Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. PERENCANAAN

Gue menghela napas panjang sesudah meminum obat. Masih belum kuat membuka mata terlalu lama lantaran sensasi berputarnya masih aja mengganggu. Di sela-sela nyeri yang terasa disertai denging di telinga yang hilang timbul, gue sedikit mampu menangkap dengar suara Bu Jamilah yang sedang berbicara pada Mamah.

Jika bukan berkat beliau yang berteriak heboh, mungkin gue nggak bakal cepat-cepat dapat pertolongan. Dan untungnya, gue kehilangan kesadaran barang sekejap mata doang sebab begitu tubuh gue mulai diangkat oleh Saga--gue tau itu dia dari aroma tubuhnya, kesadaran gue kembali pulih.

"Mungkin Feryan kecapean kali, Mbak. Udah, mendingan buat beberapa hari ini dia dikasih full istirahat dulu. Kasian. Untung aja tadi kepalanya nggak kenapa-kenapa. Saya ngeri ngeliatnya."

"Iya, Bu. Sekali lagi makasih, loh. Aduh. Saya masih gemeteran. Takut Fery kenapa-kenapa."

"Ssst. Udah. Nggak apa-apa. Saya tau banget Feryan ini anak yang kuat. Sebentar lagi juga dia pasti sembuh. Saya yakin."

Senyum gue muncul begitu aja mendengar kalimat beliau. "Aamiin, Bu." Refleks menyahut dan bikin Bu Jamilah tertawa girang.

"Cepat sembuh ya, Fery."

Dapat gue rasakan belaian yang mengenai sisi kepala dari tangan Bu Jamilah.

"Kalo gitu, saya balik pulang dulu ya, Mbak. Lagi ada cucian di rumah."

"Oh, iya, Bu. Makasih sekali lagi, ya."

Sepertinya, Mamah beranjak untuk mengantar Bu Jamilah ke depan.

Ah, sayang banget gue lagi nggak sanggup ikut bangun dan mengantar beliau. Sampe kapan sih penyakit bernama vertigo ini bakal menyerang gue? Sumpah gak enak.

Gue menghela napas panjang yang serta-merta bikin gue membaui aroma masakan yang tercium kian dekat dan dekat.

Indra penciuman gue mengendus-ngendus aroma kuah, bau telur, kacang kedelai serta daging. "Udah mateng, ya?" tanya gue masih dengan mata memejam.

Saga memperdengarkan suara tawa tertahan. "Meski lagi sakit, soal makanan tetep aja elo cepet tanggap, ya," komentarnya yang lalu terdengar menaruh sesuatu ke meja.

Mungkin makanan yang udah matang tadi.

"Fer!"

Suara seruan itu bikin gue mengernyit. "Itu elo, Set." Kemudian hidung gue mengendus aroma parfum. "Sama Zyas, 'kan?"

"Wah! Feryan bisa tau meski lagi merem."

"Karena di antara kami berenam, cuma elo doang yang suka pake parfum dengan wangi sekebon."

Yakin, Zyas pasti sedang memasang ekspresi mencibir sekarang. "Denger-denger dari Juanda tadi kamu sempet pingsan."

"Iya. Pusing. Ini gue aja masih belum sanggup ngebuka mata.." Hidung gue membaui aroma jus mangga. Punya siapa itu, ya? Terus, kenapa nggak kedengeran suara dua kawan lainnya?

"Kalian cuma berdua aja datangnya? Ervan sama Dyas mana?"

Oh. Pertanyaan gue diwakilkan oleh Mamah.

"Vano sama Dyas lagi sibuk ngejar-ngejar Yellow dulu buat dibawa ke sini. Itu loh, Tan. Kucingnya Juanda," jawab Setya.

Gue meringis. "Mau dibawa sekarang emang?"

Zyas menimpali, "Iyalah. Katanya, kamu mau Yellow diajak ke sini."

Ya, emang, sih. Tapi gak nyangka aja bakal keturutan secepat ini. Nanti giliran dia datang, sedangkan gue belum sanggup membuka mata 'kan jelas-jelas kagak asik, ya. Gue kepengin ngeliat muka lucunya. Meow meow minta gendong. Ugh, gemes.

Seseorang tiba-tiba menyentuh tangan kiri gue dan bikin gue terlonjak sedikit. "Elo bisa bangun? Ayo, makan sekarang."

Oh. Pacar gue rupanya. "Udah gak nafsu makan lagi gue, nih. Pusing banget, tauk!"

Keluhan gue ditanggapi oleh Mamah. "Ini ada sup telur sama bola daging, loh, Fery. Enak!"

Tetap nggak terasa menggoda soalnya gak bisa gue liat langsung. Akhirnya, tangan gue menengadah. "Tempe aja siniin."

Lagi, si Bangsat tertawa. "Kecium aja ya, ini bau tempe." Lalu satu buah tempe hangat diletakkan ke atas tangan gue.

Ini tempe tepung. Mantap. Setiap dikunyah, dunia gue tambah muter-muter. Bodo amatlah. Capek.

"Kamu cepet sembuh dong, Feryan. Supaya nanti setelah kelulusan, kita bisa jalan-jalan barengan."

Kalimat Zyas gue balas dengkusan. "Masih lama kali. Tiga bulanan lagi kita lulus."

Zyas menambahkan, "Ya, iya. Selama itu, kamu juga harus cepat sembuh. Nanti kita bisa pilih mau liburan ke pantai, ke hutan, ke gunung atau ke planet Mars sekalian."

Dapat gue tangkap suara tawa Mamah karena ucapan ngawur Zyas itu.

"Ke gurun Sahara sekalian. Biar elo mandiin onta-onta di sana," usul gue sambil membayangkan Zyas betulan memandikan onta di gurun Sahara.

Eh, sebentar. Gurun Sahara pemandangannya kayak gimana, ya? Gue cuma taunya semua gurun berpasir cokelat dan adanya di Arab Saudi.

"Tapi di gurun 'kan gak ada air, Feryan. Gimana cara aku mandiin ontanya?"

Eh, emang di Gurun gak ada air sama sekali?

"Ditayamum aja atuh ontanya!" Mamah ikut berceletuk dan bikin Setya terdengar menyemburkan tawa.

"Tayamum tuh wudhu yang pake debu itu, 'kan? Ih, Tante lucu, deh." Respons Zyas disertai suara cekikikan melengking.

"Zyas juga lucu, ih. Ayok, tos dulu."

Lantas suara tos antara Mamah dan Zyas terdengar. Duh. Pasti lucu kalo bisa ngeliat tos dan cekikikan berdua. Sefrekuensi mereka.

"Elo coba makan pelan-pelan bisa, 'kan? Nanti gue bantu suapin."

Perkataan si Saga langsung disahuti Mamah. "Aduh, jangan atuh, Saga. Biar tante aja."

"Gak apa, Tante. Tante 'kan ada kerjaan lain di belakang. Ngurusin cucian yang banyak," ujar Saga mengingatkan.

Mamah menghela napas panjang. Mungkin pasrah aja. "Iya, sih. Ya udah, deh. Tante ke belakang, ya. Biasa. Tolong temenin Fery."

Suara langkah kaki Mamah mulai meninggalkan ruang tamu ini.

Setelahnya, Si Bangsat bicara lagi, "Zyas serius soal liburan itu."

Gue mengernyit masih sambil memakan tempe. "Gimana maksudnya?"

"Ya, nanti setelah kita semua lulus, kita bakal ngerayain kelulusan dengan cara liburan sama-sama. Meski gue belum tau sih, bakal ngebawa kalian liburan ke mana. Hitung-hitung bikin kenangan sebagai tanda udah lepas dari status bocah SMA aja dulu."

Penjelasannya bikin gue tertegun sebentar. Wah. Liburan. Udah lama rasanya gue nggak liburan atau jalan-jalan sejak pandemi ini berlangsung. Pasti seru andai kami beneran bisa liburan sama-sama.

"Ngomongin soal SMA, nih. Temen-temen di kelas kita pada mau jenguk elo ke sini, Fer. Info dari GC."

Perkataan Setya nyaris membuat gue keselek. "Sekarang?"

"Nanti siang, katanya. Agak sorean."

Oh. Syukurlah kalo agak sorean. "Ya udah. Gak apa-apa."

Eh, berarti nanti si Benjo bakal datang ke sini lagi, dong? Maleslah gue.

"Set, pastiin anak-anak dari kelas lo gak ngomong macem-macem selama gue masih ada di sini."

Pesan Saga barusan langsung direspons oleh Setya. "Oh, iya. Oke. Nanti gue bilangin."

Ah, ngomongin soal anak-anak kelas, gue jadi teringat. "Udah lama gue ketinggalan kelas online."

Saga mendecak. "Kenapa mesti elo pikirin, sih?"

Setya menambahkan lagi, "Oh. Info tadi kurang lengkap. Ternyata anak-anak bakal ngejenguk ke sini bareng sama guru selaku wali."

Wah. Kira-kira siapa yang bakal ikut datang, ya?

"Moga kepala gue bisa mendingan sebelum mereka datang, deh," desis gue berharap sembari berusaha membuka mata.

AH, KAGAK BISA. Masih muter.

"Makanya, sekarang elo makan supaya elo bisa punya tenaga tambahan."

Buseet. Gue punya pacar kerjaannya cuma nyuruh makan doang dari tadi.

"Gue mau ngemil tempe aja."

Jawaban gue terdengar bikin si Bangsat menghela napas panjang. Kesel deh dia. Gemes dia.

"Ya udahlah, biarin. Asal ada makanan yang masuk ke badannya." Ini dari Zyas.

Setelah menghabiskan semua tempe goreng di piring, gue dibantu minum oleh Setya dan Zyas. Jus mangga.

Nah, 'kan. Makan gituan aja udah bikin kenyang. Meski yakin satu jam ke depan juga gue bakal ngerasa lapar lagi, sih.

Gue bersendawa. Membaui aroma mangga bercampur kedelai dari tempe yang tadi dimakan. Juga bau mulut yang cukup mengganggu. Mana gue belum sempat dilap.

"Badan gue bau banget gak, sih? Pengin dilap, tapi pusing bangunnya."

Tanya gue dibalas oleh Zyas, "Mau aku semprotin parfum aja?"

"NOT FROM YOU, Zyas!" Si Bangsat mendadak berseru heboh, macem orang parno aja. "Gue nggak mau Ryan punya aroma yang sama kayak lo."

"Ew, Juanda. Segitunya kamu gak suka sama aku."

Protes Zyas gue beri balasan berupa penjelasan, "Bukan sama lo, Zyas. Saga emang kurang suka sama parfum aroma bunga punya lo. Kan elo juga tau."

"Tapi ini beda. Nih, coba cium."

Bunyi semprotan parfum terdengar. Membuat gue mampu membaui aroma parfum yang berbeda dibanding aroma parfum yang sekarang sedang Zyas gunakan. Aroma ini lebih mirip kayak parfum punya si Dyas. Wanginya aja lebih menyengat sedikit.

"Kalo kalian gak bisa nyium, kalian berarti kena corona lagi, ya," seloroh Zyas menyambungkan.

"Oh, iya. Beda. Ya udah. Silakan elo semprotin ke Ryan, deh. Gak usah banyak-banyak."

Ucapan Saga segera dituruti. Parfum tadi disemprotkan ke arah leher, ketek, kepala bahkan ke muka gue. ANJRIT!

"JANGAN KE MUKA GUE JUGALAH, ANJIR!" keluh gue seraya menggosok-gosok muka.

Zyas tertawa. "Supaya muka dekil kamu bisa wangi sedikit."

"Kampret lo!"

.

Apanya yang agak sore. Ini baru jam 11 siang, tapi rombongan anak-anak kelas D yang menjenguk udah pada datang, tuh. Di saat gue baru mau mulai makan sebab kondisi kepala akhirnya terasa mendingan. Meski yah, gak bisa disebut rombongan juga, sih.

"Alhamdulillah, yang datang ternyata cuma kalian berlima," sapa gue pada Cece, Herman, Rifky, Faniya dan tentunya, Benjo. "Sama Pak Dewa dan Bu Anita juga. Apa kabar, Pak, Bu?" sambung gue sembari agak menunduk sungkan pada mereka.

Mau ngajak salim, segan gue soalnya pake tangan kiri. Udah lama nggak ketemu, Bu Anita keliatan tambah cantik. Mungkin efek pengantin baru. Sedangkan Pak Dewa terlihat gak berubah, masih tampak berwibawa dan baik hati. Guru favorit gue walau matpel yang beliau ajarkan adalah yang paling gue benci.

"Alhamdulillah kabar kami baik, Feryan." Pak Dewa tersenyum. "Bagaimana kondisi kamu sekarang?"

Gue menatap mereka semua yang terpaksa disuruh duduk di depan rak tivi. Soalnya kalo disuruh duduk di sofa semua nggak bakal muat.

"Udah mendingan, kok. Cuma sakit kepalanya aja yang masih hilang timbul. Maaf, karena udah lama gak bisa ikut kelas online."

Penuturan gue tadi direspons oleh Bu Anita. "Tidak usah memikirkan perihal kelas online dulu. Materi toh bisa dikejar. Yang lebih penting adalah kesehatan kamu."

Gue tersenyum lega mengetahuinya. Aslinya sih, gue malas menghadiri kelas online dan dengan gobloknya sedikit menganggap keadaan gue ini sebagai berkah. Nasib jadi murid yang nggak teladan.

Mamah muncul dari dapur sambil membawakan kue brownies yang telah dipotong-potong hasil pemberian dari tamu di sini. "Makasih ya, Pak, Bu, temen-temen Fery juga, sudah mau repot-repot jenguk."

"Iya, Tan. Sejak Fery masuk RS juga kami mau jenguk, tapi 'kan susah karena prosedurnya." Cece berkata seraya mulai membuka botol minuman.

Bu Anita mengerling pada Saga dan Zyas yang bantu menaruh piring ke tengah-tengah ruangan. "Saga dan Zyas juga ada di sini, ya."

Zyas yang menjawab, "Iya, Miss. Aku, Setya, Feryan dan Saga ini 'kan satu circle sekarang."

Pak Dewa lalu bertanya pada Saga, "Saya dengar kamu hendak kuliah ke UK, Juanda? Apa benar?"

Cowok gue menggelengkan kepala. "Kemungkinan batal, Pak. Untuk sementara, saya ingin memulai usaha kecil-kecilan dulu aja di sini. Sekalian menunggu wabah covid ini membaik."

Jawabannya membuat Pak Dewa manggut-manggut. "Semoga sukses, ya. Saya yakin kamu akan berhasil."

"Terima kasih, Pak," ucap Saga dibarengi senyum super mempesona.

Gue ikutan bilang makasih dari dalam hati buat Pak Dewa, deh.

"Denger-denger tangan lo patah, Fer." Herman melirik-lirik ke arm sling yang gue pakai.

Gue meringis sewaktu coba menggerakkan tangan kanan sedikit. "Iya. Tulang pergelangan tangan atas."

"Ugh. Nyeri." Faniya dan Rifky tampak bergelinjang nggak nyaman di tempat mereka.

Kenapa ya reaksi mereka semua begitu setiap ngedengar soal luka yang gue punya?

"Emang nyeri, sih. Tapi sakitnya masih lebih bisa ditahan daripada sakit di kepala yang datangnya suka mendadak," ungkap gue menjelaskan.

Tetap, mereka menggelinjang lebih nggak nyaman lagi.

Hadeeeuh. Maleslah gue. Berasa nularin penyakit menular secara nggak langsung.

"Cepet sembuh ya, Fer. Biar nanti kita bisa belajar bareng lagi di kelas."

Bacot dari si Benjo gue tanggapi agak ketus, "Tahun ini kita lulus, ya."

"Maksud gue, di kelas online," koreksinya disertai senyum yang bikin Saga memutar bola mata.

Zyas menyumbang suara memberi cibiran, "Ngelesnya bisa banget."

Gue jadi nggak bisa menahan tawa. Badan gue lantas bergerak, hendak mengambil bola daging di piring ketika sensasi pusing menyerang dan membuat gue sontak meringis.

Benjo yang posisinya paling dekat dengan gue sigap menghampiri. "Elo nggak apa-apa, Fer?"

Namun, belum sempat tangannya menyentuh gue, seseorang mendadak muncul dan mencekal tangannya. Gue mendongak, dan serta-merta mendelik mendapati Saga dan Benjo yang tengah beradu pandangan cukup sengit.

"Don't you dare touch him!" desis Saga memperingatkan.

Dibalas oleh Benjo yang menyeringai. "I help him as a friend. What's the big deal?"

Sementara gue meneguk ludah. Mengedarkan pandangan ke arah semua orang di ruangan ini, terutama Mamah yang jelas aja terlihat kebingungan.

NGGAK BISA APA SEKALI AJA INI DUA ORANG NGGAK RIBUT? NAMBAH-NAMBAHIN PUSING AJA KERJAANNYA!

___Bersambung

Maaf karena isi cerita di bab ini terkesan singkat dan kurang detil. Anggap aja, aku sedang mengimbangi kondisi Feryan yang lagi kurang maksimal, alhasil caranya bercerita juga jadi lebih asal-asalan. 😂

Sampe ketemu di next update, ya. 😗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com