Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10

Rumah itu berupa bangunan bertingkat dua, rumah besar bercat abu-abu bergaya arsitektur kolonial dengan beranda luas, dan jendela-jendela besar bergaya Victoria dengan kisi-kisi bercat hitam yang sudah pudar. Tidak ada pagar, tidak ada penanda batas tanah. Hanya bangunan rumah yang terlihat tua dan kusam di tengah dataran rumput dengan rumput hijau kekuningan setinggi mata kaki.

Asyiknya menjadi seorang anak yang tinggal di rumah dengan halaman seluas ini, di puncak bukit – begitu pikiran Alina sambil matanya lekat mengamati bangunan itu.

Alina keluar dari mobil, meluruskan punggungnya, dan decak kagum keluar dari bibirnya melihat keindahan matahari yang hampir terbenam. Siraman warna keemasan menyelimuti dataran itu, mencair dalam permainan warna yang indah dengan hijau kuning rerumputan, membuat segala yang dilihat Alina seperti sedang bersinar dengan pendaran lembut warna jingga keemasan.

"Bagus ... bagus sekali," bisik Alina, lebih pada dirinya sendiri. Ditariknya napas dalam-dalam, udara begitu segar sejuk, dan diembuskannya lagi lewat mulut. Rasa lelah setelah berjam-jam perjalanan sedikit terurai.

Danika tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, melipat tangan di depan dada, tidak berkata-kata, dan ketika Alina menoleh, dilihatnya ekspresi wanita itu begitu datar. Tidak ada kekaguman akan indahnya matahari terbenam. Mungkin ia sudah begitu terbiasa dengan segala pemandangan ini, berbeda dengan Alina yang menghabiskan seluruh masa kecil dan dewasanya di kota-kota metropolitan di berbagai penjuru dunia – pemandangan seperti ini adalah sebuah kemewahan tak tertara untuknya, pemandangan yang biasanya hanya ia dapat ketika berlibur.

"Kau lihat awan-awan tebal itu, Alina? Malam ini akan hujan badai!" ucap Danika sambil mengedikkan dagunya ke atas, ke gerombolan awan-awan tebal di langit yang perlahan berarak, bersiap menutupi matahari. "Malam ini akan dingin. Sangat dingin."

Alina mengangguk.

"Ayo!" sentak Danika sambil berbalik cepat ke arah Villa Morga. Alina tergagap sejenak, sebelum memutar tumitnya sambil membetulkan posisi ranselnya, dan mengikuti langkah Danika.

<<<>>>

Lantai beranda rumah itu terbuat dari kayu-kayu ek yang walaupun masif namun sudah terlihat keropos dimakan usia. Ada dua kursi beranda dari bahan rotan berukuran besar, dua-duanya sudah rapuh dengan lubang di bantal alasnya. Satu meja kecil di antara dua kursi itu sudah oleng hampir ambruk.

Jelas rumah itu tidak lagi sering dikunjungi.

Danika tidak memedulikan furnitur-furnitur dimakan usia itu, ia melangkah cepat menuju pintu rumah yang besar, berwarna hitam, dari bahan kayu ek juga.

Alina berdiri sejenak di beranda itu, mengamati matahari yang sudah separuh terbenam. Betapa indahnya! Hanya itu yang terus menerus ia ulang di benaknya.

Suara kunci yang diputar dan pintu berat yang berderak terbuka membawa Alina kembali ke rumah itu.

"Semua yang kau lihat akan terlihat sangat kuno, Alina. Ini rumah warisan turun-temurun dari kakek nenek buyutku. Aku juga jarang ke mari, hanya sesekali kalau ... aku harus ..." Danika menatapnya serius, dan Alina mengangguk. "Aku suka furnitur antik. Pasti banyak sejarahnya," Alina mencoba riang.

Danika tidak menjawab, menyentak gagang pintu untuk membuka pintu berat itu lebar-lebar, dan melangkah masuk rumah itu, diikuti Alina.

Alina tergagap sejenak ketika ia masuk ke ruang tamu rumah itu, serbuan bau debu membuat hidungnya gatal dan ia tidak bisa mencegah bersin yang kemudian keluar. Tapi matanya terbelalak menatap bagian dalam rumah itu.

Begitu luas dan antik!

Interior rumah itu mengingatkannya pada replika rumah tuan-tuan tanah zaman awal abad ke-20 yang pernah ia lihat di museum-museum besar di Amsterdam dan Paris. Satu set sofa besar dari bahan beludru merah yg sudah kusam, dinding dengan wallpaperbunga-bunga yang awalnya mungkin berwarna biru tapi kini lebih ke abu-abu muda yang kotor dan sebagian besar sudah mengelupas, dan bau debu, lumut dari segala penjuru ruangan yang begitu pekat menyerbu hidung. Karpet yang menutupi lantai pun sudah tipis, robek di sana-sini, dengan warna merah muda kotor dengan bercak-bercak putih dan cokelat di sana-sini. Masih tampak bekas-bekas sulaman bunga mawar di karpet itu, sulaman yang sudah terceraiberai semua serat-serat benangnya.

Di dinding kanan ruangan, ada sebuah perapian kayu bakar yang berukuran besar, hampir memenuhi separuh dinding kanan itu, penuh sarang laba-laba dan tumpukan debu.

Lukisan-lukisan tua bergantungan di dinding kanan dan depan Alina. Ada dua lukisan di kanan dan tiga di dinding di hadapannya. Lukisan orang-orang yang dari pakaiannya jelas terlihat berasal dari dekade-dekade yang berbeda. Mungkin nenek moyang Danika, pikir Alina sambil merasakan napasnya tertahan melihat keantikan ruangan itu.

Di dinding kiri hanya ada sebuah rak buku besar yang menjulang sampai ke langit-langit ruangan, diisi penuh dengan buku-buku berbagai ukuran, dan dilihat dari tebalnya debu dan banyaknya sarang laba-laba di permukaan buku-buku itu, jelas terlihat buku-buku itu belum dibuka-buka selama bertahun-tahun.

"Sudah berapa lama keluargamu memiliki rumah ini, Danika?" tanya Alina tidak dapat menahan rasa penasarannya.

Danika berdiri tepekur sejenak, dan perlahan keluar jawaban,"Moyangku banyak berpindah-pindah, sampai kakek dari kakekku yang akhirnya membangun Villa Morga ini. Tempat tinggal untuknya dan keluarga. Keluarga Morga sangat penyendiri, Alina. Kami suka tinggal di tengah-tengah alam seperti ini. Kurasa aku sangat capek tinggal di tempat yang tidak ada apa-apa ini, jadi aku pindah ke Amerika untuk kuliah. Aku hanya ingin lari sejauh mungkin dari tempat ini. Orangtuaku sangat marah ketika mereka gagal membujukku, memaksaku, untuk tetap tinggal di sini, mereka hampir tidak menganggapku anak – sebegitu lekatnya mereka dengan rumah ini sampai mereka hampir tega memutus hubungan anak denganku, satu-satunya anak mereka. Akhirnya mereka setuju aku ke Amerika, setelah aku mengancam akan membakar rumah gila ini. Mereka setuju dengan syarat aku harus menjadi arkeolog terbaik. Demi keluar dari sini, aku setuju. Aku ke Amerika, tidak pernah berkunjung ke mari lagi. Pemberontakanku berakhir ketika mereka sudah sangat uzur dan sakit-sakitan, aku melunak, dan kembali dari Amerika, bekerja membangun karir di museum dan universitas kota-kota sekitar sini supaya aku bisa mengunjungi mereka saat akhir pekan. Bagaimanapun ada tugas yang harus aku jalankan."

Alina terhenyak sesaat, memroses apa yang barusan dikatakan Danika walau tidak benar-benar ia mengerti. "Kau pasti sangat mencintai arkeologi, sejarah ... sampai berani mengambil risiko ribut besar dengan orangtuamu," ucap Alina sambil kini matanya lekat di lampu chandelierdi langit-langit rumah.

Danika mendengus, memijat keningnya, dan menggeleng. "Tidak ... kadang aku pikir aku membenci arkeologi, sejarah, apapun ini."

Alina menoleh cepat dalam bingungnya, Danika balas menatapnya dengan tatapan yang terasa begitu jauh, tapi begitu mencengkeram jiwanya. Alina kehabisan kata untuk menanggapi apa yang barusan dikatakan Danika. Ia tidak mengerti seorang arkeolog brilian, top, seperti Danika, tapi membenci arkeologi?

Matahari sudah terbenam, dan Danika sudah menyalakan lampu chandelierdi ruangan itu yang masih berfungsi walau cahayanya hanya temaram dan sedikit berkedip-kedip. Sebagai tambahan cahaya, Danika menemukan beberapa lilin dan mulai menyalakannya di berbagai sudut ruangan, lalu wanita itu keluar, ke mobilnya untuk beberapa saat.

Alina celingak-celinguk, merasa canggung untuk berjalan-jalan di rumah itu mencari WC dan dapur. Setidaknya ia harus minta izin Danika sebelum berkeliaran di rumahnya ini.

Danika kembali dari mobilnya menenteng sebuah tas plastik berukuran jumbo.

"Kita makan enak malam ini, Alina! Kita adakan sedikit perayaan!" ucap Danika. "Lihat, aku sudah bawa roti baguette, mentega, sup kaleng, daging siap masak! Dan khusus kubawa spesial anggur merah dari daerah ini!"

Alina melongo. Perayaan?

Tapi Danika tidak peduli, wanita itu mengangkat tas plastiknya itu menyusuri sebuah lorong panjang di kiri ruangan, Alina membuntutinya dalam bingung, dan menyadari lorong itu menuju ke dapur di bagian belakang.

"Perayaan apa?" tanyanya akhirnya melihat Danika tampaknya tidak berniat menjelaskan apapun. Wanita itu sibuk mengeluarkan semua isi kantongnya ke atas meja kayu besar di dapur, mengambil wajan besar, dan peralatan makan – semua ia lakukan sambil bersiul-siul riang – terlalu riang malah.

"Kau lihat nanti. Nah, ayo, kita ke ruang makan keluarga," Danika menggamit lengannya, membawanya dari dapur luas itu menuju sebuah pintu di ujung, dan ketika pintu itu dibuka, Danika menekan tombol lampu, lampu chandelierdi ruangan itu bercahaya gemerlap, dan Alina kembali terhenyak.

Ruangan itu adalah ruang makan yang luas, dibuat memanjang dengan meja panjang dari kayu mengkilap, 8 kursi di kanan, 8 kursi di kiri, satu kursi di tiap ujung meja. Yang membuat Alina terhenyak juga adalah betapa ruangan itu tampak begitu terawat, berbeda dengan kekusaman ruang-ruang lain. Ruangan itu tidak berjendela, dan dindingnya rapi tertutup wallpaperyang mulus berwarna hitam dengan corak simbol keemasan yang tidak dimengerti Alina. Di sepanjang dinding kanan dan kiri adalah lukisan-lukisan antik, dan di dinding tepat di seberangnya, nun di ujung sana, hanya ada satu lukisan seorang pria.

"Wow ... " hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Alina.

"Untuk perayaan malam ini, aku menghabiskan dua minggu sebelum mulai kerja di museum merenovasi semua sendiri. Wallpaper, meja, kursi, semua kurapikan! Lihat hasilnya!" suara Danika masih begitu riang.

Alina menoleh, bertanya serius,"Danika, perayaan apa? Aku tidak mengerti!"

"Kau tunggu di sini, Nona manis. Aku masak, dan kita makan. Aku akan jelaskan semua! Semua!"

Belum sempat Alina berkata apapun, Danika berbalik cepat, keluar dari ruang makan itu dan membanting pintu.

Alina menghela napas, firasatnya tidak enak. Perayaan apa? Mengapa Danika sekarang terlihat begitu senang?

Perutnya bergemuruh dan Alina memutuskan untuk menunggu, terlebih ketika ia mulai mencium bau harum daging yang dimasak di atas wajan di dapur.

Pelan-pelan ia melangkah, mengamati lukisan demi lukisan mulai dari dinding kanan. Pria-pria dengan pakaian-pakaian yang menunjukkan zaman mereka hidup, dan ada beberapa wanita juga. Nama-nama mereka tertera di atas plakat keemasan tepat di bawah lukisan mereka.

Augar Morga.

Elizio Morga.

Galbard Morga.

Elisabetta Morga.

Carlotta Morga.

Titus Morga.

...

Keluarga Morga turun temurun, ia mengangguk-angguk walau ada rasa aneh menyelinap di hatinya. Semua orang-orang di lukisan-lukisan itu entah mengapa tampak begitu tegang, seakan ada hal mahaberat yang menggelayuti pikiran mereka, tercermin di wajah-wajah kaku tanpa senyum dan sorot mata dingin beku tanpa ekspresi hangat sama sekali.

Ia tiba di satu-satunya lukisan di ujung ruangan. Lukisan seorang pria paruh baya, berpakaian tunik putih, dengan ikat pinggang perak dan kalung keemasan melingkar di lehernya. Rambut pria itu sudah semuanya memutih, tebal bergelombang, berjatuhan di wajah dan bahunya, tubuhnya pendek gempalnya, dan matanya abu-abu bening bagaikan gelas kaca tajam menatap ke depan. Ada rasa aneh menyeruak di sanubarinya, rasa seperti mata itu menatap lurus ke matanya, menyentuh jiwanya, mata yang terasa begitu hidup, begitu mengerti, namun juga begitu sedih, begitu penuh rahasia dan airmata yang lama mengering ... .

Alina menggigit bibirnya, menghela napas berat, dan membaca plakat nama keemasan di bawah lukisan antik itu:

TASHEM ELGARD.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com