32. PEMBEKALAN
Pertama-tama, aku mau minta maaf karena baru bisa update lagi setelah hampir dua minggu ngilang. Jari aku beneran mati rasa. Sekarang pun masih. Tapi karena aku ngerasa nggak enak andai mesti ngegantungin kalian terus, mau nggak mau aku maksain update. Semoga kalian suka dengan isi chap. ini, ya.
Jangan lupa vote dan komennya supaya penulis ini tambah semangat. 🥰😍
Selamat membaca. ♥️
______
Selesai dengan acara heboh-hebohan di panggung--yang mana sekaligus sebagai sambutan atas kedatangan Grandma ke Indonesia, anak-anak sekarang lagi pada makan siang bareng dengan beliau. Kecuali Setya, Ajay dan Jofan sebab mereka sedang berpuasa. Gue juga ikut menyingkir dari area meja makan lantaran udah kenyang makan duluan . Alhasil, gue mengajak tiga kawan sesama muslim gue untuk naik ke kamar Saga aja.
Hitung-hitung ngebantu gue bukain kado ulang tahun. Ehehehe. Daripada nganggur mereka.
"Kamarnya udah rapi." Setya berkomentar sesudah tiba di dalam.
"Kamar Saga selalu rapi, kali," balas gue sembari duduk duluan di sofa disusul oleh Jofan dan Ajay.
Setya nyengir usil. "Ya, siapa tau 'kan elo semalem habis empat-enam empat-enam sama dia sampe jungkir balik."
Kalimat itu sukses memunculkan tawa tertahan dari mulut dua orang di samping gue.
Mata gue mendelik risih. "Empat enam empat enam, taik kambing! Bacot lo!" sembur gue kesal.
Jofan berdeham pelan. "Pantesan aja hari ini elo gak puasa. Gak sempet mandi wajib, ya."
Ledekannya bikin gue tambah geram. "Heh! Kalian lagi puasa ngomongin hal yang jorok-jorok, nanti makruh, loh."
Teguran gue direspons santai oleh Setya, "Baiklah, Pak Ustad. Kami berhenti."
Beneran minta dihajar ini anak.
Gue memelototinya. "Mending elo cepet duduk terus bantuin gue bukain kado, nih!" suruh gue yang kemudian menarik kado berukuran paling besar ke pangkuan, tapi diurungkan sebab terlalu berat. Isinya apa dan dari siapa, deh. "Mana masing-masing kado nggak ada namanya."
Keluhan gue ditimpali Ajay, "Iya. Semua nama pemberinya sengaja ditaruh di dalam, biar misterius." Seraya dia menarik satu kado dari meja.
Alasan macam apaan itu? Bangsul. Untung kado dari pacar gue udah dibuka duluan.
"Saga udah ngasih elo kado?" tanya Jofan yang juga mulai mempreteli kertas kado di depannya.
"Udah." Gue mengangguk sembari menunjukkan gelang yang terpasang di tangan kiri. "Nih, gelang."
"Dan jangan lupakan momen mantap-mantapnya," sambung Setya masih aja ngebahas ke sana.
Ampun deh bucinnya jelmaan pohon kelapa ini.
"Kayak elo sama si Vano gak pernah aja!" balas gue sengit.
Ajay mendadak batuk-batuk. "Guys, please. Tolong jangan bikin otak polos gue traveling ke mana-mana," ucapnya dengan ekspresi jengah yang kentara.
Seketika gue ngakak. "Eh, iya. Gue lupa ada yang masih jomblo dan perjaka di sini. Sorry," selorohan gue bikin Jofan sama Setya terkikik juga.
"Terima kasih atas pengertiannya. Doain gue supaya cepet ketemu jodoh."
Perkataan Ajay memunculkan usulan iseng dari gue. "Si Jess juga jomblo, tuh. Elo deketin aja dia."
Tawa Jofan dan Setya tambah menjadi-jadi.
Sementara kedua mata bulat Ajay melotot horor. "Andai gue belum tau sifat aslinya, mungkin gue bakal tertarik. But no, thanks. Bahkan meskipun di dunia ini cuma tersisa dia seorang, still no, thank you," ungkapnya terlihat nggak main-main.
Ngakak lagi deh gue. Aduh, sumpah. Sakit perut.
"Lagian mentang-mentang temen dia homo semua, masa iya si Ajay mau dijadiin homo juga. Gila lo."
Cibiran Setya makin membuat suara tawa di ruangan ini kian heboh. "Hahaha!"
"Mending kita bukain kado dari anak Ajaja," ujar Jofan yang ditanggapi anggukan setuju oleh Ajay.
"Yang mana?" Gue mengernyit penasaran.
"Nih." Jofan menunjuk kado berwarna merah marun. "Dari gue, Rima yang merah cabe, Ajay yang dipegangnya sendiri, Nando yang biru langit, dan Julian yang warna putih ini."
Gue manggut-manggut sambil menarik kado yang katanya punya Nando.
Kado pemberian Julian si Setya ambil. "Ayo, deh. Kita buka satu per satu."
Selesai kami membuka dan mengeluarkan semua isi kado dari anak Ajaja, saatnya dipamerin.
"Topi dan kacamata dari gue." Ajay memberi gue kacamata dengan bingkai abu-abu serta topi warna putih.
"Kaus dari Rima." Kaus berwarna putih terbungkus plastik Jofan keluarkan. "Celananya dari gue," terusnya seraya memperlihatkan denim berwarna abu-abu muda yang masih dilipat di dalam plastik.
"Sepatu dari Nando, nih." Gue menaruh sepatu berwarna abu-abu putih ke meja pemberian dari Nando.
"Julian ngasih jaket," sambung Setya dan membentangkan jaket denim berwarna abu muda juga.
Gila. Bagus dan cakep-cakep semua kado dari mereka.
"Wah! Gue suka. Makasih banyak," ucap gue bersungguh-sungguh sebab senang dan takjub. "Ini satu setel?" tanya gue sembari menyentuh bagian lengan jaket dari Julian. Lembut, cuy.
"Kira-kira gitu." Jofan menjawab yang mulai menarik satu kotak kado berwarna putih lainnya. "Tapi merknya beda-beda, sih. Kita beli masing-masing dan pilihin, buat elo pake sekaligus sewaktu-waktu. Pas mau bergaya."
Gue tersengih. "Bisa-bisa si Bangsat ngetawain gue kali kalo gue pake gaya beginian."
Membayangkannya aja gue udah geli sendiri. Apalagi ngebayangin reaksi si Bangsat. Duh, maleslah gue.
"Dicoba dulu kali, Fer. Siapa tau Saga bakal terkesima," ucap Ajay menyemangati yang sekadar gue tanggapi melalui gelengan pesimis.
"Ini dari Dyas. Dia ngasih elo tas selempang." Tas selempang berwarna hitam Jofan sodorkan di depan pangkuan gue.
Yah, namanya juga Dyas. Bukan dia andaikan nggak ngasih sesuatu berwarna hitam.
"Zyas paket skincare, nih." Setya menaruh wadah bening berisi beberapa botol produk perawatan wajah. "Ada pesannya juga, tuh."
Pesan yang ditempelkan di wadah gue baca pelan.
"Biar kamu jadi cantik kayak aku, Feryan. Muach." Gue cekikikan seusai membacanya. "Yah, gak heran. Namanya juga Zyas."
Lumayanlah, ya. Gue dapat skincare gratis. Kebetulan gue belum punya karena males beli. Mahal juga, woi. Sayang duit.
"Ini dari Vano. Komik One Piece puluhan volume."
Kado paling berat yang udah bantu dibukakan oleh Ajay rupanya merupakan pemberian Vano, dong. Dan isinya ANJRIT BANGET! TERBAIK INI!
"KOMIK ONE PIECE! ANJIR!" Gue menatap puluhan komik yang semuanya masih tersegel dengan tatap memuja. "Titip cium buat Vano dari elo atas rasa terima kasih gue, Set."
Setya terkekeh. "Iya, bakal gue sampein." Lantas dia menyodorkan sebuah phone case dengan gambar logo One Piece beserta seluruh kru Mugiwara. "Ini kado dari gue."
"PHONE CASE ONE PIECE!" Gue merebutnya secara nggak sabar dan makin heboh nggak keruan. "Anjir. Gambar buatan elo sendiri lagi," ucap gue takjub ketika mendapati credit khas milik dia di gambar phone case ini. "Makasih banyak, Set."
Habis ini bakal langsung gue pake phone case-nya, ah. Keren gila. Mana Naminya cakep banget di sini. Mantul.
"OPPO RENO!" Jeritan kaget Jofan bikin gue, Ajay dan Setya menoleh serempak ke arahnya.
"Hah?" Gue memekik.
Apa barusan dia bilang? OPPO Reno? HP mahal itu?
Jofan mengangguk-angguk. "Nih, Om Julius ngasih elo HP baru, Fer. OPPO Reno."
Kotak HP OPPO yang Jofan berikan gue terima dengan ekspresi terkejut bukan main. "Buseet. Asli ini?" Gue menyipitkan mata nggak mempercayai pandangan sendiri.
"Iya, gila!" Ajay berdecak takjub. "OPPO Reno five, tuh. Keluaran terbaru."
Gue sontak tambah terperangah. Bingung harus bereaksi gimana lagi.
"Emang beda aja kalo punya mertua idaman," celetuk Jofan diakhiri senyuman usil.
"Buseeet, deh. Padahal iPad sama HP gue masih bagus. Mau langsung dipake sayang, anjir," komentar gue beneran galau.
Ya, gue seneng, tapi juga bingung. Entahlah. Ini HP kebagusan buat gue pake, Bangsul. Harganya pasti jelas menang jauh dibanding HP yang sekarang gue pakai.
"Kalo nggak mau, sini kasih gue aja."
Gue sigap menjauhkan HP baru ini dari jangkauan Setya. "Sembarangan! Biar gue buka nanti aja, deh. Disimpen aja dulu. Tunggu Samsung gue rusak, baru pake ini OPPO."
Setya cuma mengangkat bahu pasrah. "Ya udah."
"Kado terakhir berarti dari Kak Armet, ya," kata gue sewaktu melihat Ajay yang lanjut membukakan kotak dengan kertas kado berwarna ungu muda. Satu-satunya kado yang tersisa di meja.
Ajay mengeluarkan dua kaus bergambar One Piece serta beberapa gantungan kuncinya. "Gantungan kunci sama kaus One Piece, nih."
"Wah!" Gantungan kunci dengan model Franky gue ambil. "Alhamdulillah. Nambah koleksi lagi."
"Hannes yang kasih saran itu juga. Soalnya Kak Metta bingung mau ngadoin elo apa," jelas Setya memberitahu sembari mengumpulkan sampah bekas kertas serta kardus kado yang berserakan bersama Jofan dan Ajay.
Sedangkan bagian gue mengumpulkan semua kado ke meja. "Padahal gue ngarep dikasih kupon makan gratis seumur hidup di toko kuenya."
"Kayak yang Naruto dapat dari pedagang ramen di desanya gitu, ya?"
Tebakan tepat sasaran Ajay bikin gue cengengesan. Gue inget dulu nonton episode itu bareng sama Saga dan otak gue jadi punya harapan begitu. Enak pan andai bisa dapat kupon makan gratis seumur hidup. Apalagi kalo kupon buat makan menu favorit.
"Biar gue buang sampah kadonya ke bawah." Ajay meraup seluruh sampah dalam sekali ambil, lalu melangkah keluar bersama tubuh tinggi besarnya.
Jofan berkacak pinggang. "Saga punya plastik gede di lemari nggak, sih?" tanyanya sambil memandang gue.
Lemari baju si Bangsat gue lirik. "Coba lo cari sendiri aja."
"Nggak apa-apa gue masuk ke lemari pacar lo?"
Pertanyaan keduanya bikin gue mengernyit heran. "Ya, nggak apa-apa, kali. Emangnya kenapa?"
"Asalkan elo nggak coba masuk ke dalam hati pemilik lemarinya aja, Fan."
"Bacot!" Gue akhirnya menampar pelan wajah Setya atas kalimat konyol yang dia lontarkan. Sementara sohib kampret ini asal ngikik puas.
Kurang ajar.
"Nih, gue nemu!" Jofan kembali sambil membawa tas belanja kertas mengilap super jumbo dari Gucci. "Lumayan buat naruh semua kado-kado yang elo terima biar gampang pas dibawa pulang," ujarnya yang sesudah itu menaruh tas dimeja.
"Makasih, Fan."
Selanjutnya, kado-kado milik gue mulai dimasukkan ke dalamnya.
Gue menahan phone case yang berniat Setya masukan. "Phone case mau langsung gue pake, gak usah elo masukin."
"Terus, phone case lama lo?" Setya bertanya.
Phone case One Piece lama yang masih terpasang di HP Samsung ini gue lirik. "Gue simpenlah. Udah saatnya pensiun." HP gue dan phone case baru gue serahkan ke Setya. "Nih, Set. Bantuin gue masang phone case-nya."
"Iya, sini."
"Udah selesai unboxing kadonya?" Saga tahu-tahu muncul dan berdiri di ambang pintu, memperhatikan kami bertiga yang baru selesai membereskan semuanya.
Gue nyengir. "Udah, nih." Kemudian gue mengadu, "Ayah lo ngasih gue HP baru."
"Iya. Gue 'kan yang milih dan beliin HP-nya."
"Hah?" Jawabannya membuat gue nyaris keselek.
Si Bangsat mulai melangkah kemari. "Daddy ngasih gue uang lima juta kayak tahun kemarin. Karena Daddy sibuk, jadi Daddy minta tolong ke gue, katanya, beliinlah pacar kamu hadiah dari Daddy. Ini uangnya. Terserah mau beli apa. Kalo kurang, bilang aja. Kebetulan budget buat HP OPPO Reno five pas. Jadi, ya udah."
Penjelasan darinya bikin kami semua ternganga.
"So easy," desis Setya antara heran dan takjub.
Di sisi lain, gue malah jadi tambah kesel. "Anjir! Dasar rese lo. Sayang kali sama duitnya." Lengannya gue pukul laun.
Bahunya terangkat secara santai. "Daddy yang punya duit, elo yang repot. Biarlah. Orangnya juga nggak ngelarang gue beli apa pun untuk lo selama barangnya bermanfaat dan layak pakai."
Perkataannya bikin gue melotot dan mendengkus gemas. "Dasar bangsat!" Sekali lagi, lengannya gue pukul.
Jofan dan Setya cuma geleng-geleng. "Karena pacar lo udah di sini, gue sama Setya turun dulu ya, Fer."
Gue mengangguk pada mereka. "Oh, iya. Makasih, Set, Fan."
Mereka cuma tersenyum, sesudah itu melangkah keluar.
"Acara makan-makannya udah kelar?" tanya gue yang baru teringat sebab yang punya rumah malah udah naik ke kamar.
Saga serta-merta duduk untuk lalu menjatuhkan kepalanya ke pangkuan gue. "Kalo belum kelar, nggak mungkin gue udah naik ke sini, 'kan?" Hidung gue dicubitnya gemas. Matanya melirik ke meja, kemudian HP gue diambilnya. "Oh. Phone case lo ganti."
Gue nyengir. "Iya. Hadiah dari Setya. Kak Armet sama Vano juga ngasih gue hadiah berunsur One Piece, sih." Tas berisi kado gue tunjuk.
"This is good," komentarnya untuk phone case baru ini.
"Iya, 'kan?" sahut gue setuju. "Eh, Grandma elo tinggalin di bawah, dong?"
HP kembali ditaruh ke meja. "Iya. Granny sama anak-anak lain masih asik ngobrol. Biarin aja. Soalnya gue mau mesra-mesraan sama lo," ungkapnya sambil lantas memeluk perut gue erat.
Hadeeeuh. "Gak ada bosennya, ya," keluh gue, tapi tetap aja kepalanya gue belai-belai.
Dia memperdengarkan desahan puas. "Mana bisa, Sayang. Bucin gue 'kan udah setengah hidup."
"Iya, iya. Percaya deh gue." Gue meringis pelan. "Tapi elo bangun dulu deh, gue mau ambil minum."
"Biar gue aja yang ambilin." Saga sigap bangun dan langsung berjalan ke kulkasnya. "Mau minuman apa?"
"Mogu Mogu!"
"Rasa?"
"Kelapa, deh."
Mogu Mogu dengan isi berwarna putih si Bangsat ambil dari dalam kulkasnya. Langsung dia buka dan sekonyong-konyong diminumnya duluan.
Sontak gue memprotes, "Kok elo yang minum duluan, sih? Gue yang lagi haus ya, Bangsat!"
Dia nggak menyahut. Melangkah balik ke sini, setelah itu segera membungkuk sesampainya ke dekat gue untuk memindahkan isi Mogu Mogu rasa kelapa di mulutnya ke mulut gue.
Refleks aja gue menerima dan menelannya dengan paras yang terasa panas. Norak anjir. "Bule mesum kampret!" cela gue saking kaget dan malu.
Mana pintu nggak ditutup. Kalo sampe ada yang mergokin gimana coba?
Namun, Saga malah nyengir. "Tapi rasanya jadi dua kali lebih enak, 'kan?"
"Nggak!" Gue mendengkus lalu merebut botol Mogu-Mogu dari tangannya. "Sini, gue mau minum langsung aja." Tetapi, selama gue minum, tatapan mata sipit bule bangsat ini justru tertuju ke gue terus. Bikin salting aja. "Kenapa elo ngeliatin gue terus, sih?" Mukanya gue tabok pelan pakai botol.
Dia menghela napas panjang. "Gue lagi mikir, tentang betapa gue beruntung bisa milikin elo."
Seperkian detik, gue tertegun sebelum akhirnya membalas, "Nggak kebalik?"
Dia ketawa, kemudian menjatuhkan lagi kepalanya ke pangkuan gue. "Yah, itu juga."
"Bangke dasar," cibir gue yang lanjut minum lagi.
Duh, seger banget minum Mogu-Mogu ini. Andai harganya murah, gue kepengin nyetok ini minuman sampe menuhin kulkas. Macem kulkas si Bangsat aja gimana. Meski Mogu-Mogu ini dia beli karena tau gue yang doyan, sih.
"Habis ini elo mau langsung pulang?"
Pertanyaan Saga bikin gue mengangguk ragu-ragu sembari berpikir. "Mungkin mau barengan sama anak lain aja. Setya juga 'kan pasti nanti diantar sama Vano. Biar gue numpang sekalian. Di sini elo harus nemenin Grandma. Jangan ke mana-mana."
"Ugh. Gemes banget gue sama lo." Hidung gue lagi-lagi kena cubit. "Pengertian banget sih pacar gue ini."
Pujiannya gue balas cengiran bangga. "Kalo gak gini, elo gak mungkin bucin ke gue, 'kan?" ucap gue sambil menaik-turunkan alis.
"Tepat!" jawabnya yang lalu menjauhkan botol Mogu-Mogu untuk selanjutnya mengajak gue berciuman.
Yeee, semena-mena banget ini cowok.
"Seenggaknya pintu elo tutup dulu, Bangsat."
"Gak usah. Gue cuma mau cipokan sebentar aja."
Terserah dia ajalah. Toh, gue juga suka.
.
"Kalo udah sampe rumah, elo jangan lupa chat gue." Secara lancang, ini bule Bangsat nyium kening gue.
SAAT ADA GRANDMA DAN JESS--yang seketika menunjukkan ekspresi jijik. Tck. Bangsul. Mau protes udah telanjur. Biarlah.
Gue sekadar mendecak, lantas lebih memilih berpamitan pada Grandma. "See you again, Grandma." Nggak lupa, tangan beliau gue cium.
Grandma mengangguk-angguk seraya mengusap-usap puncak kepala gue. "Take care, My Dear. Please have a visit again soon, okay. I'm gonna miss you," pesannya sambil memeluk gue lembut.
Ah, senengnya gue diperlakukan sedemikian istimewa begini oleh beliau. Pasti nanti gue bakal main lagi mumpung beliau sedang ada di sini.
"Bye-bye, Grandma." Kami semua kompak melambaikan tangan dari jendela mobil ke arah Grandma selagi mulai melaju pergi.
Begitu mobil yang gue tumpangi mulai melewati gerbang besar kediaman Saga, gue langsung menyandarkan badan ke kursi belakang. Menatap pada Setya yang duduk di kursi depan sebelah kiri bersama Vano yang memegang kemudi. Terjebaklah gue di antara dua orang bucin ini. Siap-siap bakal jadi obat nyamuk sampe maboknya.
Habis mau gimana lagi. Kepengin numpang sama si kembar, arah rumah mereka beda sama rumah gue. Pasrah ajalah. Daripada gue mesti jalan kaki atau naik Gojek. Sayang duit. Hehehe.
HP gue terdengar berdering dari dalam tas besar wadah kado. Ketika ingin mengeceknya, suara Vano yang melayangkan pertanyaan untuk Setya malah bikin perhatian gue teralihkan.
"Kamu mau sekalian beli menu buat buka puasa?"
"Buka puasa masih tiga jam lagi, Hannes. Nanti aja."
"Kan biar sekalian, Febri. Apalagi tadi kamu udah capek nyanyi-nyanyi di panggung. Sampe rumah, kamu cukup istirahat aja sambil nunggu waktu berbuka."
Gue melirik mereka berdua bergantian. Apalagi si Setya terlihat diam dan nggak ngasih jawaban.
"Aku beliin sate sapi, ya? Buat kamu buka puasa. Bumbunya nanti dipisah."
"Yang mentahnya aja. Biar sampe rumah nanti aku masak sendiri."
"Iya. Jus alpukatnya juga, ya? Atau sama-sama mau mentahannya aja?"
"Mentahnya aja. Gak usah banyak-banyak."
"Alpukat satu kilo, satenya sepuluh tusuk?"
"Iya."
HAH? SEPULUH DOANG? MANA KENYANG, ANJIR. Ngada-ngada nih anak.
MINTA LIMA PULUH TUSUK SEKALIAN SATENYA, SET. JANGAN SIA-SIAKAN. Batin gue berusaha mengirimkan bisikan sesat.
"Dua puluh, deh. Sekalian buat orang rumah. Buat sahur kamu juga."
Setya terdengar mendecak. "Jangan banyak-banyak, Hannes. Nanti orang rumah curiga. Uang jajanku gak sebanyak itu, tauk."
"Ya udah."
Akhirnya, gue memberanikan diri nimbrung, "Gue juga dibeliin sekalian, dong. Sate sapinya."
Vano menoleh sekilas ke posisi gue di belakang. "Oke. Hitung-hitung traktiran buat lo yang baru aja ultah."
"Serius?" Mata gue mendelik gak percaya.
Dia menggeleng-gelengkan kepala seakan heran. "Elo maunya gue nggak serius gitu? Sekalian gue kepengin beliin buat Tante Ayu juga."
Alhamdulillah. Kecipratan rezeki cowok bucin.
Gue mengacungkan jempol. "Mantap. Cowok bucin lo ternyata gak buruk-buruk amat sifatnya, Set."
Vano terlihat tersinggung. "Watch your mouth, you stupid."
Gue balas cepat, "Ngaca lo, jelmaan Titan."
Sedangkan Setya cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan perseteruan nggak penting kami. Seperti selalu.
.
Gue melambaikan tangan pada Setya yang berjalan menuju ke arah kediamannya, setelah itu mulai melangkah menuju ke rumah sambil membawa plastik berisi dua puluh tusuk sate sapi dan tas besar berisi semua kado milik gue. Agak berat ternyata anjir. Mana gue cuma ngebawa pake tangan kiri.
Sesampainya di depan pintu, lebih dulu gue menaruh tas ke bawah.
"Assalamu'alaikum, Mah. Fery pulang!" seru gue.
"Wa'alaikumsalam."
Namun, suara seseorang yang terdengar membalas salam semata-mata membuat gue terkejut. Spontan gue mendongak, dan mendelik mengetahui siapa sosok yang justru muncul di hadapan gue sekarang.
"Papah?"
___Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com