Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 3

Darah dan kehancuran menyapu Valezar dari pantai-pantainya yang indah sampai pegunungannya. Bangsa Nankara, dengan seragam merah darah mereka, panji-panji bergambar Azorg, dewa kematian mereka, menerjang Valezar dari segala penjuru dalam serangan yang walau sudah diperhitungkan akan terjadi oleh Valezar, namun terjadi dengan rentang waktu yang sangat mendadak dengan kekuatan yang sangat besar dan kekejian luar biasa.

Militer Valezar kuat, tapi pengkhianatan luar biasa dari orang dalam yang mengerti seluk beluk pertahanan Valezar menyebabkan banyak rahasia telah bocor ke Nankara.

Varthan dalam patah hati dan amarahnya mengetahui adanya pengkhianatan – walaupun ia tidak yakin siapa pengkhianat sesungguhnya, dan tidak ada waktu untuk mencari tahu, ada beberapa nama jenderal dan gubernur di beberapa provinsi yang berdasarkan bisik-bisik mata-mata telah menjalin komunikasi rahasia dengan kaki tangan Nankara – bertarung habis-habisan mempertahankan kerajaannya, perlawanan yang berlangsung siang malam selama enam puluh hari. Xandkarade, panah dan busur keramat raja-raja Valezar yang tersimpan dalam tubuhnya dan hanya bisa ia keluarkan dengan mantranya, ia gunakan untuk menghancurkan sebanyak mungkin Nankara yang merangsek semakin dekat ke Elidéra, ibukota Valezar. Kesiuran panah-panah hitam berbau harum itu beterbangan dari puncak satu menara penjaga vaerrim tempat Varthan berdiri tegap mempertahankan kerajaannya, ke berbagai penjuru Elidéra, melindungi pasukan Valezar yang di garis depan, dan menghancurkan Nankara.

Langit yang menghitam karena panah-panah keramat yang seakan tak ada habisnya itu, dan Varthan yang semakin lemah karena xandkarademembutuhkan banyak kekuatan mental untuk ia tembakkan, panah dan busur yang terhubung langsung ke dalam jiwanya.

Amukan Nankara menggempur Elidéra bagaikan dewa kematian yang datang dengan sayap-sayap kegelapan, mencabut nyawa, membakar, membabat, menghancurkan segala yang indah dan menggantinya dengan asap bakaran dan amis darah. Si pengkhianat Valezar dan kaki tangannya yang juga menguasai ilmu sihir membantu melindungi para Nankara dari amukan panah xandkarade.

Satu-persatu jenderal-jenderal, pembantu-pembantu yang loyal pada Raja Varthan dibantai, kepala mereka dipenggal, kaki tangan dimutilasi, dan semua bagian tubuh itu dilempar dengan alat semacam ketapel berukuran besar ke dalam area vaerrim. Sebuah strategi yang sangat menghancurkan mental para prajurit Valezar melihat rekan-rekan, komandan-komandan mereka tewas dengan begitu brutal dan bagian-bagian tubuh mereka bagaikan hujan darah berjatuhan ke mereka.

Kepala Salloth, lalu disusul Rodan adalah yang terakhir dilempar masuk, keduanya membelalak dalam momen akhir hidup mereka.

Pasukan-pasukan Nankara sudah berhasil membobol masuk beberapa bangunan-bangunan vaerrim, dan Varthan semakin lemah sehingga ia tidak cukup kuat lagi untuk mengeluarkan xandkaradedari tubuhnya dan menembakkan xandkarade, dan dalam keadaan luka dalam itu, ia mempertahankan bangunan-bangunan itu dengan pedang dan tangan kosong. Ia merangsek, membunuh musuh-musuhnya, cipratan darah Nankara di wajahnya, dan saat Nankara pengeroyoknya berhasil merebut pedangnya, ia bertarung dengan tangan kosong dan berhasil melepaskan diri dari keroyokan itu dan menuju ruang tahta.

Varthan beserta punggawa-punggawa setianya terdesak ke dalam ruang tahta. Kecamuk kacau balau pertempuran terdengar di halaman luar ruang tahta, teriakan-teriakan dari sisa-sisa jenderalnya yang bertugas memastikan Nankara tidak masuk ke ruang tahta terdengar, bersamaan dengan teriakan, lolongan penuh kesakitan yang tak henti-hentinya terdengar.

Sang raja limbung dan menopangkan satu tangan ke kursi singgasananya, satu tangan lagi menggenggam erat pedang yang merah dengan darah segar yang masih mengalir, dari sela bibirnya juga mengalir darah merah segar yang menunjukkan luka dalamnya yang parah.

"Kita masih akan melawan habis-habisan! Kalian yang takut ... aku mengerti. Tikamkan pedang kalian ke jantung kalian sekarang. Setidaknya kalian tidak harus merasakan sakit berkepanjangan!" ucap Varthan dengan suara lantang walau darah dari sela bibirnya masih mengalir.

Sisa-sisa punggawa setianya berdiri terpaku, kecuali lima orang yang berjaga di pintu ruang tahta yang sibuk menjorokkan tubuh mereka ke pintu tahta, siap-siap jika Nankara mulai mendobrak dari luar.

Hening yang begitu menyayat di ruangan itu, tapi tidak ada seorangpun yang bergerak, tidak ada satu pedangpun yang digunakan untuk menikam diri sendiri. Mereka siap bertarung sampai titik darah penghabisan.

Varthan limbung, mencengkeram erat singgasananya, ketika salah satu punggawa yang sedang berjaga di pintu berteriak keras. "Tuan Tashem mengetuk!"

Mata Varthan berbinar. Pamannya itu sudah dari tadi tidak ia lihat, ia tahu pamannya sibuk bertarung di sisi utara vaerrim, dan ia sudah pasrah akan nasib orang kepercayaannya itu. Ada semangat, ada harapan yang pelan merekah di hatinya. Pamannya masih hidup.

"Izinkan masuk!" teriaknya.

Punggawa-punggawa penjaga pintu ruang tahta dengan hati-hati membuka pintu, hanya cukup untuk Paman Tashem menyelinapkan tubuhnya masuk, sementara dari luar hiruk pikuk kecamuk perang semakin keras.

"Paman!" seru Varthan sambil menegakkan tubuhnya.

Tapi sang paman tidak menanggapi, berjalan lurus ke arahnya, tatapan mata tajam lurus ke Varthan.

"Nankara sudah menguasai sebagian besar vaerrim, Varthan ... " ucap Tashem sambil tetap berjalan mendekat.

Varthan menatap tajam pamannya itu. "Valezar tidak akan runtuh begitu saja di masa pemerintahanku! Aku masih kuat melawan! Kekuatanku sebentar lagi akan cukup untuk mengeluarkan xandkaradelagi!"

Tashem menggeleng kaku. "Roxana. Dia adalah pengkhianat utama, Varthan. Ia wanita nujum ulung dan berpengalaman tinggi, ia menyembunyikan kegiatan mata-matanya dengan nujum dari terawanganku. Ia begitu licik dan rapi. Akhirnya aku tahu pasti kalau ialah pengkhianat ketika aku melihatnya bertarung di pihak musuh, ia menggunakan sihirnya untuk menghancurkan bangsanya sendiri. Ia benar-benar melakukan apapun itu untuk mencapai tahta Valezar! Nankara pasti sudah menjanjikan tahta Valezar padanya sebagai imbalan pengkhianatannya! Sebagai ratu!" suara Tashem dingin, ia berdiri satu lengan dari Varthan sekarang. Wajahnya tanpa emosi dan napasnya tenang walau kejatuhan kerajaan mungkin tinggal menunggu hitungan jam.

"Roxana! Penujum keparat!" Varthan meninju singgasananya, menghantamkan pedangnya ke kursi singgasana itu, menghancurkannya.

"Xandkarade, panah dan busur keramat yang tersimpan dalam tubuhmu, akan keluar begitu saja darimu kalau kau gugur. Xandkarade tidak boleh, tidak akan pernah boleh, jatuh ke tangan culas Roxana, ke tangan Nankara. Umat manusia bisa habis!" Paman Tashem melangkah mendekat, matanya berkedip-kedip seolah menahan airmata, tapi kemudian wajah berkerut itu mengeras lagi dan sang raja tepekur.

"Maafkan pamanmu ini, Nak ... tapi Valezar adalah takdirnya untuk runtuh hari ini. Valezar akan bangkit dari kuburannya di tanah suatu hari nanti, dan orang-orang seantero bumi akan mendengar namanya lagi. Tapi tidak sekarang ..." bisik Paman Tashem tersendat lirih. "Ini satu-satunya cara ..." bisiknya lagi, lalu sang paman maju selangkah lagi, dan memeluk Varthan erat.

"Paman?" Varthan gelagapan kebingungan, dan suara dobrakan mulai terdengar di pintu ruang tahta. Para punggawa berteriak dan mulai mempertahankan pintu dari dobrakan-dobrakan keras dari luar.

Tashem mengeratkan pelukannya pada sang keponakan, dan berbisik,

"Dengarkan, Varthan. Dengarkan dan ingat puisiku ini.

sa es nín qualla meir sparai

sa es fondaro, nín addara da orra

sa es ossara, va'nín legara

sa es morti, va'nin levera

ve immara eidar ellranai et darra eidar forrän

inna charambard na vellé in halathoran!

Maafkan pamanmu ini. Suatu saat kau akan mengerti. Pasti. Sudah tiba saatnya," Paman Tashem berbisik dengan suara bergetar menahan tangis yang membuat Varthan semakin bingung. Puisi yang dilantunkan pamannya ia dengarkan, tapi di tengah kebingungannya, tidak ia mengerti.

Tiba-tiba, tubuh Varthan yang dipeluk erat Paman Tashem tersentak keras ke belakang. Mata Varthan membelalak menatap sang paman, lalu beralih menatap belati biru yang ditancapkan dalam ke dadanya oleh orang yang begitu ia percayai itu.

"Adirak. Belati biru ... penjaga ... xandkarade. Paman? Mengapa ... mengapa ... ?" suara Varthan serak, terkejut, tubuhnya terhuyung dan jatuh berlutut dengan tatapan matanya tetap lurus membelalak ke arah Tashem, tidak percaya pada apa yang barusan dilakukan oleh orang yang paling ia percaya di muka bumi ini. "Xandkaradeharus kau lindungi dalam tubuhmu karena senjata keramat ini tidak boleh jatuh ke tangan iblis, atau dunia akan kiamat. Adirakmemagari xandkaradeuntuk tidak keluar darimu. Valezar akan berakhir hari ini, ini sudah suratan takdir yang tidak bisa dicegah ... tapi tidak untuk selamanya. Ingat ini, Varthan, ingat. Valezar akan bangkit dari kuburnya di dalam tanah suatu hari nanti," Tashem menghela napas berat, dua titik bening airmata mulai menggembung di sudut matanya, lalu mengalir zigzag mengikuti alur kerut wajahnya, satu titik, disusul titik-titik air lainnya. Varthan berjuang bernapas, tapi tubuhnya semakin lemas, walau matanya masih lurus menatap Tashem.

Belati biru – adirak– yang menancap dalam ke dada Varthan mengepulkan asap kebiruan, dan belati itu perlahan tampak mencair ke dalam dada Varthan seperti es yang terkena panas matahari.

Tashem mengangguk-angguk seolah sedang menguatkan hatinya sendiri, mengelus rambut Varthan lembut, airmatanya bertetesan deras ke kening Varthan, napas Varthan terhenti, belati sudah sepenuhnya mencair ke dalam tubuhnya, dan mata sang raja akhirnya terkatup erat.

Para punggawa jelas terperanjat melihat sang raja ditikam oleh Tashem dan belati biru yang berasap dan mencair ke dalam tubuh Varthan. Tashem berdiri tegak menatap para punggawa itu, berseru lantang, "Adirak, saudara-saudaraku. Senjata rahasia itu kalian pikir cuma legenda, tapi benar-benar ada. Raja Varthan menyerahkannya padaku sebagai orang paling ia percaya, ketikaxandkaradedimasukkan ke dalam tubuhnya. Setiap pengendali xandkaradeakan menyerahkan adirakke orang kepercayaannya, sudah begitu kebiasaan sangat rahasia dari raja-raja pendahulu kita. Adirakada untuk memastikan xandkaradetidak pernah keluar dari tubuh raja saat keadaan genting iblis seperti ini! Kalian harus percaya kalau aku lakukan ini demi Valezar! Demi xandkarade! Kita lawan Nankara sekarang!"

Para punggawa masih tampak bingung, namun tidak ada yang sempat berkata-kata lagi terhadap Tashem karena dobrakan pintu yang semakin keras, dan panah-panah musuh sudah berkesiuran masuk dari jendela ruang tahta, telak membunuh beberapa punggawa yang sedari tadi bertugas menjaga jangan sampai ada musuh yang memanjat naik ke dalam ruang tahta lewat jendela itu.

"Eleni!" bentak Tashem ketika Varthan sudah terkulai di lantai. Dari lorong di samping tahta, seorang wanita dan dua pria tinggi besar yang menenteng tandu tampak berlari tergopoh masuk. Mereka tampaknya sudah bersembunyi dari tadi di ruangan kecil di belakang ruang tahta, ruang baca milik Tashem.

"Eleni, istriku yang begitu setia, tugasmu dimulai. Maafkan aku, Sayang, maafkan aku," Tashem memeluk Eleni dan dibalas dengan pelukan wanita itu. "Aku akan lakukan sebaik mungkin!" tegas balasan Eleni.

Mata keduanya terpaku pada rajah di pergelangan tangan kiri Varthan, dan Tashem berkata lirih, "Aku sudah melihat semua di terawanganku. Lima ratus tahun, Eleni. Lima ratus tahun lagi, di tanggal yang sama dengan hari ini. Rajah di tangannya itu adalah petunjuk untuk menemukan yang bisa mengakhiri semua kegilaan ini. Maafkan aku sudah meletakkan ini di tanggungjawabmu dan keluarga kita," Tashem mengelus perut Eleni yang membuncit.

"Demi Valezar, Tashem. Demi Varthan, raja kita! Demi keselamatan xandkarade!"

Dobrakan semakin keras, semakin banyak punggawa yang gugur dan kacau balau pertahanan yang sudah bolong sana sini membuat dobrakan pintu dari luar itu semakin berhasil.

"Pergi lewat labirin bawah tanah! Kau tahu jalannya! Jangan menoleh ke belakang lagi, Eleni! Pergi!" teriak Tashem. Eleni, wanita tangguh pemberani itu, mengangguk mantap, membisikkan kata cinta pada suaminya, dan meminta dua pria yang datang bersamanya mengangkat tubuh Varthan, meletakkannya di tandu, dan tanpa menoleh lagi Eleni bergegas pergi bersama mereka dengan diiringi tatapan nanar Tashem.

Dentuman menggelegar dari luar, dan pintu ruang tahta akhirnya terdobrak habis ketika kayu kokohnya hancur lebur dihantam besi berbentuk tabung besar berwarna merah darah, alat pendobrak berukuran tiga kali pria dewasa yang diayunkan banyak prajurit Nankara, dan pasukan Nankara menerjang masuk bagaikan air bah yang siap menelan segala yang masih bernapas.

"Kematian yang manis! Aku, Tashem Elgard, siap menyongsongmu!" teriak Tashem lantang dengan kilat perlawanan di matanya, dada yang membusung penuh pembangkangan, dan pedangnya teracung tinggi untuk yang terakhir kalinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com