29. PENGULANGAN
Maaf, ya. Agak lama ngerjain BAB 29 ini karena ternyata jumlah katanya setara 2 bab yang biasa dibikin. Tuh, buktinya. 😂
Jadi, semoga kalian semua menyukai keseluruhan bab ini. Dan nggak pelit-pelit ngasih komen sama vote-nya. Karena asli demi apa, aku berjuang banget loh dalam pengerjaan bab 29 ini. Makanya aku mengharapkan banget apresiasi serta kesan dari kalian semua. Oke?
Last, aku mau minta maaf karena aku sempat salah menjabarkan kondisi dalam latar SBKB#2 sekarang yang mana udah aku revisi juga dari bab sebelumnya, ya. Mohon harap maklum dan pengertiannya aja karena aku hanyalah seorang penulis pelupa dan ceroboh. Huhuhu.
Selamat membaca. ♥️
______
"Fuuuh!"
Gue meniup lilin dan serta-merta disahuti suara tepuk tangan meriah dari kawan-kawan semua, nggak ketinggalan dari cowok gue juga tentunya. Memasang cengiran yang seolah nggak kenal luntur, gue kemudian mulai memegang pisau kue dibantu oleh Saga yang juga turut memotongkan kue.
Kue pertama Saga terima tanpa perlu menunggu gue yang memberikan. Cuma bilang, "Thanks." Tanpa lupa ngasih gue ciuman di bibir juga.
Tck, cowok kampret emang!
Potongan kue kedua mulai gue angkat dan bawakan kepada seseorang yang sedari tadi berdiri di belakang kami.
"Potongan kedua ini akan gue kasihin ke sahabat gue yang paling bawel, paling baik dan paling ngeselin. Nih!" ujar gue seraya menyodorkan.
Diterima oleh Setya dengan cengiran lebar. Sesudahnya, dia memeluk gue sebentar. "Makasih, Fer. Panjang umur, ya."
Gue mengangguk, lantas lanjut membagikan potongan kue ketiga. "Nih, buat elo!"
Namun, Vano malah menggelengkan kepala seakan nggak kepengin nerima kue pemberian dari gue. Dan justru dengan mesra merangkul Setya. "Biar gue makan kuenya barengan sama Febri aja."
Kalimat bucin si Vano seketika memunculkan suara batuk-batuk sok mengganggu disertai siulan usil dan pandangan menggoda. Terkecuali dari Saga yang tampak bereaksi kurang senang.
"How dare you, nolak kue dari pacar gue!" Akan tetapi, komentar galak si Bangsat nggak dipedulikan oleh sohib jelmaan tiang berjalannya yang sedang asik suap-suapan dengan Setya.
Udah nggak ada obat banget bucin mereka.
Akhirnya, gue beralih ke sosok yang berdiri di sisi kanan mereka. "Ya udah, nih. Buat elo aja!" Piring kue ketiga gue serahkan pada Dyas yang malah mengernyit heran.
Di sampingnya, Zyas terlihat kecewa dan mengeluhkan, "Feryan jahat! Kok yang dikasih duluan malah Dyas, sih? Padahal aku ngarep banget kamu akan lebih mengutamakan aku daripada dia!" Dengan gaya lebay, dia membuang muka. "Aku kira persahabatan kita ini indah, rupa-rupanya aku salah."
MULAI KUMAT MODE DRAMA QUEEN-NYA.
Gue mendecak gemas. "Yaelah. Urusan kue aja dibikin baper segala!" respons gue diakhiri gelengan masygul.
"Mungkin bagusnya muka si Zyas dilelepin ke kue ultah lo sekalian, Fer."
Usulan biadab Arima yang mendadak barusan sontak membuat gue berdiri siaga di depan meja kue sambil merentangkan sebelah tangan. "Enak aja! Sisa kue di sini nanti kepengin gue habisin semua, ya!"
Seruan yang gue katakan secara serius itu bikin mereka menatap gue cukup lama dalam keheningan.
"Mau heran, tapi elo Feryan," celetuk Dyas diakhiri senyum geli sebelum melahap kue.
Arnando, Zyas, Arima dan Jofan cekikikan. Vano dan Setya berbagi cengiran. Si Bangsat sekadar memandang maklum. Sementara yang lain cuma mampu geleng-geleng kepala.
"Ya udah, kalo gitu potongan kue buat kita simpan aja pada tempatnya. Toh makanan lain masih banyak di sini," ujar Ajay yang bagusnya ditanggapi anggukkan setuju oleh semuanya.
"Beneran, ya? Oke!" sorak gue kepalang senang lantas menatap kue di meja dengan binar antusias.
Begitu pesta ini bubar, bakal gue makan kalian semua tanpa sisa. Kecuali lilin sama papan namanya, ya. Gue nggak doyan soalnya.
"Let's start the party!" jerit hampir semua orang di ruangan dengan penuh kehebohan.
Keseruan yang terjadi saat ini semata-mata mengingatkan gue pada perayaan ultah si Bangsat yang ke-tujuhbelas dulu. Alunan musik berdentum yang diputar dari sound speaker jumbo diwarnai lampu kelap-kelip yang terpasang di tengah ruangan membuat huru-hara ini menjadi semakin menyenangkan.
Di bawah kelap-kelip lampu, gue menggoyangkan sebelah tangan dan kedua kaki secara canggung di hadapan Saga yang alhasil jadi menertawakan gue. Bodo amat! Emang gue nggak bisa nari, kok.
Nggak seperti Arima dan Jofan, tuh. Yang kompak joget berdua dengan asiknya mengingat mereka emang sering dugem bareng. Setya dan Zyas juga menggoyang-goyangkan badan bersamaan sambil ketawa-ketawa. Julian dan Nando cuma berdiri berdampingan selagi mengobrol dengan Dyas di depan mereka. Ada Ajay yang menaik-turunkan kepalanya macam boneka kucing di dashboard mobil. Sedangkan si Vano entah lagi ngilang ke mana.
Apa pun itulah. Yang penting, ayo jingkrak-jingkrak terus sampe kita berhasil menciptakan gempa di dalam rumah. YIHAAA!
"Hey, hey!" Si Bangsat mendadak aja memegangi kedua bahu gue dan bikin gerakan badan gue terhenti. "Santai aja, Ryan! Elo boleh semangat, tapi jangan terlalu over, oke? Nggak bagus untuk badan lo yang masih gak boleh terlalu kecapekan," katanya mengingatkan seraya mengusap peluh di dahi gue.
Hmmm. Ya udah, kalo gitu gue meluk dia aja supaya nggak ada capek-capeknya.
Nggak lama, pelukan antara gue dan Saga kembali buyar lantaran dikagetkan oleh suara seorang bule kambing.
"Everybody! Let's have a drink!" seru Vano bersemangat. Di tangan kanan, dia memegangi mic, sedangkan tangan kirinya terlihat membawa tiga botol minuman yang gue yakini mengandung alkohol.
Ugh. Pesta mabok-mabok merayakan kelulusan di bulan ramadhan. Biasalah, anak muda pencetak dosa emang beda.
"Bukannya itu haram, ya?"
Pertanyaan spontan gue bikin semua orang melirik konyol.
"Fer, elo pacaran sama sesama cowok juga udah termasuk haram," balas Setya.
"Pacarannya aja dalam islam udah terbilang haram, 'kan?" sambung Jofan.
Zyas nimbrung, "Apalagi yang pacaran sampe ngentot. Haramnya dobel nggak, tuh?"
Seketika gue terdiam menangkap seluruh perkataan mereka dan hanya bisa mengangguk pasrah. "Ya udah, deh. Iya. Tapi gue nggak ikutan, ya."
Saga memutar bola mata lalu menanggapi omongan gue, "Siapa juga yang kepengin ngajakin orang yang masih dalam masa pemulihan buat minum-minum?"
Oh, baguslah. Lagian gue belum siap nyobain minuman kayak begituan juga, sih. Takut ketagihan. Atau parahnya, malah keracunan. Hiii, amit-amit.
"Cheers!" sahut mereka semua kompak sambil mengangkat masing-masing gelas kecil berisi minuman di tangan, kemudian menenggak isinya hampir bersamaan sampai habis. "YEAH!"
Setya memekik dengan kernyitan di mukanya seusai menandaskan isi gelas. "Not bad!"
Vano terkekeh mendengar komentar Setya sembari mengisi kembali gelas mereka. "I told you." Kemudian pasangan bucin itu lanjut minum lagi.
Ugh. Melihatnya gue jadi resah. Tetapi, mereka keliatan menikmati dan bersenang-senang. Terlebih cowok gue yang udah mengisi gelas untuk ketiga kalinya.
Gue mengendus-ngendus penasaran. Alhasil membaui aroma asam bercampur rasa lemon, anggur sampai aroma sejuk manis lantas mengibas-ngibaskan tangan nggak nyaman. "Emang minuman gituan enak, ya?"
Saga menaruh gelasnya dan mengerling gue. "Tergantung selera. Elo mau nyobain?"
Gelengan kepala secepatnya gue berikan atas tawaran sesatnya. "Nggak mau, ah. Takut gue."
"Nyoba dikit aja, kok." Si Bangsat memegangi tengkuk gue, membawa gue mendekat padanya untuk selanjutnya mendaratkan ciuman ke bibir. "Tuh. Gimana rasanya?"
Sontak aja gue mendelik jengah. BULE MESUM KAMPRET! Mana gue kepikiran soal rasanya. Eh, tapi rasa ciuman dia emang agak wangi sih tadi.
"Hadeeeuh." Dan muncullah beberapa suara protes yang semata-mata bikin gue nyengir nggak enak.
"Kalian daritadi ciuman melulu, ya!" sergah Zyas dan berkacak sebelah pinggang bagai mak-mak yang memergoki anaknya sedang pacaran.
"Masuk kamar duluan aja sana sekalian!" goda Arima menyuruh yang jelas mustahil gue turuti.
"Nggak mau. Gue belum lanjut buka puasa, gue masih mau makan-makan!" balas gue yang kemudian melangkah menuju meja prasmanan. "Gue mau makan!" sekali lagi gue mengulang dengan kencang.
Mendengar kalimat gue yang ngegas, mereka semua sekadar mengangguk-angguk, mengeloskan. "Ya udah, sana makan. Gak bakal kami larang. Buseet."
Hmmm. Mari kita lihat menunya. Di sini, ada dua belas wadah stainless kotak yang diisi oleh dua belas menu berbeda-beda. Dimulai dari siomay, opor ayam, ayam bakar, ayam goreng tepung, sop daging, rendang, ikan emas bumbu kuning, udang cumi pedas manis, telur balado hingga asinan acar. Dua wadah sisanya diisi oleh makanan penutup berupa; puding serta sate buah-buahan aneka rasa. Ada tiga piring kecil juga yang ditaruh dibawah berisi sambal kecap, sambal merah dan sambal hijau. Botol saos dan botol kecap pun nggak ketinggalan dipajang, dong. Dan jangan lupain juga bakul berisi nasi di ujung meja ini.
MANTAP.
Duh. Jadinya bingung, 'kan. Gue kepengin nyicipin yang mana dulu, nih?
"Elo mau makan apa?" Saga tahu-tahu datang dan mengambilkan piring untuk gue yang masih melirik-lirik menu buatannya. "Biar gue bantu ambilin."
"Gue bisa ambil sendiri. Elo lanjut minum aja."
"Gue udah bosen kali minum-minum. Udah sering toh."
Oh, ya udah kalo dia bilang begitu.
"Gue mau ini. Siomay." Telunjuk gue mengarah pada wadah siomay yang terbagi menjadi dua sekat.
"Yang mana? Isi sayur apa daging?"
"Yang daging, dong! Bumbunya saos aja. Ditambah sambalnya dua sendok."
Mata sipit si Bangsat mendelik mendengar permintaan gue. "Satu."
"Satu setengah, deh," pinta gue menawar.
Akhirnya dia menghela napas pasrah. "Fine." Satu setengah sendok sambal dituangkan ke atas siomay daging gue yang juga udah dibumbui saos. "Nih."
Gue menerimanya dengan senang. "Makasih," ucap gue disertai cengiran.
Bule kesayangan gue ini ikut tersenyum sembari mengusap-usap puncak kepala gue. "Terus, elo kepengin apa lagi? Biar sekalian."
Tanpa perlu berpikir lagi, gue membalas, "Daging ayam, deh."
"Yang opor, bakar atau fried chicken?"
"Semuanya, dong!"
Dia tampak meringis. "Elo nggak akan sakit perut 'kan begitu makan semuanya nanti?" bisiknya bertanya, cemas.
Gue mendecak gemas. "Elo kayak baru kenal gue kemarin aja, sih."
Namun, gara-gara melihat Saga yang sedang mengambilkan gue tiga menu sekaligus, anak-anak yang sedang minum mendadak berlagak panik sembari mulai berdatangan menghampiri meja prasmanan.
"Woi, makanannya jangan elo habisin, Fer!"
"Iya, ih! Nanti menunya keburu diborong Feryan. Jangan sampe kehabisan!"
"Ayo, cepet kita juga makan!"
"Gue tadi buka puasa baru makan sedikit, loh."
Segala keluhan yang mereka lontarkan bikin gue dongkol nggak kepalang. "Ya, kali, makanan satu prasmanan bakal gue habisin semua."
"Nggak mustahil karena orangnya adalah elo."
Minta dijejelin sekop semen nih mulut si Arima. Bangsul dasar.
"Bodo! Suka-suka kalian aja." Akhirnya, gue memilih berjalan ke salah satu kursi untuk mulai menikmati siomay.
Hmmm, enak. Tekstur daging sapi dan ayamnya lembut sekaligus gurih. Mantul. Dan bakal tambah mantul andaikan siomaynya ditambahin sambal empat sendok. Tentunya tanpa sepengetahuan si Bangsat, ya. Karena kalo dia tau, bisa-bisa gue diomelin habis-habisan.
Satu mangkuk opor ayam disusul piring berisi ayam bakar dan fried chicken ditaruh di meja. Mendongak, gue mendapati si Bangsat yang geleng-geleng kepala karena tau-tau siomay di piring gue udah nggak kesisa.
"Nasinya mana, Bangsat?"
Matanya melotot nggak percaya. "Mau pake nasi juga?"
"Ya, iyalah. Mana kenyang makan gue kalo nggak pake nasi."
Lagi, dia cuma bisa menghela napas pasrah sambil mengangguk, lalu berjalan kembali ke meja prasmanan.
"Oh. Sekalian sama acarnya. Gue mau!" seru gue selagi menyuil daging ayam bakar. "Sama ikan emasnya juga, deh. Terus tel--"
"Shut up! Elo kalo mau minta satu-satu bisa, nggak? Gue pusing!" bentak Saga disertai pelototan berang.
Lah anjir, gue malah kena marah.
"Ya, gue 'kan lapar! Hari ini gue puasa sehari penuh, ya!" Gue membela diri.
"Nggak puasa pun elo sering banget ngeluh lapar, 'kan."
"Feryan gitu, loh."
"Lapar adalah jalan ninja Feryan."
"Bacot kalian!" sembur gue sambil lalu melahap daging ayam bakar penuh nafsu.
Untung rasanya enak.
"All I ask is if ..."
Hah? Suara Setya 'kan itu? Kok dia malah asik main di atas panggung bareng Vano.
"This is my last--ahem. Maaf, suaraku fals."
Setya ketawa puas mendapati nada sumbang pada suara kekasih jelmaan titannya. "It's okay. Let's try again."
"Heh, makan dulu kalian! Malah nyanyi-nyanyi!"
Seruan gue malah nggak diindahkan. Atau bisa jadi, nggak kedengeran karena sekarang mereka berdua tengah lanjut bernyanyi dengan seru. Setengah mabok kali itu dua orang.
"Biarin aja." Saga datang kembali ke meja ini seraya membawa nampan berisi sepiring nasi, ikan emas, asinan acar dan juga telur balado. Sesuai seperti apa yang gue pesan.
TERBAIK! Mari kita coba.
"Vano sebetulnya lagi ngelepasin stres gara-gara diomelin terus sama Bunda dia sejak ujian selesai."
"Diomelin gimana?" tanya gue sebelum menyeruput kuah opor.
"Suruh cepet cari karir dan universitas. Kalo nggak bisa, nanti Bunda dia mau ngejodohin Vano sekalian."
BANGKE! Nyaris aja gue keselek gara-gara ceritanya.
"Hah?" Gue menyahut kaget, mendelik ngeri ngebayangin nasib si Vano ke depannya.
Menyadari reaksi gue, si Bangsat tersenyum menenangkan. "Itu cuma ancaman, kok. Bukan perihal serius. Bunda dia emang setegas itu sifatnya."
Ucapannya berhasil bikin gue mengembuskan napas lega. Syukurlah kalo begitu. Kirain hubungan Setya sama Vano udah mulai masuk zona bahaya.
"Mending elo lanjut makan aja. Gak usah mikir yang macem-macem. They're gonna be fine though."
"Elo juga makan, dong!"
Dia mengangguk lantas berbalik pergi lagi. "Iya. Tapi sebentar, gue mau ambil cumi udang pedas manis dulu."
"Sekalian, gue mau sop dagingnya juga."
Cowok gue ini untuk ke sekian kalinya menghela napas pasrah, juga lelah. "Oke. Nanti gue ambilin."
Khikhikhi. Ada untungnya bebas bermanja ke pacar yang perhatian. Sekarang, ayo lanjut makan.
.
Alhamdulillah. Di hari ulang tahun kali ini, gue bisa dapat dua belas kado, dong. Rekor untuk kado paling banyak yang pernah gue miliki. Dari mulai yang ukurannya segede kardus sepatu sampe yang kecil seukuran kotak jam tangan. Ada yang terasa cukup berat ketika diangkat, ada juga yang ringan banget sampe gue gak yakin sama benda apa yang mengisinya.
Hmmm. Buka kado yang mana dulu, ya? Gue penasaran, mau tau dikasih kado apa aja sama mereka.
Aroma sabun lemon segar yang tercium bikin gue menoleh ke belakang. Melihat si Bangsat yang baru selesai mandi udah berganti pakaian. Meski yah, dia cuma pake celana doang, sih.
Dia kemudian duduk di sebelah gue sambil turut meniliti kado yang tergeletak di mejanya ini. "Elo mau ngebuka kado-kadonya sekarang? Nggak mau langsung istirahat aja?"
"Iya, Bangsat." Kepala gue mengangguk. "Gue penasaran sama isinya. Tapi, ini kenapa kadonya ada dua belas, ya?"
Karena jika dihitung-hitung, seharusnya jumlah orang yang ngasih kado ke gue malam ini cuma ada sepuluh, 'kan?
"Dari Kak Armet sama Daddy juga ada, 'kan."
Bibir gue langsung membulat begitu mengetahuinya. "Oh, pantes."
Ternyata mereka nitipin kado juga meskipun nggak bisa turut menghadiri pesta malam ini. Nanti gue bakal bilang makasih lagi, deh. Sewaktu siang tadi mereka mengirimkan ucapan selamat ulang tahun, nggak ada soalnya mereka ngomong mengenai kado yang akan dititipkan.
"Kado yang dari elo mana?"
Pertanyaan gue bikin Saga terkekeh. Dia merangkul gue erat, lalu berbisik, "Coba tebak yang mana?"
Gue mendecak sebab dia malah balik bertanya. Akan tetapi, tanpa ragu gue menunjuk kotak kado paling kecil di antara semuanya. "Yang ini, 'kan?"
"Pinter." Puncak kepala gue diacak-acak gemas.
Gue nyengir bangga seraya mengambil kado pemberiannya. "Soalnya mustahil temen yang lain ngasih gue kado sekecil ini." Setelahnya, kado ini gue serahkan padanya. "Coba, elo bukain."
Saga menurut. Pertama, dia menyingkirkan dulu pita merah yang menghiasi sebelum mulai merobek kertas kado berwarna putihnya. Di dalamnya, ada kotak. Yang ketika dibuka, memperlihatkan satu buah gelang silver polos yang langsung diserahkan untuk gue.
Melihatnya, gue merasa takjub sekaligus heran. Lantas berkomentar, "Tahun depan, jangan bilang elo bakal ngasih gue anting-anting?"
Tahun lalu dia ngasih gue cincin, terus sekarang gelang. Jadi, dugaan gue bisa aja beneran terjadi, 'kan? Soal dia yang kemungkinan bakal ngasih gue anting-anting. Meski telinga gue belum ada lubangnya, sih.
"Kalo elo mau, gue akan siapin anting-antingnya dari sekarang."
Responsnya gue balas cibiran tanpa suara, lalu gue mulai memperhatikan gelang pemberian si Bangsat. Yang meski berbentuk sederhana, tapi yakin harganya nggak mungkin murah.
"Eh?" Mata gue menyipit ke arah bagian dalam gelang yang terdapat ukiran nama gue. "Ada namanya. Lucu, ya."
"And guess what?" Saga tiba-tiba menunjukkan tangan kirinya di depan mata gue. "Tada!"
Rupanya, gelang ini juga samaan lagi. Wah!
"Nama elo sama nama gue ada di masing-masing sisi dalam gelang, loh."
Ucapannya bikin gue mendelik nggak percaya. "Hah? Beneran?"
Jadi, sisi bagian dalam gelang satunya gue teliti dan perhatikan. Ternyata benar, ada nama milik Saga yang terukir juga di sana.
Feryan Feriandi. Juanda A. Saga.
Senyum semringah gue serta-merta muncul. "Makasih banyak, Saga. Gue suka kadonya."
Padahal gue nggak sempat ngasih si Bangsat kado karena dia jauh dari gue di hari ultahnya November lalu. Akan tetapi, gue salut sama dia yang selalu nggak lupa nyiapin sesuatu untuk gue. Emang cowok terbaik.
"You're welcome." Dia ikut tersenyum seraya mengusap-usap pipi gue. "Sini, biar gue bantu pasangin."
Gue menganggukkan kepala setuju lantas menyerahkan gelang.
Selesai memasangkan gelang hadiah darinya ke pergelangan tangan kiri gue, Saga mendaratkan kecupan ke punggung tangan gue. Yang semata-mata bikin gue terserang de javu, teringat momen yang kami habiskan bersama tepat setahun yang lalu.
"Happy birthday to you, Ryan," desisnya sambil menatap gue lekat dengan sorot mata lembut yang bikin salah tingkah.
Duh. Muka gue pasti udah merah banget sekarang. Jangan gerogi, jangan gelisah. Mendingan kita lanjut buka-bukain isi kado aja.
"Next, gue buka kado yang mana, ya?" tanya gue sembari lanjut memilih kado untuk dibuka.
"Nanti lagi aja buka kadonya bisa, kali. You need rest. Emangnya elo nggak capek?"
Gue tersenyum kecut. "Ya, capek, sih. Tapi berhubung gue udah lama nggak dapat kado, jadinya gue kepengin bukain semuanya sekalian. Tahun lalu juga gue dapat kadonya cuma dari elo sama Setya dan Om. Nggak sebanyak ini," ungkap gue menjelaskan yang lalu menyentuh kado berukuran paling besar.
Ini dari siapa, ya? Kenapa juga nggak ada nama pemberinya?
"Kadonya bisa elo bawa pulang dan buka di rumah bareng Mamah lo nanti."
Mata gue mendelik ngeri mendengar kalimat asal jeplaknya. "Justru itu bahayanya. Andai nanti gue bukain kadonya bareng Mamah terus ternyata ada yang ngasih kado macem-macem, gimana? Bisa kiamat dunia gue."
Saga mengernyit. "Macem-macem like what?"
"Ya, toy sex mungkin? Kondom. Atau parahnya, buku panduan seks," sebut gue nggak mampu menampik segala kemungkinan.
Iya, tau. Pikiran lebay gue emang seneng ngebayangin yang aneh-aneh melulu.
"Which you don't need, Stupid. Karena toh dalam urusan seks elo udah cukup pintar."
Komentarnya bikin gue menelengkan kepala, merasa ragu. "Masa? Padahal gue udah lama nggak praktik, tuh."
"Elo lagi mancing?"
Menyadari perkataan apa yang tadi gue suarakan, spontan aja gue gelagapan menghadapi si Bangsat yang kini menatap dengan sorot nggak biasa.
"Ng-nggak, ya! Enak aja! Gue nanya beneran, tauk!" sangkal gue yang seketika gugup.
ANJIR, ANJIR, ANJIR! Apa yang udah gue lakuin?
Hah! Mana sekarang tangan si Bangsat ngeraba-raba pinggang gue lagi. KACAU!
"Mana bisa tau kalo nggak dicoba, 'kan?" bisiknya tepat di dekat telinga gue yang jelas membuat merinding sekujur badan.
Gue meneguk ludah susah payah, lalu ragu-ragu balas menatap Saga untuk bertanya pelan, "Elo mau?"
"How about you?"
Mau nggak mau, gue mengaku, "Sebenarnya, sejak kemarin-kemarin gue kepengin ngajakin elo ngeseks, tapi takut kena marah lagi. Males ya gue. Udah sange, eh malah diomelin pula. Dasar bangsat lo."
Saga langsung mengeluarkan suara batuk-batuk kecil menanggapi sindiran gue barusan. "Elo bener-bener udah siap emangnya sekarang? Buat ... having sex lagi?"
Kepala gue mengangguk lamat-lamat. "Kayak yang elo bilang, mana bisa tau kalo nggak dicoba. Iya, 'kan?"
Sebelah alisnya terangkat seakan tertantang, "So, you wanna have a try?"
Kali ini, gue mengangguk penuh semangat. "Why not?"
.
Pertama-tama, Saga melepaskan kalung cincin yang gue pakai secara hati-hati untuk diletakkan ke nakasnya. Berlanjut melepaskan jaket gue yang selepasnya dilempar ke ujung kasur. Dan sekarang kami berdua bertatapan, selagi tangannya mengusap-usap pipi gue lembut yang semata-mata bikin gue merasa jengah nggak kepalang.
Gue mengembuskan napas nggak sabar. "Kalo elo beginiin gue, berasa kita kepengin praktik malam pertama macam pengantin baru tau, nggak!"
Keluhan gue membuat Saga mendesah lesu. "I'm just a bit scared. I don't wanna hurt you."
Lah, emangnya gue sama dia kepengin duel smack down atau tumpang tindih biar keenakan, sih? Heran gue sama jalan pikiran super over-protektifnya.
"You won't, Saga! Elo bisa nyentuh gue kayak biasanya, kok. Karena gue juga bakalan begitu," ujar gue lantas menggoda si Bangsat dengan cara menjatuhkan tangan ke tengah celananya yang ternyata ... UDAH LUMAYAN KERAS DI SINI.
BAPERAN AMAT SIH INI ORANG PUNYA MINIONS. Banana gue jadi ikut-ikutan girang 'kan.
Si Bangsat meringis seraya memegangi tangan gue. "Sorry. Gue udah ngaceng aja."
Gue nyengir. "Gue juga ketularan ngaceng elo, kok."
Mendapati pengakuan gue, alhasil dia melirik ke bawah lantas meraba-raba selangkangan gue sebentar. "I can feel it."
Cengiran gue sontak bertambah lebar. "Sini, coba. Elo lepasin dulu celana lo. Gue kangen mau nyicipin Minions."
Perkataan gue malah bikin Saga mengernyit nggak nyaman. "Don't scare me! It's like you want try to eat it!"
Gue cengengesan. Ya, maaf. Gue salah milih kata barusan. Wkwkwk
Sesudah membuka celananya sendiri, Saga berjongkok di depan gue. "Sekalian gue bukain celana lo juga, ya?"
"Iya." Begitu celana gue udah berhasil terlepas, gue menarik tubuh cowok bangsat ini untuk kembali berdiri. "Sini!"
Saga yang berdiri di hadapan gue segera gue sentuh. Mula-mula, ereksi di balik sempak abu-abunya gue elus pelan yang mana sukses bikin batang kemaluannya jadi tambah mengeras. Alhasil gue meneguk ludah gugup, lantas mulai meletakkan tangan ke karet sempaknya yang langsung gue tarik turun. Mempertontonkan Minions di depan kedua mata gue, yang mana udah berdiri tegak dan sangat hidup. Cairan beningnya pun udah sedikit menetes pula.
Pelan, tapi pasti gue pun memegangnya. Lebih dulu mendongak pada sang pemilik kontol sambil berkata, "Kalo nanti hisapan gue jadi payah, elo jangan kecewa, ya."
Dia tersenyum sambi mengelus-elus pipi gue lembut. "I won't. So, don't worry about that."
Mendengarnya, gue jadi agak lega. Sedikit, kepercayaan diri gue pun timbul karenanya yang membuat gue yakin untuk mulai memasukkan Minions ke dalam mulut. Dari pangkalnya yang gue hisap dan emut pelan, kemudian membawanya semakin ke dalam. Membauai aroma khas batang kelelakian Saga yang bercampur dengan bau sabun miliknya. Seger, tapi juga sesak.
Entah karena guenya aja yang udah lama nggak ngemut kontolnya, atau emang si Minions ini jadi tambah gede bentuknya sekarang? Perasaan mulut gue berasa sempit dan pegel banget meski baru ngehisap sebentar.
Bodo amatlah. Lanjut aja. Hitung-hitung melepas kangen sama ini batang yang selama berbulan-bulan nggak gue sentuh. Dipikir hanya dengan melihatnya bisa memuaskan nafsu apa?
ANJRIT! Gue mendadak tersentak lantaran nyeri yang nggak diduga-duga menyerang kepala.
"Aww!" Spontan terkesiap dan mengaduh sampai nggak sengaja menggigit Minions yang jelas aja bikin pemiliknya menjerit kesakitan.
"DAMN!" Saga menarik Minionsnya keluar dari mulut gue yang kini tengah merintih panjang seraya memegangi kepala.
KAMPRET! NGANCURIN MOMEN ENAK AJA INI PENYAKIT NGGAK DIUNDANG. Kapan coba sakit kepala sedikit sebentar ini bakal berhenti ngeganggu gue?
"A-akh! M-maaf, Saga," lirih gue yang lantas berbaring saking nggak kuat. "Anjrit. Sakit kepala sialan!" maki gue sambil menarik-embuskan napas perlahan disertai erangan.
"Are you okay, Ryan?" Saga bertanya selagi mengusap-usap kepala gue yang udah aja berkeringat cukup banyak.
Gue melirik bagian tengah tubuhnya dengan cemas. "Elo sendiri gimana?"
Pasti tadi itu sakit banget, Bambang. Yakin gue. Ngebayanginnya aja kontol gue ngerasa perih sendiri.
Mata si Bangsat mendelik heran menyadari maksud dari pertanyaan balasan gue. "What? Don't think about my dick at time like this. Kepala lo nggak apa-apa?"
Ah, syukurlah. Udah hilang sakit kepalanya. Bagus.
Gue mengembuskan napas lega dan mengangguk yakin. "Iya. Tadi cuma mendadak nyeri sedikit."
"Are you sure you're okay?"
Sekali lagi, gue mengangguk. "Iya. Gue nggak apa-apa. Beneran. Kan emang suka berulah ini kepala," jawab gue sambil memegang tangannya. "Kita lanjut, yuk. Punya elo masih bisa ngaceng lagi, 'kan?"
Si Bangsat terkekeh sembari balas memegang tangan gue. "Iyalah."
Syukurlah. Kirain gigitan gue tadi bakal bikin kontolnya impoten tiba-tiba.
"Arm sling gue coba elo copot aja, deh. Toh, gue cuma bakal berbaring doang, 'kan."
"Oke. Sini."
Setelah arm sling milik gue berhasil dicopot, tangan kanan gue yang juga masih diperban akhirnya bisa digeletakkan.
"Ugh. Pegel banget tangan gue."
"I can see that." Dengan penuh perhatian, bahu dan lengan gue diberi pijatan-pijatan pelan oleh si Bangsat. "Mau sekalian gue lepasin baju lo juga?"
Gue mengangguk menyetujui tawarannya. Sedikit mengangkat tubuh bagian atas gue supaya dia bisa leluasa meloloskan kaus yang gue kenakan yang dilepaskannya melalui tangan kanan.
Adem banget rasanya sekarang.
Sejenak, gue dan Saga yang udah sama-sama setengah telanjang saling berpandangan. Kemudian, kami pun berpelukan. Tangannya mengelus kaki, perut hingga dada gue. Sedangkan gue menggerayangi punggung lebarnya yang hangat.
Ketika lidahnya mulai terasa membasahi leher gue, buru-buru gue memperingatkan, "Elo jangan bikin cupang." Tapi gue juga sedang menggigit lehernya kini. Hahaha.
"Gue tau tanpa perlu elo selalu ingetin, oke?" balas Saga berbisik diakhiri gigitan ke daun telinga. Lanjut menjilatnya pelan, setelah itu ciuman dan usapan lidahnya semakin turun ke bawah. "Gue kangen jilatin badan lo kayak gini," katanya yang lalu menggoyangkan lidah nakalnya di atas puting dada gue. Bahkan digigit pula.
BANGSAT.
Gue mengerang keenakan. "Ja-jangan lo gigitlah, Setan."
Dia malah ketawa. "Kenapa, hmm? Elo langsung kepengin muncrat, ya?" tanyanya menggoda lantas menyedot puting gue sekuat tenaga.
"Haaah, Saga." Kampret! Suara desahan gue nadanya norak banget lagi.
"Damn, Ryan!" Mendadak aja si Bangsat menatap gue gemas. "Kalo elo mendesah begitu, gue mana bisa tahan."
"Ya, orang pengin mendesah masa gak boleh?" balas gue memprotes. "Lagian 'kan kita lagi ada di kamar lo, bukan di kamar gue. Jadi sah-sah aja kalo gue nggak nahan desahan, 'kan?"
"Iya, gue tau. Tapi Minions gue jadi tambah sakit. Mau cepet masukin."
"Ya udah, elo coba cepet masukin. Gue juga kangen elo sodok."
Kalimat gue malah bikin si Bangsat tercenung sebentar. Sesudahnya, dia menggeleng-gelengkan kepala. "No, it's getting more dangerous. Kalo kita lanjut, bisa-bisa gue cuma bakal bikin kondisi elo drop," ungkapnya yang lalu bergeser dari atas badan gue.
EITS, SEMBARANGAN! MASA KAMI BAKALAN GAGAL NGESEKS LAGI! OH, NGGAK BISA DIBIARKAN!
"Heh, Bangsat!" Lengannya gue pukul. "Masa elo tega berhenti saat gue betul-betul lagi pengin elo sodok?"
Saat dia mengerling gue, sorot matanya betul-betul dipenuhi kekhawatiran. "I'm scared. Gue nggak mau elo kenapa-kenapa."
Gue menghela napas. "Gue nggak bakal kenapa-kenapa cuma karena kita ngeseks lagi, Saga. Berhenti terlalu parno, deh," ujar gue dan memeluk lengannya. "Gue nggak selemah yang lo pikirin. 'Kan gini-gini pun gue masih cowok tulen. Jadi, elo tolong jangan ngeremehin gue."
Mendengar ucapan gue barusan, tatapan gamangnya sedikit berubah. "But promise me. Kalo saat gue mulai masukin dan elo ngerasain nggak enak atau sakit yang nggak biasa, elo wajib bilang ke gue. Oke?"
Kepala gue mengangguk menanggapi permintaannya yang terkesan amat serius itu. "Iya. Gue janji, Bangsat."
Dia tersenyum. "Good."
Kemudian Saga mencium bibir gue secara rakus sambil kembali menindih tubuh gue. Kali ini nggak lupa sambil menggesekkan ereksi di balik celana kami masing-masing yang semata-mata membuat gue mendesah di sela-sela ciuman. Lidah gue dan lidahnya saling mengulum dan membelit, seraya tangan kami kompak saling meraba.
Gue meneguk saliva begitu ciuman kami berakhir. Beralih menciumi sisi hidung mancung Saga seraya berbisik nggak sabar, "Ambil kondom sama pelumas elo buruan."
"Oke!"
Saga segera bangkit menuju ke laci nakasnya. Dan selama itu pula mata gue nggak bisa lepas dari memandang selangkangan serta badannya yang super seksi. GUE MAU CEPET-CEPET DISODOK SAMA DIA, ASLI DEMI APA!
Botol pelumas dan beberapa saset berisi kondom dilemparkan ke atas kepala gue. Satu kondom diambil kemudian untuk disarungkan ke jari tengah si Bangsat yang sekarang mulai dibaluri pelumas.
Gue meneguk ludah, merasa tegang nggak keruan ketika dia mulai membuka kedua kaki gue selepas meloloskan sempak. Telanjang bulatlah gue sekarang.
"Gue jadi deg-degan," desis gue saat melihat Saga yang juga mulai melumuri daerah lubang anal gue menggunakan cairan pelumas.
"Apalagi gue, Bego. So, for now, please shut up for a while. Let me focus."
"Tangan lo gemetaran, tuh."
"I said, shut up."
"Siap, Tuan."
Jemari dia yang beneran gemetaran dibawa ke bawah depan sana. Terasa menyentuh area kerutan anus gue berkali-kali, tapinya nggak masuk-masuk, dong. Lagi ngapain sih dia? Lama amat.
"Damn. Should I just lick your ass?"
Mata gue melotot ke arahnya. "Nggak boleh! Gue belum bersih-bersih, ya."
Semena-mena banget kepenginnya. Dasar pecinta lubang bool.
"Okay then." Dia menghela napas panjang, selanjutnya menaikkan posisi pinggul gue lebih ke depan. "Just relax."
Perlahan sekali, si Bangsat akhirnya berhasil memasukkan jari pertamanya ke dalam lubang pantat gue. Sedikit demi sedikit, semakin dalam yang mana bikin gue mengernyit sebab merasakan perih bercampur mulas dan sesak.
"Jari elo kayaknya tambah gede, ya."
"Iya."
Nggak cuma badan dan kontol dia yang bertambah bentuk, bahkan jarinya aja ... BANGKE! Dia masukin jari keduanya nggak pake ngomong dulu. Kaget gue.
"Ah, Saga. Pelan-pelan aja," pinta gue sambil meringis tertahan.
"I'm ... ini udah pelan-pelan. Kenapa? Elo kesakitan?" tanyanya langsung cemas aja.
Gue nyengir sambil menggelengkan kepala. "Nggak, kok. Gue cuma takut bakalan muncrat aja kalo elo mainin pantat guenya kekencengan."
Jelas aja Saga tampak gregetan. "Elo beneran nguji kesabaran gue banget, ya."
"Ya, ma--akh! Di situ!" sahut gue spontan begitu merasakan sodokan jari Saga telah mengenai prostat di dalam sana.
Duh. Kangen banget gue sama sensasi ini.
Dia menyeringai nakal. "Di sini, ya. Oke." Secara kurang ajar, jemarinya di dalam sana malah bergerak semakin beringas.
Menusuk prostat gue lagi dan lagi sampe bikin gue bagai dibawa terbang melayang.
Gila. Ini enak banget. "Anjrit! Haaah. Saga!" Kepala gue mendongak dan tubuh gue mengejang seketika menyadari puncak orgasme gue yang hampir datang. "AKH! HAAH! ANJRIT, SAGA! BERHENT--Aaah."
Gue serta-merta meneguk ludah dengan napas yang agak terengah setelah gue tadi muncrat gitu aja. Hanya karena gerakan jari seorang Saga. Bener-bener luar biasa.
"Elo beneran muncrat cuma dari sodokan jari gue." Jemarinya ditarik keluar.
Gue terkekeh sembari memandangnya penuh gelora. "Habisnya enak, sih."
"I can see that." Saga mengecup paha gue gemas, selepasnya mengambil satu lagi kondom yang kali ini dipakaikan untuk Minions. "Now, it's my turn, okay?"
Gue mengangguk paham. Terus memperhatikan selama si Bangsat membasahi ereksinya dengan pelumas yang kemudian diposisikannya ke depan lubang anal gue.
"Relax, Ryan. Jangan terlalu tegang," ucapnya mengingatkan sembari mulai menabrakkan Minions ke bawah sana.
Gue kontan menarik napas demi menenangkan diri sesuai titahnya. "Gue berusaha re--akh!"
BANGKE! TERNYATA UDAH MULAI MASUK SI KONTOL JELMAAN ANAK ANAKONDA INI! Kaget gue, Bambang.
"Haaah." Gue merintih cukup panjang dan refleks berpegangan erat pada bantal.
Rasanya ... kayak sewaktu gue pertama kali dijebol Minions dulu. Perih, panas, sesak, mulas, semuanya campur aduk. Akan tetapi, gue juga merasa lega karena seenggaknya batang milik si Bangsat ini nggak gagal masuk.
"Is it hurt? Are you okay? Ryan?"
"Gue cuma kaget," jawab gue disertai gelengan kepala laun menanggapi rentetan tanyanya. "Ya, sakit, sih. Dikit. Tapi nggak apa-apa, kok."
"You sure?" tanyanya sekali lagi sembari mengelus-elus paha gue.
"Iya." Gue tersenyum.
Untungnya, senyum gue menular pada Saga yang mengembuskan napas panjang. Tanda bersiap lagi biasanya.
"Then, I'm gonna put it deeper. Take a deep breath."
Sesuai aba-aba darinya, gue refleks menarik napas seiring dengan Minions yang dimasukkan kian dalam. Semakin dalam sampe gue memperdengarkan desahan cukup lantang.
"Haaah! Saga! Saga!" Tangan gue melambai-lambai dan langsung aja Saga gapai.
"I'm here, Babe. I'm here," ucapnya seraya memajukan badan untuk menindih gue. "You feeling okay?" Pelipis gue diusapnya pelan.
"Iya." Gue nggak mampu menahan cengiran senang. "Akhirnya kita bisa ngeseks lagi."
Dia ikutan nyengir. "Yes, finally." Lalu matanya melirik ke bawah sana. "Can I move now?"
Gue mengangguk, mempersilakan. "Gerak aja. Gue siap, kok."
Lantas dari bawah sana, gue merasakan pergerakan Minions yang ditarik keluar perlahan, untuk lalu dimasukkan lagi dengan hentakkan cukup kencang. Terus begitu berulang-ulang, sampe gue kayak yang nyaris hilang akal saking keenakan.
"I know it will sound inappropriate, but I really miss your inside, Ryan," ungkapnya selagi nggak henti bergerak sambil juga menciumi leher gue. "It feels really good."
Emang betul-betul nikmat nggak ada duanya.
"Iya, en--akh!" Gue menggigit bibir lalu meremas rambut si Bangsat. "Saga, cium gue."
Permohonan gue serta-merta terpenuhi. Mulut gue dan Saga saling mengunci, bercumbu di antara desah tertahan akibat pergerakan tubuh kami yang semakin liar secara bersamaan.
"Sag--ah!"
Gue memekik dibarengi dengan erangan Saga yang cukup keras. Tubuh gue dan dia mengejang di waktu yang hampir bersamaan ketika puncak orgasme kami tiba. Haaah. Gila. Capek banget gue sekarang. Meski yah, sepadan dengan rasa nikmat yang didapatkan.
Saga mengeluarkan Minionsnya dengan hati-hati. Kemudian mencopot kondom yang terisi spermanya yang langsung dibuang ke tempat sampah. Selepasnya, dia berjalan ke kulkas untuk mengambil sebotol air. Yang tentu aja, dia bawakan kepada gue.
Enaknya punya cowok yang perhatian dan penyayang.
"Udah cukup. Elo juga butuh minum," ujar gue sembari gantian menyodorkan air ke mulut si Bangsat yang kini merangkul gue.
Selesai minum, badan gue dibersihkan dulu menggunakan kain basah. Lanjut dipakaikan celana dalam serta baju, sampe gue bantu dipindahkan ke bantalnya juga.
Ya Allah. Ini cowok bener-bener, ya.
"Now, let's sleep." ucap Saga setelah memakai kembali celananya, tanpa sempak, loh.
Gue mengecup pipi Saga saking merasa bahagia. "Makasih buat semuanya."
Dia tersenyum lalu balas mencium gue. "Thanks for being here with me. So once again, happy birthday, Ryan. I love so much."
Ungkapannya membuat gue percaya bahwa malam ini gue akan tertidur nyenyak tanpa diganggu oleh mimpi buruk apa pun.
Lebih dari segala hadiah mewah yang selalu Saga berikan untuk gue, tanpa dirinya mungkin sadari, kehadirannya dalam hidup gue merupakan salah satu hadiah terbaik yang pernah gue miliki.
Gue beruntung bisa dicintai oleh sosok cowok seluar biasa seorang Juanda Andromano Saga Fransiskus. Dan serupa harapan yang gue panjatkan ketika akan meniup lilin beberapa jam lalu, tentang gue yang ingin selalu menghabiskan waktu bersama dia, melewati suka-duka berdua untuk meraih bahagia kami seterusnya. Aamiin.
Eh, iya. Gue kelupaan. "Heh, Bangsat. Kue ulang tahunnya belum gue habisin."
"WHO CARES ABOUT THE CAKE! POKOKNYA SEKARANG ELO HARUS TIDUR!"
"Baiklah, Tuan. Saya tidur sekarang."
Yah, meskipun sosoknya juga semenyebalkan ini. Tetapi, justru karena itulah hubungan gue dan dia menjadi bertambah seru dan berwarna-warni.
___Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com