15. PERKIRAAN
"Nih. Kamu minum pelan-pelan."
Gue menyedot air di botol yang Zyas bantu pegang dan sodorkan. Setelah dirasa cukup, gue mengembuskan napas lega. "Makasih."
Zyas menatap gue cemas. "Ada lagi yang kamu butuhin?" tanyanya selagi menutup lagi botol di pegangan untuk ditaruh.
Senyuman gue berikan padanya. "Udah cukup, kok."
"Thank you, Zyas." Saga yang sedari tadi masih mendengarkan ikutan bilang makasih dan bikin Zyas langsung menggerutu.
"Ih, Juanda. Udah, dong! Kamu matiin teleponnya. It's not like I'm going to murder him or something. Don't worry."
Protes Zyas itu memunculkan tawa dari mulut cowok gue. "Okay then. Please take care of him for me."
"I will. Bye." Zyas bantu mematikan panggilan di HP gue.
"Elo sendirian aja ke sini?"
Cowok yang pernah jadi musuh gue ini menggelengkan kepalanya. "Bareng Dyas, Setya sama Vano. Mereka di luar. Terus tadi aku juga ketemu sama Benjolan kutil. Dia habis dari sini, ya?" baliknya bertanya selagi merapikan barang-barang di meja.
Gue menghela napas lelah. "Iya."
"Pengganggu itu!" Kedua matanya menyipit sembari berkacak pinggang. "Nggak ada bosennya banget ngejar-ngejar kamu. Apa sih yang dia liat dari kamu? Cowok bucin kayak kamu seharusnya dilepasin aja," keluhnya diakhiri dengkusan gemas.
Mau nggak mau gue jadi terkekeh. Teringat alasan Zyas yang berhasil move on dari Saga. Menurut dia, nggak ada gunanya menyukai cowok yang udah bucin setengah mati terhadap orang lain. Buang-buang waktu aja.
"Dia mungkin mesti berguru dari lo tentang gimana caranya menyerah."
Usul gue membuat Zyas tampak berpikir. "Iya kali, ya. Aku bagusnya buka jasa cara move on dari gebetan yang udah bucinin pacarnya sampe bikin nyaris muntah setiap hari," responsnya diakhiri ejekan yang gue balas putaran bola mata.
"Bilang aja elo iri."
"Ih, Feryan. Kalo ngomong suka bener, deh! Gemes." Dia mencolek pipi gue gemas lalu mengambil satu kotak dari tas besar yang dibawanya tadi. "Oh iya, ini. Aku bawain kue dari Kak Metta. Dia juga titip pesan, minta maaf karena belum bisa datang ke sini soalnya lagi sibuk banget." Sekotak kue mungil beserta selembar kertas disodorkannya ke sisi badan gue.
Sontak aja mata gue berbinar ruang. "Wah. Kue Kak Armet. Kangen banget gue." Lebih dulu, kertas yang Zyas sodorkan gue ambil dan baca isinya.
Cepet sembuh ya, Adik kecil.
Maaf kakak belum bisa ke sana
Tapi kakak janji begitu kamu pulang nanti, kakak pasti bakalan jenguk. Oke?
Love you 🤍
From your beautiful sister,
Armetta Johannes.
"Ugh. Thank you, Kak," ucap gue meski sadar Kak Armet gak akan mampu menangkap dengar. "Kuenya pasti enak." Air liur gue udah siap mau netes aja membayangkan rasanya.
Dilihat dari warnanya, kemungkinan ini kue rasa vanilla. Pasti creamy dan lembut banget. Soalnya Kak Armet tau gue suka rasa vanilla--padahal aslinya semua rasa gue doyan, sih. Waaaa. Mau.
"Mau aku suapin?" tanya Zyas geli lantaran nggak tahan menyaksikan ekspresi gue yang jelas keliatan sangat mupeng.
Tawaran itu gue tanggapi dengan anggukkan antusias. "Boleh. Kalo elo nggak keberatan."
"Nggak, dong." Zyas duduk kemudian mulai menyendok bagian pinggir kue, nggak lupa membawa krimnya juga. "Tapi kalo nanti kamu mati kesedak karena aku suapin, aku gak mau tanggung jawab, ya."
Gue jadi urung membuka mulut gara-gara ucapan ngasalnya. "Kalo gue mati, bakal gue hantuin elo sampe kesedak setiap hari biar ikut mampus," balas gue sengit lalu melahap kue yang Zyas suapkan.
"Ih, sadisnya!" cibiran itu nggak gue hiraukan sebab tengah fokus mengunyah kue di mulut.
Gilaaa. Mantul banget. Mau nangis saking enaknya. Bikin kangen ke kue buatan cowok gue. Lebay, ya. Gak apa-apalah. Salah satu keuntungan pas sakit, ya begini. Bisa banyak dikasih makanan enak. Gratis pula.
"Pelan-pelan aja makannya. Jangan sambil ngomong." Ini cowok udah berlagak macem Mamah gue aja. "Nih, minumnya." Nggak lupa ngasih minum pula.
Perhatian betul. Masih sering nggak percaya jadinya bahwa gue dan dia dulu sempat bermusuhan dan saling kesal ke satu sama lain. Roda kehidupan emang penuh kejutan.
Selesai minum, Zyas bertanya lagi, "Gimana?"
"Enak, dong!" jawab gue tanpa ragu.
Mendengarnya, Zyas tampak gregetan. "Aku jadi kepengin ikut makan."
Gue berdeham demi melegakan tenggorokan. "Elo abisin aja sekalian."
Matanya yang seperti selalu dipasangi lensa kontak spontan mendelik. "Loh, gak bisa gitu, dong. Kue ini 'kan punya kamu." Kue di pegangannya ditatap secara prihatin.
"Ya, biarin. Gue izinin elo ikut nyicip. Mumpung ada, ya sekalian aja."
Komentar gue membuat Zyas melirik aneh. "Coba aja ini buatan Juanda, gak yakin kamu tetap bakal bilang kayak gitu."
"Ya, kali sama kue aja gue posesif."
Dia menggeleng-geleng seakan berniat menyangkal ucapan gue barusan. "Aku masih ingat, ya. Kamu dulu pernah ngambek gara-gara aku makan jatah dessert terakhir kamu dari Juanda."
Hah? Itu kapan? Guenya aja nggak inget, tuh.
"Lagian ngapain elo inget terus, sih," protes gue nggak habis pikir.
Zyas terkikik sambil mulai memakan kue milik gue. "Terus, kondisi kalian gimana? Kamu sama Juanda."
Gus nyengir. "Kami baik. Hubungan dia sama gue, maksudnya. Dia juga udah mau disuruh pulang dari sini. Kalo guenya sih, ya masih gini-gini aja. Elo lihat sendiri."
Kepala Zyas manggut-manggut mendengar jawaban gue. "Kamunya sih, kenapa nggak hilang ingatan aja coba? Jadi, nanti aku bisa menghasut kamu. Kayak antagonis di film-film."
Gue tersengih seraya memutar bola mata menangkap perkataan ngawurnya. "Elo kebanyakan ngarepin hal di luar nalar."
Dia sekadar mengangkat bahu nggak acuh, kemudian mengerling penasaran. "Mana yang paling sakit?" Matanya meneliti pada setiap titik di badan gue yang luka.
Tangan gue menyentuh kepala. "Kepala gue, nih. Hilang timbul sakitnya. Kayak dipukulin keras banget setiap kumat. Sebelum elo datang tadi juga kerasa sakitnya. Mantap pokoknya." Jempol gue acungkan disertai senyum masam.
Tubuh Zyas mendadak bergidik nggak nyaman sesudah mendengar penuturan gue. "Aku nggak akan pernah mau ketabrak mobil, deh. Ngeri kayaknya."
"Ya, gue juga nggak mau, kali! Gila apa lo."
Zyas hanya cengengeran dibentak begitu. Lantas dia mendekatkan sesendok kue lagi untuk gue. "Mau lagi, nggak? Dikit aja? Nih."
Gue membuka mulut dan melahapnya. Setelah itu bertanya, "Kalian semua udah ketemu sama Saga, 'kan?"
Zyas mengangguk laun. "Udah. Di rumahnya. Di hari ketiga kamu dirawat. Karena Juanda bilang dia butuh teman buat nenangin dia, jadi ya sebagai teman yang baik--terutama aku, kami langsung ke sana buat nemenin dia, dong," jelasnya antusias dengan lagak genit. "Oh. Ngomong-ngomong, dia juga jadi kurusan loh sekarang. Sama kayak kamu." Lalu kedua matanya berputar jengah. "Emang dasar pasangan bucin. Yang satu kurusan, satunya ikutan. Bikin jengkel aja. Huh. Kapan aku bisa punya orang yang ngebucinin aku juga, ya?" ujarnya diakhiri tatap menerawang.
"Dalam mimpi lo."
Ejekan gue ditanggapi pelototan sok galaknya. "Feryan jahat. Aku benci!"
Gue langsung membalas, "Gue juga benci tuh sama lo."
Lalu kami kompak saling mengejek dengan cara menjulurkan ludah, "Week!"
Selanjutnya, seperti selalu, gue dan Zyas akan tertawa bersama.
Punya teman rasa musuh emang asik-asik menjengkelkan.
.
Setelah Zyas pamit keluar, gantian Setya yang masuk ke ruang rawat gue sambil membawa beberapa bingkisan yang katanya merupakan pemberian dari Ibu dan Bapaknya. Makin sempit deh meja ruang rawat ini. Nggak ada habisnya kalian bawa sesuatu.
Selesai menata bawaannya sendiri, Setya akhirnya buka suara lagi, "Si Benjo masih ada di luar, tuh."
Gue urung lanjut memakan kue mendengar informasi super gak penting itu. "Ngapain?"
Kirain dia udah pulang dari tadi.
Kepala Setya menggeleng sambil memasang raut bingung. "Gak tau, tuh. Katanya sih, dia masih mau ketemu sama lo. Sampe Zyas aja tadi ngomelin dia," jelasnya diakhiri ekspresi geli.
Hadeeuh. Bangsul amat itu cowok sialan. Gak punya malu kali, ya? Padahal dia udah habis diomelin dan dicaci maki, tapi masih aja diem di mari. Pake segala beralasan mau ketemu sama gue lagi. Najis. Nggak sudi.
Gue menghela napas panjang seraya mencari posisi nyaman untuk bersandar. "Si Zyas juga. Ngapain sih dia segala ngeladenin si Benjo? Buang waktu aja, tauk."
Dia berdeham keras. "Biarlah. Siapa tau bakal tumbuh benih cinta di antara mereka."
Kedua mata gue melotot horor dengan mulut yang menganga lebar. "Benjo sama Zyas? Elo yakin?" Gue meneguk ludah lantaran resah.
Buseeet. Surem. Nggak bisa ngebayangin sama sekali gue. Pikiran sesat si Setya nih emang ada aja.
Mendapati reaksi gue, Setya langsung tertawa puas. "Siapa tau, 'kan? Gue dan Hannes, terus elo sama Juanda aja bisa jadian. Jadi, nggak mustahil buat Benjo dan Zyas juga, dong. Soalnya gue lihat cuma Zyas yang selalu mau-maunya ngeladenin dia." Dengan santainya dia berkata begitu di depan gue.
Aduh! Isi pikiran di kepala gue seketika terbang melayang. Membayangkan sosok Zyas dan Benjo berdampingan sebagai pasangan. Bukannya mereka berdua cuma bakalan saling caci dan misuh-misuh terus-terusan?
"Asli, Set. Gak bisa bayangin gue." Menyingkirlah semua bayang-bayang gila dan konyol dari kepala. Nambahin pusing aja yang ada.
Komentar gue ditanggapi kibasan tangan. "Gak usah dipikirin makanya. Ini toh cuma feeling gue aja. Gue bahkan udah taruhan sama Hannes perihal ini."
Gue sontak mencibir, "Taruhan melulu kerjaan cowok lo."
Dia malah tersenyum lebar seakan-akan bangga. "Well, he loves to take a risk."
Namun, mengetahuinya gue jelas merasa kepo. Jadi, gue bertanya, "Apa isi taruhannya?"
Setya menyipitkan mata sembari menggeleng tegas. "Rahasia!"
Halah. Pake segala main rahasia-rahasiaan pasangan kampret ini.
Gue memandangnya curiga. "Pasti isinya taruhan kotor."
Dia langsung mendelik mendengar komentar asal gue. "Pikiran lo tuh yang kotor. Isinya cuma persoalan pribadi, kali."
Duh, jadi tambah kepo, nih. "Apa, tuh? Apa? Apa? Apa?" tanya gue lagi disertai sorot menuntut jawaban.
Setya tetap menggelengkan kepala. "Mending simpan segala kekepoan lo, deh. Meski elo sujud pun gue nggak akan ngasih tau."
Anjir! Tega bener pemilik bibir dower ini sama sahabatnya.
"Ayolah, Set!" Gue berlagak memelas. "Masa elo tega sih sama kawan lo sendiri? Gue udah kesiksa sama luka, jangan tambah lo siksa pake rahasia kalian, lah," mohon gue secara lebay. Yang untungnya, tampak berhasil meluluhkan Setya. YES! "Ayo. Apa, apa, apa? Bilang ke gue," pinta gue nggak sabar.
Ragu-ragu, Setya memberitahu, "Taruhannya adalah ... kalo Zyas dan Benjo nanti beneran jadian atau minimal PDKT, gue sama Hannes bakalan ngaku ke Kak Metta soal hubungan kami."
Seluruh rasa penasaran gue nggak bersisa lagi saking terkejut mendengar penuturannya tadi. Gila. Taruhan mereka terlalu berisiko, anjir.
"Elo yakin sama taruhan itu?" tanya gue yang malah jadi waswas.
Setya mengangguk disertai embus napas panjang. "Kita nggak mungkin bisa nyembunyiin hubungan semacam ini selamanya dari orang-orang 'kan, Fer? Selalu ada masa di mana elo ingin mengaku dan jujur, walaupun sulit. Dan Hannes yakin bahwa Kak Metta pasti akan mendukung kami kayak dia nerima hubungan lo dan Juanda. Yah, kita lihat aja nanti gimana hasilnya," ungkapnya diakhiri senyuman pasrah.
Bikin gue tercenung sesaat, sebelum memutuskan untuk memberi tepukan pelan ke bahu sahabat gue ini. "Apa pun yang terjadi, gue berharap yang terbaik untuk kalian berdua, Set. Selalu."
Kali ini, senyumnya terlihat lega. "Makasih, Fer."
Namun, diri gue sendiri nggak mampu menyembunyikan kegelisahan kini. Perihal mengakui hubungan semacam ini kepada orang-orang terdekat. Yang mana kasusnya pada gue adalah Mamah seorang. Mamah yang masih memiliki ekspektasi serta rencana bagi gue selaku putra semata wayangnya.
Sekarang, gue jadi berpikir. Kira-kira akan bagaimana reaksi Mamah apabila dia tahu bahwa ternyata gue menjalin hubungan terlarang dengan Saga?
Sejujurnya, gue belum siap andaikan Mamah mengetahuinya. Seenggaknya, nggak dalam waktu dekat. Tetapi, jika terus menutupinya ... lantas kapan gue siap untuk mengaku?
___Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com