Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 12

Alina merasa nyawanya seakan melayang pergi jauh dari tubuhnya saat ini. Pikirannya kosong dan ia mati-matian mencoba tetap bernapas walau segala yang dikatakan Danika membuat dadanya sesak karena kaget dan takut.

"Danika, apa maksudmu?" ia tidak yakin Danika bisa mendengar pertanyaannya yang keluar seperti decitan halus.

"Enam bulan lalu, takdir membawaku ke konferensi arkeologi di Athena, dan aku bertemu kawanku saat kuliah, si Pieter. Pieter datang denganmu dan aku begitu kaget melihatmu sampai tehku tumpah. Aku kacau dan ragu, bagaimana mungkin membawamu ke mari, ke villa gila ini, pada tanggal ini? Bagaimana kalau kau bukan orangnya? Bagaimana kalau aku salah lihat? Tapi tiga bulan setelah itu, reruntuhan Valezar ditemukan. Aku yakin itu pertanda kalau kau benar-benar orang yang bisa mengakhiri kegilaan berabad-abad ini. Aku harus mendekat padamu, dan untuk itulah aku melamar pekerjaan di museum. Dengan mudah aku mendapatkan pekerjaan di museum, dengan reputasiku dan dukungan Pieter van der Heijden. Danvoila! Kita di sini!" Danika tersenyum lebar dengan mata nanar.

"Kau gila, Danika. Kau ..."

"Aku tidak gila!" bentak Danika sambil melempar piring berisi roti ke lantai. Piring porselen putih itu hancur retak berantakan."Nah, ayo. Perayaan keberhasilanku membawamu ke mari, di sini, di tanggal ini sudah selesai. Sekarang kita harus menghaturkan sembah pada Raja Varthan!"

"Tidak mau!" teriak Alina sambil berdiri dan tunggang langgang lari ke pintu, namun setibanya di pintu, ia menyadari pintu itu dikunci. Dengan panik yang membuat pikirannya begitu kacau, Alina menggedor pintu sambil terus mencoba menggerakkan gagang pintu. Terkunci rapat. Ia berbalik dan dilihatnya Danika dengan tenang meraih sesuatu dari bawah kursi yang ia duduki. Sepucuk pistol hitam.

"Pistol dari zaman kakekku. FN Browning M1922. Pistol kebanggaannya. Ia gunakan dulu untuk menembaki orang-orang iseng yang mencoba datang menyelidiki Villa Morga ini. Pistol berkualitas kelas wahid yang masih bekerja dengan baik. Kau mau coba lihat?" Danika mengacungkan pistol ke arahnya, tanpa ragu menarik pelatuk, dan dentuman peluru terdengar memekakkan telinga.

Alina menjerit panjang dan menutup matanya. Derak dinding yang terhantam peluru terdengar tak jauh di sebelah kirinya, puing-puing batu dinding beterbangan.

"Ikut aku, Alina. Raja Varthan ganteng dan tampan, gagah perkasa. Kau tidak akan takut padanya!" Danika mengacungkan pistol lurus ke arahnya, dan Alina terbelalak menatap lubang peluru di dinding kira-kira 1 meter di sebelah kirinya, dinding yang kini berlubang dan berbau mesiu. Pistol asli. Peluru asli. Ia mengangguk-angguk pada Danika. "Iya, Danika. Iya. Aku ikut."

Danika menggunakan moncong pistolnya untuk menunjukkan ke arah mana Alina harus melangkah, yaitu ke sebelah kanan lukisan Tashem. Alina melangkah dan Danika mengikuti di belakangnya.

Setiba di area kanan lukisan Tashem itu, Danika berlutut dengan satu tangan masih mengacungkan pistol ke Alina, dan satu tangan lagi menarik karpet yang menutupi area lantai itu.

Karpet itu tertarik tanpa banyak suara, dan di balik karpet itu ada sebuah pintu kayu berukuran sekitar 1,5x1,5m menuju ruang bawah tanah.

Alina bengong dalam kagetnya dan tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin. Danika membuka gagang pintu itu dengan satu tarikan tangannya, pintu terbuka ke atas, lalu ia mengarahkan moncong pistolnya ke kening Alina, mengedikkan moncong itu ke bawah, ke ruang bawah tanah, menandakan Alina harus turun duluan.

"Danika, aku ..."

"Turun!"

Alina mengangguk lemas dengan mata terfokus sepenuhnya pada moncong pistol beberapa senti dari keningnya, menelan semua kata-katanya, dan perlahan menuruni tangga kayu vertikal yang berderak menahan bobot tubuhnya. Ia ingin lari begitu tiba di lantai bawah tanah, tapi mau lari ke mana? Pikirannya sesak dengan berbagai skenario kemungkinan nasibnya; skenario yang tidak ada yang bagus akhirnya.

Ia tiba di ruang bawah tanah, dan Danika turun tepat di belakangnya, dan langsung menekan tombol sakelar lampu dan lampu-lampu menyala dengan dengung menggaung lembut. Dengan moncong senjata diarahkan ke pinggangnya, Alina berjalan pelan, mencoba membiasakan matanya dengan temaram lorong bawah tanah itu. Ada tiga lampu tua di dinding kanan, dan tiga lampu di dinding kiri, semua lampu penuh debu dan bercahaya redup kekuningan. Di tengah temaram itu, Alina bisa melihat lantai lorong bawah tanah itu terbuat dari batu-batu yang disusun tak beraturan, kasar, dan naik turun tidak rata, pertanda pengerjaan yang buru-buru dan asal selesai. Lorong sepanjang kira-kira 10 meter itu berbentuk tabung dan berdinding batu juga, berlumut dan berbau lembab.

Di ujung lorong itu, tampak sebuah pintu kayu yang dicat putih dengan lukisan panah dan busur hitam pekat di permukaannya. Di atas lukisan panah dan busur hitam itu, dilukis pula sebuah matahari besar berwarna keemasan.

Langkah Alina terhenti menatap panah busur hitam dan matahari emas di pintu putih itu. Simbol sang pemanah matahari.

"Jangan berhenti!" sentak Danika dari belakang.

Alina gelagapan melangkah lagi. Napasnya semakin memburu semakin dekat dirinya ke pintu putih itu.

Ketika mereka sudah berdiri tepat di depan pintu itu, Danika terkekeh dengan binar di matanya, membuang pistolnya ke lantai dan anehnya Alina terlalu lemas untuk menyergap pistol itu dan melarikan diri – sungguh tidak ada tempat baginya untuk lari, di Villa Morga yang begitu terpencil dengan hujan badai yang mengamuk di luar dan kemungkinan longsor di jalan gunung.

Alina menghela napas dalam-dalam, memutuskan untuk mencoba memperbesar peluang hidupnya dengan melakukan segala perintah Danika. Entah ada apa di balik pintu itu, mungkin hanya dunia khayalan Danika.

Danika mendorongnya ke samping, dan dengan mata berbinar-binar mengambil kunci ruang itu dari saku bajunya, dan membuka pintu itu.

Ruangan itu seluruhnya gelap, dan Danika dengan cekatan masuk dan menyalakan lilin. Dua lilin berukuran besar, setinggi kira-kira satu meter dengan diameter setidaknya 20cm.

Alina melongo melihat ruangan yang kini temaram disirami cahaya lembut lilin. Ruangan batu itu kecil dan hanya berperabot satu. Sebuah altar batu yang diapit dua lilin besar tadi.

Sesosok tubuh terbaring di altar batu tersebut.

"Alina, mendekatlah. Tataplah wajahnya. Yang Mulia VarthanVazére. Varthan Im Erenai Vazére, Aldan Irandéra Xandkarade, Aldan Irahanad Xandkaar. Varthan dari Dinasti Vazére, sang pengendali xandkarade, sang pemanah matahari," suara Danika lemah lembut, melambaikan tangannya ke Alina, memintanya mendekat. Wanita itu kini berdiri di samping altar batu itu.

"Danika ... ya Tuhan ... itu benar-benar ... Raja Varthan?" gemetar suara Alina sambil tanpa sadar kedua telapak tangannya ia angkat dan menutupi mulutnya yang menganga lebar.

"Tentu saja. Sudah kubilang, bukan? Raja Varthan belum mati. Adirakmenahannya di dunia ini, demi melindungi xandkarade supaya tidak jatuh ke tangan iblis jika keluar dari tubuhnya karena ia tidak berpenerus untuk menerima xandkarade."

Tapi keterkejutan Alina bukan hanya soal adirakdan xandkarade, tapi terlebih pada sosok yang terbaring itu, seorang pria bertubuh tinggi kekar tegap, dengan topeng dari bahan metal gelap pekat menutupi bagian kiri wajahnya.

Ia sudah bertemu Raja Varthan Vazére, berkali-kali, dalam mimpinya. Sang raja yang seakan terpenjara dalam dinding asap biru, dan kebakaran besar dan suara-suara menakutkan tanpa sosok – kengerian yang mengurung mereka dengan cepat.

Tubuhnya terasa begitu lemas sekarang, kakinya tidak bisa ia angkat, dan napasnya sesak karena terkejutnya.

"Alina? Kau seperti melihat mayat! Ayo, mendekat!" nada suara Danika jelas merupakan sebuah perintah sekarang. "Ahh! Kau takut topeng Raja Varthan? Aku rasa itu bukan hal penting jadi tidak kuberitahu padamu dari tadi. Hidup Varthan sangat keras dengan segala intrik keji di vaerrim, peperangan, kudeta, jadi bukanlah hal aneh kalau separuh wajahnya rusak. Tapi terus terang, sejak zaman kakekku, tidak ada yang tahu sebab pasti mengapa wajahnya mengenakan topeng separuh. Lucu juga bukan, bagaimana perjalanan waktu membuat generasi demi generasi lupa pada detail-detail tidak penting," Danika berkicau dengan nada yang terlalu ringan untuk situasi seperti ini.

"Kau mau tahu bagaimana cara aku tahu kalau kau adalah orang yang bisa membangkitkan Varthan? Mengakhiri kegilaan berabad-abad ini?" Danika menyunggingkan seulas senyum yang nampak terlalu mirip dengan sebuah seringai.

Alina mati-matian mengembalikan nalarnya yang telah terbang jauh dari tadi. Ya. Itu penting. Bagaimana mungkin Danika tahu?

Danika melambaikan tangannya lagi, meminta Alina mendekat, dan kali ini, dengan terseok, Alina mendekat.

Alina mengarahkan pandangannya lurus pada Raja Varthan. Pakaian raja itu sederhana saja, dari bahan katun hitam, ia bisa melihat sebagian rajah di dada bidang sang pemanah matahari. Kedua tangannya lurus di sisi tubuhnya. Rambut hitamnya gondrong berjatuhan di kening dan bahunya, rahang yang kukuh dengan kumis dan janggut sangat pendek membentuk bayangan hitam di rahang dan sekitar mulut dan dagunya. Benar-benar tampak hanya seperti seorang pemuda biasa yang jatuh dalam koma panjang.

"Ia hanya seperti tertidur, tapi waktu sudah berhenti untuknya, selama 500 tahun, Alina. Ia tidak menua. Waktu akan mulai lagi baginya ketika ia bangkit. Nah, kau mau tahu bagaimana aku tahu kalau kau adalah orang yang tepat untuk membangkitkannya?"

Alina mengangguk sambil matanya tak pernah lepas dari Raja Varthan. Rasa familiar karena ia pernah melihat raja itu di mimpinya, dan di mimpinya raja itu tidak membuatnya takut, tidak mengancamnya, membuatnya merasa sedikit tenang, dan satu hal lagi, ia tidak akan memberitahu Danika kalau ia sudah pernah melihat Varthan di mimpinya. Wanita itu membuatnya sangat tidak nyaman, sangat takut sekarang.

"Pergelangan tangan kirinya ..." Danika mengedikkan dagunya.

Alina tergagap, menghela napas dalam-dalam, dan dengan tangan gemetar, menyentuh tangan sang raja. Hangat, seperti tangan manusia yang hidup. Pelan-pelan, ia menyingkap lengan pakaian Varthan, dan melihat rajah di pergelangan tangan kiri sang pemanah matahari.

Mulut Alina mengeluarkan pekik kaget, sementara matanya membulat, napasnya terengah, dan ia mundur beberapa langkah karena terkejut dengan apa yang dilihatnya di pergelangan tangan kiri itu.

Rajah berbentuk wajahnya.

Sama persis.

"Lima ratus tahun lalu, Raja Varthan sudah merajahkan wajahmu di pergelangan tangan kirinya. Yang kudengar memang itu bakat terpendamnya. Melukis. Kurasa ia sudah melihatmu di mimpinya. Entahlah. Kau lihat. Mirip bukan? Sekarang kau mengerti betapa kagetnya aku ketika melihatmu pertama kali di konferensi arkeologi enam bulan lalu?"

Alina menggelengkan kepalanya. "Bagaimana mungkin? Bagaimana ... ?" hanya itu yang berhasil keluar dari mulutnya.

"Tugasmu adalah membangkitkan Varthan. Sekarang!" perintah Danika dan Alina menatap wanita itu dengan marah. "Kau pikir aku tahu caranya?!" setengah berteriak ia bertanya.

"Kau pasti tahu! Tashem sudah meramalkan hari ini! Lima ratus tahun setelah Valezar jatuh, tepat di tanggal ini! Semua sudah kuhitung, kurencanakan supaya kau di sini, hari ini! Harus terjadi! Kegilaan yang menjadi kutukan keluargaku ini harus berakhir malam ini!" Danika histeris.

Alina menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku sungguh tidak tahu, Danika! Ini semua gila! Bagaimana mungkin ...?"

"Pikirkan, Alina! Pikirkan! Harus bisa atau kau, Varthan, semua akan kutembak mati malam ini!" lengkingan Danika meyakinkan Alina kalau wanita itu sudah kalap dan benar-benar akan menembaknya, karena itu ia memutuskan untuk diam sambil berjalan mendekat ke sang raja lagi tanpa mengarahkan tatapannya ke Danika. Dengus napas Danika keras terdengar menandakan kemarahan yang ditahan-tahan oleh wanita itu.

Ia berdiri tepat di samping sang raja, mengamati paras itu – paras yang harus ia akui sebenarnya nyaman dan enak dipandang, walau ada topeng yang menutupi separuh wajahnya yang kiri. Ada wibawa yang terpancar, wibawa yang menenangkannya, wibawa yang tidak pernah ia jumpai pada Regan, misalnya.

Alina menggelengkan kepalanya pelan, mengusir Regan dari benaknya, dan berusaha mengarahkan fokusnya kembali ke Varthan di hadapannya ...

Maafkan aku, Yang Mulia Varthan, aku sungguh tidak tahu bagaimana membangkitkanmu. Dalam mimpiku, aku melihatmu ... Alina tersentak dan berhenti melarikan kalimat itu di benaknya.

Mimpinya.

Kalimat yang diucapkan Varthan, kalimat yang tidak pernah berhasil ia ingat isinya.

Kini, menatap wajah sang raja, bagaikan kabut tebal yang melingkupi benaknya, perlahan-lahan kabut itu menguap diterpa cahaya matahari, dan ia mulai mengingat satu kata, kata dalam bahasa Valezar kuno, bahasa pujangga-pujangga Valezar ...

Va ...

Alina mengangguk kecil. Satu kata ia ingat. Aku mohon, bagaimanapun caranya, bantu aku ingat, Yang Mulia Varthan! Kita berdua bisa mati sia-sia di sini kalau tidak! Ia berbisik dalam hatinya pada sang raja yang masih koma.

Kelebatan mimpinya semakin deras membanjiri benaknya. Raja Varthan yang mencoba menyentuh telapak tangannya dan dinding asap biru yang muncul dan memisahkan mereka.

Tatapan penuh kuatir.

Kebakaran besar.

Suara-suara tanpa sosok yang begitu menyeramkan.

Va ... éan ... savegli ...

Tiga kata itu bagaikan kunci yang membuka sebuah gerbang yang lama tertutup, gerbang yang begitu dibuka mengakibatkan aliran deras kalimat dan makna yang ia pikir tak akan pernah ia ingat lagi.

Ia menghela napas ketika akhirnya seluruh kalimat sang raja berhasil ia ingat.

Va éan savegli te alandara incabria.

Kau yang membangunkanku dari mimpi burukku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com