Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 14

Alina menatap Varthan, Varthan masih lurus mengamati Danika yang berlutut lemas di lantai.

Danika berbalik, bangkit, dan berjalan pelan ke arah Alina. "Maafkan aku, Alina. Maaf. Tapi semua ini gila. Aku hanya sangat ingin semua ini berakhir supaya aku bisa hidup normal lagi," ucapnya lirih. Dari sudut matanya, Alina melihat Varthan belum menurunkan panahnya.

"Danika ... aku sungguh tidak yakin apa aku bisa percaya padamu, kalau kamu benar-benar Danika. Perasaanku tidak enak, sangat tidak enak mengenai dirimu. Aku ... " Alina tidak yakin apa yang harus ia katakan. Perasaan tidak enak itu masih begitu berat menggelayutinya.

"Danika, menjauh dari Alina! Menjauhlah!" Varthan berucap.

Danika menghela napas, mengangguk pelan ke arah Alina, dan berkata lirih, hampir tak terdengar,"Baik kalau begitu. Alina, kau gadis baik, dengan naluri yang begitu tajam. Kau baik, tapi kau bodoh. Bodoh sekali ... "

"Danika?" bisik Alina.

Suara kikikan mengerikan terdengar dari mulut Danika, lirih awalnya, tapi menjadi semakin keras dan Alina tersentak karena ia sudah mendengar kikikan itu di mimpinya ... .

"Kau Roxana! Kau mencoba mempermainkan pikiranku. Tapi aku benar-benar yakin sekarang kalau kau adalah Roxana!" bentak Alina marah. Tapi Danika yang memang dirasuki Roxana tiba-tiba meraih kepala Alina, mencengkeramnya erat dengan kedua tangannya, dan Alina menjerit kesakitan ketika ia merasakan segenap isi tempurung kepalanya seakan tersedot keluar bercampur dengan rasa dingin membeku yang membuatnya gemetar hebat.

Ia mendengarkan kesiuran dan Danika melolong marah, melompat ke belakang, melepas cengkeramannya di kepala Alina.

Panah xandkarade menghunjam bahu kiri Danika dan panah itu meledak menjadi bubuk-bubuk hitam setelah menancap di bahu Danika. Suara kikikan terdengar di seantero bangunan itu.

Tiba-tiba asap hitam berbau seperti mayat membubung keluar dari tubuh Danika, dan dari asap itu muncul suara lembut halus seorang wanita,"Aku Roxana. Dengarlah janjiku ini. Aku akan kembali. Aku akan mengambil xandkaradedan dengan senjata nan kuat itu, dunia manusia keparat ini akan berada di bawah kakiku!"

Panah xandkarade tampaknya sudahberhasil melukai Roxana, memaksanya keluar dari tubuh Danika, dan asap hitam Roxana itu membubung dan menghilang dengan suara kikikan yang semakin menakutkan, meninggalkan Danika terkulai di lantai.

Panah dan busur xandkarademenghilang dari genggaman Varthan, ia kembalikan ke dalam tubuhnya, sementara Alina bergegas menghampiri Danika, memeriksa bahu kiri wanita itu, melihat luka dalam bekas tembusan panah yang mengeluarkan darah segar.

Danika mengerang kesakitan, mencoba bangkit duduk dengan bantuan Alina, namun terlalu lemas untuk itu dan akhirnya menangis tersedu-sedu dalam pelukan Alina yang menopang tubuhnya.

Varthan perlahan berlutut di samping mereka, dan Alina melihat sang pemanah matahari membuka telapak tangan kanannya, dan di tangan itu, muncul sinar keemasan yang lembut, dan sebuah panah hitam muncul di sana. Sang raja lalu meremas panah itu menjadi bubuk hitam keemasan.

"Izinkan aku menyembuhkan luka itu," ucap sang raja. Danika lemas mengangguk, dan Varthan membalurkan bubuk hitam keemasan dari panah xandkaradeitu di atas luka di bahu Danika.

Luka bekas panah di bahu kiri Danika seketika menutup, sembuh total diiringi belalak mata bingung Alina. Tapi Danika tidak tampak kaget. Wanita itu pucat pasi dan sangat lemas, tubuhnya lunglai melorot dalam pelukan Alina, tangisan lirih masih terdengar dari bibirnya.

"Maafkan aku, Alina. Maafkan aku, Yang Mulia Varthan," lirih terdengar kata-kata Danika di sela tangisnya. "Ia datang di mimpiku, 3 bulan lalu, setelah aku memastikan kalau reruntuhan yang ditemukan adalah reruntuhan vaerrim..." Danika menatap kosong, kata-katanya meluncur serak dengan sisa-sisa ingus tangisnya mengalir di hidung. Alina menggenggam tangan Danika, hangat lembab. Rasa di batinnya jauh lebih tenang sekarang, ia tidak lagi merasa tidak nyaman dan ketakutan, seperti seekor anak domba yang sedang diintai serigala lapar.

"Aku bahkan tidak yakin itu mimpi atau bukan. Ia masuk dari pintu kamarku yang terbuka. Aku tidak menjerit, tidak meronta, aku hanya membeku dalam takut yang tak bisa kujelaskan ..." Danika terbatuk. "Ia menawarkan padaku satu hal: Kesempatan untuk mengulang hidupku dari awal, mencapai cita-citaku jadi aktris, hidup tanpa beban menjaga raga Yang Mulia Varthan, hidup sesungguhnya. Begitu katanya."

Napas Varthan tercekat dan sang pemanah matahari itu membuang muka, memejamkan matanya erat, masih mencoba mengerti apa yang telah terjadi padanya.

"Aku dalam keadaan sangat bingung setelah bertemu Alina di konferensi beberapa bulan sebelumnya. Keadaan mentalku sangat buruk, aku takut kalau salah mengenai Alina, kalau aku gagal memastikan Alina bisa membangkitkan Yang Mulia Varthan, dan kalau Yang Mulia bangkit, apa yang akan terjadi padaku, pada impianku? Dan kalau Yang Mulia Varthan gagal dibangkitkan karena kesalahanku, apa yang akan terjadi? Aku sangat takut tapi aku tidak mempunyai orang dekat yang bisa mendengarkan, membantuku. Aku ingin lari dari semua tanggungjawab itu, tanggungjawab yang selalu kurasa begitu tidak adil ditimpakan ke pundakku dari seluruh generasi keluarga Morga ..." Danika terhuyung dan Alina mengeratkan pelukannya pada wanita itu.

"Ketika Roxana datang, ia begitu lemah lembut, begitu mengerti semua kegundahan, ketakutanku, ia menawarkan untuk mengambil tanggungjawab itu dariku, dan memberiku kesempatan mengejar hidup yang kumau. Ia hanya minta aku bersedia jika ia hidup dalam jiwaku. Merasukiku."

Tangis Danika pecah. "Aku bersedia! Aku bahkan sempat merasa lega karena akhirnya tanggungjawab itu tidak harus aku yang pikul! Ia berubah menjadi asap hitam yang melingkupiku, dan aku pingsan. Ketika aku bangun dari apa yang kupikir mimpi itu, semua berubah. Aku menyadari kesalahanku tapi ia telanjur hidup di dalam jiwaku. Ia mengendalikan semua yang kukatakan, yang kulakukan. Aku bagaikan mayat hidup. Aku tahu apa yang terjadi, tapi aku tidak bisa mengendalikan diriku."

Alina dan Varthan saling berpandangan, sementara Danika menangis selama beberapa saat.

"Aku berjuang keras mengambil alih kendali diriku, tapi selalu gagal. Kecuali satu kali ketika Roxana benar-benar lengah ..."

"Saat kau di mobil dalam perjalanan ke mari dan kau memintaku menolongmu. Saat itu kau adalah dirimu yang sesungguhnya," bisik Alina akhirnya mengerti keanehan Danika saat dalam perjalanan tadi pagi.

"Maaf, Alina, maaf aku sudah begitu kasar padamu," Danika berbisik, matanya berjuang untuk terbuka dan fokus pada wajah Alina.

Alina menggeleng mantap. "Tidak ada yang perlu kau mintakan maaf, Danika. Kau dalam rasukan Roxana!"

"Aku lelah, sangat, sangat lelah. Yang Mulia, maafkan aku ..." kini Danika berjuang mencari wajah Varthan.

Varthan terdiam dan menggeleng. "Tidak ada yang perlu kumaafkan, Danika. Aku yang harus berterima kasih padamu dan segenap keluarga Morga karena tugas dari Tashem sudah kalian jalankan."

Danika akhirnya berhasil tersenyum tipis, tangannya bergerak, mencoba meraih tangan sang raja, namun sebelum itu terjadi, tubuhnya tersentak halus, bergetar sejenak, lalu mata wanita itu perlahan terkatup. Alina menahan tangis, bergegas memeriksa nadi Danika di pergelangan tangan dan menghela napas lega ketika ia bisa merasakan detakan walau pelan dan halus.

Danika pingsan setelah apa yang dilakukan Roxana padanya.

Ruangan itu menjadi semakin temaram dan sunyi. Tiba-tiba Varthan berdiri, mengulurkan telapak tangannya, dan panah-panah xandkarade, berjumlah empat, muncul mengambang di hadapannya. Sang raja lalu menyapukan tangannya, dan empat panah itu terbang ke empat penjuru ruangan.

"Elas aerei!" ucap sang raja dalam bahasa Valezar kuno yang mati-matian diterjemahkan otak Alina menjadi, "Bersinarlah!"

Empat panah xandkaradeyang mengambang di empat penjuru ruangan mulai bersinar keemasan yang lembut, menerangi ruangan itu seperti lampu-lampu neon yang bergelantungan di acara pesta taman.

"Panah-panah itu sudah cukup untuk melindungi Danika di sini karena sekarang Roxana sudah selesai dengannya, ia bukanlah hal utama yang sekarang dipikirkan Roxana," ucap Varthan pelan.

Alina tidak mendengar semua itu dengan baik karena ia terlalu sibuk melongo melihat empat panah yang mengambang dan bersinar hangat lembut itu. Ia juga tidak berkata apapun ketika sang raja mengangkat tubuh Danika dan meletakkannya di atas altar batu.

"Kau tahu jalan keluar?" tanya Varthan pada Alina.

Alina tidak menjawab, matanya masih lekat pada panah-panah mengambang.

"Alina?" Varthan kini melangkah, berdiri tepat di depan gadis itu. "Kau tahu jalan keluar?"

Alina gelagapan memindahkan fokus pandangannya dari panah-panah ke tubuh tinggi tegap yang berdiri hanya setengah lengan darinya dengan sepasang mata tajam menatapnya.

"Tahu. Aku tahu. Bagaimana dengan Danika?"

"Ia aman di sini untuk sekarang dalam perlindungan panah-panah xandkarade. Roxana akan kembali. Aku harus menghadapinya, dan dirimu ... aku tidak tahu apa tujuan Roxana denganmu, jelas ia ingin membahayakanmu tadi. Jadi tetaplah berada di dekatku. Xandkaradeakan melindungimu."

"Hidupku benar-benar sudah gila ... " gumam Alina pada dirinya sendiri. "Dengar, Yang Mulia. Mungkin hp-ku bisa mendapat sinyal, aku akan menelpon pertolongan karena hujan seperti ini kita tidak bisa naik mobil turun bukit. Mungkin longsor!"

"Apa maksudmu? Telpon? Mobil?" Varthan menelengkan kepalanya, jelas bingung dan Alina menghela napas, memijat dagunya. "Ada banyak yang harus kuceritakan padamu, Yang Mulia."

<<<>>>

Mereka berdua keluar dari ruangan bawah tanah, malam masih menyelimuti dan badai meraung-raung di luar sana.

Sang raja menghabiskan beberapa saat mengamati setiap lukisan-lukisan keluarga Morga di ruang makan, dan berhenti lama di hadapan lukisan Tashem.

"Paman Tashem, apakah kau sudah melihat semua ini dalam terawanganmu dulu? Kebangkitan iblis roh jahat Roxana? Usahanya untuk merebut xandkarade dan meletakkan dunia manusia di bawah kakinya? Kau menikamku dengan adirakhari itu, dan sekarang, aku sudah dibangkitkan oleh gadis yang kurajah di pergelangan tangan kiriku, gadis yang kulihat berkali-kali di mimpiku. Butuh waktu lima ratus tahun untuknya datang, Paman. Lima ratus tahun. Alina namanya. Tapi aku masih tidak mengerti banyak hal. Paman Tashem, apakah kau bisa mendengarku?"

Varthan memejamkan matanya dan bibirnya komat-kamit sejenak, mengucapkan doa untuk sang paman.

Setelah selesai mendoakan sang paman, Varthan berbalik dan dalam terang lampu ruang makan itu, Alina bisa melihat jelas sang pemanah matahari. Tinggi, tegap dengan tubuh yang terbentuk kekar karena segala gemblengan fisik yang Alina yakin pastilah sangat berat sedari ia kecil sebagai calon raja. Rambut hitam bergelombang selehernya, berjatuhan di keningnya. Mata hitam pekat dan topeng hitam pekat yang menutupi separuh kiri wajahnya membuat pemuda itu terlihat semakin misterius dengan aura magis yang tak terbantahkan. Pakaian pemuda itu sederhana, berwarna hitam, dengan kalung berbandul matahari emas menjuntai di dadanya.

Varthan berjalan mendekat ke arahnya dan refleks karena segala kengerian yang baru ia alami, Alina melangkah mundur dan sang raja menghentikan langkahnya dan bertanya lirih,"Kau takut padaku, Alina?"

"Aku tidak tahu, Yang Mulia. Semua yang terjadi malam ini, aku harap kau mengerti ... semua ini masih aku coba mengerti."

Varthan mengangguk-angguk, terdiam sesaat, sebelum membuka mulutnya lagi. "Aku ... bermimpi berkali-kali ... melihatmu. Selalu mimpi yang sama. Di mimpi itu, aku berada di sebuah tempat yang sangat gelap, dan xandkaradedalam tubuhku bersinar keemasan, satu-satunya cahaya di gelap itu. Aku merasa sudah begitu lama di tempat itu, seperti aku sedang menanti sesuatu, seseorang, tapi aku tidak tahu apa dan siapa," Varthan berhenti, mencari fokus di wajah Alina, lalu melanjutkan,"Entah bagaimana, kau tiba-tiba muncul, seperti ada segumpal asap putih di tengah kegelapan, asap yang pelan-pelan membentuk tubuhmu. Kau berjalan mendekat padaku, bertanya berkali-kali siapa diriku. Aku ingin menjawab, tapi aku tidak bisa ... " Varthan berjalan lagi, pelan mendekat ke Alina. "Kau mengangkat telapak tanganmu, dan akupun mengangkat telapak tanganku. Aku ingin menyentuhmu, memastikan kau manusia, bukan hanya asap khayalanku – karena aku takut kalau kegelapan dan kesepian yang begitu hening membuat segala khayalanku tampak nyata ..." Varthan menghela napas sebelum melanjutkan,"Aku ingin bercerita padamu mengenai semua yang terjadi padaku. Tapi dinding asap biru selalu muncul dan mengurungku. Saat itu tentulah aku tidak mengerti asap biru apa itu, tapi sekarang aku mengerti, itu asap adirak.Aku menatapmu tak berkedip, mematrikan segenap wajahmu di benakku. Lalu aku mendengar suara-suara mengerikan, kebakaran hebat, pembantaian, dan suara kikikan yang begitu menakutkan. Ketika aku bangun, aku mulai merajah wajahmu di pergelangan tangan kiriku."

Varthan berhenti, dua lengan darinya, dan Alina menangkupkan tangan kanannya di bibirnya, untuk mencegah teriakan kaget. Mimpi Varthan sama dengan mimpinya, dan kini pemuda itu menceritakan mimpi dari perspektifnya.

"Mimpi kita sama, Yang Mulia. Aku hanya selalu lupa kalimat yang kau ucapkan ... sampai tadi. Kini kusadari mungkin aku tidak bisa mengingat karena memang belum waktunya kau bangkit, sampai malam ini," Alina berkata lirih, berhasil sedikit menekan rasa terkejutnya.

"Va éan savegli te alandara incabria ..." Varthan mengangguk. "Berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak mati, menjadi beban bagi keturunan-keturunan Paman Tashem, melewati abad demi abad, sementara dunia luar sana bergerak, berubah, sungguh bisa dikatakan sebagai mimpi buruk," sang raja menatapnya tak berkedip, lalu mengangguk pelan, berucap lirih, "Terima kasih, Alina." Lalu ia memalingkan wajah, dan Alina hanya bisa mengangguk.

Mereka terdiam untuk beberapa saat, Alina tidak kuat menatap mata hitam di hadapannya itu dan memalingkan wajahnya, mengamati lukisan-lukisan di dinding di sekitarnya.

Varthan jelas juga salah tingkah sebelum akhirnya berbalik menuju pintu, membukanya, dan keluar dari ruang makan itu. Diam-diam Alina menghela napas lega ketika ia melangkahkan kakinya mengikuti Varthan, ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan pada seorang raja, yang sudah lama kehilangan kesadaran, yang menyimpan senjata yang begitu keramat dan kuat dalam tubuhnya, yang sudah merajahkan wajahnya di pergelangan tangannya lima ratus tahun lalu ...

Sang raja yang baru dibangkitkan melangkah pelan, mengamati setiap detail ruangan yang mereka lewati, dapur, lorong-lorong, dan menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya. Sesekali ia akan berhenti, dengan binar keingintahuan di matanya, mengamati sakelar listrik, telpon tua yang sudah rusak, telpon yang ia angkat, ia amat-amati, dan ia berbalik, menatap Alina dengan binar anak kecil di matanya,"Apa ini, Alina? Tidak terlihat seperti senjata ..."

Alina gelagapan, ingin tersenyum, tapi tidak ingin menyinggung sang raja. "Itu namanya telpon, Yang Mulia. Kau bisa berbicara dengan orang lain di tempat-tempat yang jauh dengan itu!"

"Ah. Menarik. Bukan senjata untuk menyakiti, tapi alat untuk berbicara ..." Varthan mengamati telpon rusak tanpa kabel itu, mengangkatnya, memutar-mutarnya.

"Seumur hidupku aku cuma pernah sekali melihat telpon digunakan sebagai senjata, Yang Mulia. Waktu aku kecil, ada tetanggaku yang ribut besar dengan istrinya, lalu ia dilempar telpon oleh istrinya, keningnya luka berdarah," Alina mengingat-ingat kehebohan yang ia saksikan saat ia mungkin masih kelas 3 SD itu.

Varthan menelengkan kepalanya, mencerna apa yang barusan dikatakan Alina, dan akhirnya dengan hati-hati meletakkan telpon itu kembali sambil bergumam,"Ia pasti melakukan hal yang sangat menjengkelkan istrinya kalau sampai dilempar alat seperti ini."

Alina akhirnya tak bisa menahan seulas senyum kecil, senyum yang membuatnya merasa lebih ringan walau ia tahu, Roxana masih di luar sana ... .

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com