33. PEREBUTAN
Ternyata, Papah datang bertamu kali ini nggak sendirian. Beliau membawa serta calon istri baru dan juga anak dari sang calon istri--yang ternyata adalah janda, yang berusia 5 tahun. Namanya Tante Adela, dan anaknya bernama Sindi.
Gue duduk di sofa ruang tamu bersama Mamah, sedangkan Papah, Tante Adela dan Sindi duduk di sofa satunya. Memperhatikan Sindi yang tampak lahap memakan sate sapi yang barusan gue bawa dan tentunya, mau nggak mau gue tawarkan untuk dia. Padahal tadinya itu sate mau gue kasihin buat Mamah.
Mana gue belum sempat ngasih kabar juga ke Saga gara-gara Tante Adela langsung ngajak gue duduk dan ngobrol basa-basi. Tetap aja, kesan pertama gue terhadap beliau cukup kurang berkenan lantaran ini orang mau-maunya aja gitu diajak main ke rumah istri lama. PIKIRANNYA DI MANA? Apakah dia nggak menghargai perasaan Mamah gue? PERASAAN GUE? Walau mungkin Mamah gue udah gak cinta lagi ke Papah, tapi ... berasa nggak pantas banget nggak, sih?
Si Papah pun berniat datang kemari nggak ada bilang-bilang dulu. Sontak aja suasana canggung memenuhi ruangan ini sekarang.
"Mamah, Sindi mau minum!" pinta Sindi dengan wajah serta tangan yang blepotan karena bumbu sate.
"Ayo, kita ambil minum. Permisi ya, Teh." Tante Adela spontan bangun lantas mengajak Sindi berjalan ke dapur setelah izin lebih dulu pada Mamah yang sekadar mengangguk dan tersenyum.
Sementara gue menghela napas panjang. Capek. Kepengin rasanya gue masuk kamar aja andaikan nggak ingat sopan santun. Meski yah, nggak tenang juga jika harus meninggalkan Mamah dengan Papah doang. Apalagi bila mengingat pertemuan kami tempo hari berakhir bagaimana. Perihnya seakan-akan masih membekas, cuy. Gak bohong gue.
"Papah dengar kamu udah lulus sekolah?"
Pertanyaan yang Papah lontarkan mengalihkan perhatian gue dari meja ke arahnya. Lalu mengangguk. "Iya, Pah. Alhamdulillah Fery lulus," jawab gue dengan nada datar saking males ngobrol dengan beliau.
Kepala Papah manggut-manggut. "Lalu, setelah udah lulus, kamu mau apa? Kerja? Lanjut kuliah?"
Pertanyaan selanjutnya dari Papah pun bisa gue jawab dengan lancar, "Untuk sekarang, Fery belum mikir ke sana, Pah. Masih mau fokus nyembuhin tangan Fery dulu."
Asli. Mau dipikirin segimana pun, emang tujuan gue saat ini adalah menunggu kesembuhan tubuh gue secara total. Soalnya kayak percuma gitu, walau gue kepengin kuliah ataupun kerja apabila kondisi tubuh nggak mendukung. Takut malah berakhir sia-sia aja nantinya.
Mata Papah melirik ke arah tangan gue sekilas dengan sorot nggak biasa. "Alah, cuma luka kecil di tangan aja, sebentar lagi juga sembuh itu."
Wow, luar biasa. Kondisi tangan gue diremehkan, dong. Ketauan ini orang belum pernah kesiksa gara-gara susah cebok dan tangan kesemutan sampe nangis-nangis.
Kemudian meneruskan, "Seharusnya sebagai anak laki-laki, kamu cari lowongan kerjaan secepatnya. Jadi begitu sembuh, kamu udah bisa kerja, dapat gaji. Jangan bisanya ngerepotin orang tua terus!" tekannya diakhiri sindiran.
Gue sekadar menunduk dan menarik napas pelan seusai mendengar penuturan Papah. Haaah. Dasar orang tua. Taunya cuma ngatur tanpa ada niat mikirin perasaan sang anak.
Mamah tahu-tahu angkat bicara. "Saya nggak merasa direpotkan oleh Feryan kok, Bang. Sebagai orang tua, udah merupakan kewajiban saya untuk menafkahi dan merawatnya."
Balasan dari Mamah anehnya malah bikin Papah tersengih, tampak meremehkan. "Nah, ini dia masalahnya. Kalo Feryan terus-menerus dibiarkan jadi begini oleh kamu, sampe kapanpun anak ini nggak mungkin bisa jadi mandiri, Desy!" responsnya, yang selalu, berujung menyalahkan.
Gitu melulu kelakuannya.
Gue berdeham lantas kembali menyahut, "Fery pasti nanti akan nyari kerjaan kok, Pah. Tapi nggak sekarang. Fery masih butuh waktu."
"Sampe kapan?" tanya Papah terlihat menuntut. "Kamu mau kerja apa emangnya? Kamu ada keahlian apa? Dulu kerja bantu Mamahmu ngantar pesanan aja ujung-ujungnya celaka. Yakin bisa?"
Seketika gue mengernyit nggak suka menangkap pertanyaannya yang kian menyudutkan. Lah? Ini orang maunya apa, sih? Katanya nyuruh gue kerja. Giliran tau gue ada niat, malah makin merongrong. Heran gue.
"Cukup, Bang Ardian!" Nada suara Mamah terdengar meninggi. "Tolong, jaga ucapan Abang pada Feryan!" desisnya penuh penekanan.
Gue memegangi tangan Mamah demi menenangkan perasaannya. "Nggak apa-apa, Mah. Fery udah bisa nebak bakal jadi begini, kok."
Namun, ucapan gue serta-merta membuat Papah tersinggung. "Maksud kamu apa bicara seperti itu?" Kedua matanya melotot berang.
"Kang Ardi!" Tante Adela muncul dan langsung menegur. Di sampingnya, Sindi juga ikut dengan kondisi muka dan tangan yang udah bersih.
Berhasil menyingkirkan raut kesal di wajah Papah yang kemudian menarik napas panjang, seakan coba meredakan kekesalannya. Di hadapan calon istri baru harus banyak cari muka emang.
Begitu Tante Adela dan Sindi kembali duduk bersamanya, Papah mulai bicara dengan ekspresi wajah lebih serius, "Sebenarnya, maksud kedatangan papah ke sini itu karena papah ingin mengajak kamu ikut bersama papah dan Adela. Ke Sumedang. Supaya kamu bisa sekalian nyari kerjaan juga di sana," ungkapnya memberitahu yang diikuti anggukkan setuju dari Tante Adela.
Sedangkan gue sontak mendelik kaget. BARUSAN PAPAH BILANG APA? MAU NGAJAK GUE KE SUMEDANG? Apa gue nggak salah dengar?
Mamah yang duluan menimpali, "Kenapa harus jauh-jauh ke sana sih, Bang? Di sini Fery juga pasti bisa dapat kerjaan, kok," katanya seraya memegangi erat tangan gue. Gemetaran.
Mamah pasti ngerasa panik gara-gara ajakan nggak ngotak Papah barusan. Gila.
Papah mendengkus. "Karena kalo terus di sini bersama kamu, Feryan nggak mungkin bisa belajar mandiri. Sadarlah, kamu itu terlalu memanjakan dia, Desy!"
"Tapi kawan-kawan dia, rumahnya, semuanya ada di sini, Bang. Abang nggak bisa gitu aja memaksa Fery ikut Abang pergi. Saya nggak akan setuju!" sanggah Mamah tetap nggak menyerah.
"Kamu nggak punya hak untuk memutuskan. Saya ini papahnya." Dan ya, tentu aja Papah juga nggak mungkin mau mengalah.
"Dan saya mamahnya!" Mamah membentak saking udah habis kesabaran yang semata-mata bikin Papah dan Tante Adela tertegun sesaat.
Kali ini, Tante Adela memberanikan diri terlibat dalam obrolan, "Maaf pisan ya, Teh Desy. Tapi kami ingin melakukan ini tuh ... demi kebaikan Feryan juga. Insya Allah, di Sumedang saya juga akan bisa merawat dan memberikan Feryan perhatian selama Kang Ardi kerja. Saya akan memperlakukan Fery seperti anak sendiri."
Gue spontan memandang Tante Adela nggak suka. BACOT AMAT INI BETINA. Pake segala ikut-ikutan. Resmi jadi istri Papah gue aja belum, tapi lagaknya udah macam mampu menjadi sosok ibu yang lebih baik dari Mamah gue. Sialan. Nambah dosa aja maki orang nggak dikenal di bulan ramadhan.
Penuturan Tante Adela tadi ditanggapi anggukkan oleh Papah yang terlihat puas. "Kamu dengar, 'kan? Adela aja udah siap menerima Feryan, kok," ujarnya dengan lagak sombong.
NAJIS! SIAPA PEDULI SOAL DIA MAU NERIMA GUE ATAU NGGAK YA, SETAN!
Mamah menggelengkan kepala pelan. "Tapi Bang Ardi dan Teh Adela bahkan belum resmi menikah."
"Kami akan menikah setelah lebaran ini, Mbak," cetus Tante Adela yang asli nambah sensasi nggak enak di dalam hati.
Maksudnya lebaran monyet kali, ya. Semoga aja, deh.
"Betul itu." Papah mengangguk-angguk lagi. "Lagian, ini udah saatnya untuk kamu beristirahat dari mengurus Feryan, Desyana. Gantianlah. Biar saya yang mengurus anak kita, supaya--"
"Supaya Papah bisa leluasa mukulin dan marahin Fery? Begitu?" potong gue dengan sengit dan menatap langsung ke mata Papah yang kontan melotot geram.
"Ya Allah, Fery!" Mamah berbisik cemas.
"Fery, nggak boleh ngomong begitu ke papah sendiri. Dosa!" kata Tante Adela mengingatkan, tampak sama terkejutnya kayak Mamah disebabkan respons kurang sopan gue yang nggak keduga-duga.
Biarin ajalah. Bodo amat. Sekalian mau tumpahin semuanya.
Gue memaksakan senyuman. "Maaf, Pah. Tapi sampe kapan pun, Fery nggak akan pernah mau ikut sama Papah. Apalagi setelah apa yang Papah lakukan begitu Fery pulang dari rumah sakit tiga bulanan lalu. Fery beneran nggak mau."
Jawaban gue membuat Tante Adela langsung bertanya, "Kang Ardi emangnya ngelakuin apa ke Fery?"
"Loh, jadi Tante Adela nggak tau?" ucap gue berlagak terkejut. "Calon suami Tante ini nampar saya, loh. Padahal waktu itu saya baru pulang dari rumah sakit."
"ITU KARENA KAMU BERSIKAP KURANG AJAR SEPERTI INI!" Papah sekonyong-konyongnya berdiri dan membentak gue dengan suara menggelegar sampai mengagetkan kami semua. "Orang tua mana pun pasti akan memukul anak kurang ajar seperti kamu, Feryan!"
Namun, gue nggak gentar. Mamah makin gemetaran mendapati pelototan berang Papah yang cukup menyeramkan. Tante Adela terperangah, sedangkan Sindi terlihat ketakutan.
"Mamah! Takut!" Gadis berusia 5 tahun itu bersembunyi di balik kerudung lebar yang mamahnya pakai.
Sigap aja Tante Adela memegangi tangan pria bernama lengkap Ardiansyah Surya selaku sang calon suami. "Aduh. Udah, udah. Kang Ardi sabar atuh. Nggak perlu ribut. Di sini 'kan niat kita ingin bersilaturahmi secara baik-baik, ya. Ini bulan Ramadhan, loh. Jangan malah bikin permusuhan," katanya mengingatkan sembari memberi usapan-usapan lembut ke tangan Papah yang sontak kembali duduk dengan gerak cukup kasar.
"Bukan saya yang mulai. Orang-orang ini yang selalu keras kepala dan nggak mau mendengarkan!" sangkal Papah sambil menunjuk ke arah gue dan Mamah.
Gue meneguk ludah lebih dulu sebelum membalas, "Tapi tolong Papah juga mengerti dan mendengarkan apa yang Fery mau, Pah. Fery nggak mau ikut sama Papah. Fery ingin tetap tinggal di rumah ini bersama Mamah. Karena seperti yang Mamah katakan, ini rumah Fery. Temen-temen Fery juga semuanya di sini. Jadi tolong, biarkan Fery tetap bahagia di sini. Sementara Papah, silakan untuk fokus membangun keluarga kecil Papah yang baru bersama Tante Adela. Fery mohon, jangan paksa Fery. Fery nggak mau, Pah." Panjang lebar gue menyampaikan.
Jelas aja Papah gue tampak nggak terima. "Kamu ini--"
"Akang!" Buru-buru Tante Adela memotong protes yang hendak diperdengarkan Papah. "Kalo Fery maunya begitu, ya biarin atuh. Kita gak bisa maksa dia."
Oh. Alhamdulillah. Seenggaknya sang calon istri punya pemikiran yang lebih waras dibanding lakinya.
Papah mengernyit nggak senang. "Tapi ..."
"Akang Ardi sendiri juga pan yang bilang, bahwa Fery mungkin akan lebih betah sama Mamahnya. Ya udah atuh, biarin," sambung Tante Adela seolah mengingatkan. "Tapi ya, siapa tau nanti ada masanya Fery kepengin nyoba tinggal sama kita, silakan bilang aja, ya. Nggak usah sungkan. Fery bisa anggap tante ini kayak mamah sendiri. Punten ya, Teh Desy." Nggak lupa, Tante Adela mengatupkan kedua tangan kepada Mamah secara sopan yang terang aja bikin Mamah tersenyum lega.
Papah menghela napas pasrah. Sedangkan gue nyengir semringah. Puas atas sikap pengertian yang rupanya calon Mamah baru gue ini miliki.
"Makasih pengertiannya, Tante." Gue mau nggak mau menyalami tangan Tante Adela saking senangnya.
"Iya. Sama-sama." Bahu gue pun diberi tepukan lembut oleh beliau. "Kang Ardi juga, nggak boleh kasar gitu sama anak, nya. Pantang pakai kekerasan buat meluluhkan hati anak. Kasian atuh anaknya," terusnya berpesan kepada Papah yang memperlihatkan ekspresi jengah.
"Ya sudah, terserah kamu mau bilang apa," jawab Papah nggak bersemangat yang sontak bikin Tante Adela gemas.
Lengan Papah ditoel pelan. "Ah, si Akang mah. Kalo dibilangin teh suka begitu." Matanya lalu melirik Mamah. "Dari dulu orangnya begini ya, Teh? Si Akang Ardian ini."
Mamah mengangguk dengan senyuman geli. "Iya. Emang begitu, Teh."
"Udah diem!" bentak Papah pelan. "Malah ngomongin saya kalian ini. Jangan bikin malu!"
Gue dan Sindi cuma bisa cekikikan menyaksikan interaksi mereka.
Syukurlah. Akhir dari sesi perebutan gue nggak menghasilkan kesakitan apa pun untuk kedua belah pihak. Semoga aja, ini pertanda baik bagi hubungan kami semua ke depannya. Terutama bagi Papah serta Tante Adela yang akan segera menikah.
Langgeng teruslah untuk mereka meski tadi gue udah sempat caci-maki gara-gara kepalang emosi. Maklumlah, ya.
.
"Fery, puasanya lancar?"
Gue lebih dulu menelan sate, lalu menggelengkan kepala atas pertanyaan yang Tante Adela lontarkan di sela-sela suasana buka bersama kami. "Emm, sempet bolong berkali-kali, Tante. Terutama selama waktu pelaksanaan ujian gara-gara sakit kepala kumat. Jadi puasanya terpaksa dibatalin karena harus minum obat dari Dokter," jelas gue memberitahu.
Sebenarnya hari ini gue juga nggak lagi puasa, tapi jangan sampe mereka taulah, ya. Apalagi kalo sampe ketauan alasannya. Duh. Bisa mampus gue.
Beliau menampakkan raut khawatir. "Emang masih suka sakit kepalanya?"
"Iya, Teteh." Mamah jadi ikutan nimbrung. "Masih sering sakit. Katanya Dokter mah wajar begitu karena efek benturan. Tapi nggak nyangka aja bisa berbulan-bulan. Padahal udah sembuh loh lukanya," ujarnya dengan ekspresi ngeri yang semata-mata membuat Tante Adela bergidik nggak nyaman
"Serem ya, Teh. Ih, jadi ikut ngilu kepala saya," desis Tante Adela sembari refleks memegang kepala.
Cengiran gue berikan atas reaksi lucunya.
"Aa Felyan lagi sakit?" Sindi yang kali ini buka suara untuk bertanya. Mata polosnya menatap gue penuh rasa ingin tahu.
Lagi, gue menggelengkan kepala. "Udah nggak lagi kok, Sindi. Sakitnya udah lama."
"Besok sakitnya?"
Kami semua spontan tertawa gara-gara pertanyaan yang salah diucapkan Sindi.
"Kemarin atuh, Geulis. Masa besok."
Kalimat sang Mamah bikin Sindi nyengir malu. "Oh, iya. Kemarin, ya. Ehehehe."
Papah batuk-batuk lantaran tersedak, kemudian menegur, "Kalian makan aja yang bener. Jangan malah ngobrol terus."
Tante Adela mendelik sebal. "Nggak apa-apa atuh, Akang. Sesekali. Mumpung ada temennya."
"Iya, tuh. Bener," timpal Mamah yang langsung setuju. "Oh, iya. Malam ini, Teh Adel sama Bang Ardi mau nginep?"
Secara cepat Tante Adela menggelengkan kepala menanggapi tanya dari Mamah. "Aduh, nggak atuh, Teh. Nggak enak. Habis ini kita mau langsung ke terminal lagi, nyari bus buat pulang ke Sumedang."
"Atau sekalian naik kereta," kata Papah menambahkan.
Tante Adela mengangguk-angguk. "Iya. Soalnya niatnya main ke sini emang sebentar. Mau silaturahmi sekalian jenguk kondisi Fery yang baru lulus sekolah dan ulang tahun juga."
Gue dan Mamah tersenyum mendengar penjelasan Tante Adela barusan.
"Emangnya nggak apa-apa? Sindinya nanti kecapean, dong," tanya gue.
Sindi mendadak memprotes. "Iya. Sindi nggak mau pulang!"
"Sindi!" Sang Mamah langsung mendelik sok galak. "Jangan begitu. Nggak boleh."
Raut muka gadis cilik berambut sebahu ini seketika manyun. "Sindi masih mau sama Aa Felyan," keluhnya tampak sedih.
Gue spontan mencolek-colek pipi Sindi gemas. "Lebaran nanti, kita ketemu lagi ya, Sindi. Nanti Aa main ke Sumedang. Sekalian hadir di acara nikahan Papah Ardi sama Mamahnya Sindi."
Perkataan gue bikin ekspresi Sindi menjadi semringah lagi. "Benelan, ya? Hoyeee!" soraknya girang. "Mah, Aa Felyan nanti ke Sumedang."
"Iya, iya." Tante Adela memandang gue. "Fery janji, ya? Awas loh kalo nggak ditepatin. Tante nggak mau dinikahin Papah Fery sebelum Fery datang nanti!"
Duh! Kok meresahkan gitu risiko andai janji gue nggak ditepatin.
"Feryan usahain, Tante. Doain aja semoga nanti bisa ke sana," ucap gue disertai cengiran.
Papah melotot. "Awas aja, kalo kamu nggak datang!"
Ancamannya nggak main-main, nih. Waduh.
"Kang Ardi. Duh, kebiasaan, ah. Udah, mending lanjut makan aja kalo sekalinya ngomong cuma buat marah-marah!"
Sosok Tante Adela ini luar biasa banget, ya. Bisa menjinakkan Papah yang memiliki sifat keras dan kasar begitu. Salutlah gue.
Mungkin, punya Mamah tiri macam beliau nggak akan buruk-buruk amat kali, ya.
.
"Dadah, Sindi. Hati-hati, ya." Gue dan Mamah melambai-lambaikan tangan.
"Dah, Aa." Sindi melambaikan tangan selagi ojek yang dirinya serta sang Mamah tumpangi mulai melaju. Disusul ojek milik Papah kemudian.
Sepeninggalan mereka, dapat gue dengar embus napas Mamah yang cukup panjang seakan-akan merasakan lega bukan kepalang.
"Aduh, Papah kamu itu, Fery. Kalo datang suka banget bikin deg-degan!" ungkap Mamah dengan ekspresi wajah nggak keruan.
"Deg-degan jatuh cinta gitu, Mah?" tebak gue usil.
Mamah spontan mendelik gemas. "Deg-degan takut atuh, Fery. Mana tadi dia mau ngajak kamu pergi ke Sumedang segala. Aduh, meuni udah ketar-ketir mamah mah. Ngeri. Nggak siap kalo mesti ditinggal Fery pergi," jelasnya yang lalu mulai melangkah kembali ke rumah diikuti oleh gue.
Gue nyengir. Paham betul kegamangan yang Mamah rasakan sebab gue juga merasakan hal serupa. Nggak siap andaikan harus pergi dari dekat Mamah. Satu-satunya keluarga yang gue miliki di sini.
"Fery nggak akan ke mana-mana kok, Mah. Fery sampe kapan pun bakalan tetep tinggal sama Mamah," ujar gue yang langsung bikin Mamah menyipitkan mata, seolah meragukan pernyataan gue.
"Kecuali kalo kamu udah nikah mereun, ya. Kan kamu nanti pasti lebih milih tinggal di rumah sendiri."
Gue mengernyit nggak setuju. "Kalo Fery udah punya rumah nantinya. Kerjaan aja belum ada."
"Eh, salah atuh!" Mamah tiba-tiba menunjuk wajah gue sambil memasang ekspresi mengejek. "Yang paling utama mah, dicari dulu calonnya." Lalu Mamah menertawakan gue yang seketika tertegun setelah diledek demikian. Lantas lanjut melangkah lagi. "Hayuk, ah. Buruan masuk. Mamah mau nonton tivi."
Sedangkan gue belum bergerak dari posisi gue di halaman rumah. Memperhatikan punggung Mamah dengan sorot mata bersalah, kemudian menunduk dengan sedih sembari membuat pengakuan lirih.
"Sebenarnya, calonnya udah ada, Mah. Fery cuma belum siap ngenalin dia ke Mamah. Maaf."
___Bersambung
Kalian kesel?
Kalian emosi karena kedatangan Papahnya Feryan?
HAHAHAHA. Eits. Itu belum seberapa, loh.
Percayalah. Pada bab selanjutnya, kalian akan dibuat lebih emosi lagi oleh kemunculan tokoh baru yang nantinya bakal memporak-porandakan rasa sabar kalian semua. Siap-siap aja. 🤣
Sampe ketemu lagi di bab berikutnya~ ♥️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com