BAB 5
Keesokan harinya ... .
"Jadi semua batal ya?"
Sepuluh jari Alina mencengkeram erat tepian meja ek hitam eksklusif di hadapannya, jari-jemari yang mulai memutih bersamaan dengan napasnya yang mulai berkejaran. Batal semua?
Konsultan di hadapannya, seorang wanita paruh baya dengan rambut tersanggul rapi di ubun-ubunnya, lipstik merah menyala, dan wangi parfum Chanel No. 5menguar lembut dari tubuhnya yang berbalut blazer pink muda, menatapnya dengan tatapan antara kasihan dan tidak percaya. Nama Belinda dalam font cursive warna hitam tampak di sebuah tag keemasan di blazernya.
"Ah ..." hanya itu yang berhasil keluar dari bibir gemetar Alina. Ia tahu ia harus kuat. Harus!
"Alin?" Tinka yang duduk di sampingnya menepuk lembut tangannya yang memutih karena sibuk mencengkeram meja. Lalu sahabatnya itu menjorokkan tubuhnya, mendekat ke Alina, dan berbisik, "Kau mau aku yang tangani semua?"
Alina menoleh, menatap wajah bulat di sampingnya, dan menggeleng mantap. "Tidak. Aku bisa sendiri." Lalu ia menoleh ke Belinda, mengangguk mantap, mendongakkan dagunya sedikit untuk memberinya sedikit percaya diri, dan berkata serak,"Semua pesanan gaun pengantin, bridesmaids, semua. Batal."
"Bukan tunda ya?" Belinda masih terlihat kaget, masih ingin memastikan.
"Batal, Belinda. Semua ... batal." Suara Alina gemetar walaupun ia mati-matian mencoba memantapkannya, dapat ia rasakan genggaman tangan Tinka semakin erat di tangannya.
"Baik. Semua batal. Tapi karena ada bahan-bahan yang sudah terlanjur kami pesan dari pusat butik kami di Paris, kain-kain khusus dan sebagainya, jadi ada denda yang harus Anda bayar," Belinda kini sibuk mengetik sesuatu di hadapan layar komputernya. Patah hati karena perselingkuhan tunangan jelas hanya satu dari sekian banyak alasan seorang calon pengantin membatalkan semua pesanan gaunnya, satu tombol yang harus ia klik, satu klien yang harus ia layani sebaik mungkin ... .
"Saya akan bayar semua," Alina mengangguk. Bangsat kau, Regan! Berfoto sambil memangku Sierra X, model majalah dewasa, setengah mabuk, setengah telanjang! Bangsat kau! hanya itu yang berlarian di benak Alina, hanya itu yang ia proses walaupun tangannya sibuk menandatangi beberapa formulir pembatalan pesanan, mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar semua biaya penalti, ia tidak ingat dan sungguh tidak mau mengingat berapa jumlah penalti yang harus ia bayar. Segala perkataan Belinda hanya lewat saja di telinganya tanpa ada yang ia ingat lagi. Mungkin baiknya memang begitu.
Memorinya membeku di satu momen, walau tubuhnya mengerjakan hal-hal lain saat itu. Ia tidak bisa menghentikannya. Tangannya bergerak, menyimpan dompet, menarik ritsleting tasnya, kepalanya mengangguk-angguk bagai zombiemendengarkan entah apa yang dikatakan Belinda. Semua yang terjadi di saat ini, di sini, di Once in a Lifetime Bridal Shop, hanyalah bagaikan fragmen-fragmen film bisu yang berkejaran tanpa ia pedulikan apa yang terjadi, karena di kepalanya, semua berhenti pada momen yang sama. Pengkhianatan Regan.
Regan yang ia cintai dan ia pikir juga mencintainya. Regan yang ternyata sudah tiga bulan terakhir diam-diam berpacaran dengan Sierra X yang begitu montok seksi jelita. Sierra X yang diakuinya hanya untuk bersenang-senang saja, karena Alina yang selalu menolak menghabiskan malam dengannya ...
Bullshit.
Alina tergagap dengan segala emosi dan menggamit lengan Tinka erat. Ia tidak berkata apapun lagi, sampai mereka masuk ke mobil dan Tinka mulai menyetir mobilnya itu.
"Aku bangga pada kekuatanmu ... " suara Tinka pelan ditingkahi suara AC mobil tuanya yang seperti orang mencoba membuang dahak.
Alina menata pikiranya, menggigit bibirnya, dan hanya bisa mengangguk pelan.
"Menangislah kalau kamu mau, Alin."
"Sudah cukup aku menangis, Tin. Satu bulan terakhir hanya itu kerjaanku. Aku sekarang akhirnya siap membatalkan ... semua ... yang perlu ... dibatalkan."
"Maybeit's better this way,you know? Daripada kalian menikah dan baru ketahuan kurang ajarnya setelah ..."
"Tin, aku tidak ingin bicara apapun sekarang. Boleh ya? Maaf ..." bisik Alina lembut sambil berpaling menatap Tinka. "Maaf, Tin, aku ..."
"Jangan minta maaf, Nona. Tidak apa-apa," sahut sahabatnya dari bangku SMP itu sambil mengangguk mengerti dan mengedipkan satu mata ke arahnya, lalu kembali sibuk fokus ke jalanan yang ramai di luar.
Alina tepekur manatap jalanan sibuk jam pulang kantor di luar, setitik airmata masih mengembang, menggenang di ujung matanya, bertahan, tanpa terjatuh, tanpa terlihat siapapun.
Cahaya matahari sore menyeruak dari kaca mobil Tinka. Alina menghela napas lembut, memejamkan matanya, membiarkan hangat itu mengelus wajahnya. Hangat matahari membantunya merasa hidup, seperti anggrek-anggrek yang hampir mati yang dibelai cahaya matahari, dan perlahan menemukan kekuatan untuk tumbuh lagi.
Ia mengerjapkan matanya, dan airmatanya yang tertahan di ujung matanya akhirnya jatuh bergulir dan ia tidak berusaha mengusapnya.
Napasnya teratur, dan dalam setiap helaan dan embusan napasnya, ia hanya berharap ia tidak akan pernah berpaling dari hidup, walau hidupnya sungguh kacau balau saat ini ... .
<<<>>>
Semenjak Sabtu pagi yang dingin sebulanan lalu itu, ketika ia sibuk memasak sop ayam untuk Regan yang sedang pilek, dan Tinka datang dengan wajah pucat dan tangan gemetar – hidupnya, dunianya, sudah kacau balau dihantam badai. Tinka, setengah menangis, memeluknya erat dan memintanya kuat.
Regan. Begitu kata Tinka dengan suara serak.
Ia sempat mengira Regan kecelakaan.
Bukan, bukan kecelakaan, lebih menyakitkan dari itu.
Tinka memperlihatkan sebuah foto di akun medsosnya, yang dikirim dari seorang teman lain. Alina jarang main medsos, mungkin kesibukannya dengan kuliah S2 membuatnya malas untuk ikut-ikutan eksis di medsos.
Foto yang menghancurkan hidupnya dalam beberapa detik. Regan dan Sierra X, model majalah dewasa dan selebgram dengan pengikut ratusan ribu orang. Duduk berpangkuan, dengan wajah Regan terbenam di belahan dada Sierra X yang ranum ... selebihnya adalah fragmen hitam putih tangisannya, kemarahannya, tamparannya di pipi Regan, cincin pertunangan yang ia flushdi toilet ... .
Warna-warni dunianya berganti menjadi abu-abu. Segala persiapan pernikahannya berhenti total dengan kebingungan yang terus membayang di wajah orangtuanya.
Apa kami boleh cerita semua detail ke sanak famili?
Apa kamu mau cerita sendiri?
Apa kami harus mengembalikan hadiah-hadiah dari keluarga Regan?
Katakan, Sayang, katakan apa maumu?
Begitu pertanyaan-pertanyaan orangtuanya yang banyak sampai sekarang belum sanggup ia jawab pasti.
Karena ia tidak tahu.
Malam itu, ia duduk di tengah ranjangnya. Ia sudah berhasil menghapus semua fotonya dengan Regan di ponselnya. 8852 foto. Tiga tahun pacaran. Semua sudah selesai, ia tahu itu. Tapi mengapa ia masih tidak bisa merelakan kalau semua sudah selesai?
Tapi siapa yang benar-benar bisa merelakan sebuah pengkhianatan?
Alina menghela napas, mengurut-urut keningnya, menghela napas lagi, melempar ponselnya ke atas meja kecil di samping ranjangnya.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 2:30 malam. Ia, akhirnya, merasa lelah.
"Semua sudah selesai, Regan. Kau dan aku. Selesai," bisiknya sambil perlahan membiarkan tubuhnya terkulai ke atas ranjang, menyerah pada gravitasi.
"Selesai," ucapnya sekali lagi dengan segenap kekuatan hatinya.
Matanya, hatinya, semua sama beratnya saat ini.
Napasnya menjadi semakin pelan, tubuhnya telentang di ranjangnya, walau ia tidak yakin sebenarnya apakah matanya benar-benar terpejam. Tubuhnya terasa mengawang. Cahaya lampu di kamarnya menjadi semakin gelap, ruangan itu menjadi semakin hening, tiada lagi suara jangkrik dan kelelawar di luar.
Hanya gelap dan hening, hanya itu.
<<<>>>
Tempat itu gelap, hening, tidak ada suara apapun, tidak ada bebauan apapun. Hanya gelap dan hening, dan Alina tidak mengenali tempat itu sama sekali.
Satu-satunya sumber cahaya adalah dari tubuh seorang pemuda yang berdiri kira-kira lima meter tepat di hadapannya. Ada cahaya keemasan samar menguar dari tubuh tinggi tegap itu. Pemuda itu menatapnya tak berkedip, lurus menghunjamnya.
Mata itu. Hitam. Kelam. Dalam. Penuh rahasia dan sakit dan lara yang tak terperikan dan tak terjelaskan.
Topeng dari bahan metal gelap pekat menutupi bagian kiri wajah pemuda itu. Rambut hitam pekatnya bergelombang, gondrong sebahunya, sebagian jatuh di keningnya.
Alina terpaku menatapnya. Wajah pemuda yang bertopeng separuh itu begitu lelah, penuh duka, seakan beban yang mahaberat menghimpitnya dan ia tercekik. Pakaiannya hitam berkerah tinggi dengan jubah hitam dan kalung berbandul mataharinya. Ada semacam aura keagungan yang memancar darinya. Mungkin kata lebih tepat adalah karisma. Karisma yang membuat Alina ragu sejenak untuk melangkah mendekat, tapi pemuda itu menatapnya, dan seakan memintanya untuk mendekat.
"Tidak ada yang perlu aku takutkan," bisik Alina pada dirinya sendiri.
"Siapa kamu?" tanya Alina, setengah berteriak, sambil mulai melangkah semakin mendekat ke pemuda itu.
Ia tidak merasa takut, ia hanya ingin tahu, bagaimana mungkin ia di sini? Di tempat yang begitu gelap dengan seorang pemuda bertopeng di separuh kiri wajahnya berdiri beberapa meter di hadapannya? Pemuda yang tubuhnya mengeluarkan cahaya samar keemasan?
Pemuda itu tidak menjawab. Alina berjalan perlahan semakin mendekat.
"Jawab aku ... ini di mana? Kamu siapa?" tanya Alina sekali lagi. Kali ini, bibir pemuda itu bergerak, seolah ingin menjawab ...
Tapi hanya hening yang ada.
Alina berdiri satu setengah lengan di hadapan pemuda itu, dan menyadari mata hitam kelam itu masih tak berkedip menatapnya, keterkejutan, kelegaan, kesepian, dan kelelahan yang terpancar dari sorot itu, sorot yang tak berkedip seakan ingin mematrikan segenap Alina dalam dirinya.
"Kamu siapa?" suaranya gemetar, lututnya goyah, dan entah apa yang merasuki pikirannya, Alina perlahan mengangkat tangan kanannya, dan menggerakkan tangannya mendekat pada pemuda itu.
Mata pemuda itu akhirnya mengerjap-ngerjap pelan, dan Alina terhenyak ketika pemuda itupun perlahan mengangkat tangannya, tangan kirinya, bergerak mendekat ke tangan kanan Alina.
Hanya dua-tiga inci sebelum telapak tangan mereka bersentuhan, terdengar suara kesiuran lembut udara dan Alina terdorong beberapa langkah ke belakang ketika sebuah dinding asap kebiruan muncul, mengitari pemuda itu.
Alina melongo, dan pemuda itu menggeleng padanya, mungkin memintanya untuk tidak mencoba mendekat lagi.
"Kamu siapa? Dinding asap biru itu apa? Jawab aku!" teriak Alina.
Pemuda itu menggerakkan bibirnya, dan Alina yakin ia kini berkata sesuatu. Satu kalimat.
Alina dapat mendengar kalimat itu, mengernyitkan dahi, karena kalimat itu sungguh aneh artinya baginya saat ini. Ia tidak mengerti, dan sebelum sempat ia berkata-kata lagi, tiba-tiba suara dentuman terdengar dan pemuda itu bergegas berbalik memunggungi Alina, menatap ke arah lain.
Dari tempatnya berdiri, Alina dapat melihat apa yang dilihat pemuda itu.
Tempat yang gelap hening itu seketika berubah menjadi sebuah dataran luas dengan api-api yang menyala mengitari mereka berdua.
Langit yang gelap pekat berubah jadi oranye merah penuh asap dari api-api yang ganas membakar dataran itu. Kebakaran yang semakin mendekat, mengurung Alina dan pemuda dalam dinding asap biru itu.
Bau asap, amis darah, dan mayat terbakar tiba-tiba tercium pekat di udara, dan panas bunga-bunga api yang beterbangan tertiup angin serasa membakar kulit. Suara-suara mengerikan mulai pula terdengar. Jeritan kesakitan, lolongan penuh siksaan, dentingan pedang, ringkikan kuda, semua bercampur baur tapi Alina tidak bisa melihat sumber-sumber suara tersebut. Yang bisa dilihatnya hanyalah kebakaran yang semakin mendekat ke arahnya. Mengitarinya dari seluruh penjuru mata angin.
Suara kikikan tawa yang menggidikkan kuduk tiba-tiba terdengar, keras, melengking tajam, menghantam segala keberanian dan harapan di hati Alina. Suara kikikan yang mengalahkan semua suara-suara mengerikan yang didengar Alina, suara yang seakan datang langsung dari kedalaman neraka jahanam.
Pemuda di dalam dinding asap biru itu berbalik, menatap Alina penuh kekuatiran, tapi suara kikikan mengerikan itu begitu intens, dan panas membara api kebakaran yang semakin mendekat terasa sangat memerihkan kulitnya sekarang. Alina merasakan lututnya lemas goyah hingga ia akhirnya terjatuh berlutut, memejamkan matanya erat, dan menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya dan mulai berteriak ketakutan ... .
<<<>>>
Alina berteriak dan kalangkabut terbangun, terduduk di atas ranjangnya. Napasnya berkejaran tak karuan, keringat dingin membanjiri tubuhnya.
"Mimpi apa itu? Mimpi buruk ... mimpi buruk..." bisiknya dengan napas terengah dan bibir gemetar. Tidak pernah seumur hidupnya ia bermimpi sejelas itu, sedetail itu, seburuk itu!
Alina bergegas menarik selimut yang masih terlipat rapi di ujung ranjangnya, ia tertidur tanpa berselimut dari tadi. Selimut itu ia tarik ke dagunya, dan ia membaringkan tubuhnya lagi. Punggungnya terasa dingin basah oleh keringat, dan tenggorokannya kering kerontang. Tangannya ia cengkeramkan erat ke tepian selimut, dan ia memejamkan matanya, namun segera membukanya lagi. Apa yang ia lihat di mimpinya kembali lagi ketika ia memejamkan matanya. Suara kikikan yang begitu dingin menakutkan itu masih bergaung di dalam benaknya, menolak untuk hening.
"Cuma mimpi, Alin, cuma mimpi ..." bisiknya berulang-ulang pada dirinya sendiri dengan mata nanar menatap langit-langit kamarnya.
Napasnya perlahan menjadi lebih tenang, dan hal itu membantunya untuk berpikir sedikit lebih jernih.
Tidak. Tidak semua bagian dari mimpinya itu menakutkan.
Ada pemuda itu di mimpinya, pemuda yang bertopeng di separuh kiri wajahnya, dan telapak tangan pemuda itu hampir menyentuh telapak tangannya.
Siapa pemuda yang dikelilingi dinding asap berwarna biru itu?
Jelas bukan Regan. Pemuda itu jauh lebih tinggi, lebih tegap kekar dibandingkan Regan. Ada aura yang begitu magis, begitu agung dari dalam diri pemuda di mimpinya itu.
Tiba-tiba, Alina teringat satu hal lagi, dan bangkit kalangkabut, menyalakan lampu baca di meja kecil di samping ranjangnya, dan mengambil buku notes dan pena dari laci meja itu.
Kalimat yang diucapkan pemuda itu.
Alina duduk bersila di tengah ranjangnya dengan notes dan pena siap di tangan, mati-matian mencoba mengingat kalimat pemuda itu.
Tapi ia gagal. Tidak ada yang ia ingat.
Ia mencoba menenangkan diri, memejamkan matanya, dan mencoba mengingat lagi.
Gagal. Ia gagal mengingat isi kalimat pemuda itu. Ia hanya ingat kalau dalam mimpinya ia merasa itu pesan yang aneh, yang tidak ia mengerti mengapa pemuda itu berkata seperti itu, tapi apapun itu sungguh bukanlah hal yang menakutkan baginya. Hanya itu yang ia ingat. Rasa yang ia dapat.
Diliriknya jam. 4:30.
Hening subuh membuat ia menjadi semakin sadar akan betapa keras detak jantungnya, dan kekecewaannya karena sungguh tidak banyak yang bisa ia ingat mengenai pemuda itu.
"Siapa kamu?" bisiknya pada dirinya sendiri, dan di mana segala kebrutalan kebakaran itu terjadi? Dari mana asal suara-suara mengerikan yang ia dengar? Bagaimana mungkin semua kejadian brutal di mimpi itu terasa begitu nyata, ia bisa merasakan embusan angin panas karena bara api kebakaran yang memerihkan kulitnya, mencium bau amis darah dan mayat terbakar yang sampai kini masih bercokol di hidungnya?
Alina menggeleng pelan, tidak bisa menjawab apapun, dan perlahan membaringkan tubuhnya lagi di atas ranjang.
Cukup lama ia berbaring dengan mata gagal terpejam di atas ranjang.
Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk keluar, ke wc. Setelah selesai, ia kembali ke kamarnya dan hanya duduk di tepi ranjangnya, tercenung menatap kamarnya yang mulai temaram disiram cahaya fajar yag menyeruak masuk dari sela-sela tirai jendela.
Matanya menangkap jejeran pot-pot bunga anggreknya. Anak-anak asuhnya, begitu canda Mama padanya. Ia tersenyum kecil dan beranjak ke pot-pot yang berjejer di samping jendela besar di kamarnya itu. Sambil berlutut, ia mengamati satu persatu bunga-bunga anggrek di pot-pot itu, mengelus-elus daun-daunnya yang hijau segar, sampai ke pot di ujung kiri, pot bunga anggrek milik tetangga mereka, Bu Tatya. Hanya ada dua kuntum anggrek di pot itu, dua-duanya sudah lemas dan hampir seluruhnya layu.
"Tumbuh ya ... nanti aku kasih vitamin. Cahaya matahari akan membantu kalian di sini. Tumbuh terus ... " bisik Alina pada anggrek-anggrek layu itu, dan matanya menangkap tunas hijau kecil yang menyembul malu-malu di antara batang-batang dewasa yang sudah hampir mati. "Kamu, yang kecil ... tumbuh ya. Pasti bisa, aku akan merawatmu baik-baik. Yang kecil pasti bisa tumbuh jadi kuat!" bisik Alina pada si tunas. Lalu jemarinya sibuk membersihkan tanaman layu, dengan telaten membuang yang sudah benar-benar mati, merapikan tanahnya, memeriksa kadar air ... .
Setelah cukup puas dengan bersih-bersihnya, Alina bangkit, mengangguk pelan, menarik napas puas melihat jejeran anggreknya.
Ia berbalik, duduk depan mejanya, dan memutuskan untuk mulai dengan membuka laptopnya, tanpa yakin apa yang harus ia lakukan.
Pikirannya bergerak, pelan, tersendat, bagaikan truk kelebihan muatan. Ah. Ya. Ia ingat satu lagi hal penting yang harus ia lakukan hari ini.
Batalkan semua pesanan katering.
Semoga ia kuat untuk menyampaikan pembatalan itu ke Vira, teman sekelasnya saat SMA yang saat ini membuka usaha katering. Sudah cukup ia menangis, kacau balau. Sudah cukup. Ia menganggukkan kepalanya.
Tapi ia tak mampu memulai apapun di laptopnya. Layar laptop itu masih hitam pekat. Ia harus mencari kerja, ia tahu itu. Ia sudah mendapatkan ijazah S2-nya sejak 6 bulan lalu, tapi segala drama mengenai Regan sungguh membuat proses pencarian kerjanya tersendat-sendat.
Ia termenung-menung, sampai sebuah ketukan di pintu kamarnya terdengar dan ia mempersilakan siapapun itu masuk.
Mama.
Wanita paruh baya dengan kacamata baca yang bertengger di puncak kepalanya, dan daster bunga-bunga pink dan kuning itu masuk sambil di tangannya membawa selembar halaman koran pagi.
"Pagi, Ma," ucap Alin sambil mencoba tersenyum.
Mama mengangguk-angguk dan mendekat dengan langkah-langkah lebar, ada binar di matanya, dan Alina tahu itu berarti ada hal penting di benaknya. Ketika sudah berdiri tepat di sampingnya, Mama menunjuk satu kolom di halaman koran yang sedang ia genggam.
"Ini, Alin. Cobalah. Papa dan Mama biasanya tidak mau mencampuri urusanmu dalam hal ini, tapi ini ... ini sungguh terlalu baik untuk dilewatkan ..."
Alina mengikuti arah telunjuk mamanya, ke sebuah kolom di ujung kanan atas halaman itu.
LOWONGAN KERJA:
KURATOR & PENERJEMAH BAHASA KUNO.
MINIMAL S2 ARKEOLOGI SPESIALIS BAHASA KUNO
(DIUTAMAKAN BAHASA ELGADOTH, NANKARA, GARGAN, DAN VALEZAR).
Alina gagal fokus pada deskripsi lebih lanjut lowongan kerja itu karena jantungnya kini berdetak semakin kencang melihat institusi yang meletakkan lowongan kerja itu. Sebuah museum bergengsi di Amsterdam, kota yang berjarak 2 jam naik pesawat dari tempatnya tinggal sekarang. Salah satu museum tertua dan terbaik di dunia. Mampukah ia?
"Kamu punya S2 arkeologi, dan kamu spesialis bahasa-bahasa itu. Bahkan kamu adalah salah satu spesialis bahasa Valezar kuno terbaik saat ini, dan kamu juga murid salah satu arkeolog dan spesialis bahasa Valezar kuno yang sudah melegenda, Profesor Gill Faremma. Kamu memenuhi semua persyaratan mereka di lowongan ini, sangat sangat memenuhi!" rentetan kalimat Mama berkejaran, bersemangat, mencoba meyakinkan Alina. Alina menatap mata abu-abu sang mama lekat, menyadari ia bisa melihat kobaran api semangat di mata wanita yang memperkenalkannya pada indahnya arkeologi dan paleontologi itu. Mama adalah seorang pengumpul fosil amatiran yang suka mengunjungi bukit dan pantai, mencari fosil-fosil dengan peralatan seadanya. Ia ingat hari-hari di masa kecilnya saat ia ikut mamanya ke berbagai daerah yang terkenal dengan penemuan fosilnya, misalnya ke Maasvlakte di Belanda yang dulunya adalah bagian Laut Utara sampai kemudian direklamasi, dan menjadi tempat penemuan fosil yang sangat menarik. Mereka menemukan taring mammoth, gigi serigala prasejarah, dan banyak lagi. Tidak hanya fosil, mereka juga menemukan sisa-sisa artefak yang kemungkinan tersapu ke pantai dari sisa kapal-kapal perang kuno yang karam. Sampai rumah, mereka akan sibuk membersihkan, mencari informasi mengenai sejarah penemuan mereka hari itu, dan memajangnya di sebuah lemari kaca khusus, dan sesekali kalau mereka menemukan yang sangat menarik, mereka akan menyumbangkan ke museum lokal kota. Penemuan terbaiknya adalah separuh pecahan helm tentara Romawi yang diperiksakan Mama ke kenalan arkeolognya, dan helm berbahan perunggu itu bahkan mungkin berasal dari zaman Julius Caesar. Penemuan itu kini mereka sumbangkan ke sebuah museum kecil di kota kelahiran Mama.
Cintanya pada arkeologi dan bahasa telah terpupuk sejak kecil. Ia menguasai 5 bahasa asing, karena ayahnya yang diplomat membawanya dan mamanya berpindah ke berbagai negara semenjak ia kecil mengikuti penugasannya, dan ia menghabiskan masa sekolahnya dari TK sampai tamat SMA di negara-negara berbeda; TK sampai tamat SD di Prancis, sekolah menengah pertama di Belanda, dan menengah atas di Amerika.
Mereka balik ke negara asal saat ia selesai SMA, dan ia kuliah di sini. Saat kuliah ia memilih jurusan arkeologi dan bahasa kuno, dan saat sekolah S-2nya, ia mengambil spesialisasi bahasa kuno, khususnya Valezar kuno. Tiga tahun ia habiskan mempelajari bahasa itu secara intensif. Bukan jurusan populer, karena ia hanya satu dari lima belas murid di angkatannya yang mengambil spesialisasi bahasa kuno untuk S-2nya. Tapi ia menjadi lulusan terbaik di universitasnya yang termasuk salah satu universitas terbaik di dunia dalam hal sejarah, arkeologi, dan ilmu-ilmu sosial. Ia bisa menerjemahkan bahasa Valezar, Nankara, Gargan dengan lumayan cepat sekarang.
Napasnya melambat saat ia berpikir-pikir, meremas-remas jemarinya sampai memutih. Ia sudah membatalkan dua jadwal wawancara lamaran kerja dalam bulan ini karena ia sungguh dalam keadaan kacau balau karena Regan. Dan sekarang, ada kemungkinan baginya untuk melamar bekerja di sebuah museum yang begitu bergengsi ... .
"Mama, aku ... "
"Kamu pasti bisa, Alin. Pasti. Amsterdam tidak terlalu jauh dari sini. Kami akan sering mengunjungimu."
Alina menatap koran di tangan mamanya. "Ambil, Alin, dan coba masukkan aplikasimu," ucap Mama sambil menyodorkan koran itu mendekat ke Alina.
Dengan tangan gemetar tidak yakin, Alina mengambil koran itu dari tangan Mama, meremasnya erat.
"Masukkan aplikasimu, Alin. Kau tidak pernah tahu ke mana pekerjaan ini akan membawamu. Karir baru, tempat baru, suasana baru, kenalan baru ... "
Alina menghela napas dalam-dalam, mengembuskannya. "Baiklah, Ma. Aku akan coba," ia berkata setengah berbisik pada Mama.
Mama mengangguk yakin, dan Alina menatap kolom lowongan kerja di koran di tangannya. Mamanya benar, ia tidak akan pernah tahu ke mana pekerjaan ini akan membawanya. Karir baru, tempat baru, suasana baru, kenalan baru ... semua adalah hal-hal yang mungkin bisa membantunya sembuh dari patah hati.
Mama tersenyum puas, mengelus ubun-ubun Alina, dan berbalik keluar dari kamar dengan langkah ringan.
Alina tepekur menatap koran di tangannya, lalu beralih menatap layar laptopnya yang masih hitam, menimbang-nimbang ... .
Namun tiba-tiba napasnya tercekat. Fragmen-fragmen mimpinya kembali ke benaknya, bagaikan untaian adegan-adegan film yang diputar berkelanjutan.
Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba mengusir fragmen itu dari benaknya. Ditariknya napas dalam-dalam dan diembuskannya pelan, dan itu berhasil menenangkan hatinya walau sedikit.
Diraihnya koran dengan iklan lowongan kerja itu, dibacanya dengan hati-hati, menghela napas dalam-dalam, dan mengetikkan informasi loginlaptopnya.
Ia akan mencoba memasukkan aplikasi ke loker ini, ia akhirnya memutuskan dengan hati yang masih sedikit goyah.
Semoga ini bisa membantu karirnya, mengubah hidupnya yang jungkirbalik saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com