BAB 23
Varthan terhuyung sejenak, dan Alina tergagap. Ia tidak mampu berkata apapun, tapi pelan-pelan ia sedikit mengerti mengapa Roxana begitu mengincarnya.
"Roxana membenci Alina karena Alina adalah segala hal yang ia bukan, segala hal yang tidak mungkin ia capai lagi. Alina adalah manusia dengan segala kehormatannya, dengan hidup yang begitu hangat, dan Roxana tidak akan bisa membelokkan hatimu, membelokkanmu sebagai pengendali xandkaradeuntuk melakukan apapun kemauan kejinya, selama ada Alina di hatimu – karena itu ia merebut xandkaradedarimu untuk ia gunakan sendiri. Alina adalah hidup yang kau harapkan, Varthan. Ia mencintai hidup, seperti anggrek-anggrek yang ia rawat, seperti patah hati yang gagal menghentikan cintanya akan hidup," kata-kata Kaal membuat Alina melongo, segala hal yang seakan adalah mitologi adalah nyata baginya sekarang – kalau tidak nyata, bagaimana Kaal bisa tahu segala hal mengenainya?
"Kau dan Alina adalah jodoh sejati yang tidak bisa diputus bahkan oleh ruang dan waktu. Kau, Varthan, pada dasarnya adalah seorang penghancur, dengan xandkarade-mu, dan Alina adalah yang mengingatkanmu akan hidup, akan yang baik." Kaal menunduk sejenak, seakan sedang merapikan isi pikirannya, lalu menatap Varthan lagi, lurus, nanar. "Tahta, Varthan. Kau tahu rasanya bertahta. Betapa banyak godaan. Sangat mudah bagi hati yang lurus untuk berbelok. Tahta begitu nikmat bagaikan candu yang memabukkan dengan segala kuasa dan kekuatan dalam genggaman tanganmu. Bukan begitu? Nyawa melayang atau terselamatkan, semua bisa dalam jentikan jarimu. Seandainya kau tahu betapa mudah hati berbelok karena tahta!" getar suara sang raja langit menggaung di ruangan daorragh.
Kata-kata Kaal begitu mengagetkannya, membuatnya kesulitan berbicara atau berpikir, namun di tengah kebingungannya itu, sekelebat mata Alina masih dapat melihat sebuah seringai – seringai yang begitu samar, seringai yang awalnya ia pikir itu adalah ilusi kesakitannya, tapi seringai samar itu membayang di wajah Kaal.
Betapa mudah hati berbelok karena tahta ... . Kalimat itu menggidikkan kuduknya bersamaan dengan seringai yang begitu samar, sesuatu dari kedalaman benak Kaal yang tidak terlihat langsung, tapi jelas membayang samar, tidak tertangkap jelas indera, tapi ada di sana, di balik wajah dan ekspresi Kaal. Itu menakutkan Alina, lebih dari lukanya atau daorraghsaat ini.
Varthan tertegun tanpa suara, setelah beberapa saat, akhirnya ia berkata,"Apa tugasmu untukku? Dan bagaimana caranya menyembuhkan Alina? Kaal, aku hanya ingin tahu jawaban untuk dua pertanyaan itu."
Kaal tercenung, jelas sedang menimbang-nimbang, lalu menjawab,"Khor. Adik kembarku itu setelah ia kutangkap dan kubawa kembali ke istana langit, ia kujadikan raja di dunia bawah, dunia gelap para iblis. Dengan tidak menghancurkannya menjadi debu hitam walau ia kalah pertarungan denganku, aku membuatnya berhutang nyawa padaku. Hutang yang membuatnya berada di bawah kendaliku, memastikan ada pengaruhku di dunia bawah sana. Ia kubiarkan meloloskan sedikit saja iblis-iblisnya ke dunia manusia ... untuk sekedar bermain sebentar, tapi tidak seluruh balatentara iblisnya lepas ke dunia manusia, karena kalau itu terjadi, maka balatentara para dewa harus memerangi mereka. Perang akhir zaman, akhir dari kemanusiaan. Mengerti?" Varthan mengangguk tenang, ketenangan yang jelas menunjukkan kalau ia bukanlah orang naif dalam hal hutang-piutang nyawa dan manfaat taktisnya dalam mempertahankan kuasa dan pengaruh. Sementara Alina melongo, tergagap, dan menoleh cepat ke arah Dir yang masih berlutut dalam kemuraman dan mengangguk penuh pengertian ke arahnya.
"Kau mengerti sekarang mengapa tahta langit tidak pernah boleh lepas dari tanganku! Hanya aku yang bisa mengendalikan Khor! Nah, tugasmu, Varthan ..." Kaal memijat-mijat dagunya. "Sejak Roxana merebut xandkarade, keseimbangan kekuatan dunia bawah telah berubah. Roxana mempersiapkan pendukung-pendukungnya, menantang Khor, merebut pendukung Khor, melemahkan Khor, semuanya untuk sebuah serangan besar-besaran ke dunia manusia. Xandkarade harus kau rebut kembali dan Khor harus kembali ke kuasanya demi keselamatan dunia manusia, demi Alina! Kau harus ke dunia bawah!" gelegar suara Kaal menusuk sanubari Alina. Jangan, Varthan! Jangan mau! Aku tidak apa-apa! Alina protes dalam hatinya, firasatnya begitu buruk sekarang, ketakutan yang mengalahkan rasa sakit lukanya.
"Baik," jawaban singkat dan tegas Varthan.
"Jangan, Varthan! Kau, Kaal! Bagaimana mungkin kau menggunakan putramu sendiri untuk tugas seperti itu?" Alina tahu ia tidak lagi mampu berpikir jernih, dan kalimat itu meluncur deras tanpa ia saring lagi.
"Hanya xandkaradeyang bisa menyembuhkan dirimu sepenuhnya. Kau mau sembuh atau tidak, nona manis? Lalu apakah kau rela dunia manusia porak poranda karena Roxana? Orangtuamu, teman-temanmu, semua, habis dilalap api perang kiamat?" Kaal menusuknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menikamnya langsung di kedalaman sanubarinya.
Varthan tertegun dalam diam dan Alina lemas, ia ingin berkata-kata lagi, tapi bibirnya begitu kelu sekarang. Hunjaman sakit ia rasakan lagi, membuatnya membungkuk dan terbatuk. Darah hitam kental mengalir keluar dari mulutnya.
"Kaal! Bantulah Alina setidaknya untuk menahan sakitnya!" Varthan berbalik dengan gelisah luar biasa, lalu ia bergegas berlutut di samping Alina.
Kaal memutar tangannya dan selarik sinar putih muncul, sinar yang meluncur menembus jendela antara istana langit dan daorragh, masuk ke dalam luka Alina. Alina tersentak halus, dan rasa dingin menyeruak dari sinar itu, mengangkat rasa sakitnya, namun dingin itu kuat dan gadis itu menggigil pelan.
"Kau berangkat ke dunia bawah saat nanti bulan beku terbit, dan Alina akan terlindungi dari racun Roxana sampai bulan beku esok hari. Kau terlambat pulang, atau gagal, Alina akan menghabiskan waktu yang sangat lama di daorraghini dalam kesakitan luar biasa. Aku hanya bisa melakukan itu saat ini untuk membantu rasa sakitnya. Hanya xandkaradeyang bisa mengangkat racunnya sepenuhnya. Dan satu lagi ... kau butuh senjata, Varthan ... " suara Kaal mengambang, tiba-tiba raja istana langit itu menjentikkan jarinya, Alina mengerang halus sambil memegang kepalanya.
Gadis itu dapat melihat kini satu helai rambutnya tercabut, mengambang di hadapannya. Matanya membelalak dalam bingung, dan jeritan kaget keluar dari bibirnya ketika ia melihat sinar putih melesat keluar dari jendela Kaal, dari Kaal, dan meluncur, membalut sehelai rambutnya itu.
Varthan refleks meraih tangan gadis itu, menggenggam erat, dan sinar putih itu menggulung helai rambut Alina itu.
Sebuah ledakan kecil terdengar, dan dari gulungan sinar putih itu, sebilah pedang yang keseluruhannya berwarna putih bersih dengan gagang perak polos jatuh berdentang ke lantai daorragh.
Alina menutup mulutnya yang menganga lebar dengan telapak tangan kanannya.
inna charambard na vellé in halathoran!
sehelai rambut menjadi sebilah pedang!
Kalimat puisi Tashem terngiang di benaknya sekarang. Sebuah terawangan yang luar biasa dari sang paman raja.
"Ambil, Varthan. Saat bulan beku terbit, turunlah ke dunia bawah dengan pedang itu, pedang yang kuciptakan untukmu dari segala harapan dan kekuatan hidup Alina. Alina harus tetap percaya pada hidup, pada harapan, padamu, pada kalian, atau pedang itu akan berubah jadi sehelai rambut lagi di dunia bawah. Kau mengerti?" Kaal menghela napas, mengedikkan kepalanya ke arah pedang yang tergeletak di lantai daorragh.
"Ini gila ... rambutku ... bagaimana ...?" hanya itu yang berhasil keluar dari mulutnya, dan ia tahu, Varthan pun terperangah.
"Ambil, Varthan! Ambil senjatamu sebagaimana layaknya seorang prajurit sejati!" paras Kaal mengeras dingin.
Varthan perlahan bangkit, berjalan ke arah pedang itu, termenung sejenak, dan meraih pedang itu dalam genggamannya. Sang pemanah matahari mengamat-amati pedang yang begitu halus indah itu, menggerak-gerakkannya, menikam, memutar-mutar, lalu mengangguk pelan. "Pedang ini pedang yang sangat baik ..." ucapnya.
"Pergilah ke dunia bawah sebagai VarthanVazére, dengan segala kehormatanmu sebagai prajurit, sebagai raja, anggota dinasti Vazére. Varthan Im Erenai Vazére, Aldan Irandéra Xandkarade, Aldan Irahanad Xandkaar. Raja Valezar!" Kaal mengangkat tangannya, melempar selarik sinar perak yang membungkus Varthan dalam lingkaran sinar yang berputar-putar. Alina melompat berdiri secara refleks dan ingin meraih Varthan, tapi dirinya ditahan Dir.
Tapi sinar perak itu tidak menyakiti Varthan, tapi mengubahnya. Alina tergagap, dan genggaman Dir di lengannya lepas.
Varthan tersentak dan tubuh tegap itu berputar perlahan, terangkat sejengkal dari lantai. Sinar perak yang menggulung Varthan menghilang, dan pemuda itu menjejak tanah lagi.
Pakaian Varthan sebagai tahanan di daorraghsudah berubah. Ia kini berpakaian hitam-hitam, dari bahan bagus, dengan kerah tinggi dan dengan perisai hitam yang terjahitkan di bagian depan tubuhnya, perisai berukiran matahari emas, jubah hitam dengan benang emas di tepiannya dan sulaman panah busur emas di tengahnya, dan bagian kiri wajahnya tertutup sebuah topeng dari bahan metal berwarna perak. Seuntai kalung panjang keperakan dengan bandul emas berbentuk matahari menggantung di lehernya.
"Yang Mulia Varthan Vazére. Varthan Im Erenai Vazére, Aldan Irandéra Xandkarade, Aldan Irahanad Xandkaar ... " Dir gelagapan dan menganggukkan kepalanya ke arah Varthan sebagai tanda hormat.
"Kau ..." hanya itu yang keluar dari bibir Alina, untuk pertama kali seumur hidupnya ia melihat raja dari zaman yang telah lama lewat, dengan segala kehormatan dan keagungannya. Aura yang sama yang ia rasakan di mimpinya akan Varthan.
Sementara Varthan tampak bingung sejenak, mengamati semua yang terjadi pada dirinya, mengepalkan satu tangannya, membukanya lagi, mengepalkan lagi, mengamati pedang putihnya, dan berbalik cepat, menatap Kaal ... .
"Kau ingat, Varthan. Kau ingat sekarang. Rasanya berkuasa, kuasa dalam genggaman tanganmu. Tahta yang bagaikan candu, begitu memenjarakan. Bukan begitu?" Kaal bertanya dengan lemah lembut, kelembutan yang membuat Alina bergidik.
Varthan masih hening sambil mengamati pedang di genggamannya. Kaal terkekeh serak dengan tatapan tajam pada putra rahasianya itu. "Bulan beku terbit. Akan ada gerbang yang terbuka untukmu turun ke dunia bawah. Pergi dan laksanakan tugasmu!" ucap Kaal, lalu dengan suara lebih rendah berkata dengan kilatan di matanya,"Berhati-hatilah." Dengan kalimat itu, jendela ke tahta langit menghilang bersama Kaal.
Dir tertunduk, menghela napas berat berkali-kali dengan wajah muram, sesaat ia menatap lekat Varthan, kerut-kerut dalam di keningnya menunjukkan berbagai pikiran dan kekuatiran berlarian di benak sipir itu, dan akhirnya melangkah lesu keluar dari penjara itu.
Alina berdiri, ia tidak merasakan sakit lagi saat ini karena bantuan Kaal yang walaupun sementara tapi sangat ia butuhkan.
"Apakah sekarang aku harus memanggilmu Yang Mulia Varthan?" Alina bertanya pelan, mencoba memecah kebekuan, sambil berjalan mendekat ke sang raja.
Varthan tersadar dari lamunan heningnya, dan menoleh cepat, menggeleng. "Jangan, Alina. Jangan. Aku tidak mau."
Alina mengangguk pelan.
"Aku hanya ingin menjadi Varthan di hadapanmu. Bukan raja, bukan sang pemanah matahari. Bukan putra Morand tukang selingkuh itu. Bukan putra Kaal keparat. Bukan siapa-siapa. Aku tidak ingin menjadi siapa-siapa ... hanya Varthan ... " kalimat Varthan mengalir deras dan tiba-tiba terhenti, pemuda itu terhuyung pelan, menahan segala desakan emosi yang pastilah bergejolak luar biasa di dalam hatinya.
Mata Alina lekat menatap pedang putih di tangan Varthan, pedang dari helai rambutnya. Varthan menangkap pandangannya itu dan juga mengamati pedang di tangannya. "Tidak ada yang masuk akal saat ini," ucap Varthan lirih, dan Alina hanya dapat mengangguk setuju. "Kau tahu nyawaku bergantung padamu, Alina? Kalau kau sedetikpun berhenti berharap akan hidup, berhenti percaya padaku, aku habis di bawah sana ..." bisik Varthan pelan. Alina mengangguk. "Dan kau, Varthan ... Kau percaya padaku? Kalau aku bisa memastikan pedang itu berguna di dunia Roxana?" balas Alina sambil mengalihkan matanya ke Varthan, lekat, mencari jujur jawab pemuda itu.
Varthan menghela napas, tak berkedip menatapnya balik, menjawabnya, "Kau tahu berapa kali aku menoleh, mencari wajahmu di pergelangan tanganku, di tengah segala kecamuk perang mempertahankan vaerrim, di tengah segala putus asa kesakitan melihat kehancuran rakyat dan kerajaanku, di tengah godaan-godaan Roxana?"
Alina gagap sejenak, tidak yakin bagaimana menjawab itu.
"Kau dan aku, Alina, kalau memang seperti apa yang dikatakan Kaal ... kita adalah jodoh sejati. Apakah kau percaya itu?" Varthan mendekat, dan sorot mata itu berhasil membuat Alina tergetar untuk sesaat, sebuah pertanyaan yang menghunjamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com