21. PENGUTARAAN
Secara perlahan dan hati-hati, Saga membaringkan gue ke kasur setelah dia lagi-lagi harus membopong tubuh gue, kali ini dari ruang tamu. Sementara Mamah langsung menyalakan kipas angin dinding yang emang sejak akhir tahun lalu dipasang di kamar ini.
Ah. Kamar gue. Kangen banget rasanya sama suasana di sini. Nggak ada yang berubah, 'kan? Atau gue malah kelupaan sesuatu tanpa sadar?
"Fery mau mamah bikinin apa?"
Gue segera memberikan gelengan untuk Mamah atas penawaran penuh perhatiannya. "Nggak usah, Mah. Fery udah gak apa-apa, kok." Mata gue mengerling pada Saga yang duduk di tepi ujung kasur gue.
"Pipinya dikompres air hangat atuh, ya?" tanya Mamah lagi, masih aja khawatir.
Dan sekali lagi, gue menggelengkan kepala. "Gak usah, Mah. Gak apa-apa. Nanti juga hilang perihnya."
Jawaban gue akhirnya bikin Mamah menghela napas pasrah. "Ya udah, kalo gitu mamah beberes dulu atuh, ya. Nak Saga, tolong temenin Fery, ya."
Perkataan Mamah ditanggapi anggukkan oleh si Bangsat disertai senyum hangatnya. "Iya, Tante."
Mamah turut tersenyum, setelah itu berbalik pergi keluar tanpa lupa menutup pintu kamar. Baguslah. Saatnya gue dan Saga berdua-duaan.
"Are you really okay?" tanya cowok gue cemas sembari dia beringsut duduk mendekat.
Ya ampun. Udah ke berapa kalinya si Bangsat nanyain itu coba? Sampe bosen gue dengernya.
Alhasil gue mendecak. "Iya. Gue oke, kok. Beneran. Ini masih belum ada apa-apanya dibanding pukulan Papah dulu," seloroh gue diakhiri cengiran yang sekonyong-konyong bikin gue dihadiahi cubitan di hidung.
"Don't compare it! Violence is still violence no matter how he did it."
Omelan itu sejujurnya sedikit membingungkan. Jadi, gue pun memastikan, "Violence tuh artinya kekerasan, 'kan?"
Saga menatap gue gemas. "Gue serius, Ryan!"
Anjir. Galak amat ini bule bucin.
"Ya, gue juga. Kan gue takut salah ngartiin maksud kalimat lo. Gue masih belajar, tauk!" dalih gue membalasnya.
Dia mengembuskan napas panjang, kemudian menggerakkan tangan untuk menyentuh pipi gue yang kena tamparan dengan lembut. Saat pertama kali mendengar aduan dari Mamah tentang gue yang kena tampar Papah, asli demi apa raut wajah si Bangsat nyeremin abis kayak yang siap ngebunuh orang. Yakin, sih. Andaikan Papah kena hajar cowok gue, beliau pasti bakalan mental sampe ke Zimbabwe.
"Seharusnya, sejak awal gue nggak perlu pergi supaya gue bisa ngelindungin elo."
Kalimat yang disuarakannya dengan ekspresi muram membuat gue jelas tersentuh.
Tangannya yang ada di pipi gue pegangi. "Tapi elo toh sekarang udah di sini lagi, 'kan? Gue seneng, loh," kata gue jujur, lantas menanyakan, "Kenapa elo balik lagi? Ada yang ketinggalan, ya?"
Bahu si Bangsat terangkat. "Nah. Feeling gue cuma gak enak."
Sip. Gue sungguh sangat berterima kasih kepada feeling dia, deh.
"Terus, elo balik lagi ke sini bareng Dyas?"
Kepalanya menggeleng. "No. Dyas yang bawa mobil, dia pulang duluan. Gue jalan dari rumah nomor 16 ke sini. Mantau keadaan diam-diam dari jauh. Lalu setelah gue lihat ayah lo pergi, baru gue masuk."
Penjelasannya bikin gue menyemburkan tawa tertahan.
Saga terang aja mengernyit kebingungan mendapati reaksi gue. "Kenapa elo ketawa?"
Tangannya gue remas-remas saking senang. "Nggak. Gue cuma ngerasa agak lucu. Karena beberapa detik sebelum elo datang tadi, gue baru aja kepikiran soal elo. Bahwa gue mau elo datang sebab gue ngebutuhin lo." Dengan manja, gue meletakkan pipi gue sendiri ke telapak tangan si Bangsat yang lebar dan hangat.
Dan ungkapan gue barusan melunturkan raut bingung si Bangsat yang seketika berganti lega. "I'm here. Gue akan selalu ada buat lo saat lo butuh. Oke?" ucapnya seraya mengelus-elus pipi gue. "Yah, pengecualian selama elo ada di RS."
Gue mengangguk, memahami. "Iya. Gue tau. Makasih karena elo udah ada di sini," balas gue disertai cengiran.
Saga balik memberi cengiran yang cakep banget, kemudian membungkukkan badan ke depan gue untuk menempelkan kedua belah bibir kami. Mengecup sedikit demi sedikit, lalu dia kembali memundurkan kepala. Ganti mempertemukan pandangan di antara kedua mata kami yang sama-sama nggak berkedip. Seakan sedang berusaha menatap puas pemilik wajah sosok yang paling dicinta satu sama lain.
Ketika akhirnya mata gue berkedip, Saga mencium gue lagi. Dari mulai kening, kedua belah pipi, hidung, dagu dan berakhir di bibir dengan durasi mencium yang paling lama sampe gue gemes kepengin ngegigit balik bibirnya. Tapi ditahan, soalnya takut sange. Bahaya.
Selesai melakukan semua itu, cowok gue ini tersenyum lembut. "Now, elo mending istirahat aja. Biar gue keluar bentar, mau bantuin Mamah lo beres-beres. Oke?"
Gue spontan mengangguk patuh. "Siap, Tuan."
Kening gue dicium sekali lagi. "I love you," bisiknya nyaris bikin gue merinding. Lalu dia menatap gue, "Hari ini gue belum bilang, 'kan?"
Cengiran gue munculkan. "Udah tuh, barusan," respons gue usil dan menambahkan, "I love you too, by the way."
Saga terkekeh seraya mengusap-usap puncak kepala gue. "I know." Dia berdiri lantas melangkah keluar dari kamar.
Meninggalkan gue sendirian yang malah menerawang teringat kejadian di masa lalu sewaktu si Bangsat datang menyelamatkan gue dari cekikan maut Jess di saat-saat super menegangkan itu. Belum lagi kejadian di mana gue dipukulin Mamah dengan dia yang sigap menolong. Pun, dia yang ngebela gue di depan banyak orang ketika gue mendapatkan diskriminasi. Bagi gue, sosok Saga ini seolah-olah emang diciptakan dan dihadirkan ke dalam kehidupan gue untuk melindungi dan menjaga gue. Membuat gue menyadari, betapa gue sangat amat semakin dibikin jatuh cinta ke dia.
Level bucin naik sepuluh kali lipat sekaligus. Norak dasar!
.
Ada hal yang perlu kalian ketahui mengenai gue, nih. Bahwa semenjak dirawat di RS, setiap kali gue bangun, alarm yang ngebangunin gue dari alam tidur nggak lain dan gak bukan adalah nyeri di kepala. Ada sensasi sakit bercampur denging yang terasa di bagian dekat telinga kanan yang serta-merta bikin gue sulit untuk melanjutkan tidur. Meski yah, gue nggak bakal langsung bangun juga. Rebahan dulu dilamain sambil praktik tarik-embus napas demi menguatkan diri hitung-hitung nunggu sakitnya ilang.
Setelah yakin sakitnya telah berkurang, barulah gue mulai membuka mata. Akan tetapi, pandangan gue yang masih agak buram ini langsung aja tertuju ke ujung kasur di mana si Bangsat tampak sedang memegangi lembar kertas di tangannya yang diperhatikan amat serius.
"Bangsat?" sebut gue masih dengan suara bangun tidur yang parau. "Elo lagi ngapain?"
Saga mengerling gue dengan sorot mata sedih, sesudahnya menggeser posisi duduknya ke dekat gue. "What is ... this? Elo gak pernah bilang apa pun ke gue soal semua ini," tanyanya sembari membolak-balikkan beberapa lembar kertas di tangan yang gue masih nggak ketahui itu apa.
"Itu apa?" balik gue bertanya sambil mengucek mata.
"Surat. Buat gue. Elo simpan di dalam laci."
Jawabannya bikin gue mengernyit. "Oh. Sur--ANJIR!" Begitu akhirnya sadar apa yang sedang terjadi, seketika gue panik dan bangun dari pembaringan secara susah payah untuk langsung coba merebut surat-surat dari tangan si Bangsat yang sigap berdiri menjauh. "BALIKIN SINI! BURUAN!"
Aduh, pusing kepala gue gara-gara bangun mendadak. Untung aja gue nggak jatuh ngeguling.
"No way!" Surat-surat yang gue tulis selama tiga bulan belakangan ini disembunyikannya ke belakang punggung. "Gue belum selesai baca."
ITU BAGIAN PALING HORORNYA, BAMBANG! Gue belum siap andaikan dia mesti ngebaca-baca surat dari gue. Udah mana isinya norak, lebay, dan acak-acakan. Bisa-bisa si Bangsat mendadak muntah dan jijik setelah membacanya.
"Gak ada baca-baca! Balikin sini!" Gue memprotes selagi mengejar Saga sampe dia tersudut di depan lemari.
Sialnya, cowok kampret ini nggak mempedulikan sama sekali dan malah menarik satu lembar kertas dari balik punggung untuk kemudian mulai dibacakan, "Heh, Bangsat. Selamat ulang tahun, ya."
Serta-merta badan gue membeku mengetahui surat yang mana yang saat ini Saga tengah pegangi.
"Hari ini, usia lo udah genap 18 tahun. Dan hubungan kita juga udah berhasil melalui satu tahun masa pacaran. Waktu rasanya cepet banget berlalu, ya. Kayaknya baru kemarin kita jadian, lalu kita ngerayain ultah lo, haha hihi, jalan ke sana-kemari barengan, sampe ada masanya kita jadi bahan bully anak satu sekolah.
Tapi sekarang kita malah jauhan. Pacaran rasanya hambar karena udah lama gak ketemuan, nggak saling berkabar dan gak bisa saling cari gara-gara kayak biasanya.
Jujur aja, gue kesepian, Saga.
Hari ini, gue bela-belain pesen kue dari Kak Armet khusus buat ngerayain ultah lo. Sendirian di kamar.
Gue nyanyiin elo lagu happy birthday, ngasih elo semua harapan terbaik dari gue, lalu niup lilin. Ngebayangin elo ada di samping gue. Semuanya.
Tapi anehnya, gue malah nangis. Gue nulis surat ini juga masih sambil nangis.
Semenjak elo jauh, gue bukannya jadi sosok yang tambah kuat sesuai yang gue sendiri harapkan, tapi justru berubah jadi makin lembek dan cengeng. Saking hampanya hari-hari yang gue habiskan tanpa lo di sini.
Juanda Andromano Saga Fransiskus, elo di sana lagi ngapain sekarang?
Apakah elo ngerayain ultah bareng keluarga lo di UK?
Maaf, di sini gue belum sempet beliin elo kado. Gue pikir, toh percuma ngebeliin elo kado sedangkan elonya aja nggak tau kapan bakal balik ke sini.
Saga, gue mau elo tau ...
Gue kangen banget sama lo, Setan.
Kapan elo pulang?
Mau sampe kapan elo bikin gue nunggu sendirian?
Gue kangen nyicipin masakan buatan lo, Bangsat.
Gue kangen elo ledek dan omelin.
Gue kangen semua tentang lo.
Gue kangen pelukan dan sentuhan lo.
Gue--"
"Udah cukup!" Gue terpaksa membungkam pelan mulut Saga yang semakin ke sini suaranya terdengar kian lirih dan parau ketika membaca isi surat di tangannya.
Sementara gue sendiri sontak merasakan sedih. Teringat masa-masa yang gue lalui seorang diri selama menulis satu per satu lembaran surat yang si Bangsat akhirnya temukan itu. Menorehkan setiap keluh kesah gue pada kertas kosong yang menjadi saksi betapa sepinya diri dan hati gue sejak ditinggal Saga pergi dari negara ini.
Lalu Saga memeluk gue seraya mencium puncak kepala gue bertubi-tubi. "I'm really sorry. Maaf karena gue udah bikin elo kesiksa selama kita jauh, Ryan. Sorry," bisiknya diakhiri embus napas berat.
Gue tersenyum maklum sambil menepuk-nepuk laun punggung lebarnya. "Yang penting sekarang elo udah ada di sini, Saga." Pelukan kami gue beri sedikit jarak. "Yang penting, elo sekarang di sini. Dan elo udah tau gimana perasaan gue. Itu udah cukup, kok," ucap gue selagi menatap ke dalam matanya yang dipenuhi sorot merasa bersalah.
Saga jadi mengembuskan napas lega. "Thank you." Bibir gue diberi kecupan singkat. Setelahnya dia merapikan semua surat di pegangan. "Boleh gue simpan semua surat ini buat gue bawa pulang? Gue belum selesai baca semuanya," pinta dia terlihat serius.
Yah, apa boleh buat, deh. Dia udah terlanjur tau juga. Jadi, percuma aja kalo gue tetep simpan.
"Bawa ajalah. Toh, emang lebih aman kalo elo bawa pulang. Biar gue gak perlu ngunci laci gue lagi," ujar gue pasrah kemudian melirik ke atas loster jendela. "Tapi hebat juga elo masih ingat di mana gue naruh kunci lacinya."
Wajib disimpan cukup jauh dari jangkauan pandangan orang-orang, ya. Supaya aman. Di dalam laci itu 'kan banyak tersimpan barang yang nggak boleh sampe ketauan Mamah.
Si Bangsat nyengir. "Ingatan gue selalu bagus kalo urusannya soal lo. But, kenapa kondom sama pelumasnya pada gak ada?"
Anjir. Barang yang dibeli dari zaman purba segala pake ditanya.
Seketika gue mendelik risih. "Ya udah gue buanglah, woi. Elo pikir itu barang gak bakal kadaluarsa?"
Dia manggut-manggut. "Oh. I see. Terus, kalo elo coli gimana?"
Sungguh pertanyaan yang super nggak penting dan nggak berguna bagi kemajuan negara Indonesia, tapi sayang kalo nggak dijawab.
"Ya, di kamar mandilah. Pake sabun."
Jawaban gue membuat Saga memperlihatkan binar antusias yang gak sehat. "Praktikkin, dong. Gue penasaran mau liat."
Kepalanya spontan gue pukul pelan. "Anjing dasar lo!"
Bule mesum ini ngakak puas. Lalu sebelah tangannya bergerak menggosok-gosok sudut mata gue sampe agak perih. "You look messed up. Sampe ada beleknya."
Seusai dia membuang belek gue, gantian gue yang menyingkap kemeja dia untuk melihat bentuk tubuh di baliknya.
"Heh, ngapain elo buka-buka baju gue?" tanyanya, tapi nggak mencegah.
Gue manyun. "Bener kata Zyas. Elo ternyata kurusan. Sekarang BB elo berapa? Gue lima puluh kilo."
"Antara enam puluh atau enam satu kayaknya."
Padahal dulu berat badan dia mulai naik di atas enam lima barengan sama tinggi badannya yang nambah.
Perutnya lanjut gue raba-raba mumpung ada kesempatan. "Kotak-kotak elo ngilang dikit."
"Iya. Gue belum mulai rajin olahraga lagi. Elo gak suka?"
Gue menatapnya. "Suka aja, kok. Yang penting 'kan muka elo masih ganteng," kata gue diakhiri kedipan mata norak.
Alhasil, pipi gue dicubit gemas. "Dasar lo, ya."
Gue nyengir, sesudah itu memegangi perut yang mulai terasa perih. "Gue lapar. Kita keluar, yuk. Makan."
Si Bangsat mengecup bibir gue lebih dulu sebelum mendorong badan gue. "Ayo."
.
"Fery, mau makan, ya?"
Mamah emang paling pengertian. Anaknya nongol di dapur langsung ketauan lagi nyari makan.
Anggukkan gue berikan. "Iya, Mah."
Si Mamah tersenyum. "Kebetulan masakan Nak Saga udah mamah angetin tadi. Bentar, ya. Mamah siapin. Duduk aja dulu sana."
Asik. Gue bakalan mulai bisa makan masakan si Saga lagi. Sebetulnya selama di RS gue berkali-kali minta dia kirimin makanan, tapi permintaan gue ditolak dengan alasan bahwa makanan di rumah sakit pasti lebih bergizi dan bermanfaat bagi tubuh gue.
PRETTT! Mentang-mentang gak pernah dirawat di rumah sakit. Mana tau dia bahwa makanan RS tuh kurang enak.
Ayam bakar, telur rebus balado, ikan emas bumbu kuning, semur daging, capcay, serta tumis sawi bercampur udang dan cumi mulai diletakkan ke meja. Mantap. Comot dagingnya. Ugh. Mantap.
"Nak Saga juga sekalian makan, ya. Biar bareng. Tante juga mau makan soalnya," ujar Mamah pada pacar gue yang sedari tadi turut membantunya.
Wadah berisi nasi yang Saga bawa ditaruh ke meja. "Iya, Tante."
Saga lalu duduk di sebelah gue setelah Mamah menaruh tiga gelas ke meja. Tanda bahwa semua yang perlu dibawa di dapur udah ada di sini semua. Saatnya makan!
"Fery mau disuapin?" tanya Mamah sewaktu bantu mengisikan nasi ke piring gue.
Sementara gue tengah memilih-milih lauk untuk diletakkan ke piring. "Gak usah, Mah. Fery bisa makan pake tangan kiri, kok. Kayak Saga, 'kan. Jadi, ada temennya," balas gue yang bikin Mamah terkekeh maklum.
"Ya udah atuh."
Akhirnya, gue mengambil dua telur rebus balado dan satu potong paha ayam bakar ke piring. Dokter bilang, gue harus banyak memakan asupan berprotein kayak daging ayam dan telur ini, sih. Supaya jahitan gue bisa cepat pulih. Dan gue juga lagi menghindari sambal untuk beberapa waktu ke depan karena nggak mau nyari penyakit tambahan.
Di sebelah gue, Saga sekadar makan pakai sawi, udang, cumi dan sayuran dari capcay. Kalem dan dikit-dikit banget lagi makannya. Nggak macem gue yang langsung mengigit tepian daging paha secara nggak santai.
"Kangen banget gue sama masakan lo!" ujar gue dengan mulut penuh sambil melirik si Bangsat yang tersenyum sembari mengunyah.
"Makan dulu yang bener. Jangan sambil ngomong, nanti keselek." Mamah menegur, tapi dia juga yang lanjut berbicara, "Tapi enak, ya. Kalo bisa jadi pendamping hidupnya Nak Saga. Setiap hari bisa dimasakin makanan sama suami jadinya."
Seketika gue tersedak mendengar ucapan si Mamah. Bangsul. Kenapa pembahasannya jadi ke arah sana, sih?
"Tuh, 'kan. Jadi keselek," omel Mamah pelan.
LAH, GARA-GARA SIAPA COBA?
"Here. Water."
Gue segera meneguk segelas air yang si Bangsat berikan hingga habis. Aduh, nyeri tenggorokan sama hidung gue, nih.
"Tapi, tante denger dari Fery, katanya Nak Saga udah punya pacar, 'kan? Kenapa pacarnya nggak sekalian diajak ke sini buat ngejenguk Fery? Tante juga 'kan mau kenalan."
Baik gue ataupun Saga sama-sama terdiam menangkap pertanyaan yang barusan Mamah lontarkan. Bingung. Nggak tau harus merespons bagaimana lantaran kami berdua nggak menyangka bahwa akan tiba masa di mana Mamah mempertanyakan perihal ini tepat di hadapan kami berdua.
Anjrit. Kami mesti jawab apa, nih?
____
Sedikit bonus kupersembahkan.
Berisi adegan dialog antara Dyas dan Saga sebelum Saga memutuskan kembali ke rumah Feryan.
"Are you really gonna leave them with that kind of man? Dari yang gue denger, papah Feryan ini orangnya keras dan jelek sifatnya, 'kan?"
Penuturan sohib berkacamatanya membuat Saga spontan memelankan laju mobil. "I know that. Gue juga lagi kepikiran, nih."
Pengakuan itu mendatangkan sebuah solusi yang langsung Dyas sampaikan, "Then, you better go back to his house. Before something bad might happened there."
Saga mendelik. "Don't scare me, you nerd!" Laju mobil berhenti total kini, sabuk pengaman pun turut dilepas. "And how about you?"
Dyas mengangkat bahu. "I'm gonna take your car, of course. You can just walk from here. And if you wanna go home, just call Gojek or Grab. Problem solved."
Saga tersenyum. "Okay. Thanks." Dia membuka pintu mobil.
Namun sebelum Saga pergi, Dyas mengatakan sesuatu terlebih dahulu padanya, "Elo punya banyak hutang waktu dan perhatian yang harus dibayarkan ke Feryan, Saga. You also know that, right?"
Pemuda berkulit putih itu mengangguk sembari menutup kembali pintu mobil. "Yeah, I know. And I will pay everything double. So, you don't have to worry."
"See you again."
"Bye!"
Saga kemudian berbalik kembali menuju ke kediaman Feryan dengan langkah tergesa. Berharap tak ada sesuatu buruk apa pun yang terjadi pada sosok terkasihnya.
___Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com