16. PENGADUAN
"Om Julius!"
Gue berseru kegirangan menyambut Om Julius yang akhirnya datang menjenguk. Beliau menurunkan masker, memperlihatkan senyuman ramah yang sungguh meneduhkan.
"Bagaimana kabar kamu, Feryan?"
"Alhamdulillah udah baikan, Om. Barusan habis ganti perban," jawab gue sembari agak sungkan meraih tangan kanan Om untuk salim padanya. "Maaf ya, Om. Feryan pake tangan kiri."
Puncak kepala gue mendapat usapan lembut. "Om paham kondisi kamu, kok. Dan ini." Bungkus kertas besar yang dibawa Si Om disodorkan ke dekat gue. "Puding spesial buatan Saga yang kamu minta."
Mendengarnya, seketika kedua mata gue berbinar senang. "Wah. Puding!" Gue mengintip isinya, kemudian menghela napas panjang demi membaui aromanya yang super enak.
Mau banget gue telen semuanya sekaligus kalo bisa.
Melihat gue yang terlihat sangat antusias, Om jadi menawarkan, "Mau disuapin?"
Secepatnya gue menggelengkan kepala. "Ng-nggak usahlah, Om. Biar sama Mamah aja nanti," tolak gue halus lantaran segan juga.
Masa iya gue kepengin disuapin sama Ayah pacar gue? MALU, COY.
Beliau tersenyum maklum. "Ya sudah. Kalau begitu pudingnya om taruh di meja, ya."
Gue mengangguk. "Om lagi ambil cuti?"
Sesudah menaruh bawaannya ke meja, Om Julius lalu duduk ke kursi. "Iya. Sekalian mau menemani Saga juga di rumah. " Senyumnya terlihat sedikit lelah. "Terima kasih, ya. Berkat Feryan, akhirnya Saga bersedia untuk pulang."
Mendapati kalimatnya, serta-merta gue nyengir nggak enak. "Tapi maaf, Om. Sebenernya, Feryan sempat lupa soal trauma Saga sama rumah sakit. Mana ternyata rumah sakit ini tempat di mana mendiang Tante Laura dirawat dulu. Jadi Feryan pikir, diam di sini jelas bukan hal yang baik untuk Saga."
Penuturan gue bikin senyum Om tampak semakin mengembang. "Kamu ternyata sangat peka ya, Feryan."
Kedua bahu gue terangkat laun. "Ya, habis gimana, Om? Saga diem di rumah sakit lain aja dia keliatan kacau, apalagi kalo tetep di sini. Feryan gak sanggup ngebayangin rasa sakit dia. Gak tega," ungkap gue jujur dari lubuk hati terdalam.
Jelaslah, ya. Namanya juga gue sayang dan peduli ke Saga. Mustahil gue akan diam dan membiarkan ketika faktanya gue tau dia tengah mengalami kesulitan dan kesakitan.
Tiba-tiba tangan Om bergerak lagi untuk mengacak puncak kepala gue pelan. "Om sungguh berterima kasih atas sifat penuh pengertian kamu terhadap putra om. Kamu sosok yang luar biasa, Feryan. Pantas jika Saga begitu amat mencintai kamu."
Pujian itu spontan aja bikin lubang hidung gue kembang kempis. "Jangan gitu, Om. Feryan jadi malu." Gue cengengesan seraya menutupi muka sendiri pakai tangan kiri.
Alhasil, beliau menertawakan reaksi norak gue. Nggak lama, Om terdengar berdeham sebelum berkata, "Apa Feryan tau bahwa Saga sempat merasa malu dengan trauma yang dimilikinya ini?"
Tangan kembali gue turunkan dan memandang Om penasaran. "Malu gimana, Om?"
"Ya, malu." Senyum kecut Om tunjukkan. "Dia pikir, orang macam apa yang bisa-bisanya takut masuk rumah sakit? Bahkan sampai harus selalu merasa mual, pusing, sesak napas hingga badannya gemetaran. Is that even normal?" kalimat yang diakhiri tanya itu bikin gue turut berpikir keras.
Jika diingat-ingat, cuma Saga emang satu-satunya orang di sekitar gue yang memiliki trauma dan ketakutan macam itu terhadap rumah sakit. Jadi, andaikan dia ngerasa 'aneh' pun, ya gue nggak bakal heran.
Lantas Om mulai bercerita, "Awalnya om mengira, kehilangan Mommy-nya adalah hal paling menyedihkan yang akan Saga alami. Tapi lebih dari menyedihkan, rupanya efek yang Saga rasakan lebih buruk dari itu. Bermula ketika dia demam lalu om bawa dia ke rumah sakit, kemudian tubuhnya justru kejang-kejang begitu sampai ke dalam, menyusul muntah, dan mengamuk minta dipulangkan."
Saga pernah memberitahukan kisah ini juga pada gue, meski nggak sedetail cara Om bercerita. Jadi, gue menyimak secara seksama.
"Mungkin karena waktu itu dia sakit, jadi kondisi Saga menjadi drop pun adalah wajar, pikir om. Sayangnya, perkiraan om salah. Pada hari-hari berikutnya di mana dia masuk dan melakukan kunjungan ke rumah sakit, gejala serupa muncul lagi dan lagi. Dia mengaku mual, pusing, nggak tenang, ketakutan dan cemas berlebihan selagi badannya nggak bisa berhenti gemetar. Sejak saat itu, om jadi tau bahwa ternyata rumah sakit menjadi salah satu tempat yang paling Saga seharusnya hindari disebabkan luka masa lalunya."
Penjelasan itu gue sahuti dengan tanya, "Terus, habis itu? Setiap Saga sakit dan luka, gimana? Eh, tapi dulu sewaktu dia kecelakaan, Saga pergi ke rumah sakit, 'kan."
Kecelakaan motor gara-gara meleng ngeliatin kucing. Hadeeeuh. Masih kesel aja gue ngingetnya.
Om menganggukkan kepala. "Iya. Jika kondisinya nggak terlalu parah dan nggak membutuhkan penanganan serius, Saga bisa memanggil dokter pribadi ke rumah untuk merawat dan memeriksanya. Dan untungnya, Saga anak yang cukup kuat. Dia jarang sekali sakit karena memang selalu berusaha menjaga daya tahan tubuh supaya nggak perlu pergi periksa ke rumah sakit jika sewaktu-waktu kondisinya memburuk. Meski, saat positif covid waktu itu nggak bisa dia hindari."
Penuturan Om bikin gue sadar bahwa sebetulnya gue udah tahu mengenai seluruh fakta tersebut. Sayangnya, gue agak lupa-lupa ingat. Kapan coba ingatan gue bakalan balik seperti semula lagi?
Namun, lebih dari semua yang telah terungkap, "Dan gara-gara Nenek meninggal, ketakutannya jadi semakin parah."
Kesimpulan yang gue lontarkan membuat Om sedikit terlonjak, lalu perlahan-lahan menggelengkan kepala seakan takjub. "Kamu sungguh memahami Saga, Feryan."
Senyum masam gue mencuat. "Paham sih, Om. Tapi kesel juga ada. Apalagi dia pake segala kabur ke UK karena kejadian itu."
Mengingat saat-saat perpisahan kami beberapa bulan lalu yang diakhiri pelukan dan goodbye, sumpah nyesek.
Om Julius terkekeh. "Yang terpenting, sekarang Saga sudah kembali, 'kan? Demi kamu, loh."
Sekarang, gue nyengir girang. "Iya, Om."
Tangan kiri gue beliau tepuk-tepuk. "Dan om sangat bersyukur karena kamu bisa sadar dan berangsur pulih kembali, Feryan. Kalau nggak, om nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Saga. Jika dia harus menghadapi kehilangan lagi dari orang yang paling disayanginya. Yaitu kamu," ucapnya disertai embus napas lega.
Bikin gue semata-mata berani berbicara, "Feryan akan selalu baik-baik aja kok, Om. Kan Feryan udah janji, kepengin bikin anak Om selalu bahagia."
Sekali lagi, Om Julius terlihat mengembuskan napas lega sambil tersenyum hangat. "Syukurlah. Pilihan Saga kali ini nggak salah."
Gue mengernyit. "Maksudnya?"
Ayah pacar gue ini memandang kemari. "Maksud om, pacarnya. Dulu, saat awal-awal Saga mengaku bahwa dia penyuka sesama jenis, sejujurnya om kurang bisa percaya karena yah, anak om ini playboy. Dia selalu gonta-ganti pacar yang mana semuanya adalah perempuan. Worse, dia pacaran dengan mereka nggak pernah ada yang awet sampe om capek menasehati dia. Dan dengan santainya, dia bilang; 'Someday, kalo Saga udah berhasil nemuin sosok yang tepat untuk Saga jadikan pacar, Saga janji akan mengenalkan dia langsung ke Daddy. Him, okay? Not her. So, just wait' ," jawabnya mengutarakan kisah yang membuat gue berakhir gelisah sendiri sebab jadi teringat permasalahan pribadi.
Ragu-ragu, gue menimpali, "Emm, kalo boleh tau, saat awal-awal Saga mengaku bahwa dia ternyata ... gay, reaksi Om gimana?"
"Om kaget, tentu aja. Tapi nggak mempermasalahkannya sama sekali sebab om sudah berjanji pada Mommy-nya, bahwa seperti apa pun pilihan dan kondisi yang nanti putra kami jalani, selaku ayah, om harus selalu membiarkan dia bahagia serta mendukungnya," jawab Om lancar tanpa ada keraguan seolah-olah ini bukan kali pertama ada seseorang yang menanyakan perihal tadi padanya. "Lagi pula bagi om, nggak ada yang salah dari yang namanya menyukai sesama cewek atau cowok. That's still love though. Bukankah begitu?" sambungnya yang mau nggak mau gue tanggapi dengan anggukkan setuju.
Masih, ada sesuatu yang mengganjal dalam pemikiran gue. "Apa om pernah menyesal atau sedih karena punya putra yang seorang gay?"
Om Julius terdiam sebentar sebab kaget sebelum mulai menjelaskan, "Nggak pernah sama sekali. Kecuali kalau anak om di-bully dan dihina, jelas itu membuat om sedih. Jadi, om bukan menyayangkan kondisi Saga melainkan lingkungan yang justru memandang rendah dirinya." Dia menatap gue dan balik bertanya, "Kenapa Feryan mendadak menanyakan hal semacam itu? Apa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran kamu saat ini?"
Tebakannya tepat sasaran. Mana mungkin gue bisa menyangkalnya, 'kan?
"Emm, sedikit sih, Om. Maksudnya, gini." Gue meneguk ludah, lalu dengan ragu balik bertanya, "Apa menurut Om, Feryan perlu ngaku ke Mamah mengenai hubungan Feryan dan Saga?"
Iya, benar. Sejak obrolan terakhir yang gue lakukan dengan Setya kemarin hari, isi kepala gue nggak mampu berhenti memikirkan persoalan ini. Makanya, mumpung ada orang tua yang pernah mengalami mendapat pengakuan dari putranya yang seorang gay, mungkin nggak ada salahnya gue meminta saran dari beliau.
Om Julius menghela napas selagi memandang gue tanpa berkedip dan bersungguh-sungguh ketika berkata, "Jika ditanya perlu atau nggak, dalam sudut pandang om; jawabannya jelas perlu sebab kamu nggak mungkin akan menyimpan rahasia ini selamanya. Masalahnya lebih kepada, apakah kamu siap?"
Gue nggak mampu menanggapi pertanyaan sederhana dari Om karena jawabannya udah jelas.
"Feryan belum siap, 'kan?" Dan Om juga tampak menyadari hal itu.
Angukkan kepala amat pelan gue berikan. "Jujur aja belum, Om. Seenggaknya, nggak dalam waktu dekat." Gue menunduk.
"Jadi, Feryan maunya bagaimana?"
Tanya itu membikin gue mendesah frustrasi sebab gue sendiri juga nggak tau baiknya mengambil keputusan apa. "Feryan juga bingung, Om. Kepikiran terus. Apalagi kemarin Mamah nanyain soal pacar Saga setelah tadinya sempet curiga karena cincin yang Feryan dan Saga punya samaan," ungkap gue menerangkan diakhiri gelengan masygul. "Pokoknya runyam, Om. Feryan nggak mau terus-menerus bohong ke Mamah, tapi belum siap andaikan harus jujur lalu berakhir ... dibenci." Gue menggigit bibir sendiri saking resah.
Tatapan Om Julius langsung melembut. "Feryan pikir, Mamah kamu akan membenci kamu jika tau kamu pacaran dengan sesama cowok, dengan Saga?"
Anggukkan satu kali gue perlihatkan. "Iya, Om. Itu yang Feryan takutin. Menurut Om gimana?" tanya gue yang nggak mampu menutupi perasaan gamang yang semakin menyudutkan.
Tangan Om terangkat untuk mengusap pundak gue "Ketakutan kamu wajar kok, Feryan. Toh kamu sadar sendiri kita hidup di lingkungan dengan pandangan masyarakat yang seperti apa. Jadi, om memaklumi jika kamu memiliki pemikiran buruk semacam itu. Cuma saran om, untuk sekarang, lebih baik kamu jangan terlalu berlarut-larut memikirkannya. Sebab itu nggak baik bagi kesehatan kamu."
Sarannya itu bikin gue meringis. "Iya, Om. Feryan ngerti."
"Mengakui hal seperti ini jelas bukan perkara mudah, Feryan. Meski begitu, om salut karena kamu cukup berani untuk menceritakannya pada om," ujarnya menambahkan.
"Habis Feryan bingung mesti cerita ke siapa lagi? Saga aja belum Feryan ajak bicara mengenai hal ini."
Ditambah gue punya Papah kandung pun gak bisa diandalkan sama sekali. Buntu deh udah.
"Just take your time as much as you need. Pikirkan baik-baik mengenai ini. Persiapkan diri serta mental kamu sejak dini. Jangan terburu-buru, apalagi sampai nekat dan gegabah. Persiapan yang baik, om yakini akan membawa pada hasil yang baik juga. Apa kamu percaya?" tuturnya berpesan yang serta-merta membuat gue bungah.
Ah, senengnya gue ngajak curhat sosok dewasa super bijak macam Om Julius ini. Sekarang, perasaan gue jadi lebih tenang dan nggak sekalut sebelumnya.
Jadi, gue tersenyum padanya. "Iya, Om. Makasih sarannya."
"Good." Sekali lagi, puncak kepala gue diberi usapan.
Ah, bikin kangen usapan tangan anaknya aja.
Oke. Karena persoalan mengenai Mamah udah diluapkan, giliran gue kembali membuka topik obrolan.
"Oh, iya, Om. Kabar Yellow gimana?"
.
Setelah Om pamit pergi yang seketika menumbuhkan perasaan kangen nggak terbendung dari gue untuk putranya, langsung aja gue menghubungi Saga tanpa pikir panjang. Pada nada tunggu ketiga, panggilan gue mendapat jawaban.
"Hey."
Ah, kangen banget gue ke suaranya. Mau peluk dia kalo aja deket.
Gue berdeham demi menenangkan diri. "Ayah lo baru aja pulang dari sini."
"So, udah lo cicipin pudingnya?"
Tanya itu menyadarkan gue. Oh, iya. Puding. Gue kelupaan bilang sama Om buat manggil Mamah ke sini pula. Yaaah.
"Belum. Nunggu Mamah yang nyuapin, lah," jawab gue kecewa sendiri. "Barusan ayah lo nawarin buat nyuapin gue, sih. Tapi malulah gue."
Saga terdengar batuk-batuk keras dari seberang sana. "Wow. Berani banget Daddy. Nanti gue bakal marahin dia. Seenaknya aja mau nyuapin lo."
BUSET, DEH. INI DIA SERIUS?
Gue mendengkus kesal. "Heh, sinting! Masa elo cemburu ke ayah sendiri, sih? Ngotak!"
Omelan gue ditanggapinya secara kalem. "Gak ada yang berhak nyuapin elo selain Tante dan gue."
Waduh. Bahaya ini orang. "Setya? Zyas? Mereka juga kemarin sempet nyuapin gue, tuh."
"I need to talk to them."
Capek gue, Ya Maha. Gini amat gue punya pacar. "Otak lo beneran minta diperbaiki. Rusak tuh pasti!" cecar gue diakhiri decakan sebal.
"Well, gue cuma gak suka. Kita udah lama nggak ketemu, tapi mereka duluan yang dapat kesempatan deket-deket sama lo dan nyuapin lo."
Pengakuannya memancing emosi gue. "YA, LALU SIAPA YANG MENYURUH ANDA PERGI, TUAN SAGA BANGSAT? Kesiksa 'kan lo nahan kangen ke gue? Rasain!" bentak gue meluapkan amarah.
Saga meringis panjang. "Ouch. Kata-kata lo bagai pisau cukur yang nyayat kulit dagu gue. Nyeri."
Refleks gue memegangi area dagu dan bawah hidung gue yang agak kasar setelah mendengar perkataannya. "Ngomongin soal cukur, kumis gue juga mulai numbuh, nih."
"That must be horrible. Bersihin sana."
Kampret! Gampang amat ini cowok ngasih perintah.
"Mana bisa, anjir. Mau nyuruh Mamah atau perawat? Males. Kalo sampe kulit muka gue malah lecet gimana? Ngeri. Gak mau nambah penyakit. Gue ganti perban aja udah cukup ngerepotin."
Kurang ajarnya, keluhan gue barusan malah bikin dia ketawa. Sialan dasar. "Ya udah. Nanti gue minta Zyas atau Setya bantu elo cukuran di situ."
"Gila emang lo!" Nggak ada habisnya dari tadi gue ngatain dia. "Padahal muka gue toh gak jelek-jelek amat meski berkumis," ujar gue sembari bercermin pada layar HP.
"Berarti elo ngacanya masih kurang lama, Bego!"
Jurus makian level nggak tertahan gue keluarkan, "ANJING!"
Heran, ya. Punya pacar kok seneng banget bikin pacarnya ini kesel. Untung bucin.
Lagi, dia ketawa. "Tadi elo sama Daddy ngobrolin apa aja?"
Lebih dulu gue mendengkus sebelum menjawab, "Banyak. Dari mulai ngomongin elo, Yellow, kerjaan dia, restoran enak tempat dia makan saat lagi syuting--pokoknya begitu sembuh gue mau ke sana, terus ngobrol soal dia yang digosipin pacaran sama artis muda, sampe ... gue juga curhat, sih."
"Elo curhat? Ke Daddy?"
Nadanya kayak yang nggak percaya. Jangan-jangan gue juga seharusnya gak dibolehin curhat ke ayahnya. Hadeeeuh.
"Iya."
"About what? Tell me."
Yah, mungkin ini emang udah saatnya gue bilang ke dia.
"Soal gue. Kekhawatiran gue andaikan nanti gue harus ngaku ke Mamah. Mengenai hubungan kita, Saga."
Ada suara terkesiap tertangkap dari sana. "Wait. Elo mau ngaku?"
Gue tersenyum kecut. "Nggak sekarang, kok. Yah, nggak tau, sih. Kapan gue siapnya aja kali, ya. Gue galau. Kepikiran aja, Mamah bakalan mikir apa nanti kalo tau anak semata wayangnya ini homo?" tanya gue selagi melayangkan pandangan ke arah jendela. Menerawang mencari-cari jawaban yang mungkin mewakili perasaan beliau.
"Well, I don't know. Because I'm not her."
Nah, itu dia masalahnya.
"Iya, Bangsat. Itulah yang bikin gue nggak tenang. Soalnya gue nggak tau reaksi Mamah bakal gimana menanggapi perihal ini. Ditambah, gue pacarannya sama lo lagi. Udah jalan setahun lebih pula. Runyam."
Di sana, Saga nggak berkata apa-apa seakan sedang berpikir. Kemudian buka suara, "I think there will be three possibilities for you, or even us. About how she might react."
Wow. Dia udah punya tiga kemungkinan aja dari diamnya barusan. "Apa aja tuh?" tuntut gue sok penasaran.
"Pertama, dia bakalan marah dan benci ke kita berdua. Kedua, dia bakalan benci ke gue aja, sekaligus minta elo ngejauhin gue. Last and the worst possibility, she will murder us both."
Sejenak, gue terperangah mendapati penjabaran gilanya tadi. "Isi pikiran jelek lo ternyata lebih jelek dari gue, ya. Iya sih, Mamah gue orangnya agak galak dan bawel, tapi gue rasa, dia nggak akan ngambil langkah seekstrim itu untuk menghukum kita berdua. Malahan gue pikir, dia lebih ke yang bakal ... menyesal," ungkap gue yang malah berakhir sedih sendiri.
"Why?"
"Gimana, ya?" Jemari gue bergerak-gerak gelisah. Meneguk ludah kalut, gue lantas menjelaskan, "Elo tau 'kan, hubungan antara gue dan Mamah baru membaik selama setahun belakangan ini. Sedangkan di tahun-tahun sebelumnya, gue sama Mamah terhitung jarang banget komunikasi karena yang ngurusin gue cuma Nenek. Dan Nenek yang juga udah tua pasti lebih repot buat ngurus badan sendiri. Bisa jadi ya, nanti Mamah bakal mikir bahwa gue pacaran sama sesama cowok itu adalah ... salahnya."
Gue menghela napas lesu.
"Mamah mungkin bakal nyalahin diri sendiri, mengira jika dia sejak dulu lebih perhatian ke gue, mungkin aja gue bisa tumbuh jadi anak yang ... lebih normal. Iya, 'kan?"
Kali ini, kedua mata gue mulai perih.
"Tapi sumpah demi apa pun, gue nggak mau sampe Mamah ada pikiran begitu. Sebab gue jadi begini, gue cinta sama lo, mutusin untuk jadi pacar lo, semuanya merupakan pilihan gue sendiri yang nggak ada sangkut pautnya sama Mamah. Elo paham, 'kan?"
Respons Saga terdengar amat lirih. "Iya. Gue paham, kok."
Gue mengangguk dengan air mata yang akhirnya menitik jatuh. "Gue mau ngaku ke Mamah. Mau banget. Andai ada nyali, kepengin banget blak-blakan ngomong, 'Mah, sebenernya ... Fery udah pacaran sama Saga lebih dari setahun. Fery dan Saga saling cinta. Jadi Fery mohon, Mamah terima hubungan kami, ya. Soalnya Fery nggak sanggup, nggak bisa membayangkan hidup tanpa Saga di samping Fery. Tapi Fery juga nggak mau sampe Mamah membenci kami', tapi gue ... takut." Suara gue parau dan jadi sesenggukan. "Takut bikin Mamah kecewa, sedih, marah, dan justru berbalik nggak mampu menerima hubungan kita. Gue takut. Selama ini gue udah banyak bohong ke Mamah. Pacaran sama lo di luar pengetahuannya, secara lancang kita mojok dan ngeseks meski sadar lagi satu atap bareng Mamah. Itu semua ..." gue terisak-isak putus asa. "Gue harus gimana, Saga? Gue takut. Gue belum siap ngecewain Mamah apalagi dibenci sama dia. Gue mesti gimana?"
Untuk pertama kali, gue mengadukan perihal yang ternyata amat menyakitkan hati lebih dari yang dapat gue perkirakan sendiri. Mengenai pengakuan pada Mamah, serta akan bagaimana nampaknya Mamah menanggapi nanti. Memunculkan lebih banyak kemungkinan buruk yang membayangi pikiran yang semata-mata menguasai gue dengan ketakutan luar biasa.
Sebagai anak, tentu gue menyadari kekurangan yang ada pada diri sendiri. Akan tetapi, jika sampai kekurangan yang gue miliki hanya akan mendatangkan kebencian ... sumpah demi apa pun, hal itu sama sekali nggak gue inginkan.
Mah, maafin Fery.
Maaf karena Fery masih belum siap menjadi sosok anak seperti apa yang Mamah harapkan.
Semoga suatu hari, entah kapan, akan ada masa di mana Fery cukup berani secara jujur mengungkapkan seluruh rahasia yang Fery simpan dari Mamah.
Sampai saat itu tiba, untuk sementara, biarkan Fery menikmati lebih banyak waktu bersama Mamah yang menyayangi Fery. Sebagai putra semata wayang Mamah.
Seenggaknya, sampai tiba kesediaan Fery bila harus Mamah benci dan jauhi.
___Bersambung
Mohon maaf, isi bab cerita ini masih banyak galau-galau. Berhubung konflik cerita di musim sekuel ini lebih serius, jadinya ya ... mohon persiapkan aja diri kalian untuk kemungkinan terburuk. /HEH
Nggak, kok. Bercanda. 😂😂😂
Aku sadar sih, makin ke sini sepertinya cerita sekuel mereka semakin kurang diminati. Tapi, nggak apa-apa. ♥️
Seenggaknya, aku tau di antara kalian masih ada yang sudi membaca dan mengikuti kisah mereka aja itu udah cukup bikin aku semangat untuk lanjut mengetik bab berikutnya. Dan seterusnya. Semoga sampai tamat, ya. Aamiin.
Aku ucapkan terima kasih bagi para pembaca cerita SBKB. Terutama kepada mereka yang gak pernah pelit meninggalkan komentar dan seru-seruan bareng aku di kolom balasan komenan. 😍🤩🥰 Kalian luar biasa. Aku sukaaaa! ♥️
Dan aku harap, para pembaca lain juga tolong jangan cuma bisanya diam-diam aja, ya.
Yuk, bisa, yuk. Vote dan komen yang aktif di lapak cerita ini. Eheu. ( ˘ ³˘)♥
Sampai ketemu di bab berikutnya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com