2. Susi di Kantor Polisi
"Permisi pak, maaf saya mau bikin KTP, saya harus ke mana ya?" Susi dengan gugup masuk ke kantor polisi yang sedang sepi.
".....," seorang polisi muda yang berjaga terbengong melihat susi di depannya. "Mbak cari KTP di Kecamatan bukan di sini."
"Oh.., oh, maaf maaf, maksud saya SIM pak, saya sudah punya KTP." Dengan malu Susi membenarkan kaca mata minusnya.
".....," polisi itu terdiam sebentar memandangi susi yang jauh lebih pendek darinya, tak sampai sebahu. "Oh, tadi bilang KTP, oke antri sebentar di sana mbak, dua orang yang duduk itu juga antri SIM."
Susi berjalan menuju antrian, diam, masih malu karena kebodohannya.
Di tempat duduk satu orang wanita muda, berambut hitam panjang, memakai celana jeans super ketat dan hem longgar yang dimasukkan ke celana. Satunya pria sekitar tiga puluhan, dengan rambut panjang diikat ke belakang.
"Mau cari SIM mbak?" Si wanita dengan santai bertanya pada Susi.
"Iya, mbak juga?"
"Iya, harus bikin SIM, gara-gara ditilang kemarin, saya takut ditilang lagi." Si wanita muda itu mendekati Susi dan memelankan suaranya, "habis dimarahin sama polisi tadi mbak? Aihh, cakep-cakep judesnya, saya tadi tanya-tanya eh malah didiemin, kurang cantik apa saya coba?"
"Nggak kok mbak, saya tadi cuma salah ngomong KTP, hehe, seumur-umur belum pernah ke kantor polisi, nervous." Susi membenarkan kaca matanya lagi sambil menjawab dengan pelan.
"....., aneh-aneh aja mbak! Ah! Kalau ke sini mah saya sering, cuma baru kali ini cari SIM, biasanya lapor kehilangan atau cuma gaya-gaya mampir sholat di masjid sini." Wanita itu bercerita sambil mengeluarkan cermin kecil dari slingbag nya.
".....," dengan sedikit penasaran Susi memandanginya.
"Jangan heran mbak, yang hilang cuma hal-hal sepele. Jujur, menurut mbak saya ini apa kurang cakep?" Si wanita meletakkan kembali cermin kecil dan dengan antusias melihat wajah Susi.
"Cantik sih mbak, hehe dibanding saya." Jujur Susi menjawab, wanita itu memang cantik parasnya, badannya tinggi seperti model, rambut hitamnya halus seperti iklan sampo TV.
"Banyak juga yang bilang gitu mbak, tapi nggak tahu kenapa polisi satu itu tiap kali saya datang pasti dicuekin. Jujur saja mbak, dia itu sebenarnya temen SMA saya dulu, kebetulan juga tetangga rumah sekarang."
".....," Susi diam mendengarkan curhatan si wanita yang duduk sebelahnya, maklum teman kuliah jarang ada yang mengajaknya bicara masalah-masalah pribadi.
"Intinya mbak, kita berdua ini kan saling kenal, diajak ngobrol kek, disapa, yang penting jangan dianggurin lah!" Wanita itu mengomel pada Susi yang hanya duduk mengangguk-anggukkan kepala.
"Mbak suka ya sama polisi itu?"
"Dulu SMA suka, dia gonta-ganti pacar berapa kali tetep banyak yang ngefans, saya salah satunya. Tapi sekarang, no way lah! Tiap kali saya mampir ke rumahnya maminya bilang nggak ada. Ah! Paling-paling dia males ketemu saya." Si wanita menyandarkan badannya ke belakang dan menyilangkan kedua tangan.
"Eh, udah gilirannya mbak!" Susi mengingatkan teman bicaranya yang keasyikan mengobrol.
"Eh iya, saya duluan mbak." Wanita yang Susi tak sempat menanyakan namanya itu bergegas berdiri dan melambaikan sedikit tangannya.
Ini hari selasa mendung yang tidak biasa bagi Susi. Setelah dua bulan lebih berlatih sepeda motor maticnya, dia memutuskan mengambil tes SIM ke kantor polisi. Setelah wanita cantik ramah itu selesai dia mengambil giliran memasukkan berkas-berkas dan menyelesaikan semua ketentuan. Dan sesuai dugaan, Susi tidak lolos tes mengendara.
Tanpa kecewa Susi pulang ke rumah yang tidak jauh dari kantor polisi dan mengakhiri hari tanpa hambatan seperti biasa.
Dua bulan kemudian Susi mencoba lagi tes untuk medapat SIM. Bukannya Susi tak mau memakai jasa calo, seperti yang diinfokan temannya, tapi dia hanya belum cukup beruang untuk membayar jasa calo, malu jika harus meminta ibunya.
Dia masuk kantor polisi, masih seperti dulu pertama kali, di hari selasa. Petugas penjaga juga masih sama, polisi muda dengan wajah datar serius tanpa ekspresi.
Dengan sedikit ragu Susi berjalan dan berpikir apa yang harus diucapkannya pada si polisi.
"Pagi, Pak." Akhirnya Susi hanya mengangguk dan sedikit tersenyum tanpa berhenti langsung menuju antrian. Polisi itu seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi hanya diam melihat Susi dari belakang. Kali ini antrian lebih banyak dari pertama dia ke sini.
Susi duduk dengan sedikit tenang sambil melepas tas ranselnya. Dia bersiap berdoa dalam hati dan membaca surat-surat apapun untuk menenangkan hatinya ketika tiba-tiba si polisi penjaga mengjampirinya. Hatinya berdetak sedikit lebih kencang, takut kesalahan apa yang diperbuatnya.
"Mbak, gelangnya jatuh tadi." Si polisi dengan sopan menyodorkan gelang anyaman sambil berdiri di depannya.
Susi melepas napas lega kemudian dengan cepat melihat pergelangan kirinya, hanya ada jam tangan coklat menghiasinya.
"Oh, terimakasih Pak, maaf saya tidak lihat tadi." Susi sambil duduk terpaku mengulurkan tangan dan mengambil gelangnya.
"Iya nggak papa mbak, kebetulan saya mau masuk ke sana terus melihat ini di jalan sekalian saya ambil. Lain kali hati-hati ya mbak." Polisi itu mengingatkan Susi dengan senyum tipis kelihatan ramah.
Bisa senyum juga dia, batin Susi.
"Iya, terimakasih Pak, lain kali saya hati-hati." Dia masih terpaku di kursi tunggu, bingung apalagi yang harus diucapkannya pada si polisi.
Polisi itu tidak memberikan tanda-tanda akan pergi, "mau tes SIM lagi mbak?"
"Hehe, iya Pak, dulu belum lulus, mau coba lagi." Dengan sedikit canggung Susi membenarkan kaca mata dan terus mendongak ke atas menanggapi pak polisi.
"Ya semoga ini lulus mbak, tapi kalau belum coba terus ke sini saja mbak, polisi nggak bakalan bosan melayani." Polisi muda itu dengan anehnya belum bergegas pergi.
"Eh, iya pak, siap." Susi menganggukkan kepala sedikit santai. Kali ini dia yakin akan lulus dan tidak bertemu lagi dengan si polisi, Faris A, terbaca dari nama dada yang tertempel di seragamnya.
"Oke, selamat mengantri." Faris tersenyum sambil beranjak pergi ke ruangan tujuannya.
Susi mereflekskan kembali tubuhnya dan kembali bersiap berdoa sambil mengamati antrian, yang tak diduga beberapa menengok ke arah Faris A. berlalu pergi.
"Kenal kamu sama polisi itu?" Salah satu wanita dewasa mendekati tempat duduk Susi dari depan antrian.
"Nggak mbak saya nggak kenal."
"Eh? Kok tadi ngobrol sambil senyum sama kamu?"
"Beneran nggak kenal mbak, bapaknya tadi cuma ngasih gelang saya jatuh." Susi sedikit kesal karena doa yang belum dimulainya terganggu lagi.
"Oh, maaf cuma penasaran." Si Wanita itu bergegas kembali ke tempatnya semula.
Susi pun dengan tenang berdoa untuk mengusir rasa gugupnya. Di depannya masih panjang, di belakangnya beberapa orang juga datang, petugas yang berjaga di depan telah berganti orang, entah kenapa si polisi muda itu tidak kembali ke depan, Susi tak peduli.
Beberapa jam setelahnya Susi pulang dengan tertunduk lesu. Dia telah yakin akan lulus tes hari ini, saat tes pun dia tenang dan merasa semuanya berjalan lancar. Tanpa diduga si polisi Faris datang dengan kabar yang tak seindah wajahnya, dengan senyum tidak berdosa mengatakan pada Susi, "Maaf belum lulus mbak, tadi kurang sempurna manuvernya, silakan latihan lagi."
"....."
"Mbak mungkin latihannya kurang pas, di rumah latihan sendiri ya?"
"Eh? Iya pak dulu ada kakak yang ngajarin tapi sekarang sendiri." Susi mengangguk dengan serius, baru terpikir memang mengendaranya belum stabil, apalagi saat belokan.
"Jangan panggil Pak lah mbak, saya baru 26 tahun, panggil saja Faris."
"....., oh, saya 23 pak." Susi terbengong sebentar memandang Faris dan refleks memberitahu umurnya.
"Kalau segan panggil nama langsung, pakai Mas Faris juga boleh." Dengan santai Faris mengatakannya.
"Oh, iya pak." Susi menjawab sambil membenarkan posisi kaca matanya. Dia merasa semua polisi harus dipanggil dengan sebutan Pak, muda atau tua. "Hehe maaf pak saya nggak enak kalau memanggil Mas," Susi memberikan sedikit tawa garing pada Faris. Dia ingin segera pulang, keluar dari ruangan itu.
"Maaf pak, kalau sudah selesai saya boleh pergi?" Susi dengan segan berkata.
"Oh, silakan silakan ini sudah selesai semua." Faris berdiri dan tersenyum mempersilakannya keluar.
Lima menit. Lima menit yang sepi bagi Faris. Lima menit setelah Susi keluar dia masih diam berdiri memandangi pintu keluar. Dia tersenyum masam pada dirinya sendiri. Kali ini dia baru menyadari betapa sulitnya berkenalan dengan seorang wanita.
Susi Lestari, nama sederhana, dia mengetahui dari berkas yang dibacanya. Gadis berperawakan kecil itu telah menarik rasa penasarannya saat pertama kali dia dengan dengan gugup masuk dan bertanya KTP.
Faris tertarik pada caranya membenarkan kaca mata perseginya, pada caranya berjalan hanya melihat ke depan, pada takutnya dia saat seorang polisi menghampirinya, pada ketidaktahuannya saat seorang polisi tertarik padanya dan mengajaknya bicara.
Dia duduk dan sedikit kesal mengingat selasa pertama itu. Namanya pasti telah tercoreng di mata Susi akibat ocehan teman SMA yang mengejarnya, sampai selalu menghampirinya ke kantor polisi.
Susi. Susi. Susi. Bagaimana caraku mendekatimu, jika kita hanya orang asing, berjumpa satu dua kali di kantor polisi.
Note:
(T_T) ini bukan akhir cerita yang kuinginkan di kepalaku.
(ーー゛) tapi mencapai 1000 words lebih itu sudah cukup bagi otakku sekarang, yahhhh jadi inilah akhir ceritanya.
Fyi, a Taste of Time akan update segera bagian terakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com