BAB 15
Mereka hanya duduk di lantai ruang tamu di hadapan perapian besar yang menutupi hampir seluruh dinding kanan ruangan. Varthan mengeluarkan empat panah xandkarade-nya, melempar panah-panah itu ke dalam perapian, dan terdengar ledakan-ledakan kembang api kecil sebelum akhirnya api mulai menjalar-jalar. Api menari-nari dengan gemerlap cahaya oranye-kuning yang indah, dan kehangatan api perapian yang disulut panah-panah xandkaradeitu membuat Alina sedikit lebih nyaman.
Jam dinding tua dengan angka-angka dalam huruf Romawi berdetak bersamaan dengan pergerakan jarum menitnya. Jam yang saat itu menunjukkan pukul 3:30 malam.
Hujan mengguyur deras di luar, dan bangunan tua Villa Morga seakan ikut bergoyang setiap ada tiupan angin kencang, mengggetarkan kisi-kisi jendela, dan mengembuskan angin dingin dari celah-celah dinding.
Alina duduk memeluk lututnya, pikirannya lelah, ia bahkan tidak lagi mencoba menjelaskan apapun pada dirinya sendiri. Hp miliknya sudah lama habis baterai, dan ketika ia menemukan charger-nya, charger itu tidak banyak berguna karena instalasi listrik untukmengisi ulang hp-nya sudah lama rusak di rumah tua itu.
"Kau dari mana, Alina? Kau berbicara dengan aksen dan kosakata yang bisa kumengerti, tapi bukan Valezar ..." akhirnya suara Varthan yang duduk satu lengan di sebelah kanannya terdengar.
Alina menoleh, mendapati sang raja menatapnya serius, pendar-pendar cahaya oranye tampak menari lembut di topeng hitamnya, paras yang kini bermandikan cahaya hangat api perapian.
"Bahasaku dan bahasamu satu rumpun, Yang Mulia. Ada perbedaan dalam pelafalan kata, makna, dan kosakata, tapi ... kau dan aku akan bisa saling mengerti."
Varthan berpikir sejenak dan mengangguk."Satu hal yang kuminta darimu sekarang, Alina ... "
"Apa?"
"Jangan panggil aku Yang Mulia. Kerajaanku sudah lama runtuh, dalam masa pemerintahanku. Aku hanya Varthan sekarang. Aku tidak layak menjadi raja."
Alina tercenung, mengamati sendu wajah Varthan yang kini balik menatap api perapian. "Baiklah. Varthan," ucapnya.
"Berceritalah, Alina. Apa yang kau lakukan?"
Pelan tapi pasti Alina mulai bercerita, pekerjaannya sebagai penerjemah bahasa kuno Valezar, arkeolog, apa itu arkeologi ...
Belum selesai ia bercerita, Varthan menoleh, dan Alina dapat melihat binar berpendaran di mata pemuda itu. "Pekerjaanmu adalah menerjemahkan bahasaku? Dan membantu orang belajar negeriku, budayaku? Sangat luar biasa, Alina!"
Alina mengangguk, tiba-tiba ia teringat murid-murid kecilnya dulu di Rumah Kasih. Ia merindukan anak-anak itu sekarang, dan ia hanya berharap ia bisa bertemu mereka lagi segera. Wajah-wajah polos lucu anak-anak itu ia bayangkan satu persatu, dan merasakan ketenangan yang membuatnya mampu bernapas lebih lega.
Keduanya terdiam untuk waktu lama, masing-masing lurus menatap api yang menari-nari di perapian, dan mendengarkan suara rintik hujan yang walau masih deras tapi sudah berkurang intensitasnya.
Tiba-tiba, Varthan membuka mulutnya, dan separuh berbisik, keluar untaian bahasa Valezar kuno:
sa es nín qualla meir sparai
sa es fondaro, nín addara da orra
sa es ossara, va'nín legara
sa es morti, va'nin levera
ve immara eidar ellranai et darra eidar forrän
inna charambard na vellé in halathoran!
Alina menoleh cepat, mencoba mengikuti bahasa kuno Valezar itu, menyadari kalau itu adalah untaian puisi tradisional Valezar kalau dilihat dari formatnya – format puisi tradisional Valezar adalah obyek penelitian menarik mentornya Professor Gill Faremma. Puisi itu indah, walau tidak benar-benar ia mengerti ada apa di balik kata-kata itu. Profesor Gill pasti akan sangat senang kalau bisa mendengar puisi yang baru diucapkan Varthan itu, bisa menambah koleksi bahan penelitiannya.
"Puisi apa itu, Varthan?"
"Tepat sebelum ia menikamku dengan adirak, Paman Tashem memelukku dan membisikkan puisi itu. Ia hanya memintaku mendengarkan dan mengingatnya. Aku juga masih tidak mengerti mengapa Paman Tashem memberi puisi itu untukku." Varthan termenung sambil meremas kalung mataharinya, dan berujar pelan,"Tapi aku tahu tugasku adalah membasmi iblis Roxana dan menjagamu dari amukannya, Alina. Kau bahkan bukan Valezar, tidak seharusnya kau menjadi korban, terseret pusaran pertarungan tak masuk akal ini. Aku akan jalankan semua tugas itu kalau memang itu alasan mengapa aku masih bernapas saat ini," Alina dapat melihat refleksi tarian api di mata Varthan ketika ia mengatakan itu.
"Roxana mencoba membahayakan nyawaku, dan aku masih tidak mengerti mengapa," Alina berkata sambil menoleh pada Varthan.
"Dulu ketika ia masih manusia, ia begitu gila, begitu mabuk akan keinginannya untuk menjadi ratu di Valezar, yang aku tahu adalah jalannya untuk akhirnya menjadi penguasa tahta vaerrimdan xandkarade. Sekarang roh jahatnya menginginkan xandkaradeuntuk menguasai dunia manusia. Kurasa aku mengerti sekarang ... ia mengambil tubuh Danika, merasuki Danika, keturunan Tashem Elgard, penjaga ragaku, karena ia tahu kalau ia tidak melakukan itu, maka xandkaradeakan mengenalinya sebagai roh jahat dan aku tidak akan bangkit, dan ia tidak akan bisa mengambil xandkarade."
"Tapi mengapa aku? Mengapa kau memimpikanku lima ratus tahun lalu, dan aku memimpikanmu? Mengapa Roxana mengincarku juga tadi? Aku bahkan bukan orang Valezar! Semua ini tidak masuk akal!" sentak Alina dengan gemuruh emosi yang mati-matian berusaha ia tekan.
Untuk sesaat Varthan hanya diam dengan mata yang lekat menatap api perapian, dan akhirnya ia hanya menggeleng,"Aku tidak tahu mengapa, Alina. Sungguh."
Mereka diam lagi untuk waktu lama, hanya menatap api perapian, sementara hujan sudah mereda di luar dan fajar mulai merekah.
"Satu lagi yang kuingat di saat terakhirku sebelum adirakmencabut kesadaranku. Paman Tashem ia juga berkata kalau Valezar akan bangkit dari kuburnya di dalam tanah suatu hari nanti. Seantero bumi akan mendengar namanya lagi," tiba-tiba Varthan berucap, seakan segala memorinya kembali padanya, sedikit-sedikit, pelan-pelan.
"Reruntuhanvaerrimsudah ditemukan, Varthan. Mungkin itu maksud Paman Tashem."
"Tanpa perang dan darah, Valezar bangkit. Sungguh di luar dugaanku kalau memang ini maksud pamanku."
"Apakah membangkitkan Valezar berarti harus dengan perang? Aku seorang arkeolog, sejarawan juga, mungkin Valezar akan bangkit dengan caraku, dengan menggali, menemukan, membersihkan apa yang telah terkubur lama, lalu orang-orang yang tidak mengenal Valezar akan datang, mempelajari, mencoba mengerti budaya bangsamu, bukan untuk menaklukkan, menjajah, tapi hanya untuk ... keingintahuan ... keinginan untuk belajar dari apa yang sudah dicapai di masa lalu. Mungkin orang-orang ini juga akan jatuh cinta pada Valezar. Bukankah itu juga mungkin? Caraku, Varthan, cara yang tidak akan memakan korban jiwa dan tumpah darah," Alina merasa dirinya terlalu ceriwis panjang lebar seperti guru sejarahnya, tapi sudah telanjur keluar semua kalimatnya.
Varthan menghela napas dan tidak menjawab.
Suara angin masih terdengar di luar, berembus, berkesiuran, namun telinga Alina menangkap suara lain.
Suara itu awalnya halus, terdengar lebih seperti suara siulan berfrekuensi tinggi, tapi suara itu berubah menjadi kikikan mengerikan yang bercampur dengan embusan angin.
Kalangkabut Alina berdiri. "Kau dengar, Varthan? Kau dengar suara kikikan itu? Roxana!"
Varthan ikut bangkit namun dari ekspresi bingung wajahnya Alina bisa melihat bahwa Varthan tidak mendengar suara kikikan itu.
"Alina? Ada apa? Aku hanya mendengar suara angin, tidak ada yang lain!" Varthan menatapnya bingung.
Suara kikikan itu berulang-ulang terdengar di benaknya, semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya Alina menangkupkan telapak tangannya di kedua telinganya. "Hentikan! Roxana!" ia berteriak.
Belum selesai suara kikikan itu, tiba-tiba Alina diserbu hawa dingin yang seakan berpusat dari dalam dirinya. Hawa yang begitu dingin membuatnya jatuh berlutut ke lantai, menggigil hebat.
"Alina!" Varthan bergegas turut berlutut, menggenggam kedua bahu gadis itu, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.
"Roxana ... aku dengar suaranya ... dan dingin, Varthan, dingin sekali ..." bibirnya gemetar dan ia tidak bisa berhenti menggigil.
"Roxana ... keparat kau ..." desis Varthan.
Kikikan Roxana berhenti di benak Alina, tapi rasa dingin menjadi semakin intens. Alina meringkukkan punggungnya, memeluk dirinya sendiri, berusaha menjadi hangat. Tapi gagal, dan sekarang ia sulit bernapas dan gigilan tubuhnya semakin parah.
Varthan merentangkan tangannya, dan di tangan kanannya, muncul satu panah xandkarade. "Genggam, Alina ... " bisik Varthan sambil meraih tangan Alina yang terkepal erat menahan dingin. Alina mati-matian mencoba membuka kepalan tangan kanannya itu, dan ketika terbuka sedikit, Varthan meletakkan panah itu di tangannya dan membantunya mengatupkan kepalan tangannya lagi. Panah itu bersinar keemasan lembut dan awalnya terasa hangat di tangannya, namun hangat itu berubah cepat menjadi panas luar biasa dan Alina melempar panah itu.
"Panas, Varthan! Panas! Tidak bisa kusentuh!" teriaknya kesakitan, tapi begitu panah itu ia lepas, ia menggigil hebat lagi.
"Panah itu terlalu kuat untukmu. Tidak bisa kau sentuh begitu saja," gumam Varthan. Lalu pemuda itu mengeluarkan satu lagi panah xandkarade, mengubahnya jadi bubuk hitam keemasan seperti saat ia menyembuhkan luka Danika, tapi bubuk itu gagal memberikan cukup kehangatan ketika Alina menggenggamnya, walaupun bubuk itu berhasil menyembuhkan luka melepuh di tangan Alina karena memegang panah panas tadi.
Alina menggigil semakin hebat, ia mencoba menatap Varthan, dan ketika matanya bersirobok dengan Varthan, ia bisa melihat jelas kekuatiran terukir pekat di mata sang raja. Alina mencoba mengangguk-angguk, walau ia tidak yakin untuk apa.
Varthan tepekur sesaat, dan akhirnya berkata pelan,"Maaf kalau aku terdengar kurang ajar, Alina ... tapi izinkan aku memelukmu," bisik Varthan. "Xandkaradeyang dalam tubuhku akan menghangatkanmu. Aku bersumpah aku tidak akan macam-macam," lanjutnya dengan tatapan serius pada Alina.
Hawa dingin bagaikan badai angin kutub yang membekukan segenap organ dalam tubuhnya membuatnya hanya bisa mengangguk. Ia hanya ingin hangat normal tubuhnya untuk kembali! Ia tidak mau mati beku kedinginan!
Varthan memejamkan matanya, mengucap sesuatu, dan Alina melihat tubuh pemuda itu tersentak lembut sebelum perlahan bersinar keemasan. Persis seperti di mimpinya.
Tubuhnya yang menggigil hebat luruh dalam pelukan Varthan ketika pemuda itu meraihnya, mendekapnya, erat dalam rengkuhan kedua lengannya. Kepalanya terkulai dalam gemetarnya di dada Varthan, dan dua tangannya yang terkepal erat menahan dingin perlahan terbuka, dan tubuhnya mulai merasakan hangat tubuh sang raja. Dingin yang mencari hangat, kedua tangannya ia lingkarkan di pinggang Varthan, memeluknya seerat mungkin, dan ia tahu pemuda itu balas memeluk punggungnya. Cahaya keemasan lembut dari tubuh Varthan, cahaya xandkarade, membuatnya merasa lebih tenang, dan ia bisa mengatur napasnya dengan lebih baik.
Pikirannya yang beku, nalarnya yang macet karena dingin, perlahan mulai bergerak, walau tersendat, ketika ia merasakan hangat itu. Hangat yang berpindah dari tubuh Varthan dan menjalar lembut meresapi pori-pori kulitnya, membangunkan tubuhnya bagaikan bibit bunga yang perlahan tumbuh setelah disirami cahaya matahari, perlahan namun pasti.
Gigilannya mulai berhenti, dan ada kelegaan yang dirasakan Alina. Nyaman dan hangat menggantikan dingin beku yang membuatnya sesak napas karena terlalu sibuk menggigil.
"Alina, kau merasa lebih baik?" bisik Varthan pelan.
Alina mengangkat wajahnya, menyadari betapa dekat wajahnya dengan wajah Varthan, dan bergegas mendorong tubuhnya keluar dari pelukan Varthan."Lebih baik, Varthan. Sudah lebih hangat. Terima kasih. Terima kasih banyak," ia berucap serak. Entah mengapa ia tidak bisa mencegah wajahnya memerah dan ia memundurkan tubuhnya menjauh dari Varthan, dan cahaya keemasan dari tubuh sang pemanah matahari meredup sebelum akhirnya padam. Namun sontak kekuatiran menyergapnya ketika ia melihat sang raja yang pucat pasi dengan keringat bercucuran, dan setitik darah segar menetes di ujung mulutnya.
"Varthan ... kau baik-baik saja? Kau pucat dan ada darah ..." ia bergegas mendekat lagi.
Varthan memalingkan wajahnya, terhuyung sejenak, menghela napas dalam-dalam berkali-kali dan mengembuskannya pelan, lalu kembali memandangnya sambil mengangguk. "Aku baik-baik saja." Lalu sang raja melanjutkan setelah membersihkan darah di ujung mulutnya dengan tangannya,"Roxana mengincarmu, dan ia memberimu peringatan dengan serangan hawa dingin itu. Ia ingin mencelakakanmu." Kalimat Varthan ia proses pelan, kekuatirannya masih pada Varthan yang pucat.
Alina bangkit dari lantai, menatap ke luar jendela. Gundah di hatinya sedikit terobati ketika dilihatnya matahari pagi telah terbit walau sebagian tertutup awan kelabu. Gelap malam telah berakhir dan segala yang dilihatnya di luar tampak segar basah setelah hujan semalam.
"Alina?" suara Varthan terdengar.
Alina menggeleng pelan. "Aku tidak tahu mengapa ia mengincarku, Varthan. Apa salahku?"
Varthan berdiri di sampingnya, lama menatap keluar tanpa menjawab apapun. "Tidak ada salahmu, Alina. Akupun tidak mengerti kegilaan Roxana. Urusanku dengan Roxana tidak seharusnya melibatkanmu. Aku berjanji kau akan selamat dalam pusaran dendam iblis ini. Aku akan menjagamu, xandkaradeakan menjagamu," kalimat Varthan itu sontak membuat Alina menoleh, terpaku sejenak menatap Varthan yang tidak menoleh, rahang sang raja mengeras, dan napas yang memburu menandakan kemarahan yang ia tahan.
"Terima kasih sudah membantu ... menghangatkanku ... tadi. Kau masih pucat, kau yakin kau baik-baik saja?" Alina tidak mampu meredakan gugupnya.
Varthan hanya mengangguk samar.
"Roxana adalah pengkhianat Valezar, tapi aku masih tidak mengerti, apa yang menyebabkan kebenciannya yang begitu mendalam pada Valezar, padamu?"
"Ia sangat menginginkan tahta permaisuri, dan dari situ, ia ingin menguasai tahta Valezar, dugaanku dan Paman Tashem sangat kuat mengenai ini. Ia selalu mengambil kesempatan untuk menggodaku, dan selalu aku tolak. Kurasa penolakanku, ditambah entah apa dendammnya pada Valezar, ambisinya akan tahta, membuatnya gelap mata. Tahta adalah godaan yang sangat kuat, Alina."
Alina terpaku sejenak – dunianya sebagai arkeolog, penerjemah yang bekerja di museum, segala drama urusan patah hatinya dengan Regan, entah mengapa tiba-tiba terasa begitu "biasa-biasa saja" kalau dibandingkan dengan segala pertarungan intrik di lingkaran tahta yang pastilah harus dihadapi Varthan setiap hari dalam hidupnya sebagai raja.
"Mungkin kau tidak akan jadi incaran Roxana kalau kau punya permaisuri," kalimat itu keluar, dan sedetik kemudian Alina gelagapan menyadari betapa ia terdengar begitu melantur – tapi tentu saja kalimat yang sudah keluar tidak bisa ia tarik kembali.
Varthan berpaling cepat, menatapnya, dan bibir pemuda itu bergerak pelan seperti sedang berusaha menyusun seuntai kalimat, kalimat yang luluh sebelum sempat ia ucapkan. Alina menanti kalimat yang tidak keluar itu, mengangguk pelan, dan berujar,"Maaf, aku tidak seharusnya berkata seperti itu ..."
Varthan hening, mengalihkan pandangannya ke luar lagi. "Aku akan memeriksa keadaan Danika, dan mungkin aku bisa turun bukit ini dan mencari pinjaman telpon. Kita harus turun dari sini," ucap Alina akhirnya, menyerah pada keheningan yang kaku itu.
Varthan tidak memberikan reaksi apapun, tatapan muramnya masih lurus keluar jendela dan keningnya berkerut. Jelas ada begitu banyak hal, kebingungan, pertanyaan di benak raja muda itu.
Alina bergegas beranjak untuk memeriksa keadaan Danika di ruang bawah tanah. Wanita itu masih pingsan, detak nadinya lebih teratur sekarang, dan ia terlihat lebih seperti tertidur nyenyak sebenarnya. Panah-panah xandkarademasih mengambang di ruang bawah tanah itu, menjaga dan menerangi.
Ketika ia kembali ke ruang tamu, ia terkejut melihat Varthan tampak berdiri di pintu yang sudah terbuka.
Seseorang telah datang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com