4. PERMAINAN
"So, you guys ready?"
Botol yang diletakkan di tengah-tengah meja ruang santai ini gue pandangi penuh waswas, lalu beralih melirik si Bangsat yang duduk di sebelah gue dan siap-siap lanjut bicara.
"Peraturan permainannya masih sama seperti sewaktu kita main di group chat. Bedanya, yang sekarang pakai botol." Botol yang sedang kami perhatikan Saga tunjuk. "Siapa pun di sini yang kena tunjuk botol di meja, harus memilih antara truth or dare. Sambil memilih juga, satu orang untuk memberikan mereka truth or dare yang harus dilakukan."
Penjelasan itu langsung disahuti oleh Vano. "Jadi, kali ini kita semua nggak perlu ngasih truth or dare barengan?"
Saga mengernyit. "Maunya kalian dibikin begitu lagi?"
Pertanyaan itu jelas aja mengundang panik!
Dih, sembarangan! Jangan sampe!
Gue buru-buru nimbrung sambil menggelengkan kepala. "Nggak, nggak! Peraturan barunya lebih bagus. Udah, begini aja. Gak apa-apa," kata gue diakhiri senyuman kikuk.
Cari aman, Bambang! Main truth or dare di GC waktu itu aja cukup bikin kelimpungan dan ngerepotin, apalagi kalo dihadapin secara langsung begini. Dikasih truth or dare dari lima orang sekaligus? Bisa-bisa mampus gue.
Cowok gue tersenyum lebar. Kelihatan antusias banget sama game ini. "Okay, then. Let's start!" Dia bertepuk tangan satu kali menandakan dimulainya permainan.
"Rules-nya cuma begitu doang, nih?" Setya buka suara, bertanya.
Bikin si Bangsat mengangguk-angguk pelan. "Well, yes. Why? Elo ada pertanyaan?"
Hal itu malahan ditanggapi oleh Zyas yang tahu-tahu berseru dari seberang posisi gue. "Aku!" Tangan kanan dia diangkat tinggi-tinggi. "Kita bebas 'kan ngasih truth or dare apa pun?"
"Yes," jawab Saga tanpa ragu.
"Meskipun gila dan berbahaya?" tanyanya sekali lagi.
Kali ini, cowok gue dibuat berpikir sebentar. "Gila boleh, bahaya? No!"
Zyas menampakkan ekspresi gak puas mendengar respons itu. "Yah, batal deh rencana aku kepengin ngasih Feryan dare buat lari telanjang keliling rumah ini."
Kalimat itu sontak aja bikin gue mendelik ngeri, sedangkan yang lainnya keheranan. "Gak waras lo, ya. Dasar sinting!" maki gue disertai dengkusan.
Sementara itu si Bangsat malahan terkekeh. "That's actually ... pretty normal. I kinda like the idea."
Hah? Bilang apa dia? IDENYA DIA SUKA?
Kontan aja si Zyas langsung menunjukkan sorot penuh harap. "Jadi, maksudnya aku boleh ngasih dare itu?"
"Maybe, yes." Saga menjawab enteng.
"Hah? Yang bener aja, Bangsat!" bentak gue nggak terima.
Ini mereka semua ada masalah apa sih sama gue? Pada gila banget isi otaknya. Masa iya gue nanti bakalan dibiarin aja lari telanjang keliling rumah ini? Dengan kondisi badan yang super capek begini?
Cowok gue ini berdeham. "Dengan syarat, dare itu dilakukan saat kalian semua udah pulang."
"Hadeeeuh." Zyas, Setya dan Vano serempak melontarkan kekecewaan.
Fyuuuh. Syukurlah pikiran cowok bangsat ini masih bisa balik waras lagi. Bisa bernapas lega lagi juga.
Saga merangkul gue sembari memukul meja dengan sebelah tangannya. "Stop joking around. Let's just start the game!" ucapnya mengingatkan.
Seseorang segera meletakkan tangannya di atas botol tanpa diminta. "Biar aku yang mulai mutar botolnya! Shoot!"
Namun yang terjadi, Zyas sama sekali nggak memutar botolnya, tuh. Melainkan cuma sengaja dia arahkan ke posisi duduk kembarannya, tepat di sisi kiri dia.
"Yeeey! Dyas! Botolnya ngarah ke kamu!" sorak Zyas penuh semangat seraya memukul-mukul lengan Dyas yang menghela napas pasrah.
Gue dan yang lain jadi saling pandang kebingungan. Emang boleh gitu, main truth or dare pake cara begini?
"Elo curang."
Komentar Dyas itu ditanggapi kibasan tangan gak peduli. "Nggak apa-apa, 'kan? Aku nggak melanggar peraturan, 'kan?" tanya Zyas, melirik Saga yang memutar bola matanya.
"Whatever. Gimana, Dyas? Mau lo terima atau mau kita putar ulang botolnya?"
Ditanyai begitu oleh Saga, Dyas sekadar mengangkat sebelah bahunya. "I guess I don't have a choice. Pada akhirnya toh gue akan tetap kena tunjuk. I choose dare," ungkapnya tanpa protes lebih jauh.
"From who?" Vano menyipitkan mata seolah-olah ngarep kepengin dipilih.
Tanpa diduga, Dyas malah menatap posisi gue. "My best option is you. Feryan," ujarnya sambil membetulkan ketak kacamata.
Nggak tau apa gara-gara pilihan mendadaknya itu bikin gue bengong gak keruan. "Hah? Gue?" Gue menunjuk muka sendiri.
Dyas mengangguk, senyum tipis terulas di bibirnya. "Dibanding sama anak-anak lainnya, elo kelihatan yang paling jinak dan nggak usil. So, go ahead. Kasih gue dare dari lo."
Anjir, serius? Gue dapat kesempatan pertama ngasih dare buat orang pertama yang dipilih di permainan ini? Aduh, mesti gimana? Harus gue apain, nih?
Alhasil, gue bener-bener mikir keras sekarang. "Emm, apa, ya? Euh, bentar." Gue menggumam, melihat ke sana-kemari berharap bisa menemukan gagasan buat dare yang mau gue beri.
TAPI APAAN, WOI! SUSAH!
Saga mendadak malah berbisik, "Waktu lo ngasih dare berakhir dalam lima detik, Bego. Lima, empat--"
"ANJIR, BENTARAN!" Gue cepat-cepat membungkam mulut si Bangsat. "Biarin gue mikir sebentar, kek!" sergah gue gemas.
Zyas juga tampak gregetan. "Cepetan! Kalo kamu nggak bisa, biar aku aja yang ambil alih."
Celetukan itu sukses mendatangkan ide ke kepala gue.
"Nggak, nggak!" kepala gue menggeleng, melepaskan mulut si Bangsat sesudah itu nyengir. "Gue udah dapat. Dare buat Dyas," ucap gue senang sembari terus memandangi si kembar bergantian
"Apa?" sosok kembar di ruangan ini bertanya kompak.
Lebih dulu, gue berdeham langsam sebelum mengutarakan, "Seharian ini, atau minimal selama kita lagi main game, gue mau elo jadi Zyas."
Raut muka Dyas berubah shock bukan main. "Wait, what?"
"Gue mau penampilan, cara bicara, sama sifat lo harus dimiripin sama kembaran lo. Gampang, 'kan?" lanjut gue, memberikan dare dari gue untuk Dyas yang makin terperangah.
Sementara yang lainnya langsung memperdengarkan suara tawa tertahan, hingga berangsur-angsur heboh macam lagi nonton acara SUC.
"Pffft! Hahahaha!"
"Damn, Ryan! Your dare is totally brilliant!" puji Saga yang ketawa puas bareng sama Vano sambil tos.
Dyas yang masih tercengang, menggeleng-gelengkan kepala gak percaya. "Why are you .. Dan gue pikir elo adalah pilihan paling tepat." Tubuhnya bersandar lemah ke ujung sofa. "Kayaknya akal bulus Saga udah mulai menulari pola pikir lo juga," komentarnya diakhiri pijatan di pelipis.
"Come on, Dyas. Jadi Zyas versi 2.0!" tuntut Vano gak sabar, lalu tos sekali lagi dengan Saga.
Ini orang bertiga berkawan, tapi seneng banget bikin menderita satu sama lain. Meski gak heran, sih. Namanya juga sekumpulan orang-orang kurang berakhlak.
Zyas sekonyong-konyong berdiri. "Biar aku bantu."
Belum sempat tangan kakak kembarnya itu menyentuh rambutnya, Dyas serta-merta menghindar. "No, biar gue--"
Bibir Dyas ditutupi menggunakan lipstik yang dipegang oleh Zyas, entah sejak kapan. "Ssst. Shut up. Kebetulan aku bawa liptint, sama peralatan makeup sederhana lainnya," katanya yang lantas membuka isi tas selempang yang dibawanya. "Biar dare kamu lebih mudah dilakukan."
Dyas hasilnya kedengaran panik. "No, Zyas. Jangan berani-berani elo--"
"Eits. Zyas gak pernah bicara pake gue-elo. Say it, aku-kamu. Kayak kamu kalo lagi bicara ke pacar kamu sendiri," cetus Zyas mengingatkan sang adik kembar yang kini bergeming pasrah selagi mulai didandani.
"You guys ... I swear I will destroy you all in this game. Try me!" ungkap Dyas yang kayaknya serius dan nggak dibuat-buat.
Serem.
Berarti, sedapatnya gue mesti menghindari dari milih dia untuk ngasih dare atau truth. Peringatan bahaya gue bisa-bisa nyala gak ada hentinya.
Nggak sampe lima menit, Dyas sungguhan berhasil menjelma menjadi Zyas versi 2.0. Gaya rambut, bibir mengkilap, bahkan aura di wajahnya kelihatan lebih berseri disebabkan polesan makeup yang Zyas berikan. Bikin Vano dan Saga ngambil foto dia sembari cekikikan puas tanpa menghiraunkan ekspresi kesal kawan penggila warna hitam mereka yang seakan siap membasmi kami semua dari muka bumi.
SEREM (2). ASLI SEREM.
Tangan Dyas bersiap-siap memutar botol sekarang. "Next. Biar gu--biar aku yang putar botolnya."
Gaya bicaranya menggelikan buat didengar, jujur aja. Walau mukanya 100% mirip sama Zyas, tapi aslinya jenis suara mereka itu beda. Alhasil, setiap ngeliat Dyas niruin gaya Zyas, bawaannya gue antara pengin ngetawain sama ngatain.
Setelah game selesai, gue mesti minta ampun sama cowok yang terpaksa melepas kacamatanya sekarang ini, nih. Demi kesejahteraan bersama, ikut kata Pak RT dari film Keluarga Somat.
"Saga."
Nama cowok gue disebutkan bertepatan dengan arah botol yang menunjuk padanya.
Orangnya mah tersenyum santai aja di sebelah gue, ngasih pilihan, "Dare. From--"
"Aku! Aku!" Dan diinterupsi Zyas yang mengangkat tangan. Gak pernah kehabisan energi kalo udah berurusan sama si Bangsat.
Ini cowok pasti kepengin minta dare yang macem-macem.
Si Bangsat mengerling gue lebih dulu, lalu memandang Zyas dengan ragu. "But you should promise you won't ask me to get naked!"
Peringatan itu ditimpali Dyas. "What's the harm?"
Tanda-tanda dia beneran setuju andaikan cowok gue dimintain telanjang bulat. Jangan sampe, Bambang. Selain nggak rela badan bagusnya dipertontonkan di depan Zyas, tapi juga ...
"Awww. Come on, Juanda. At least, take off your shirt."
Permintaan Zyas itu seketika ngebuat gue makin gelisah.
Kepala gue menggeleng nggak setuju "Hah? Nggak! Gak boleh ada buka-bukaan!"
APA PUN ASAL JANGAN BUKA BAJU, WOI! SEENGGAKNYA, JANGAN SEKARANG.
"That's not fair, Feryan. Setelah lo ... setelah kamu ngebuat aku begini."
Komentar Dyas bikin gue susah merespons. "Tapi, tapi ... itu ..."
Arrrghhh! Gimana cara gue bilangnya!
"Ayo, Juanda. Buka baju kamu." Zyas nggak mempedulikan protes gue dan tetap bersikeras meminta cowok gue buat nunjukin badan di depan kedua matanya.
ARRRGHHHH! Gue mau ngilang!
"Tapi semestinya elo nggak ngasih dare segampang itu buat Juanda, Zyas. Keenakan dong dia."
Nah, betul. Gue setuju sama Setya. Seharusnya Zyas gak perlu ngasih dare segampang ini, akan tetapi si Bangsat udah mulai ngelepas kausnya.
Zyas mengangguk-angguk. "Oh, iya juga, ya. Ya udah, aku ganti dare ... nya." Beralih dari menatap Setya, kemudian pada Saga yang udah berhasil menarik lepas kausnya.
Sementara gue menutup muka, nggak sanggup menyaksikan badan si Bangsat yang saat ini sedang DIPENUHI OLEH CUPANGAN DARI GUE! BANGSUL, SETAN, MONYET! Lagian ini cowok Bangsat santai aja mamerin tubuh dia yang bagus. Atau emang dia sengaja mau pamerin buat malu-maluin gue? Kayak biasanya?
Minta diremes biji pelernya.
"Wow. What the hell was that?" Suara Vano bercampur dengan nada tawa tertahan.
"So, ternyata kamu ini diam-diam jelmaan siluman vampire ya, Feryan? Sebegitu semangatnya ngehisap dan ngegigitin Juanda. Ckckck."
Bodo amat, Zyas. Lo boleh ngomong sesuka hati. Gue males meladeni.
"Bahkan di punggungnya pun ada." Setya ikut-ikutan berkomentar sambil ketawa.
"Sedangkan badan kamu bersih tanpa cupangan," tambah Zyas dan mendecakkan lidah berulang-ulang berlagak keheranan.
GUE TERUS YANG KENA!
"Udah! Gak usah dibahas!" Akhirnya gue membuka mata dan memelototi mereka semua. "Ini dare bagian Saga, bukan gue! Jadi jangan timpain ini ke gue juga," sembur gue kesal lantas mengambil kaus si Bangsat dari tangannya untuk dilemparkan ke muka dia. "PAMERIN TERUS ITU BADAN! ANJING DASAR LO!" Lengan kanannya gue cubit dan bikin dia ketawa sembari merintih sedikit.
Zyas menarik napas sok kecewa. "Ugh. Padahal aku baru aja mau ngeganti dare. Boleh ya, aku ganti aja?"
MASA BOLEH BEGITU? Nanti kalo dia makin minta yang lebih macem-macem gimana?
"Well, fine."
Jawaban enteng dari Saga bikin gue mendelik gak suka. JADI, BOLEH?
"Tapi yang ngasih dare-nya harus orang lain, gak boleh elo lagi. So, gue bisa pakai kaus gue lagi, 'kan?" kata Saga.
Penjelasan itu mendatangkan perasaan lega. Syukurlah jika orang lain yang ngasih dare ulang. Gak kebayang si Zyas bakal minta apaan lagi buat yang sekarang.
"Iya, deh." Zyas mau nggak mau menerima walau menunjukkan senyuman kecut.
Selesai memakai kembali kausnya, Saga segera memilih orang kedua untuk memberikannya dare. "Okay. Vano."
Yah, bukan gue. Kenapa sih dia nggak milih gue aja ketimbang si Vano yang malahan melongo gara-gara tadi keasikan merhatiin wajah yayang Febrinya sewaktu dipanggil?
"What?" Tuh, lihat. Dia bahkan baru merespons setelah Setya ngebelokin pipinya.
Jelmaan pohon kelapa bucin.
"Kasih dia dare, Hannes," beritahu Setya secara lembut.
Vano seketika mengangguk-angguk. Mengernyit, menyipitkan mata, menatap gue dan kawannya bergantian, sesudahnya berkata, "Uh, oh! Okay! Gue mau ngeliat adegan reka ulang sewaktu elo nembak Feri."
"Huh?" Gue dan Saga menyahut kompak, sama-sama ... kebingungan.
KENA LAGI GUE. Siap-siap aja.
Respons kami turut bikin Vano tampak bingung juga. "W-what? Ada yang salah sama dare dari gue?"
Si Bangsat menghela napas seraya menggeleng-gelengkan kepala. "No. But, yang nembak duluan waktu itu sebenarnya Ryan, bukan gue. Makanya gue bingung harus mulai dari mana. Ditambah gue juga agak lupa sama kata-kata yang gue ungkapin sendiri waktu--"
"Maksud gue, gue juga suka sama lo! Gebetan gue, cowok yang gue suka adalah elo! Elo, Feryan Bego Feriandi!" Kalimat yang gue lontarkan dengan nada cukup keras itu sukses menarik perhatian semua orang. "Shit!" terus gue mengakhiri.
Karena yang dikasih dare lupa? OKE! TERPAKSA, LAH. Jadinya gue sendiri yang ngucapin kata-kata norak bin ngeselin yang si Bangsat teriakin di depan muka gue pada malam kami jadian. Supaya cepat selesai, dan biar gue nggak lagi jadi bahan cemoohan para makhluk biadab di sini.
Gue berdeham gugup, meneguk ludah lalu menguraikan, "Yah, begitulah kira-kira perkataan si Bangsat saat pertama kali ngungkapin perasaan balasannya ke gue."
"Really? Kenapa gue nggak terlalu ingat, ya? Setau gue, waktu itu gue juga bilang I Love You, 'kan?" tanya Saga seolah-olah sedang berusaha mengembalikan ingatannya mengenai hari jadi kami yang entah sedang bepergian ke mana.
Gue menjawab dengan sewot, "Iya. Sambil marah-marah. Elo 'kan nembak gue penuh emosi!"
Dia memutar bola mata. "Habisnya waktu itu elo bego banget. Udah gue cium, masih aja segala nanya, 'Elo lagi ngapain? 'Kan elo udah ada gebetan'. Stupid."
LAH? SALAH GUE LAGI, NIH?
"Ya, gue waktu itu mana tau bahwa elo suka juga ke gue!" sanggah gue nggak mau kalah.
"Yah, itu karena elo emang bego, Fer. Dalam sekali lihat, gue malah udah tau sejak awal kalo Juanda ini suka sama lo." Lagi, mendadak Setya ikut-ikutan ngomong, tapi justru buat ngebela si Bangsat.
Beneran kawan rasa daki kadal. Pengkhianat.
Mendengkus, gue menyerang balik secara sengit, "Tapi begitu kami jadian, elo yang nyuruh gue mastiin perasaan dia serius ataukah nggak ke gue."
Masih dengan nada tenang, Setya merespons lagi, "Itu Hannes yang minta. Katanya, andaikan nanti gue ngedenger kabar tentang elo dan Juanda yang udah jadian, dia nyuruh gue buat ngasih elo peringatan. Soalnya cowok gue masih kurang bisa yakin 100% kalo Juanda selaku sohibnya akhirnya bakal mutusin buat bener-bener serius menjalin hubungan sama seseorang."
Hah? Ada kejadian begitu? KOK GUE BARU TAU!
"Hannes ini nggak mau kalo sampe elo dimainin--berhubung elo adalah sahabat gue, dan dia juga ngarep si Juanda bisa mulai berubah. Makanya gue sama dia ngelakuin apa aja supaya hubungan kalian bisa bekerja. Hasilnya? Kalian ngerasain sendiri."
Penjelasan itu nggak hanya mengejutkan gue, tetapi jelas si Bangsat juga. Yang kini kelihatan sedikit tercekat, sebelum perlahan-lahan tersenyum senang.
"Okay. This is the first time I heard about it. You guys are actually care about us that much. Thank you." Bahu Vano ditepuk-tepuk penuh rasa terima kasih oleh si Bangsat.
Yang dibalas melalui rangkulan oleh Vano yang sekadar nyengir. "That's what friend are for, Brother."
Sementara gue cuma nyengir pada Setya sambil mengacungkan jempol. Berterima kasih tanpa suara, yang dibalas senyuman simpul darinya.
Beruntungnya gue dikelilingi kawan-kawan baik. Meski tetep ya, mereka porsi biadabnya harus selalu diwaspadai.
Si Bangsat menarik napas panjang sembari bertepuk tangan. "Okay. Now, enough about me and Ryan silly moment when we finally confess to each other. Let's continue the game." Botol di meja diputar, kemudian menunjuk ke arah seseorang yang sontak nyengir kikuk. "Zyas!"
Zyas sok berpikir seraya memicingkan mata. "Ugh. Karena dare waktu itu bikin aku kesel, sekarang giliran aku pilih truth, deh," ujarnya lalu lanjut menyebut nama, "Setya!"
"Your first kiss? When? With who?"
Buseeeet. Gercep banget itu mulut dower ngasih truth. Meski gue puas, sih. Sebab gue juga sama keponya perihal itu.
Si Setya ditatap oleh Zyas penuh curiga. "Kayaknya kamu udah nyiapin pertanyaan ini dari lama, ya. Hmmm. But sorry to disappoint you, aku sampe sekarang belum pernah ciuman. Sama siapa pun. Bibir aku masih perawan. Muach."
Jawaban itu cukup nggak terduga. Masa si Zyas belum pernah cipokan sama siapa pun? SELAMA INI? Padahal sifat dia 'kan ... yah, agak gatel dan super genit gitu.
"Seriously?" Tuh, kan. Si Bangsat aja nggak percaya.
Yang ditanyai cekikikan sambil mengedipkan mata. "Tapi, aku gak keberatan kalo kamu mau jadi sukarelawan sebagai pemilik ciuman pertama aku, Juanda." Bibir Zyas pun dimonyongin ke arah cowok gue yang sontak melihat ke arah gue.
"No, thanks." Saga memutar bola mata dan bikin gue ngakak.
Namun, pertanyaan ini memunculkan persoalan lain di kepala gue jadinya. "Gue jadi ikutan kepo," desis gue dan bertanya pada cowok gue. "Heh Bangsat, ciuman pertama elo sama siapa, dong? Soalnya gue yakin, gue JELAS bukan orang pertama yang elo cium."
Mendengar hal itu, raut muka dia malah jadi makin gak nyaman. "Well."
"Siapa? Kapan? Kasih tau gue!" tuntut gue nggak sabar saking tambah keponya.
Menangkap reaksi dari dia, gue yakin ciuman pertamanya ini pasti sama seseorang yang belum bisa dia lupain.
"Elo nggak bisa nyimpan kekepoan elo, at least sampe game selesai? Itu urusan kita, 'kan? Pertanyaan itu tadinya 'kan buat Zyas, kenapa gue juga ikutan kena?" tuturnya berusaha menghindar.
Untungnya, si Zyas buka suara demi memenuhi kekepoan gue. "Aku gak keberatan dengar jawaban dari kamu kok, Juanda. Karena kayaknya, aku juga belum tau soal itu."
YES! SKAK MAT, DEH! Mau bilang apa lagi coba ini cowok mata sipit! Hah, hah?
Gue mendelik ke dia dan bikin Saga meringis tertahan. Matanya melirik pada Vano dan Dyas yang sama-sama mengangkat bahu, sesudah itu mendesah tanpa suara.
"Come on, guys. Kalian nggak akan suka sama jawaban gue."
"Why?" tanya Zyas, masih menunggu jawaban nggak ubahnya seperti gue.
"It's Jess."
Nggak mengejutkan, tapi tetap aja mengecewakan. Itu bule Dajjal enak banget bisa jadi orang pertama yang nyium si Bangsat. Di mana pun dia berada sekarang atau lagi ngapain, gue sumpahin bibirnya bakal luka-luka atau melepuh. Huh.
"Worse, he kissed me every year, you know. Since I'm still 9 years old until I become this big, when I already had boyfriend. He still always craving for my lips. Disgusting," sambung Saga bercerita seraya memijat-mijat bibirnya sendiri yang refleks gue sentuh laun.
Bibir dia emang seksi dan cipokable, sih. Jadi nggak heran kalopun si Jess selalu kepengin nyium. TAPI DIA GAK BERHAK, YA. KARENA SAGA UDAH JADI MILIK GUE SEORANG.
"They should expected that. Actually." Vano berkomentar santai. Ditanggapi anggukkan kepala Dyas.
Dan gue yakin, mereka berdua selaku sohib terbaik Saga pasti udah tau soal ini. Cuma nggak pernah bilang apa-apa.
"Yeah, of course." Saga mencium jari gue yang ada di bibirnya. "Honestly, I hope I can just erase all of those horrible memory. But then, I can't even remember who's the second, third or the tenth person I ever kissed because Jess kiss me too much."
Selesai mendengar seluruh ungkapan itu gue menarik tangan gue dari bibir tipis si Bangsat, lantas nyeletuk tanpa bisa menahan kesal, "Yah, mengingat mantan lo pun ada BANYAK banget. Gue sendiri juga gak tau gue ini orang ke berapa yang udah pernah elo cium."
Kata-kata gue bikin si Bangsat menaikkan kedua alis. "But I never kiss anyone else after we start dating. Except for Jess, because he force me. Okay? Lo gak usah cemburu, Sayang," desisnya diakhiri belaian lembut ke pipi gue yang tiba-tiba terasa merona.
Loh? Emangnya gue kedengaran cemburu, ya? Padahal nggak ada niat begitu. Cuma, kurang suka aja membayangkan di masa lalu, cowok gue udah pernah cipokan sama banyak orang. Terlebih, orang yang paling sering ngajak dia cipokan adalah Jess. Selama bertahun-tahun pula. Dan rekor itu jelas masih belum bisa gue kalahin karena gue dan dia aja pacaran belum ada setahun. Ditambah kami sempat absen cipokan beberapa bulan gara-gara pandemi. Nasib.
"Iya, Feryan. Yang bisa nyium Juanda, ngeseks sama dia, ngasih dia cupangan bahkan dibucinin dia sampe norak tuh cuma kamu. Jadi, kamu harus bersyukur. Kalo nggak, ayo kita tukeran peran aja." Zyas nimbrung dan langsung mengundang tawa di ruangan ini, termasuk tawa dari gue.
Cowok glowing sialan dasar.
"Gak usah ngarep!" bentak gue berlagak sebal sambil ngasih dia pelototan.
"Hahaha!" Hasilnya, suara tawa di sini jadi bertambah kencang.
"Lanjutin aja deh game-nya!" Zyas berkata sembari mulai memutar botol, dan kali ini, menunjuk Setya di posisi duduknya. "Setya!"
"Yes! Akhirnya gue dapat!"
Asli girang bener ini orang kena tunjuk botol. Mentang-mentang sewaktu di GC dulu dia belum kebagian milih.
"Truth or dare?" Vano bertanya.
"Dare?" Agak ragu tuh si Setya ngasih jawabannya.
"From?" Zyas menatap penuh harap, seakan-akan memohon untuk dipilih lagi.
Setya berdeham lebih dulu sebelum bicara, "Milih siapa di antara kalian yang harus ngasih gue dare lebih sulit dari saat gue mutusin buat ngambil truth atau dare." Dia mengembuskan napas panjang. "Fuh. Oke. Dyas."
Yang namanya disebut segera menegakkan posisi duduknya. "Are you sure?"
Anggukan yakin ditunjukkan Setya. "Iya. Kasih gue dare."
"Kiss Zyas."
Dare yang dilontarkan oleh Dyas menciptakan hening di tengah permainan seru yang sedang kami lakukan.
Sebentar. APA BARUSAN DIA BILANG?
"What?" Zyas dan Vano bereaksi kaget bersamaan.
"Let him have his first kiss. Today. From you." Dyas lebih memperjelas isi dare-nya dan tambah ngebuat kami semua ... nggak tau harus bereaksi bagaimana.
Ini dia serius?
Vano berdiri dan memprotes keras. "What the--you can't do that, Dude. That's--he's my boyfriend and--"
"No way. Aku juga gak mau ciuman pertama aku dimilikin sama Setya, ya." Zyas menyela dan turut mengeluhkan isi dare yang diutarakan kembarannya.
Yang memasang ekspresi tenang tanpa ada gurat bimbang atau apa pun. "This is just a game, okay. Lihat apa yang udah kalian lakuin, ke aku. So, it's time for payback."
Ucapannya membuat gue berkata dengan sedikit gelagapan. "T-tapi yang ngasih dare itu 'kan gue, bukan Setya."
Harapan gue, dengan itu, si Dyas bakalan ngeringanin dare yang dia kasih untuk si Setya. Akan tetapi, respons yang diperdengarkan oleh dia malah jauh lebih nggak terduga.
"So, kamu bersedia ngegantiin posisi Setya aja buat nyium Zyas, Feryan?"
MAU YANG NGASIH TRUTH OR DARE-NYA LIMA ATAU SATU ORANG. HASILNYA SAMA AJA.
AMPAS. BIKIN MAMPUS.
Selalu aja gue yang berakhir bernasib sial. Dan terlambat untuk gue menyesali perbuatan gue di awal-awal yang pasti memancing Dyas sampai bertindak begini.
Gue mesti gimana, Bambang?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com