31. PENGENALAN
Apa yang sedang terjadi sebenarnya di sini? Kenapa mendadak Jess dan Neneknya Saga muncul di hadapan kami?
"Oh, my!" Nenek Saga melangkah agak terburu menyongsong tubuh sang cucu untuk dipeluk sambil memasang senyum ceria. "I miss you so much, handsome boy." Pipi Saga dicium kanan kiri penuh sayang. "How are you doing?"
"I'm doing pretty good, Granny." Saga tersenyum semringah lalu balas mencium pipi Neneknya. "I thought you're still on your quarantine. Why don't you tell me if you want to come here today?"
Nenek Saga menghela napas sembari melirik Jess yang sedang mencicipi makanan di meja. "I thought Jess already told you about us who's gonna coming here today. Our quarantine time is already over," jawabnya yang kemudian mendelik ke arah gue yang sedari tadi diam bagaikan patung selagi menyaksikan interaksi mereka. "Oh, Saga. Who is this?"
GRANDMA, TOLONG ANGGAP AJA GUE NGGAK ADA, PLEASE! Aduh! Rasanya makin susah buat gue mencerna makanan di mulut. Boro-boro, deh. Kepengin napas aja berasa berat banget. Deg-degan gue, anjir.
"Let me introduce him to you." Si Bangsat tahu-tahu menarik badan gue untuk dibawa berdiri di hadapan Grandma. "His name is Feryan, Granny. You can just call him Fery or Ryan. Riyan, not Rayen," sambungnya memberitahu. "He's my boyfriend that I'm always talk to you about back then when I'm still in UK. You still remember about him, right?"
Seketika gue keselek tertahan dengan kedua mata melotot ngeri seusai mendengar penuturan yang disuarakannya kepada sang Nenek. KAMPRET! SI BANGSAT DAN MULUT BLAK-BLAKANNYA YANG KEPENGIN BANGET GUE TABOK PAKAI TALENAN!
Grandma tentu aja terkejut mengetahuinya. Wajah beliau menunjukkan ekspresi kaget bercampur bingung, sebelum berangsur-angsur terlihat kegirangan. "Oh My God! I'm so sorry, My Dear. No wonder you seem familiar. It's such pleasure to meet you, Fery."
LAH, KOK?
"My name is Ashley. And I am Saga's grandmother. It's really nice to see you," lanjut Grandma memperkenalkan diri masih dengan senyum ramah yang terpasang di wajahnya. Beliau tampak berniat memeluk gue, akan tetapi diurungkan ketika melihat ke arah tangan kanan gue yang cedera. "But, what happened to you? Did you got into accident or something?"
Jess yang kali ini buka suara, "Grandma, you forgot about it again? I just told you about the accident he's been through like a minutes ago in our car."
Grandma Ashley mengernyit kebingungan. "Really? Oh, sorry. Quarantine must be so tiring that it makes me so easy to forget things," katanya seraya memijat-mijat pelipis sendiri.
Saga terkekeh. "It's okay, Granny. You can just talking to him directly," ujarnya yang lantas memandang gue. Bahu gue ditepuk yang serta-merta bikin gue akhirnya mampu menelan makanan yang sejak tadi tertahan di pangkal tenggorokan. "Hey, Ryan. Say something to my grandma. Kenapa elo diam aja?"
Gue meneguk ludah susah payah. Tersenyum nggak enak sambil secara canggung memandang bergantian pada tiga orang anggota keluarga McLauren ini. Kemudian, gue dengan malu-malu berkata, "Emm, sorry. Can I have a drink first, please?" Gue mulai mengambil langkah mundur. "ELO IKUT!" Dan nggak lupa menyeret serta Saga menuju ke dapur.
"Sorry, Granny. I think he need to talk to me for a moment. Please excuse us!" ucap Saga sembari mengikuti tarikan tangan gue.
Sesampainya di dapur, gue menarik badan si Bangsat untuk turut berjongkok bersama di tengah-tengah meja kompor dan tempat cuci piring supaya nggak keliatan oleh Jess ataupun Neneknya.
"KENAPA TIBA-TIBA NENEK LO SAMA JESS ADA DI SINI?" tanya gue berbisik, tapi dipenuhi penekanan pada setiap kata saking gregetnya.
ASLI, YA. Saat ini gue butuh penjelasan sejelas-jelasnya. Udah mana Nenek si Bangsat baik banget lagi ke gue. Padahal gue pikir tadi muka gue minimal bakal kena tampar atau dimaki-maki lantaran udah lancang macarin cucunya ini. Tapi kok, hubungan kami malah diterima gitu aja oleh beliau?
"Mereka nggak datang ke sini tiba-tiba, kok. Jess sama Granny emang udah sampe ke Jakarta sejak seminggu yang lalu. Tapi karena mereka harus dikarantina dulu, alhasil mereka baru datang kemari hari ini. Tadi."
Mulut gue menganga sekian detik sebab semakin merasa terperangah oleh fakta yang barusan dituturkan Saga.
"Kenapa elo nggak bilang sama gue kalo mereka bakal datang ke sini?"
"Gue sendiri pun nggak tau bahwa masa karantina mereka berakhirnya hari ini."
INI COWOK DAN SIFAT KALEMNYA YANG NGEJENGKELIN!
"Bukan gitu, Bangsat!" tukas gue gemas sampe rasanya kepengin jedotin muka dia ke keramik. "Maksud gue, kenapa elo nggak ngasih tau lebih awal perihal Nenek lo sama Jess yang udah datang ke Jakarta?"
Saga mengernyit sembari mengangkat kedua bahunya. "Gue lupa. Honestly, gue emang sengaja nggak ngasih tau elo, sih. Karena jika elo tau mereka akan datang, nanti elo pasti bawaannya waswas setiap mau mampir ke sini," ungkapnya yang sontak membuat gue mendelik kian sebal.
"Ya, jelaslah! Terus juga ..." Gue menghela napas panjang sebelum menumpahkan tanya lainnya, "KENAPA ELO SANTAI-SANTAI AJA NGENALIN GUE SEBAGAI PACAR KE GRANDMA! Dasar cucu keparat!"
Dia justru tersenyum. "She already know about our relationship since long ago. But only get the chance to meet and speak to you directly just now. Right, Granny?"
HAH? GRANNY ADA DI SINI?
Saat si Bangsat mengerling ke atas posisi tubuh gue, otomatis gue mengikuti arah pandangannya. Dan terkesiap mendapati Grandma yang ternyata udah berdiri di dekat meja kompor selagi memperhatikan kami berdua.
"That's right!" sahut Grandma girang. "So, can you guys stop hiding, so that we could have a proper talk? Come on."
Ajakan beliau mustahil gue tolak, 'kan. Nggak sopan nantinya.
Gue berdiri, mulai melangkah bersisian dengan Saga lantas berjengkit sewaktu hampir bertabrakan dengan Jess yang malah memasuki area dapur.
"And I'm starving. Saga, can you made a sandwich for me?"
Buseet. Enak bener ini bule kampret nyuruh cowok gue.
Saga baru hendak menjawab ketika suara Grandma tanpa disangka-sangka menggelegar duluan dan memberi Jess omelan, "JESS! YOU CAN MADE IT YOURSELF! Stop ordering people around as if they're your slave!"
Wajah Jess langsung terlihat masam. "Geez. Fine!" Pasrahnya sambil mulai membuka laci dapur.
MANTAP! Emang paling enak kalo ngeliat itu bule jelmaan iblis kena marah.
"Come here, Fery." Grandma membawa gue duduk kembali ke kursi semula. "I know you're in the middle of breakfast. Sorry for disturb."
Untunglah kuping gue masih mampu menangkap setiap kalimat dari aksen bahasa Inggrisnya yang sedikit agak beda. Alhasil, gue masih bisa merespons dengan leluasa.
Gue buru-buru menggelengkan kepala. "I-it's okay, Grandma. I'm just a bit shock because you both come so suddenly. And nice to see you, Grandma. Your so beautiful, although you're an old lady."
HAH, APAAN! Aduh, gue nggak ngawur 'kan ngomongnya tadi. Pake sekali sebat-sebut old lady. Bangsul ini mulut nakal.
Namun untungnya, reaksi Grandma Ashley masih ramah seperti sebelumnya. "Saga is right about you. You're such a honest boy."
Antara jujur atau terlalu ceplas-ceplos, sih.
Jadi, gue sigap meminta maaf. "Sorry, Grandma."
"What sorry?" Beliau mengernyit geli. "You don't have to say sorry, My Dear. Honesty is a good attitude, y'know," ucapnya seraya mengusap lengan gue lembut.
Oh. Alhamdulillah deh kalo dianggap baik. Eheheh.
Sekarang gue manggut-manggut sambil nyengir. "Ah, yes. I understand, Grandma."
Di samping gue, si Bangsat yang menyimak obrolan kami sekadar tersenyum sembari lanjut memakan isi di piringnya. Sedangkan gue kepengin lanjut makan malah nggak gitu bernafsu lagi. Belum siap jika harus menunjukkan sisi rakus gue di depan Grandma. Seenggaknya, jangan sekaranglah. Malu, coy.
"So, Fery. How long have you been in relationship with my grandson?"
Gue lebih dulu menelan makanan sebelum memikirkan jawaban. "About ... half a year?"
Si Bangsat tiba-tiba tersedak. "One year and a half, Stupid!" koreksinya.
Oh, kebalik ternyata.
"Oh, that's right. Sorry, Grandma. I'm still learning about talking with English." Gue mau nggak mau mengaku.
Ketauan begonya, deh. Segini gue udah lumayan bisa ngomong dan paham bahasa Inggris hasil belajar selama setahun. Bayangin kalo gue masih susah mengerti bahasa Inggris macem masa dua tahun lalu. Bisa-bisa Grandma frustrasi ngobrol sama guenya.
"That's already long enough. So, this year will be your second anniversary and both of you seem very happy!" respons Grandma keliatan gemas.
Saga lalu mengusap-usap puncak kepala gue. "We're indeed very happy, Granny."
"That's good," komentar Grandma kemudian menatap gue dengan intens. "I guess, Saga is really serious about you. Everytime we made a conversation when he's still in UK, he always talking about you. He never run out topic if it comes to you."
Nggak kebayang deh apa aja yang si Bangsat obrolin bareng Neneknya selama membahas soal gue.
"I hope he didn't talk bad things about me," seloroh gue yang membuat Grandma mengibaskan tangan sambil terkekeh.
"Oh, of course not. Or maybe he does, but I already forget."
Kalimat tadi antara bikin gue lega sekaligus bertanya-tanya. Semoga aja, hal buruk apa pun yang si Bangsat utarakan pada Grandma udah terkubur sangat jauh di dalam ingatan beliau yang pikun itu.
"I don't mind telling it again to you, Grandma."
Spontan aja gue melayangkan tatapan sengit pada Saga atas ucapan kurang ajarnya.
"Just try if you dare!" bentak gue sok mengancam yang malah berakhir ditertawakan.
Ya udahlah. Mending lanjut makan aja.
.
Baru juga ketemu, tapi langsung bisa akur dan berbaur satu sama lain dengan penuh sukacita. Itulah yang terjadi antara Grandma dan Setya--sebab jelas kawan-kawan Saga yang lain udah mengenal Grandma, ya. Mereka saat ini sedang bernyanyi bersama di atas panggung bekas konser kejutan semalam diiringi musik yang dimainkan oleh anak Jajaja, kecuali Saga yang posisinya digantikan oleh Vano.
Di sisi panggung, Jess tampak tengah merekam konser kecil-kecilan sang Nenek dengan wajah nggak senang lantaran dipaksa. Di sebelah Jess, ada Zyas yang berdiri sambil memandanginya dengan penuh sorot waspada. Mungkin dia masih menyimpan dendam akibat sakit hati di masa lalu.
"They all had so much fun," ujar si Bangsat yang duduk bersebelahan dengan gue di bangku penonton.
Dekorasi pesta tadi malam udah dibereskan semua dengan hanya menyisakan kursi penonton serta meja prasmanan aja, yang rencananya akan dipercantik ulang begitu Om Julius pulang.
"Nenek lo keren!" Gue bertepuk tangan heboh sesudah menangkap nada tinggi yang Grandma baru aja nyanyikan.
Kalo gue jadi beliau, udah pasti suara kucing kejepit pintu yang terdengar.
"Iyalah. Lihat aja cucunya."
Gue seketika tersengih. Dasar cowok over-confidence.
"Berapa umur nenek lo sekarang?" tanya gue beneran penasaran.
Karena setau gue Grandma merupakan Ibu dari tiga orang anak dan Nenek dari lima orang cucu. Tetapi penampilan serta sikapnya yang energik menunjukkan seolah beliau masih seusia Ibu-ibu zaman now kebanyakan. Dari segi pakaian, cara bicara serta dandanannya. Semuanya terlihat menarik dan luar biasa. Mungkin udah bawaan aura dari sosok bukan orang sembarangan.
"Enam puluh tujuh tahun."
Jawabannya bikin gue teringat almarhumah Nenek. Padahal usia Nenek terbilang lebih muda dari Grandma.
"Gue jadi keinget Nenek. Meski Nenek nggak segaul dan semodis nenek lo," ungkap gue yang lantas membuat Saga membawa kepala gue bersandar ke bahunya.
"Elo bisa anggap Granny kayak nenek sendiri. Dia juga pasti akan seneng," tuturnya sembari mengelus-elus sisi kepala gue. "Asal tau aja, Granny ini orangnya sangat penyayang, terutama ke cucu-cucunya. Jess yang sifatnya busuk aja selalu Granny tolong dan perhatiin, walau bukan termasuk cucu karena Jess anak dari adik iparnya. Tapi yah, Granny juga punya sifat galak seperti mendiang Mommy. Sebelas dua-belas, lah. Beda tipis sedikit."
Gue pasti senang setiap kali mengetahui fakta lain mengenai keluarga dari cowok Bangsat kesayangan gue ini.
"Terus, Grandpa elo gimana?"
"Grandpa udah pensiun, sih. Tapi masih suka mancing dan ikut andil menangani bisnis dari anak serta adiknya--ayahnya Jess. Ke cucu dan anak, dia lebih sering ngasih materi dan nasehat. Di UK, dia bahkan udah ngebeliin gue mobil untuk dipakai jalan-jalan dan buat ngampus."
Asli, pasangan kakek-nenek yang hebat.
"Berarti, keluarga McLauren semuanya udah tau mengenai hubungan kita?"
Saga mengangguk. "Iya. Meski yang ngasih tau duluan bukan gue, sih."
"Lah?" Gue spontan mendongak heran memandangnya. "Kalo bukan elo, terus siapa?"
Telunjuk dia mengarah pada posisi Jess berdiri yang semata-mata bikin gue mendumel sebal.
"Dasar bule bedebah."
Si Bangsat ngakak. "Well, we can't blame him." Dia berdeham. "Gue justru merasa terbantu karena Jess udah mau repot-repot ngasih tau mereka. Karena toh fakta soal gue yang seorang gay bukan lagi sebuah rahasia di antara keluarga besar kami."
Perkataannya bikin gue tambah penasaran. "Emm, dari sisi keluarga Fransiskus juga?"
"Iya."
"Mereka udah tau soal hubungan kita juga?" tanya gue sekali lagi.
"Udah, Sayang."
Pipi gue dicubit cukup kencang sampe bikin perih. Anjrit! Kebiasaan banget kalo udah gemes ini orang.
Dia lalu menjelaskan, "Sebab gue emang nggak punya niatan untuk menutupi apa pun dari orang-orang sebelum mereka memiliki ekspektasi yang macam-macam. Tentang orientasi seksual gue, mengenai hubungan kita. Terlebih Daddy selaku sosok paling penting dalam hidup gue udah memberikan restu serta dukungan. So, bagi gue, mau orang lain bilang apa di belakang sana, I don't give a damn. Yang terpenting, adalah bahwa gue punya Daddy as my main support and family, dan gue punya elo as my boyfriend who I love the most," ungkapnya terdengar bersungguh-sungguh disertai usapan lembut ke pipi gue sepanjang dia bicara.
Ah, tolong, deh. Gimana bisa gue memiliki sosok cowok sebaik Saga sebagai pacar coba? Sedangkan apa yang gue berikan padanya belum seberapa dibanding semua hal yang dia lakukan demi gue sampai saat ini.
Tangannya gue genggam pelan. "Tapi maaf, karena gue belum mampu berlaku sebaliknya ke elo."
Seperti selalu, si Bangsat menanggapinya dengan senyuman maklum. "It's okay. Gak usah terlalu dipikirin. Toh kita masih punya banyak waktu, 'kan?"
"Iya, sih. Tetep aja ..." Gue menghela napas panjang. "Gue berharap, gue bisa seberani elo."
"Hey, listen!" Hidung gue ditoel oleh jari telunjuknya. "Karena elo dan gue berbeda, maka cara yang kita ambil dan putuskan juga pasti akan berbeda, Ryan. Hidup emang begitu, 'kan? Nggak mungkin segalanya bisa berjalan lancar sesuai mau semua orang."
Ucapan Saga yang ada benarnya itu nggak mampu gue sanggah kali ini. Alhasil, gue sekadar mengangguk sebagai tanda setuju.
Dia tersenyum kian lebar. "Tapi elo harus tau, kapan pun waktu itu akan datang, untuk elo siap mengaku, di sana juga gue akan siap mendampingi elo. Supaya elo nggak sendirian. Oke?"
Senyumannya menular pada gue. "Iya. Makasih, Saga."
"Anything for you, Babe."
Hadeeuh, mulai!
"Norak lo!" Gue mendengkus dan berlagak nggak suka, tetapi akhirnya pasrah aja begitu kembali dipeluk dan dirangkul mesra olehnya.
"Hey! Both of you! Come to the stage!"
Seruan Grandma membuat gue dan si Bangsat serta-merta berdiri untuk lantas berlari bersama menuju ke panggung.
Semoga saat masa itu tiba, ketika momen Saga yang akan mengenalkan gue sebagai pacar kepada Mamah terjadi, nggak bakal ada kendala ataupun drama yang turut campur. Tau sih, harapan gue terkesan muluk banget. Tetapi, ada baiknya sebuah harapan baik diharapkan sejak jauh-jauh hari demi mengundang kebaikan yang nantinya akan datang, 'kan. Semoga kalian paham maksud gue, deh.
Untuk sekarang, mari kita fokus lanjut bersenang-senang.
____Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com