat aku tidak bisa tenang.

Akibatnya, aku kehilangan semangat untuk sekadar bermain game satu lawan satu. Terus mondar-mandir di dalam kamar sambil menggigiti kuku. Memikirkan rencana apa yang harus dilakukan agar identitasku sebagai Selya bisa tetap aman.

Jam weker di meja belajar aku lirik. Lalu mendecak kesal karena waktu bahkan tidak mendukung aku supaya dapat berpikir lebih lama.

Baiklah. Mari kita ladeni Ervano jika itu memang maunya. Walau sebetulnya, aku lebih dari tidak ingin melakukan ini. Sebab berhadapan dengannya, sangat-sangat tidak baik bagi kedamaian hati serta pikiranku.

.

"Oh. Akhirnya elo datang," sambut Ervano yang nyaris sulit aku abaikan penampilannya. Lantaran dia terlihat luar biasa menawan hari ini.

Yah, aku tidak akan menyangkal tentang Ervano yang sebenarnya terlihat menawan setiap hari. Akan tetapi, melihatnya dari dekat begini sungguh mengundang deg-degan yang kian kencang. Gugup bercampur kasmaran. Salah tingkah. Semuanya.

Ayolah, Setya. Kendalikan diri! Yang harus dilakukan hanyalah mengatakan apa yang ingin disampaikan tanpa banyak basa-basi. Oke, mari kita mulai.

"Gue nggak punya banyak waktu untuk meladeni elo. Di sini, gue hanya ingin menegaskan satu hal; bahwa gue cowok dan foto cewek yang kemarin elo tunjukin bukanlah gue. Jadi, gue harap elo bakal berhenti ngeganggu gue untuk hal nggak penting."

Aku berhasil mengatakan semua itu dalam sekali tarikan napas. Lancar tanpa ada gangguan apalagi gagap. Melegakan.

"Oh." Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil mengangguk-anggukkan kepala, berlagak mengerti atas apa yang kubilang barusan. "So, elo belum mau mengaku. Oke, deh."

Kalau terus begini, sampai kapan pun urusanku dan Ervano tidak akan pernah bisa selesai, 'kan? Susah banget bikin dia mempercayai ucapanku. Ampun, Tuhan!

"Elo berharap gue mengakui apa, sih?"

"Bahwa elo adalah gay. Elo suka menjelma jadi cewek. Dan elo sering diam-diam merhatiin gue."

Perkataan blak-blakan yang dilontarkan Ervano terang saja membuat aku terpojok. Bingung bagaimana cara menyerang balik sebab semua hal yang diungkapannya tentangku itu adalah fakta.

Fakta yang tetap harus aku bantah.

Jadi, aku merespons dengan agak ketus. "Ternyata orang yang kaya materi nggak menjamin punya etika yang bagus, ya."

"I've had bad personality since I was a child, if that's what you're talking about here. No offense," balasnya santai yang semata-mata bikin aku memandangnya jengah.

"No offense? Setelah elo seenaknya nuduh gue gay?"

"Itu bukan tuduhan, melainkan fakta yang berusaha mati-matian elo sembunyikan," cetusnya seraya melangkah menghampiri aku. "Why? Because you're gay, you live here in Indonesia and there's no one can accept you for who you are. Gue bener, 'kan?"

Tepat setelah seluruh kalimat menyebalkan Ervano terucap, aku lebih dari kesusahan untuk bereaksi. Saking terkejut dan tidak menyangka.

Bagaimana dia bisa mencela diriku sedemikian tega padahal dia bukanlah siapa-siapa. Saat kami baru kedua kalinya bertatap muka. Dan mentang-mentang hanya ada kami berdua di sisi gedung sepi ini, lantas pikirnya dia bisa semena-mena. Begitukah?

Apa masalah yang sebenarnya cowok ini miliki denganku? Kesalahan apa yang aku buat sehingga menjadikannya begitu senang untuk merendahkan aku begini?

Aku tersengih. Menggeleng-gelengkan kepala masygul sebelum melayangkan sorot muak ke arah Ervano yang tampak kehilangan senyum sok hebatnya.

"Oh, shit! W-wait! I didn't mean to--"

BUGH! Aku membungkam mulutnya dengan tinjuan kali ini. "You're such a shitty person! Stop bothering me more than you already did!!" makiku yang sesudah itu meninggalkan Ervano yang merintih kesakitan.

Berjalan seorang diri. Menuju kembali ke rumah sembari sekuat tenaga membendung air mata yang seolah siap menetes kapan saja.

Baru satu orang yang sudah mencurigai aku, tapi sakitnya sudah seperih ini. Apa yang akan terjadi apabila seluruh populasi di dunia justru turut mengetahui?

Satu-satunya jawaban yang muncul di kepalaku adalah bunuh diri.

Harapanku, jangan sampai. Jika perlu, tidak ada orang lain yang harus mengetahui ini. Jangan pernah.

___


Aku baru selesai mengambil buku untuk dibaca ketika sosok yang sangat tidak ingin aku jumpai saat ini malah memunculkan diri.

"Hai." Ervano menyapa dengan senyum ceria di wajah tampannya yang tampak sedikit lebam.

Tubuh tingginya sontak aku tatap malas. Jika tahu akan begini, aku pasti tidak berminat mengunjungi ke perpustakaan hari ini.

Sebagai balasan atas rasa sakit hati kemarin, aku mengabaikan dia. Membikin Ervano buru-buru menghadang aku sambil menyatukan tangan di depan muka.

"I want to apologize for what I said to you yesterday."

Ucapannya itu tetap tidak aku hiraukan. Jadi, aku melanjutkan langkah yang, sialnya, lagi-lagi berhasil dia hadang.

"Please, forgive me. I didn't mean to hurt you with my words. Gue sadar kata-kata gue kemarin sangat kurang ajar emang."

Pengakuan dari Ervano secara ajaib meruntuhkan rasa sebalku terhadapnya. "Masih tau diri juga lo, ya."

"Sedikit, sih." Dia tersenyum kikuk. "Intinya, gue nggak ada niat untuk nyakitin elo, oke? I'm just curious. About you and also another you as a girl."

Seketika aku memutar bola mata sebab kembali terpancing murka. Ujung-ujungnya masih soal itu. Ampun, Tuhan.

"Udah dibilang gue bukan cewek yang elo maksud!" kataku dengan suara sepelan mungkin, tapi tetap penuh penekanan supaya dapat meyakinkan dia.

"Tapi gue tau betul itu adalah elo, Setna."

"Nama gue Setya."

"Oke, Sena."

Oh, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Andai tidak kasihan, ingin sekali aku mengajarnya sekali lagi.

Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas pasrah. "Terserah. Anggap aja urusan kita udah selesai. Silakan elo pergi dan jangan pernah gangguin gue lagi."

Namun, bukan Ervano namanya jika dia bersedia mendengarkan perkataan orang lain.

Sebab ini cowok tetap aja mengajak aku bicara. "All you need to do is be honest. To me, to yourself. Apa susahnya, sih? It's not like I'm trying to bully you here. I just want to know."

"About what?" balasku mendesis, nyaris menjerit lantaran sudah terlalu frustrasi atas kekeraskepalaannya. "Nothing important to know about me. I'm just an ordinary person."

"You're not just an ordinary person." Kepalanya menggeleng tidak setuju. "I know it since the first time our eyes met. You're something else."

Mau tidak mau, momen yang tadi disebutkan oleh Ervano serta-merta terbayang. Hari di mana dia mengikuti latih tanding basket antara kelas IPA dan IPS. Mempertontonkan permainan yang lincah, cerdik sekaligus menarik. Menyaksikan tubuh tinggi itu berlari dan melompat ke sana-kemari tanpa aku mampu mengalihkan pandangan darinya. Melihat senyumnya yang lebar dan menawan dengan aku yang dibuat semakin terkesima.

Hingga tiba-tiba, lirikan mata Ervano mengarah ke sini. Pada posisiku. Mengunci pandangan kami seperkian detik yang bagaikan menghentikan waktu. Tidak lama. Spontan membuat aku membuang pandangan disertai debaran jantung yang kian menegangkan. Menyadari Ervano memergoki aku yang tengah terpesona pada sosoknya. Tapi mustahil aku akan mengakuinya begitu saja, 'kan?

"Stop talking non-sense. I don't want to listen to your bullshit anymore," komentarku tidak peduli lalu mulai membuka-buka halaman buku.

Ternyata terbalik. Sialan.

"This is not bullshit!" Tanganku ditahan dari membalik halaman selanjutnya. "Dan disadari atau nggak, elo sama sekali nggak pernah berani menatap gue langsung di mata," bisik Ervano tepat di dekat telinga. "Why? It's because you're nervous." Dia menyimpulkan yang sampai bikin aku meneguk ludah kalut.

Bisa-bisa aku mati berdiri kalau terus disudutkan olehnya begini.

"Look at me." Daguku dipegangi. Menjadikan kepalaku mendongak dengan sendirinya didorong oleh sentuhan Ervano.

Mempertemukan sepasang mataku dengan kedua mata Ervano yang indah. Amat menghipnotis. Mata yang merupakan sumber kelemahanku. Karena jika sudah berhadapan dengannya, aku pasti tidak akan bisa berbuat apa-apa.

"Set, elo di situ, 'kan?"

Aku refleks mendorong tubuh Ervano tatkala panggilan itu terdengar.

"Iya!" Lantas buru-buru pergi sebelum dia berhasil menghadang aku lagi.

"See you later!" Ervano berseru yang sontak menjadikannya pusat perhatian seluruh pengunjung perpustakaan.

Memalukan.

___

"Elo beneran gak akan berhenti ngegangguin gue, ya?"

Lagi-lagi Ervano menemui aku di perpustakaan. Sedikit mengherankan bagaimana dia bisa selalu menjumpai aku di sini. Keberatan, sekaligus senang. Jadi aku membiarkan saja dia duduk pada kursi di seberang tempatku membaca kini.

"Nggak."

Jawaban yang tidak mengejutkan.

"Emangnya elo nggak punya kegiatan lain? Yang lebih bermanfaat selain ngeganggu gue. Biasanya 'kan elo main bareng sama Juanda dan Dyas, tuh."

"Mereka lagi ada kesibukan." Pertanyaan dariku dijawab dengan cepat lagi olehnya. "Lagian bicara sama elo juga sesuatu yang bermanfaat untuk gue, kok."

Sedikit, aku jadi geli mendengarnya.

"Manfaat apa yang bisa elo dapat emangnya?" tanyaku lagi sambil terus membaca buku berisi teknik menggambar yang sejak semester kedua ini mulai semakin aku tekuni.

"Manfaatnya, gue bisa sedikit demi sedikit tau lebih mengenai elo."

Bualan murahannya berhasil membuat aku beralih dari buku untuk memandangnya dengan risih. "You're such a weirdo," kataku yang anehnya membuat dia nyengir.

"I know. And you're such a cutey."

Oh. Kalimat Ervano yang barusan sedikit bikin aku salah tingkah. Walau tetap, kesannya masih tidak seberapa istimewa. Apalagi mengingat sifat menyebalkannya.

Alhasil aku membalas dengan sindiran. "Said someone who accuse me as a gay person, huh. So funny."

"Well, but I'm not gay though," ucapnya menampik. "This is just my first time having an interest to a boy. Or a girl. But still, that girl is you after all."

Tolong ampun aku. Perasaan bolak-balik ke sana melulu topiknya.

"Are you still gonna talk about that?"

"I will never stop until you finally give in."

Kepalang kesal, aku jadi menutup buku untuk melayangkan tatapan sengit padanya. "But there's nothing to give from me anyway. You just wasting your time."

Dasar aneh. Ervano justru menyeringai seraya berkata dengan yakin, "We'll see about that."

___


"What makes you so anxious?"

"About what?"

"You. Ketertarikan elo yang suka dandan sebagai cewek. Bahwa elo suka ke sesama jenis. I think there's nothing wrong about that."

Lagi-lagi topik pembahasan yang Ervano mulai berhasil membuat aku menutup buku yang tengah dibaca.

Mendecak sebal, aku lalu melotot ke arahnya. "Elo pasti udah nggak waras untuk berpikir bahwa there's nothing wrong about being gay."

Nothing wrong, he said? Padahal jelas-jelas kaum LGBT acapkali mendapatkan perlakuan tidak adil bahkan saat kami tidak sedang melakukan apa pun. Ketahuan gay, dihujat. Digosipkan punya pacar sesama cewek, dihina habis-habisan. Berdandan seperti lawan jenis, segala makian langsung dilontarkan tanpa berperikemanusiaan. Tapi bisa-bisanya seseorang menganggap itu bukan sesuatu yang salah ketika jelas-jelas kami selalu dianggap salah oleh masyarakat.

"For me, yes. There's nothing wrong with that. Nggak tau bagi orang lain, sih. Beda kepala, beda pikiran 'kan."

Oh. Menurutnya toh. Menarik juga.

"Really?" komentarku, sengaja berlagak meragukan pendapatnya.

"Why?" Dia menelengkan kepala, menatap aku yang sigap menunduk lagi memperhatikan buku. "Apa elo termasuk bagian dari mereka yang menganggap diri elo sendiri sampah yang nggak layak diterima atau dicintai?"

Spontan kepalaku terangkat kembali menangkap tebakan tepat sasaran darinya. Balas menatap Ervano yang tampak meneliti aku dengan penuh kesungguhan. Seakan-akan sedang berusaha membaca reaksiku.

"It's okay to be who you are. Accepting yourself without the world knowing. Keep it as a secret. Run away as far as you can," ungkapnya tanpa sedetik pun mengedipkan mata. Mengunci aku dalam pandangannya. "But you need to remember, that in the end, you'll still need someone else. Someone who can accept you more than you can accept yourself. To keep you safe."

Aku berdeham. Membuyarkan atmosfer terlalu serius ini sambil menunjukkan senyuman canggung. "I don't know what you're talking about." Lanjut bergegas membereskan buku, bersiap kembali ke kelas sebelum perpustakaan makin ramai lalu ada yang memergoki kami.

Ervano mengejutkan aku dengan sentuhannya. "What I mean is, you have me." Tanganku digenggam olehnya. "That you can trust me. Because I want to know more about you. I mean it."

"That's enough. I need to go back to my class." Pegangannya segera aku tepis tanpa berniat meladeni.

"Okay then. See you later."

Aku melangkah tergesa sampai nyaris tersandung ujung kursi. Melirik ke belakang, pada Ervano yang tidak disangka juga tengah melihat kemari dengan senyuman yang tersungging. Yang kontan memunculkan debaran gugup di dadaku.

Diriku pasti sudah gila. Semakin aku menghiraukannya, kewarasan dalam diri ini rasanya kian tidak terkendali saja. Sejenak tadi, kata-kata yang disampaikan oleh Ervano telah menggetarkan jiwaku. Memberi secercah harap tentang aku yang mungkin memang bisa mempercayai seseorang.

Seseorang yang tempo hari menyatakan bahwa tidak akan ada yang dapat menerima diriku.

Hidup ini memang konyol.

___

"Elo bisa nyanyi, 'kan? Lagu favorit elo apa?"

"Perlu banget elo tau?"

"Perlu. Siapa tau gue bisa menghibur elo pake lagu itu jika sewaktu-waktu elo lagi bad mood."

Topik aneh lain yang dijadikan pembahasan oleh Ervano ketika mengganggu aku untuk ke sekian kalinya di perpustakaan selama kurang lebih beberapa minggu belakangan.

"Emangnya elo bisa nyanyi?" Aku balik bertanya, memutuskan untuk sedikit meladeni.

"Kalo cuma nyanyiin lagu Pelangi-Pelangi atau opening Doraemon dub Indonesia, sih. Ya, gue bisa nyanyi," jawabnya yang betul-betul bernyanyi setelahnya. "Lalala~ aku sayang sekali, Doraemon."

"Pffft!" Tawaku menyembur tanpa dapat ditahan. Refleks celingukan takut-takut ada pengawas yang memergoki kami dan berakhir mengomel. "Heh, kita lagi di perpus! Gak waras lo!"

Makianku justru bikin dia terlihat girang. "Gue rela dianggap nggak waras asalkan bisa bikin elo ketawa kayak gitu."

Senyumanku tidak bersisa lagi mendengar ucapannya tadi. "Padahal elo bisa ngedapatin siapa pun di luar sana tanpa harus repot-repot berlagak nggak waras, loh. Bukannya itu lebih gampang?"

"Nah!" Dia menggelengkan kepala tidak setuju. "Hal gampang sama sekali nggak menantang."

Benar-benar di luar dugaan.

"You're not just a weirdo, but also an abnormal person. You know that?"

Ervano tampak bangga dikatai demikian. "Call me whatever you want, Febri. I don't care. As long as you still want to talk to me, it's enough."

Aku mengernyit mendapati nama sebutan yang terdengar asing itu. "Febri?"

"Gue payah dalam mengingat nama depan orang. So, I'm gonna called you Febri instead--with your last name. Is that okay?"

"I don't really understand, but okay," ujarku yang tidak mau repot-repot berpikir demi memahami penjelasannya.

___

Elo kenapa nggak pernah upload foto lagi? Gue kangen sama Selya.

Itu yang Ervano ketikan padaku melalui pesan pribadi di platform game yang kebetulan sama-sama kami favoritkan. Tentu, masih tanpa pengakuan dariku bahwa aku adalah Selya karena Ervano memang sekukuh itu dengan prasangkanya. Anehnya, sudah hampir satu minggu berlalu sejak pesan itu terbaca, tetapi Ervano malah belum kunjung menemui aku lagi.

Lebih tepatnya, mengganggu aku, ya.

Bukan berarti aku rindu atau kehilangan. Ya, ada sedikit. Tapi tetap tidak berarti apa-apa, kok.

Saat ini pun, aku sedang mengecek akun media sosial Ervano bukan dengan maksud macam-macam. Apalagi aku menggunakan akun cadangan. Supaya aman.

Tidak ada kiriman baru. Status barunya juga kosong. Akan tetapi, ketika aku mengecek postingan yang menandai dirinya, di sana aku melihat gambaran Ervano yang tampak berduaan dengan sosok seorang gadis.

"Eh, elo udah denger gosipnya? Soal Ervano yang jadian sama Jasmin."

"Iya, gue juga denger. Mereka cocok, sih. Katanya mamah Ervano udah ngasih restu juga. Soalnya Jasmin 'kan calon model."

"Serasi banget mereka, ya. Jadi iri gue. Kapan ya gue bisa punya cowok kayak Ervano?"

Gosipnya datang ke telingaku tepat waktu sekali. Memunculkan sensasi gerah yang membuat aku melangkah menjauhi segala keramaian yang dipenuhi bisik-bisik terkait Ervano dan Jasmin. Berakhir mengunci HP sembari mendecak kesal lantaran aku tidak mampu menyangkal bahwa keduanya terlihat cocok dipasangkan. Tapi, sisi lain hatiku juga menampik gambaran itu secara gamang.

Aku bersandar di sisi pintu gudang dengan lesu. Berjongkok seraya merutuki diri sendiri yang mendadak dilema. Bingung antara harus sedih, senang, atau justru sakit hati.

"Yah, anggap aja ini pertanda bahwa dia nggak akan ngegangguin gue lagi, deh," kataku berbicara pada diri sendiri.

"Febri, is that you?"

Refleks aku berdiri sewaktu mendapati bisikan yang terdengar dari balik pintu. Kaget melihat Ervano yang entah sejak kapan berada di dalam gudang sana.

"Hah? Elo ngapain di situ?"

"Sssttt!" Dia tampak panik. Membuka pintu, lalu bergegas menarik aku untuk ikut masuk ke gudang. "Come here!"

Saking kagetnya aku sampai tak sempat membuat perlawanan. Berdiri berhadap-hadapan dengan Ervano di tengah-tengah gudang sempit yang dipenuhi berbagai barang tidak terpakai. Sumpek. Penuh debu. Tidak nyaman sama sekali.

Jadi, aku memprotes, "Ngapain elo ngajak gue masuk, sih?"

"Gue lagi sembunyi. Diem!"

"Ya, silakan aja elo sembunyi. Gue nggak mau ikutan!"

"No, you need to stay here."

Tubuhku mendadak dipeluk erat oleh Ervano seolah tidak ingin dilepas.

"Temenin gue. Soalnya gue takut kecoa."

"Hah?" pekikku sontak merinding sejadi-jadinya.

Gila dia, ya. Masa aku diajak ke sini karena alasan yang sangat-sangat mengganggu lebih dari eksistensinya yang menyebalkan?

"Sssttt! Jangan berisik, Febri! Nanti ada kecoa datang."

Aku spontan memberontak. "Gue juga takut kecoa, kali. Awas! Gue mau keluar!"

"No, please, stay here!" Pelukannya kian dipererat sampai rasanya badan kami berdua terlalu saling menempeli sekarang. Mana tinggi badanku cuma setara dagunya. "Kecoa yang gue maksud bukan kecoa yang elo bayangkan."

Mendongak, aku bertanya dengan tidak sabar. "Terus, apaan?"

"Seseorang."

Tunggu dulu. Jangan-jangan, "Jasmin?"

"Wow." Dia memandang aku takjub. "Gue baru tau ternyata elo punya bakat membaca pikiran orang juga."

"Mana ada bakat semacam itu!" semburku kemudian melepaskan diri. "Gue tau karena gosipnya udah menyebar. Tentang elo dan Jasmin."

"Damn it!" Mengetahui itu, cowok yang setahun lebih muda dariku ini justru mengumpat. Terlihat kesal.

"Kenapa elo malah keliatan nggak senang?" Aku keheranan. "Bukannya itu bagus? Kalian cocok, kok."

"Cocok?" Tatapannya menunjukkan ketidak-sukaan. "Cocok dari segi apanya?"

"Dia cewek, elo cowok. Sama-sama pintar, tinggi, cakep, populer dan punya keahlian di bidang olahraga. You guys will definitely become a great couple."

Usai mendengar penjabaranku, Ervano langsung berlagak ingin muntah. "Jangan bikin gue mual dengan semua bualan lo itu, Febri. Itu sama sekali nggak ada artinya bagi gue."

"Itu berarti buat gue," ucapku coba berterus terang. "Karena dengan elo punya pacar, gue nggak bakal sering-sering elo ganggu lagi."

Sejenak, dia tampak tidak percaya atas apa yang aku katakan. Lalu merespons, "And that's not gonna happened. Kalo dengan punya pacar bikin gue gak bisa ketemu dan ngobrol sama elo lagi, mendingan gue being single until you finally give in."

Masih saja keras kepala, ya.

"I will never give in. Especially to someone like you!" ungkapku agak kelepasan yang mana bikin Ervano berekpresi tidak senang.

"What's with me? Apa kurangnya diri gue yang bikin elo nggak bisa nerima gue, hah? Gue pikir, selama ini elo suka ke gue."

Itu memang benar. Dan dia tidak boleh tahu. Tetapi, bagaimana cara aku menjelaskannya? Bahwa batasan yang ada di antara kami yang menjadi penghalang serta sumber ketakutanku. Alasan terbesar yang menjadikan aku tidak bisa terbuka begitu saja.

"Because ... we're different."

"Different in which way?"

Konyol sekali. Sungguhkah dia masih perlu bertanya mengenai itu saat perbedaan yang aku maksud terpampang dengan jelas?

"In every way!" Aku mengkonfrontasinya lantaran telah habis kesabaran. "Elo kaya, gue miskin! Elo tinggi, gue pendek! Elo ganteng sedangkan tampang gue pas-pasan begini! Yang paling utama, elo normal sedangkan gue nggak!"

Sesak yang menyakitkan terasa menusuk dada sejurus setelah aku mengucapkan kalimat terakhir tadi. Hal yang sangat ingin aku tutupi, tapi mustahil bisa terus aku biarkan tersembunyi.

"I'm not normal, yes. You're right about that. Bahwa gue suka berdandan sebagai cewek. Bahwa gue gay--penyuka sesama jenis. Bahwa gue nggak mampu menerima diri gue sendiri. Bahwa gue sampah yang benci terlahir ke dunia dengan keadaan seperti ini!"

Di sini, aku memutuskan untuk mengakui segalanya sekaligus. Agar Ervano puas. Supaya dia tahu kebenarannya. Lebih bagus, apabila dia juga bisa turut membenci aku atas ini semua.

"But that's not your fault. Not because of you not being normal, but to think about how you can just consider yourself as an abnormal person. How can you think so low about yourself? When you actually ...," Kedua bahuku dipegangi. "Just normal. An ordinary normal human being. Satu-satunya alasan yang bikin elo menganggap diri elo nggak normal adalah pandangan buruk orang-orang di lingkungan tempat elo tinggal."

Dadanya aku dorong dengan sengit. "Jangan bicara seolah-olah elo paham apa yang gue rasain!"

"Gue paham, kok!" hardiknya. "Elo merasa nggak ada yang bisa memahami perasaan elo karena elo nggak pernah mau terbuka! Elo selalu menutup diri! Lari! Ketakutan tanpa mau berusaha mempercayai orang lain. Tanpa ada keinginan untuk mencoba menerima diri lo sendiri."

Penuturannya sukses membuat aku tertohok hingga tanpa sadar sudah berair mata.

"Hey, Febri. Look at me." Wajahku yang kali ini disentuh. "I'm here, okay? Listen. You're fine just the way you are now. As yourself. It doesn't matter even if you love to dress or act as a girl. Even if you're gay and abnormal. That's okay. I will accept all of that no matter what. Because I'm also not normal at this point though."

Tangisanku kian pecah mendapati setiap perkataannya. "What are you talking about! Stop it."

"I'm also not normal for liking someone who called himself abnormal loudly in front of me."

"Liking someone like me won't give you any good."

"That's okay. I don't need anything good from you. Because I just want to makes you happy."

"You're really an abnormal weirdo, Ervano," ucapku memaki Ervano yang sekadar ditanggapi anggukkan tanda paham.

"Kalo dengan menjadi nggak normal bisa bikin elo suka juga ke gue, ayo kita jadi nggak normal sama-sama. Gimana?"

"Elo gila!"

"Nggak apa-apa gue dianggap gila asalkan gue bisa milikin elo."

"But you're not gay, are you?" Aku masih memendam keraguan. "Things aren't gonna work between us."

"Why?" Ervano jelas tidak setuju atas pernyataanku. "Apa ada aturan yang menyatakan bahwa cuma sesama cowok gay yang boleh suka ke elo? Nggak, 'kan?"

Aku terperangah.

"Gue mungkin bukan gay tulen. Gue akui gue nggak pernah tertarik ke cowok lain selain elo selama gue hidup sampe sekarang. Tapi gue pastikan, Febri adalah cowok pertama dan satu-satunya yang akan Ervano Johannes Rafael sukai. Dan ini janji," ikrarnya diungkapkan tanpa ada kebimbangan. "Kalo bukan elo, gue nggak bisa, Febri. So, please? Can you just give in to me and admit that you like me too?" Mohonnya disertai senyum seraya mengusap-usap pipiku yang terasa kian basah sekaligus panas.

Merasa terharu, malu, senang, sedih. Semuanya bercampur menjadi satu. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sensasi seperti ini. Perasaan bahwa aku diterima oleh bagian dari dunia. Ada sesuatu di dalam kehidupan ini yang ternyata menginginkan diriku tanpa peduli ketidaksempurnaan yang aku miliki.

"Thank you." Aku membalas, "Thank you for not giving up on me and make me believe that there's somebody who actually accept me for who I am. I love you, Ervano Johannes Rafael."

Senyum cowok ini kian merekah. "That's it. I know you'll finally give in."

Komentar Ervano yang disuarakan dengan penuh kelegaan itu sukses bikin aku tertawa. Lalu aku memberanikan diri memeluk dia. Tenggelam dalam dekap tubuh cowok yang telah resmi aku terima sebagai kekasih, selagi berpikir panjang mengenai betapa banyak hal yang mungkin akan terjadi ke depannya dalam ikatan kami.

Berkomitmen kemudian; tentang hubungan kami yang harus dirahasiakan dari semua orang. Meminta pengertian Ervano terkait aku yang tidak akan pernah ingin melakukan seks anal. Saling mengakui hal-hal yang kami suka dan tidak sukai. Memutuskan untuk berbicara menggunakan aku-kamu jika kami tengah berduaan.

Hingga aku mencetuskan keputusan, "I'm gonna called you Hannes instead. Is that okay?"

"As long as you happy. That's okay," desis Hannes tanpa membuka matanya yang tengah aku pakaikan eyeliner. "Belum selesai?"

"Hampir." Sekali lagi aku menyentuhkan kuas ke bagian hidung Hannes. "And we're done!" seruku penuh antuasiasme.

Selanjutnya, aku dan Hannes berkaca pada cermin lemari. Melihat penampilan kami yang berdandan sebagai cewek yang terpampang di depan sana dengan senyuman yang mengembang sambil berangkulan. Aku mengenakan rok mini merah muda dirangkap crop top sweater warna senada dipoles Korean natural makeup look. Sementara Hannes memakai dress oblong merah selutut dengan dewy makeup look. Wig kami sama-sama berwarna hitam. Rambutku sebahu dan Hannes panjang lurus.

"You look so beautiful, Selya," puji Hannes yang semata-mata membuat aku bangga.

Bangga dan semringah. Mengingat kini aku menjalani hobi ditemani oleh seseorang yang aku sukai. Yang betul-betul menerima bahkan turut terlibat dalam kebiasaan yang selalu aku anggap tidak normal ini. Apalagi Hannes yang sampai rela membeli satu kamar di sebuah rusun agar kami bisa lebih leluasa saling mendandani. Di sini.

"Thank you, Vani." Aku menyebut nama kesayanganku untuk mode cewek Hannes.

Sungguh cantik dan tampak seperti model yang siap mengikuti ajang Asia's Next Top Model. Menggemaskan.

"Now!" Hannes berdeham sembari mengibaskan rambut palsunya setelah kami puas berkaca. "Giliran kita bikin lipstik ini belepotan," ujarnya genit seraya membopong badanku untuk digendong dari depan.

Aku sekadar tertawa. Membiarkan. Setuju saja atas permainan menggairahkan yang diusulkannya. Seperti selalu.

Aku yang semula acapkali merasa berbeda. Beranggapan bahwa diriku aneh, tidak normal bahkan tidak layak dicintai. Berpikiran betapa aku tidak seharusnya menjadi seperti ini.

Namun, seumpama tidak terlahir sebagai aku yang seperti ini, besar kemungkinan aku tidak akan pernah bisa mengenal sosok paling aneh di dalam hidupku.

Perwujudan abnormal yang kemudian melengkapi sisi tidak normalku. Cowok bernama Ervano Johannes Rafael.

Menyukai warna-warni yang disuguhkan Hannes dalam kehidupanku yang berangsur berubah berkat kehadirannya. Tanpa peduli sekalipun sadar jikalau hal ini dinilai tidak wajar oleh kebanyakan orang.

Selama aku dan Hannes tetap mampu saling membahagiakan satu sama lain toh; abnormalitas sempurna ini lebih dari cukup melengkapi masing-masing diri kami.

_END_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com