Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 27

Alina menggelengkan kepalanya kuat-kuat, terbata-bata memberitahu Dir segala yang dikatakan Roxana pada Varthan di dunia bawah. Dir terpaku, tercenung, lalu bersuara,"Mungkin dia benar, Alina ... mungkin itu yang memang harus terjadi."

"Dir! Bagaimana mungkin kita bisa percaya Roxana? Pengkhianat bangsanya sendiri? Iblis mengerikan penuh tipu daya itu?"

"Pilihan Varthan sungguh tidak banyak, Alina! Kau lihat betapa kelabakan Varthan menangkis panah-panah xandkaradeyang tidak ada habisnya! Sampai kapan?! Sampai ia mati kelelahan? Atau ada panah yang lolos tangkisan pedangnya sehingga membunuhnya?"

Alina tergagap, mencoba bernapas, mencoba berpikir, tapi airmatanya mulai deras berderaian karena ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Varthan, apakah mungkin Roxana bisa dipercaya? Iblis penyebab segala bencana ini?

<<<>>>

Tawa Khor menggelegar menggetarkan seantero bangsal itu, dan akar-akar hitam bergerak-gerak dengan suara desisan yang semakin keras. Para targmelolong-lolong, berdiri, melompat-lompat sehingga membuat bangsal itu dan balkon-balkonnya berguncang seperti ada gempa bumi.

Varthan mematung, tetes darah merah segar masih mengalir dari ujung bibirnya, raut wajahnya muram, namun kemuraman itu perlahan berubah, seiring dengan pedang putihnya yang pelan-pelan ia turunkan, rautnya juga menjadi lebih tenang ... .

Pedang di tangan Varthan tampak sedikit meredup, dan Varthan berbisik amat lirih,"Alina, dengarkan aku. Dengarkan. Aku harus lakukan ini. Aku akan melepas pedangku, Roxana mungkin benar. Saru-satunya cara supaya ada peluang bagi kau untuk sembuh adalah dengan menggabungkan pedang ini dengan xandkarade."

Alina hening, dan akhirnya Varthan bisa mendengar gadis itu berkata dengan suara gemetar,"Apa kau yakin Roxana tidak sedang melakukan tipu dayanya?"

Setelah terdiam sejenak, Varthan menjawab, "Tidak ... aku tidak yakin, Alina. Sejujurnya aku sungguh tidak tahu apa yang akan benar-benar terjadi kalau pedang putih ini kulepas dan kubiarkan bergabung dengan xandkarade."

Alina terdiam. "Kau gila kalau melepas pedang itu, Varthan."

"Kalau kegilaan itu akan memberimu setidaknya kemungkinan untuk selamat, maka biarlah aku melakukannya."

"Varthan! Ayo! Kita lanjutkan! Sudah cukup acara berbincang-bincang!" bentak Khor tiba-tiba. Xandkarade-nya ia letakkan lagi di posisi untuk menyerang.

Varthan mengawasi gerak-gerik Khor dan berbisik lirih,"Alina, apakah kau percaya padaku? Pada keputusanku untuk melepas pedang ini? Aku membutuhkanmu."

Varthan tidak mendengar suara apapun dari Alina, sampai akhirnya, "Lakukan, Varthan. Lakukanlah. Aku percaya pada pertimbanganmu. Dir pun begitu." Pedang putih kini bersinar gemerlap lagi.

Sang pemanah matahari berdiri tegak, dan dengan satu hentakan, melempar pedang putihnya ke arah xandkarade.

Khor tertawa mengejek, tawa menggelegar yang menggetarkan bangsal itu. Roxana membeku dalam kerangkengnya dengan mata tak berkedip.

Pedang putih bercahaya itu meluncur ke arah xandkarade, bagaikan magnet yang saling menarik, dan dalam satu hantaman, pedang itu melekat ke xandkaradedi tangan Khor. Tawa Khor menipis, mata sang raja dunia bawah membelalak melihat pedang putih bercahaya yang sungguh dari segi ukuran kalah jauh dari busur xandkaradeyang besar kukuh tapi entah bagaimana caranya, melekat erat di permukaan xandkarade.

Varthan terhuyung, jatuh berlutut, darah segar mengalir dari sela bibirnya. Tubuh tegapnya gemetar hebat, dan napasnya tersengal-sengal ... .

<<<>>>

Alina menjerit keras ketika tubuhnya seperti dihantam angin panas luar biasa, napasnya terengah dan keringat bercucuran di wajah dan tubuhnya. "Alina! Kau harus menarik xandkaradekepadamu! Tarik, Alina!" ia bisa mendengar Dir berseru-seru, mengguncang bahunya, tapi Alina tidak mampu berkata-kata. Bagaikan berada di tepian lubang hitam, ada semacam energi luar biasa panas yang menariknya. Kesadaran gadis itu menurun, ia tidak mati, tidak pula tidur, tapi ia melihat dunia lain seakan ia sedang bermimpi dengan mata terbuka lebar ... .

Ia melihat Varthan, di tepi sebuah tebing yang begitu curam. Hanya ada asap putih di sekeliling mereka.

Varthan tampak bertelanjang dada sehingga Alina bisa melihat jelas setiap rajah dan bekas luka dari berbagai peperangan di tubuh kekar itu, dan pemuda itu juga tidak mengenakan topeng di wajahnya yang kiri. Bekas luka bakar di wajahnya yang berlanjut sampai ke sebagian leher, bahu kiri dan sebagian lengannya kirinya semua terlihat jelas, jauh lebih jelas daripada saat mereka di daorragh, saat pandangan Alina terkaburkan dan konsentrasinya pecah gara-gara sakit lukanya. Rambut hitam Varthan yeng bergelombang dan gondrong sebahunya tampak berjatuhan di wajahnya, kusut, dan lelah di pusaran lara.

Sang pemanah matahari tampak pucat, darah segar mengalir dari sela bibirnya. Tubuhnya terhuyung, berdiri begitu dekat di bibir tebing, satu embusan angin akan menjatuhkannya.

"Varthan? Apa yang terjadi?" bisik Alina dalam bingungnya sambil melangkah perlahan ke arah Varthan.

"Alina, jangan mendekat lagi. Xandkaradeadalah senjata yang begitu menakutkan. Senjata yang akan memakanku hidup-hidup, membuatku lupa akan kemanusiaan, akan harapan, akan cinta yang hangat. Jangan mencoba menarikku, Alina. Aku tidak layak untukmu. Tanganku berlumuran darah musuh-musuhku, wajahku rusak dibakar api dalam pertarungan akan tahta, aku menyembunyikan segala kesepianku, dan kebencianku akan diriku sendiri di balik xandkarade. Jangan mencoba menarikku, jangan mendekat. Aku, xandkarade, adalah sama. Kami adalah penghancur," suara Varthan terengah, lemas, dan pemuda itu mundur selangkah, semakin dekat ke bibir tebing curam.

Alina melangkah pelan, tapi pasti, mendekat ke sang raja. Nalarnya berjalan, dan ia mengerti. Xandkaradebukan hanya senjata perlindungan raga bagi Varthan, tapi juga perlindungan jiwanya, sanubarinya – banyak puing-puing kehancuran, kesepian, kesakitan dirinya yang ia sembunyikan di balik senjata itu, menjadi kuat di luar karena sebagai raja di tahta yang begitu penuh intrik, ia tidak punya pilihan selain harus kuat, namun kekuatan itu menyamarkan kerapuhan di dalam. Kini, dengan melekatnya pedang putihnya ke xandkarade, semua luka Varthan, semua itu tidak bisa lagi ia sembunyikan, dan itu tidak terduga olehnya, dan menjadi sangat menakutkan bagi Varthan. Pedang putih yang ditempa dari kehangatan dan harapan Alina yang jelas sangat bertolakbelakang dengan kematian, keputusasaan, kesepian, kedinginan yang menjadi bagian xandkarade– bagaikan ceruk gua yang tersembunyi, lama tak tersinari matahari, lama tak mengalami hangat, tiba-tiba terbuka lebar dan hangat matahari menyerbu masuk, sinar gemilangnya membongkar semua luka, membawa semua luka yang bernanah dalam gelap ke dalam pelukan cahaya.

"Aku tidak layak untukmu," bisik Varthan lagi. "Jangan mencoba menarikku ke hidup, ke harapan. Aku tidak mampu untuk itu."

Alina terpaku. Matanya tak berkedip menatap Varthan yang berdiri hanya satu lengan di hadapannya. Berbagai pikiran berkecamuk di benak gadis itu, dan gadis itu melangkah semakin mendekat ... .

"Jangan, Alina."

"Kau, Varthan, adalah sang pemanah matahari, sang raja Valezar yang agung, tapi kau tidak berhak memberitahu aku apa yang layak dan apa yang tidak layak bagiku. Itu urusanku. Aku, Alina, adalah penjaga hatimu supaya tidak berbelok, seperti kata Kaal, seberapa bencinya kau dan aku padanya saat ini. Aku adalah penjaga hatimu, dan penjagamu yang akan memastikan kau tidak akan termakan hidup-hidup oleh kegelapan xandkarade, penjagamu yang akan menarikmu kembali ke harapan dan hidup ... " Alina menghela napas, mengumpulkan nalarnya, melanjutkan,"Kau layak. Itu adalah apa yang sudah aku putuskan, dan kau tidak bisa mencegahku untuk mengatakan dan merasakan itu. Aku akan menarikmu padaku, kau, xandkarade, semua, harus kembali ke harapan, ke hidup. Ada harapanku akan hidup yang aku mau, dan aku tahu, ada harapanmu, tersembunyi di balik lukamu, akan hidup yang kau mau."

Varthan mengalihkan pandangannya kini ke Alina, menatap gadis itu dengan keraguan di matanya dan gemetar yang jelas di bibirnya. "Bagaimana kau bisa yakin aku layak? Tahukah kau semua yang sudah kulakukan? Semua kehancuran dan darah yang kusebabkan? Alina, tahukah kau?"

Alina memejamkan matanya, dan membukanya lagi. "Apakah akan ada bedanya bagimu kalau aku tahu atau tidak? Apakah kalau aku tahu, atau tidak, itu akan mengubah apa yang sudah lalu? Ketika aku bertunangan dengan Regan, aku merasa aku berasa di puncak kebahagiaan. Segala hal begitu indah, begitu bersemi bunga-bunga, merencanakan masa depan bersama. Aku jatuh, hancur lebur ketika ia mengkhianatiku. Aku merasa begitu bodoh, begitu direndahkan, dan aku lama hanya menghabiskan waktu di kamarku, bersama bunga-bunga anggrekku. Aku mengamati, Varthan. Bunga-bunga anggrek yang hampir mati, bukan berarti sudah tidak punya kesempatan sama sekali. Dengan waktu, dan kesabaran, akan ada tunas-tunas baru yang walau kecil dan rapuh, akan tumbuh. Kau hampir mati saat ini dalam tekanan segala kelam masa lalumu, tapi kau belum mati. Masih ada kehangatan dalam dirimu, kehangatan yang kurasakan saat kita di daorragh, saat kau dan aku berpelukan. Bukan begitu?" Alina melangkah, dan tanpa ragu, ditariknya tangan Varthan, dan dipeluknya pemuda itu seerat yang ia bisa. Varthan sejenak gelagapan, mencoba menahan dirinya dari pelukan itu, namun Alina tidak melepaskan, dan mengeratkan pelukannya, dan berbisik lembut,"Shhh. Sudah selesai, Varthan. Aku sudah menarikmu."

Varthan tertegun sesaat, berhenti mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Alina, hening, dan akhirnya balas memeluknya erat.

<<<>>>

Alina tersentak, seakan baru terbangun dari mimpi walau ia tidak tertidur. Dir melongo menatapnya, dan ia buru-buru memejamkan matanya untuk melihat apa yang terjadi pada Varthan.

Khor meraung menggelegar dalam amarah luar biasa ketika xandkaradeyang sedari tadi ia perjuangkan mati-matian untuk tetap di genggaman tangannya akhirnya tercabut lepas dan melayang cepat bersama pedang putih ke arah Varthan.

Varthan yang mendapatkan kembali tenaganya setelah tadi jatuh berlutut melompat bangkit dan menangkap xandkarade-nya. Saat senjata keramat itu ia sentuh, terjadi ledakan kecil yang memercikkan bunga-bunga api, dan pedang putih menghilang, menyatu dengan xandkarade, dan pancaran cahaya putih tampak bersinar lembut dari xandkarade.

"Kurang ajar! Kubunuh kau! Xandkaradeadalah milikku!" gelegar amuk Khor terdengar, targ menjerit-jerit ketakutan, dan Roxana terkikik-kikik di dalam kerangkengnya. Khor menoleh cepat ke arah Roxana, matanya memerah oleh amarah pada wanita itu, dan di tangannya tiba-tiba muncul seutas akar yang ujungnya lancip bagaikan pisau kecil. "Kau akan hancur, Roxana!" bentak Khor.

"Silakan! Silakan hancurkan aku! Aku sudah siap! Aku sudah memastikan xandkaradetidak akan pernah kau miliki! Istana langit tak akan pernah kau capai! Aku sudah menghancurkan semua mimpimu, Khor! Pembalasanku atas penipuanmu padaku, pengkhianatanmu atas janji-janji cinta kita, cinta yang semua palsu! Aku puas!" Roxana histeris. Khor meraung dan melempar akar lancip itu, Varthan menyiapkan busurnya tapi terlambat baginya untuk melepas panah xandkaradeuntuk mencegah pembantaian Roxana. Akar itu telanjur menancap dalam di kening Roxana.

Roxana bergetar hebat, asap hitam membubung dari keningnya. Namun wanita itu masih sempat berucap sambil menatap Varthan,"Nafsuku akan tahta sudah menyebabkan kehancuranku, Varthan, kehancuran Valezar. Semua. Jaga baik-baik Alina, dan gunakan xandkaradedengan hati-hati!" lalu Roxana meledak menjadi debu-debu hitam berbau luar biasa busuk.

Varthan terpaku, dan Khor meraung, mulai melepas banyak akar-akar lancip yang menjadi semacam senjata tajam yang ia lemparkan ke Varthan. Tapi akar-akar itu bukanlah lawan bagi xandkaradeyang sudah bergabung dengan pedang putih Alina, xandkaradeyang bercahaya putih lembut sekarang. Varthan berteriak, menggunakan busurnya untuk menangkis semua akar tajam yang beterbangan, akar-akar yang menancap di beberapa targyang langsung meledak jadi debu hitam, lalu sang pemanah matahari mengeluarkan panah-panah xandkaradedan mulai menembaki Khor dengan panah-panah itu.

Khor memutar tubuhnya dan sibuk menangkis panah-panah xandkarade, dan pada satu kesempatan, satu panah berhasil menancap di perut sang raja dunia bawah.

Varthan berdiri tegap, dan Khor terengah kesakitan, mengerang-erang parau, terhuyung sambil memegangi luka di perutnya karena tertikam panah xandkarade, luka yang mulai berasap hitam busuk. Akar-akar hitam yang membalut kepala, lengan, dan perutnya berdesis, berasap, lalu berubah menjadi ringkih, layu, abu-abu.

Tiba-tiba Khor mengangkat wajahnya, dan mengucapkan satu kalimat mantra yang sama sekali tidak dimengerti Varthan, dan bersamaan dengan berakhirnya mantra itu, para targmenjerit-jerit histeris, dan akar-akar hitam yang menutupi bangsal mulai bergerak-gerak kuat, dan bertumbuh semakin membesar, dan suara-suara lolongan dan pekikan mengerikan terdengar dari setiap akar itu.

"Akar-akar hitam penyangga neraka, anak-anakku, iblis-iblisku yang sudah begitu lapar! Ayo! Ada santapan untuk kalian! Kalian biasanya hanya makan pikiran-pikiran gelap manusia, atau para targ, tapi hari ini berbeda. Hari ini istimewa. Hari ini makanlah raja Valezar! Nikmati suguhan makan malam kalian dariku!" bentak Khor sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Akar-akar hitam yang disebut sebagai penyangga neraka oleh Khor bergerak-gerak semakin liar, desis berubah jadi pekikan-pekikan yang menggidikkan kuduk. Akar-akar hitam itu adalah iblis-iblis anak buah Khor, anak-anak kegelapan yang biasa makan sampai gemuk dengan pikiran-pikiran gelap manusia. Akar yang tidak pernah berhenti bertumbuh dan bergerak selama masih ada pikiran gelap manusia yang sampai pada mereka. Sekarang akar-akar hitam itu semakin membesar, mendekat ke arah Varthan, dan Khor terkekeh walaupun dalam keadaan luka.

"Menyerahlah, Varthan! Serahkan xandkaradepadaku, dan kupastikan kau tidak akan hancur jadi santapan akar-akar hitam kelaparan itu! Kau akan kukembalikan ke daorragh, bersatu dengan gadis cinta dalam hidupmu itu!" Khor menyeringai, wajahnya semakin pucat membiru. "Jangan membuat keributan di bawah sini, Varthan," lanjut Khor dingin.

Varthan berdiri tegap, akar-akar hitam yang semakin mendekat bagaikan cakar-cakar tajam yang menggapai-gapainya. Pemuda itu begitu tenang, menatap Khor lurus, dan berkata,"Keributan? Ah, Khor. Justru itu mauku. Membuat keributan. Keributan luar biasa di bawah sini! Apa yang gelap harus menemukan terang sesekali, bukan begitu?" lalu ia memutar xandkarade-nya dan sinar putih cemerlang dari xandkaradeuntuk sesaat menyinari dunia bawah, meledakkan banyak targ menjadi debu-debu hitam, menyilaukan Khor sehingga raja dunia bawah itu jatuh terbungkuk-bungkuk menghindari cahaya terang di wajahnya.

"Hentikan, Varthan!" bentak Khor.

"Tidak! Aku mau buat guncangan di dunia bawah ini, guncangan yang cukup untuk mengirim pesan ke dunia langit kalau ada yang sedang bergejolak di bawah sini! Para dewa di atas sana akan mulai bertanya-tanya akan apa yang sedang terjadi. Kaal harus menjelaskan semua!" balas Varthan sambil menyeringai ke arah Khor. "Alina, kau mau melihat kembang api?" bisik Varthan.

"Varthan! Hati-hati! Dir terkekeh di sini, ia bilang ia mengerti apa taktikmu!" sahut Alina dari daorragh.

"Jangan kuatir," bisik Varthan sambil menyeringai bandel. Varthan mengeluarkan empat panah xandkarade, menembakkannya pada saat bersamaan, dan keempat panah itu meluncur ke empat penjuru bangsal itu, dan meledak dalam gemerlap cahaya berbagai warna kembang api yang sangat meriah bagaikan sebuah pesta besar di tahun baru.

Bangsal itu berguncang keras, akar-akar hitam memekik-mekik dan targmelompat penuh ketakutan.

"Satu panah terakhir, untuk kepalamu!" bentak Varthan sambil mengambil posisi siap menembak kepala Khor dengan satu panah xandkaradeyang sudah siap di busurnya.

"Varthan! Hentikan!" bentakan menggelegar terdengar dari belakangnya. Varthan tersenyum sambil tetap membidik Khor. "Ayahandaku yang terhormat, kau bersusah payah datang mengunjungiku di dunia bawah ini, mengotori jubah agungmu! Betapa indah pertemuan keluarga ini!" Varthan mengejek.

Kaal muncul, melangkah keluar dari sebuah pintu bening yang tiba-tiba muncul di belakang Varthan. Wajahnya merah padam menahan amarah menggelegak, dan tubuhnya gemetar karena emosi yang membuncah kacau balau.

"Aku bisa membunuhmu saat ini juga, Varthan!" bentak Kaal.

"Oh? Silakan! Bukan pertama kalinya kau mencoba membunuhku. Tapi aku juga akan menembakkan panah ini ke kening Khor. Jangan meremehkan kemampuan memanahku, ayahanda," suara Varthan penuh ejekan sambil tetap menatap Khor, lurus membidiknya. "Aku mati, Khor juga hancur. Betapa banyak yang kemudian harus kau jelaskan pada para dewa yang sekarang sudah bangkit curiga pada gejolak di dunia bawah ini. Bagaimana mungkin ada sinar gemerlap kembang api di dunia bawah ini? Siapa aku? Siapa penghancur Khor yang agung? Kehancuran Khor, raja dunia bawah, adik kembarmu, akan membawa guncangan hebat ke tahta langitmu. Skandal yang tak kau butuhkan. Kau tahu itu. Kau harus menjelaskan semua pada mereka, mereka akan menyelidikimu, dan semua rahasia gelapmu tidak akan ada yang aman tersimpan. Kau akan terjepit, sangat terjepit, Kaal," suara Varthan melembut. "Anak buanganmu ini bukan orang naif dalam hal seperti ini, Kaal. Tahta sudah mengajariku banyak, banyak sekali pelajaran!"

Kaal terdiam. Rahang sang raja langit mengeras. Tangannya mengepal dan matanya nanar tak berkedip menatap Varthan.

<<<>>>

"Dir? Apa yang Varthan lakukan?" bisik Alina setelah menjelaskan pada Dir apa yang didengar dan dilihatnya di dunia bawah.

Dir menghela napas, mengangguk pelan, menepuk-nepuk tangan Alina erat. "Ia melakukan apa yang dilakukan seorang raja, seorang yang benar-benar mengerti apa makna tahta dan permainan kekuasaan di baliknya. Ia raja, Kaal juga raja. Mereka saling mengerti, mereka lawan sepadan dalam berunding. Tahta yang mencengkeram. Varthan sedang berjudi dengan nyawa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com