20. PERTENTANGAN
Gue melambaikan tangan pada kawan-kawan yang terpaksa berpamitan untuk pulang dikarenakan kedatangan Papah gue yang membuat mereka serta-merta merasa sungkan. Terutama Mas Nandran yang langsung aja dihadiahi pelototan kurang menyenangkan. Kasian bener dia. Padahal baru aja datang.
Di sisi jalan, gue lihat Mas Nandran dan Kak Armet tengah mengobrol sembari saling memegangi HP masing-masing. Tebakan gue, mereka pasti sedang bertukar kontak.
Setya masih menemani Vano yang udah masuk ke dalam mobilnya yang diparkirkan tepat di depan mobil milik Saga.
Dyas sendirian menunggu di dekat mobil milik cowok gue itu karena sepertinya mereka datang kemari bersamaan.
Sementara Benjo selaku satu-satunya orang yang membawa motor di antara mereka, sekonyong-konyong terlonjak sewaktu boncengannya mendadak ditumpangi oleh Zyas. Mereka terlihat ribut dan saling memprotes, sampai kemudian Benjo menghela napas pasrah dan membawa motornya melaju meninggalkan pelataran rumah gue.
Waduh. Bisa-bisa si Setya beneran bakal kalah taruhan, nih.
"What a development." Komentar yang si Bangsat suarakan bikin gue mengalihkan pandangan ke arahnya. "You and your mother are gonna be fine, right? Even if he's in here? I mean, your father," tanyanya agak berbisik sembari mencuri lirik ke dalam.
Di mana Papah kelihatan sedang duduk masih sambil memutar pandangannya ke setiap sudut ruangan. Mungkin heran lantaran di situ mendadak rame macam dekorasi Natalan.
Gue tersenyum kecut. "We're gonna be fine, kok. Don't worry. You better, apa sih ... emm, pokoknya, elo sekarang mendingan pulang dulu aja. Lagian toh kalo elo di sini juga, I think it won't makes anything better for us so ... Maksudnya, gue dan Mamah, ya. Makanya ..."
Penuturan gue terhenti gitu aja gara-gara bule bermata sipit ini justru kayak yang mendadak terkesima macam orang yang baru pertama kali melihat kucingnya bisa ngomong bahasa manusia.
"Heh!" alhasil, pipinya gue tepuk cukup keras. "Elo kenapa, sih? Malah bengong."
Dia mengedip-ngedipkan mata, mengernyit, lantas terkekeh pelan. "No. I'm just surprised karena cara lo bicara pake English udah makin lancar. Gue turut senang dan bangga ngeliatnya."
Penjelasan yang dikatakannya memunculkan cengiran gue. "Selama elo di UK, gue nggak punya kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukan karena nggak bisa ngegangguin elo sama sekali. Jadinya, gue kadang baca-baca dan nonton topik mengenai how to speak English fluently. And I'm still learning until today, so I hope you want to teach me about the ... apa, sih? Sisanya?" tanya gue yang gagal lagi menuntaskan kalimat sok Nginggris gue.
"The rest."
Jawaban dari si Bangsat cukup membingungkan. "Rest itu bukannya istirahat?"
Dia mengangguk. "Tapi, rest juga bisa berarti sisa, kok."
Kepala gue langsung manggut-manggut. "Oh. Baru tau gue."
Wajib dicatat dan diingat. Jangan sampe kagok lagi pas gue kepengin make itu kata.
Saga tersenyum maklum. "Now you know." Kemudian bahu gue diusapnya pelan satu kali. "Well, kalo gitu gue pulang dulu. If something bad happened here, just reach out to me immediately. Okay?"
Pesan darinya gue balas melalui acungan jempol. "Okay. Be careful on your way back!"
Cowok yang paling gue bucinin ini melangkah sembari melambaikan tangannya. "And good luck for you. Bye."
Gue menghela napas panjang. Sedikit sedih menyaksikan satu demi satu orang-orang yang tadi meramaikan penyambutan kepulangan gue mulai berbalik pergi dari sini. Vano dan Kak Armet, lalu Setya, disusul Mas Nandran yang rupanya memakai motor matic yang diparkir di seberang jalan. Dan yang terakhir adalah Saga dan Dyas, yang membunyikan klakson sebelum melaju pergi.
Yah, sepi lagi ini rumah. Cuma tersisa gue, Mamah, dan Papah. Hhhh.
Eh, ngomongin soal sisa, gue jadi keinget informasi yang barusan gue ketahui dari si Bangsat. Duh. Belum juga ada semenit orangnya pergi, masa udah kangen aja gue ke dia.
"Udah pada pulang semua?"
Gue berbalik, mengangguk pada Mamah yang juga tampak agak kecewa atas kepergian mereka semua.
Mamah mengembuskan napas lesu, lalu berkata, "Nanti kapan-kapan, bolehlah mereka disuruh main lagi ke sini. Seneng mamah liatnya. Rumah kita jadi rame. Berasa punya banyak anak mamah jadinya. Suka." Senyum semringahnya yang penuh harap tersungging.
Gue terkekeh mendengar nada antusias pada suaranya. "Iya, Mah. Nanti Fery bilangin ke mereka, ya."
Mamah mengembuskan napas lega, kemudian bahu gue dirangkulnya lembut. "Ayo, atuh. Cepet masuk. Kamu jangan kelamaan berdiri. Takutnya nanti sakit kepala lagi."
Gue dan Mamah kembali ke dalam lantas duduk di sofa yang berada di sebelah sofa yang Papah tempati. Segan soalnya mau duduk bareng dia. Aura mengintimidasinya nggak kunjung berkurang. Gak kayak aura punya Om Julius yang sangat kebapakan dan enak didekati.
Gue mendekatkan piring berisi kue ke arah Papah sambil bertanya, "Papah berangkat dari jam berapa buat ke sini?"
"Pagi-pagi," jawabnya dan mulai menyinglangkan sebelah kaki. "Bagaimana kondisi kamu?"
Punya Bapak antara kepengin nanya atau mau ngajak gue gelud. Nadanya terkesan nyolot banget.
Namun, gue berusaha untuk tetap tersenyum. "Ya, begini, Pah. Alhamdulilah perban luka udah dilepas, dan Fery juga udah bisa jalan. Cuma tangan aja yang masih dalam masa pemulihan."
Penjelasan gue membikin Papah manggut-manggut, lalu kepalanya menunjuk ke arah pintu serta suasana ruangan ini. "Lalu yang tadi itu?"
Maksudnya pasti yang rame-rame tadi itu, 'kan?
"Oh. Tadi temen-temen Fery nyambut kepulangan Fery dari rumah sak--"
"Bukan itu maksud papah."
"Eh?" Gue mengernyit sebab penuturan gue justru dipotong oleh Papah dengan suara super judes.
Papah membungkuk ke arah gue, menatap antara gue dan Mamah bergantian sebelum berucap lirih, "Kamu ini sedang nyari penyakit lagi, ya?"
Nyari penyakit, katanya?
Si Mamah yang merespons dan mewakili kebingungan gue. "Maksudnya apa sih, Bang?"
"Ya, tadi itu maksud saya. Kalian ini sedang mencari penyakit." Tubuh Papah tegak kembali, bersandar santai ke ujung sofa selagi lanjut bicara, "Nggak kapok dulu kalian pernah diisolasi karena positif corona? Lalu dengan santainya kalian malah berkumpul dan pesta di sini, saat kondisi Feryan baru aja membaik. Kalian ini bisa mikir, nggak? Nggak lupa 'kan gara-gara corona Ibu sampai meninggal?"
Pemaparan yang Papah sampaikan sedikit membuat gue kesulitan menanggapi. Sebab gue sadar apa yang dikatakannya emang benar, akan tetapi, gue juga nggak sepenuhnya terima jika disalahkan, dong.
Gue meneguk ludah setelah itu ragu-ragu membalas, "Fery juga nggak tau bahwa temen-temen akan nyiapin semua ini, Pah."
Papah tampak menghela napas panjang. "Ya, kamu jelas nggak akan tau karena kamu pasien. Loh, mamah kamu ini?" Dengan lancang, jari telunjuknya menuding ke posisi Mamah. "Dia tau dan tetap membiarkannya, 'kan? Supaya apa? Apa kamu punya niat untuk membunuh anak ini pelan-pelan supaya kamu bisa hidup bebas tanpa gangguan? Begitu?"
Kedua mata gue membelalak nggak percaya atas tuduhan kejam yang barusan Papah lontarkan. Sementara di samping gue Mamah juga jelas menegang saking kalut.
"Abang ini bicara apa, sih?" tanya Mamah dengan suara gemetaran.
Gue menoleh sejenak pada Mamah yang terlihat shock, kemudian menghadap Papah dibarengi gelengan nggak terima. "Pah! Bukan--"
"Kamu nggak usah membela dia, Fery. Jelas-jelas mamah kamu ini nggak sayang sama kamu!" Papah memotong ucapan gue dengan lantang. "Kamu jadi kecelakaan dan terluka parah hingga koma juga salah siapa jika bukan karena mamah kamu yang goblok ini? Kerjaannya nyusahin orang lain. Udah tau anak masih kecil, disuruh bantu dagang ngantar jualan ke sana-kemari!"
"Pah! Tolong jang--"
"Kalo kamu memang udah nggak ingin mengurus Feryan, bilang ke saya. Nanti biar saya bawa Feryan ke Sumedang. Daripada anak kita terus-terusan diurus oleh orang gak becus macam kamu!"
"PAPAH! CUKUP!" Gue sigap berdiri untuk menentang Papah demi menghentikan semua perkataan berisi omong kosongnya yang semena-mena.
Seenaknya aja Papah bicara hal yang bukan-bukan mengenai Mamah padahal selama ini dia pun gak pernah ada untuk menjaga gue.
Mamah memegangi tangan gue. "Fery! Jangan begitu sama papah kamu, Nak."
Gue mendengkus. "Tapi Papah udah keterlaluan, Mah!" sahut gue nggak segan mengungkapkan pendapat. Sekalipun hasilnya jadi membuat Papah terlihat makin geram.
"Apa-apaan kamu?" Papah ikut berdiri, seakan-akan menantang. "Mamah kamu yang mendidik kamu menjadi anak yang kurang ajar begini?"
Gue tersengih sambil menggeleng. "Bukan, Pah. Fery belajar jadi kurang ajar dari Papah."
Raut muka Papah tampak kian mengeras. "Apa kamu bilang?"
"Fery! Jangan gitu, Sayang. Gak boleh. Nggak apa-apa!"
Bujukan Mamah nggak gue hiraukan sebab emosi gue udah nggak bisa diredam. "Mamah juga seharusnya ngelawan dong, Mah. Jangan selalu maunya diam aja setiap diomelin dan ditindas Papah. Fery aja sakit hati ngeliatnya," ujar gue pada Mamah sebelum kembali menghadap Papah. "Kerjaan Papah sejak dulu cuma bisa nyalahin Mamah. Apa pun yang terjadi, semua salah Mamah. Kalah main judi, Mamah yang salah. Uang buat beli minum habis, Mamah disalahin. Mamah nangis, masih juga disalahin. Papah kapan bisa introspeksi diri, sih?"
Gue menumpahkan seluruh keluhan yang selama bertahun-tahun lamanya menumpuk di hati dan kepala tanpa berani gue lontarkan. Akan tetapi kali ini, gue memutuskan untuk nekat. Demi membela Mamah.
"Feryan!" Papah balik membentak sampai bikin gue dan Mamah kompak terlonjak. "Kamu berani ya melawan Papah kamu sendiri?"
Tetap, gue masih coba berdiri tegar dan dengan sikap lantang membalas, "OH, JELAS FERY BERANI! Karena selama ini Fery nggak merasa Fery layak menyebut Papah sebagai papah Fery karena sifat Papah yang--"
PLAK!
Nggak hanya nyeri yang terasa di pipi kiri gue sesudah tamparan kencang Papah mendarat di sana, pun sensasi pusing serta-merta menyerang kepala gue yang langsung bikin badan gue ambruk ke sofa.
"Ya Allah, Fery!" Mamah menjerit parau lalu memeluk badan gue pelan. "BANG! ANAK KITA INI SEDANG LUKA, TAPI KENAPA ABANG MASIH AJA TEGA MEMUKULNYA? Kalo mau mukul, pukul aja saya. Bukan anak kita. Kasian dia, Bang. Tolong kasihani dia. Ya Allah!" Mamah memprotes di sela-sela isak tangisnya. "Ya Allah, Fery, mana yang sakit, Nak?" tanyanya seraya mengelus-elus pipi gue yang perih.
Tanpa sadar, air mata gue juga ternyata udah menetes jatuh. "Hati Fery, Mah. Fery sakit hati ngeliat Papah memperlakukan Mamah begini. Padahal Mamah nggak salah apa-apa," bisik gue seraya memegang erat tangan Mamah yang gemetaran.
Papah gue dengar menggeram panjang. "Nggak ibu, nggak anak, sama aja. Ngerepotin. Nggak tau diri!" makinya diakhiri dengkusan keras.
Mamah menghela napas sesudah itu menatap Papah dengan sorot berang, "Abang, tolong lebih baik pergi dari sini jika tujuan Abang hanya ingin menyakiti Feryan. Saya mohon, pergi. Karena kondisi kami masih lebih baik tanpa kehadiran Abang di sini."
Cara Mamah meminta Papah pergi sungguh terlalu sopan. Kenapa dia nggak balik caci-maki aja si Papah, sih?
"Tanpa perlu kamu bilang pun saya emang akan pergi." Papah mengambil tasnya yang berada di ujung sofa, kemudian menaruh sebuah amplop berwarna cokelat ke meja. "Ini, uang untuk tambah biaya pengobatan Feryan. Jangan bisanya nambah hutang doang!" pesannya yang setelah itu benar-benar pergi.
Meninggalkan Mamah yang tangisannya malah menjadi kian memilukan untuk didengar. "Ya Allah, Fery! Maafin mamah, ya. Gara-gara harus ngebelain mamah, kamu jadi kesakitan. Maaf, ya," ucapnya sembari mengusap-usap kepala gue.
Menularkan tangisannya terhadap gue yang juga jadi turut terisak-isak. "Mamah nggak salah apa-apa, Mah. Gak usah dengerin apa kata Papah. Mamah nggak salah apa-apa. Udah, Mah, jangan nangis lagi," bisik gue dengan suara lemah.
Membiarkan aja Mamah memeluk gue dan menangis sepuasnya, sebab gue pikir mungkin itu bisa membuat Mamah sedikit lega sesudahnya.
Namun, gue tetap nggak bisa terima. Gimana Papah dengan lancangnya menyakiti perasaan Mamah gue. Di saat dirinya sendiri nyaris gak pernah memberikan kontribusi berarti ke dalam hidup gue.
Hidup emang nggak selalu bisa berjalan mulus sesuai mau kita, ya. Meski gue nggak lagi membenci hidup gue seperti dulu, tapi gue tetap benci apabila sesuatu terjadi di luar apa yang gue ekspektasikan.
Ah, di saat-saat kayak gini, gue rasanya membutuhkan kehadiran seseorang untuk menenangkan diri gue. Supaya mampu mengembalikan perasaan gue menjadi lebih baik.
Saga. Gue butuh dia. Tapi, kasian dia andaikan gue mesti manggil dia buat balik ke sini, 'kan?
"Ryan! Tante!"
Suara itu seketika mengagetkan gue dan Mamah yang sigap menengok ke arah pintu. Alhasil, tangisan gue semata-mata semakin nggak terbendung melihat sosok yang baru aja gue pikirkan justru benar-benar datang.
"What happened? Saga tadi nggak jadi pulang ka--"
Penuturan si Bangsat terputus gitu aja karena setibanya dia di hadapan gue, tubuhnya langsung gue tarik dan peluk. Nggak mempedulikan akan bagaimana Mamah melihat kami atau berpikir mengenai reaksinya.
Gue hanya menginginkan Saga. Butuh dia untuk menenangkan perasaan gue yang tengah kacau saat ini.
___Bersambung
Funfact,
Selama pengerjaan bab 20 ini, terutama bagian dialog antara Feryan dan Papahnya, aku nangis sesenggukan sampe galau beberapa menit yang mana bikin aku butuh rehat buat kelarin keseluruhan bab-nya. 😅😅😅 Dan baru bisa diselesaikan sekarang wkwkwk
Dan sesuai dugaan, feeling-nya jadi buyar. 😥
Maafkan diriku. Hiks.
Tetap, aku berharap kalian menikmati membaca bab 20 ini, ya. ♥️
Sampe ketemu di bab selanjutnya~ 🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com