40. PEMBALASAN
Mohon maaf kalo bab ini terasa membosankan dan kurang rapi, soalnya aku ngetik ini beneran capek dan ngantuk banget. Kalo ada typo dan kesalahan kata, harap maklum.
Selamat membaca. ❤️
Jangan lupa vote dan komennya juga, ya.
Biar aku lebih bersemangat. Huhuhu
___
"No!"
"Nggak mau!"
"Let's do it!"
"I'm in!"
"It looks fun. Let me join."
"Let's have fun!"
"Okay! Let's we play truth or dare!"
Gue dan Dyas sama-sama menghela napas malas sekaligus pasrah. Setelah itu bergabung duduk bersama yang lain di meja makan panjang yang kini hanya menyisakan beberapa menu makanan serta minuman.
MAMPUS, DEH! Ngapain gue mesti terjebak ke dalam permainan sialan ini lagi, sih? Setiap tahun!
Si Bangsat dan ide gilanya selalu aja bikin serba salah. Selesai nyanyi-nyanyi dan bersedih, tahu-tahu usulan untuk mencari hiburan diucapkan gitu aja. Gue mengusulkan kita semua makan lagi aja, tetapi setibanya di meja makan, mendadak gagasannya berubah haluan ke arah main truth or dare. Kampret!
Udah mana si Jess pun diajak segala. Duduk tepat di seberang kursi gue pula. Asli. Perasaan gue langsung nggak enak dikarenakan kehadirannya di sini.
"Oke." Yang punya acara akhirnya balik dari dalam barengan Vano yang ... eh, itu apa? "Berhubung pena, kertas dan botolnya udah ada. Ayo, kita mulai permainannya."
Gue mengernyit memandangi beberapa pulpen, potongan kertas kecil yang berserakan, sebuah gunting beserta satu botol kosong yang ditaruh di tengah-tengah meja.
"Ini semua buat apa?"
Pertanyaan gue diwakilkan oleh Arima.
Si Bangsat menarik napas lalu buka suara, menjelaskan, "So, begini cara mainnya. Masing-masing dari kita menulis satu truth dan satu dare disertai nama. Setelah itu kertasnya digulung dan dimasukan ke dalam botol ini. Nanti, siapa pun yang kena giliran mengambil isi botol, dia yang akan mendapat truth or dare-nya."
Penjelasan yang cukup mudah dipahami. Meski agak ribet, sih.
"And how are we gonna choose the player?" Jess mengajukan tanya.
"By pointing them," jawab Saga sembari mulai mengambil kertas dan pena diikuti oleh yang lain. "Dan orang pertama yang akan sukarela main duluan adalah ... cowok gue." Dia mengacak-acak puncak kepala gue yang jelas aja bikin gue tersentak.
Semena-mena banget gue punya pacar!
"ANJING LO!" maki gue seraya melayangkan pukulan pelan. "Nggak ada! Gue nggak mau jadi yang pertama milih."
Siapa yang tau dare gila macam apa yang bakal gue dapat. Ngebayanginnya aja gue udah merinding. Jangan lupa bahwa di sini ada sesosok bule Dajjal ikutan main.
Saga terkekeh sembari mencolek dagu gue. "Babe, meskipun elo nggak kepilih sekarang, tetap aja jika gue jadi yang pertama, giliran berikutnya adalah elo."
Penuturannya bikin gue semakin gamang. "Nggak! Pokoknya gue nggak mau!" ujar gue tetap menolak.
Jauhkan gue dari segala dare gila buatan para makhluk kurang waras ini!
Tiba-tiba Zyas mengangkat tangan. "Karena aku baik hati dan sangat anggun, biar aku aja yang jadi orang pertamanya, Juanda!" cetusnya yang telah selesai menulis isi truth dan dare miliknya.
Seketika gue semringah. "Makasih, Zyas!" kata gue yang akhirnya kembali mendapatkan semangat untuk bermain. Akan tetapi, tangan kanan gue 'kan masih belum bisa nulis dan gue bukan kidal, woi. "Heh, Bangsat! Gue mana bisa nulis pake tangan kiri!" keluh gue selagi memandangi yang lain yang sedang dengan mudah menulis di kertas masing-masing.
Lantas gue baru sadar ... EMANG INI COWOK BANGSAT SENGAJA BANGET NYIPTAIN GAME BUAT NYUSAHIN GUE! SETAN DASAR!
Sekonyong-konyong Benjo berdiri dan menawarkan bantuan. "Sini, biar gue bantu tulisin."
"Nggak usah!" Kertas sontak gue jauhkan. "Biar cowok gue aja yang nulisin," tolak gue sambil menaruh kertas milik gue di hadapan Saga yang baru selesai menggulung kertasnya.
"Tapi, masa elo nulis truth or dare dibantu sama gue, sih?"
Protes si Bangsat bikin gue mendecak. "Ya, terus gimana? Daripada hasil tulisannya nggak kebaca!"
"Malah lebih bagus kalo elo yang nulisin, Juanda." Setya ikutan berkomentar. "Elo 'kan tau tulisan tangan Feryan kayak apa. Nulis pake tangan kanan aja udah jelek, apalagi kalo nulis pake tangan kiri."
Kata-katanya sukses memunculkan tawa dari anak-anak lain. Dasar sialan! Mentang-mentang tulisannya rapi macem ketikan di komputer.
"Ya udah, deh." Saga pasrah dan mengambil alih kertas milik gue. "Sini, bisikin apa yang mau elo tulis."
Eh, sebentar. Gue kepengin ngasih truth sama dare apa, ya?
Sesudah mencari-cari inspirasi ke sana-kemari, akhirnya gue menjawab, "Makanan kesukaan, deh. Sama dare makan makanan yang nggak disuka."
"Seriously?" Saga tampak nggak menyukai perihal yang tadi gue sebut. "Nggak ada yang lebih bermutu lagi?"
"Bodo! Gak usah banyak protes! Pokoknya tulis aja." tuntut gue memaksa.
Si Bangsat mendengkus. "Oke, oke. Gue tulis!" Seusai menulis bagian punya gue dan menggulungnya, dia berkata, "Bagi yang udah selesai menulis truth or dare dan menggulungnya, bisa langsung dimasukkan ke dalam botol ini, ya. Dan tolong, jangan ngasih dare yang terlalu extreme."
"Saga, you suck!" Seseorang mengumpat nggak terima dan terlihat mengambil kertas baru untuk ditulisi ulang. Jess.
ANJIR! MERINDING SEKUJUR BADAN GUE MEMBAYANGKAN ISI DARE APA YANG DIBIKINNYA.
Setelah semuanya selesai memasukkan gulungan kertas, Saga memegangi botol berwarna gelap polos di meja sembari memandangi kami semua. "Oke. Semuanya udah ngumpulin, 'kan?"
"Udah!" sahut yang lain kompak.
"Udah, Pak Guru!" sahut gue sambil nyengir usil ke arahnya dan bikin si Bangsat memutar bola mata.
Namun, akhirnya dia nyengir juga. "Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai permainannya sekarang." Dia berdeham dan menyerahkan botol pada pemain pertama. "Silakan, Zyas."
"Awww. Aku jadi deg-degan!" pekik Zyas sok panik seraya menerima botol dari tangan cowok gue, yang lantas dikocoknya berkali-kali seperti sedang mengocok arisan.
Ujung botol kemudian dituang ke meja, menjatuhkan satu gulungan kertas yang buru-buru Zyas ambil penuh antusiasme. Sesudah membaca isi tulisan di kertas, mendadak aja dia menjerit kayak orang lagi kesurupan yang sontak membuat kami kebingungan.
"Elo kenapa, sih?" Setya bertanya.
"Apaan isinya?" Gue ikutan bertanya karena penasaran.
Zyas sok batuk-batuk sebelum menjawab, "Ini dari Juanda."
Wajah orang yang dimaksud menunjukkan kernyitan heran. "Which one? The truth or the dare?"
"Dare!" jawab Zyas yang lalu kembali menjerit.
"Apa isi dare-nya, Bangsat?" Akhirnya gue bertanya pada sang penulis dare yang memberi jawaban.
"Kiss the last person who texted you."
Kami semua spontan manggut-manggut mendengar isi dare itu.
"Dan siapakah orang yang terakhir kali ngirim chat ke elo?" Ajay menanyakan hal paling penting.
Secara suka rela, Zyas mengambil HPnya dan membuka aplikasi chat yang kemudian ditunjukkannya pada kami semua. "Kalian liat aja sendiri. Nih."
Serempak, gue dan yang lain mengintip ke dalam tampilan daftar chat milik Zyas. Fokus pada satu nama yang berada di bagian paling atas.
"Arbenjo!" sebut kami kompak yang seketika membuat sosok pemilik nama itu terlonjak nggak percaya.
"Hah? Gue?" Benjo mendelik sambil menunjuk wajahnya sendiri
"Iya, elo. Tuh!" Si Bangsat menjelaskan, "Nama elo ada di posisi paling atas."
Benjo langsung geleng-geleng kepala. "Nggak! Gak mungkin. Gue nggak mau!"
"Come on, Bento. It's just a game!" desak Vano yang jelas-jelas keliatan sedang menahan tawa.
"Kalo sejak awal elo main game, tapi gak mau terima risiko, mendingan elo pulang!"
Bentakan dari Dyas bikin kami semua tertegun. Teguran barusan nggak main-main, cuy.
"Tenang aja, Benjo!" Dengan sigap Zyas memecah suasana. "Aku nggak bakal nyium bibir kamu, kok!"
"Beneran?" Benjo tampak lebih siap kali ini. "Ya udah, deh. Tapi, awas kalo lo bohong!"
"Ih! Kamu bawel, deh!" Zyas menarik posisi wajah Benjo mendekat ke arahnya. "Sini, sini. Aku cium dulu. Muach. Muach."
Gue menyemburkan tawa lantaran cara Zyas mencium pipi Benjo di kanan-kiri yang terkesan lucu.
"Kenapa elo cium dua kali, sih?" keluh Benjo yang refleks menyelap jejak ciuman di pipinya.
"Biar manis, dong," respons Zyas enteng seraya memonyongkan bibirnya. "Duh, lip balm aku jadi luntur. Setya, bagi lip balm kamu, dong."
"Nih." Setya meminjamkan lip balm kesayangannya yang segera Zyas pakai.
Balik lagi deh bibir glowing nan cetar kebanggaan Zyas kita sekarang.
"You guys are so childish." Jess cuma mampu geleng-geleng kepala menontoni kelakuan kami.
"Next, Benjo, deh. Ayo, ambil."
Titah dari Zyas itu lekas dituruti. Benjo mengambil botol, mengocoknya sebentar, kemudian mengeluarkan satu gulungan dari dalam yang selanjutnya diambil dan dibaca.
"Ini, dari Jofan. Dare." Akan tetapi, mendadak ekspresi wajah Arbenjo berubah menjadi lebih horor lagi ketimbang saat mengetahui dia harus dicium Zyas. "Elo pasti bercanda, 'kan?"
"Apa sih isinya?" Gue kepo, tauk! Kenapa nggak langsung dibacain aja coba?
"Give all of your money in your wallet for all of us," ujar Benjo yang spontan bikin kami kegirangan.
"Horeee, kita kaya!"
"Kalo dompet punya Vano atau Saga, gue percaya. Tapi dia?"
Buseeet. Si Dyas betul-betul ada dendam kesumat banget ke si Benjo, ya. Sinis melulu dia dari tadi.
"Ih, Dyas. Kenapa kamu jahat banget ke Benjo, sih!" komentar Zyas yang lagi-lagi sigap membela. "Ayo, Ben. Buktiin bahwa pemikiran mereka salah."
Mau nggak mau, Benjo mulai menarik dompet miliknya. "Nggak bisa setengahnya aja?"
"Nawar lagi aja dia!"
Menangkap protes Dyas, akhirnya Benjo pasrah dan menyerahkan dompetnya. "Ya udah, deh. Nih, ambil semuanya."
"Biar aku yang bagiin!" Zyas menarik dompet Benjo dengan cepat dan mulai membukanya. "Sebentar, aku hitung dulu, ya." Beberapa lembar uang seratus ribuan dikeluarkan dari sana.
"Buset! Ada lumayan juga isinya!" seru Arima terdengar bersemangat.
"Totalnya ada ... satu juta empat ratus tujuh puluh ribu. Masing-masing seratus ribu, ya. Sisanya buat aku. Nih, nih, nih!" ujar Zyas yang menyusul membagikan per lembar uang berwarna merah muda untuk kami.
Alhamdulillah. Dapat uang 100.000 di bulan Ramadhan. Lumayan. Rezeki nomplok meski terhitung hasil ngerampok.
"I don't need it!" Jess menolak uang dari tangan Zyas dengan tegas.
"Sini, buat gue aja uangnya!!" Dan Setya dengan senang hati bersiap menjadi penggantinya.
Zyas terkekeh dan memberikan uang hasil Jess pada Setya. "Bagi dua ya, Setya. Nanti lima puluh ribunya kamu kirim via DANA atau Gopay aja. Oke?"
"Siap!" sahut Setya yang langsung mengantongi uang miliknya. Totalnya ada empat; yang mana semua uang itu hasil dari Dyas, Vano, miliknya dan milik Jess juga.
BANGSUL! DASAR LICIK!
"Padahal duit itu baru gue dapat tadi," desis berisi keluhan dari Benjo itu bikin kami semua melirik iba ke arahnya.
"Benjo, kamu harus ikhlas, dong!"
Teguran dari Zyas ditanggapi penuh paksaan. "Iya, deh. Gue ikhlas." Lalu sekonyong-konyong botol ditaruh di depan cowok gue. "Sekarang giliran elo milih. Elo selanjutnya."
Si Bangsat menaruh uang dari Benjo ke tangan gue untuk lantas mengocok botol dan mengambil gulungan kertas mungil bagiannya. Setelah dibaca, senyum sinisnya muncul. "Heh, kebetulan banget. Gue dapat truth dari elo juga. Someone among us that you will date besides your crush or lover."
"Siapa?" Gue bertanya cepat saking pengin taunya.
Seseorang yang bakal dipacarin si Bangsat selain gue selaku pacarnya. Siapakah dia? Yang jelas, mustahil Jess apalagi Benjo. Yakin seratus persen!
"Elo mau milih siapa?" Vano ikutan bertanya.
"Ayo, Saga. Beri kami jawaban!" tuntut Arima macam lagi kampanye pemilu, anjir.
"Damn! I really don't want to choose anyone, but ..." Mata sipit Saga melirik ke posisi paling ujung seberang. "I think it's Nando."
Oh. Dia milih Nando ternyata. Gak heran, sih. Nando 'kan cakep. Putih. Tinggi. Anak orang kaya. Top juga kayak dia, 'kan. Loh, bener juga.
"Bukannya Nando top juga? Elo mau gitu pacaran sama sesama top?"
Pertanyaan gue direspons oleh pihak bersangkutan. "Sejak kapan gue jadi top?" Nando mengernyit bingung.
Mendengarnya, jelas aja gue melotot kaget. "Hah? Jadi elo bot, Nand?"
ANJIR! SEJAK KAPAN? BUKANNYA DIA INI TOP-NYA JULIAN?
"Loh, jadi elo baru tau, Fer?" Jofan berceletuk.
"Ke mana aja lo baru tau?" Setya nimbrung dan membuat gue seketika menjadi orang paling bloon di sini.
"Lah? Gimana, sih? Jadi, kalian semua udah tau?"
"Ya, jelaslah kami tau!"
HAH? SERIUS? JADI CUMA GUE DOANG YANG NGGAK TAU! KAMPRET!
"STOP WITH LAH THIS AND LAH THAT! I'm sick of it! Lanjutkan saja game-nya cepat!"
Kami semua kontan bungkam sesudah diteriaki begitu oleh sesosok bule yang tampak kesal di kursinya.
"Mampus! Kena omel kita sama Kanjeng Jess," ucap Arima yang kemudian cekikikan.
Saga menghela napas. "Ya udah. Kita lan--"
"Eh, bentar dulu!" tukas gue belum ingin menyudahi. "Kenapa elo milih Nando?"
Si Bangsat memutar bola mata sebelum menjawab, "Karena dia sama-sama keturunan Cina kayak gue."
"Itu aja?" tanya gue lagi, memastikan.
"Iya, Bego!" pipi gue dicubit gemas. "Ini cuma game, oke? Nggak usah lo bawa serius."
Mendengar hal itu, gue sekadar manyun. Lalu mengerling pada Nando yang tengah menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. Haruskah gue mulai menganggap dia saingan? Soalnya dilihat dari mana pun, jelas Arnando jauh lebih cocok bersanding sama Saga. Mana dia bot pula. Eh, tapi pantatnya nggak semontok gue, deh. Masih aman.
Arnando berdeham menahan tawa. "Bahaya nih, Saga. Begitu game selesai kayaknya Feryan bakal nyuruh gue jaga jarak dari lo."
"Cowok lo juga, tauk. Tuh!" seloroh gue dan menunjuk Julian yang tengah menatap Saga penuh sorot membunuh.
ASLI SEREM! MENDING GAK USAH MACEM-MACEM!
"Ayolah, Ian. Masa kamu juga cemburu?" Nando merangkul mesra Julian dan berbisik-bisik entah apa seterusnya.
Jika dilihat-lihat, emang gelagat Nando lebih kentara manjanya, sih. Ya, jelas. Wong Julian anaknya pendiam banget. Tapi gue nggak nyangka Nando botnya karena tinggi Julian aja cuma sehidung dia, loh. Eh, tapi gue juga 'kan pernah jadi top si Bangsat, ya. Masuk akal juga. Gak ada yang mustahil dalam sebuah hubungan.
"Kita lanjutin aja permainannya, oke?" Saga kembali duduk dan menunjuk sosok tinggi di samping Setya. "Gue pilih Vano."
Terang aja gue memprotes, "Katanya elo mau milih gue?"
"Katanya, elo nggak mau cepet-cepet dipilih?" balas si Bangsat mengingatkan.
Eh, bener juga. "Iya, sih. Ya udah, deh. Vano aja."
Begitu satu kertas keluar dari botol, Vano langsung membacakan isinya. "This is from Shen." Shen? Itu nama kedua siapa, sih? Lupa gue. "Truth. Movie that traumatized you as a kid. It's Cannibal Holocaust."
"Hiiih!"
"Eww!" Beberapa dari kami menyuarakan komentar jijik bersamaan sejurus setelah judul film super gila itu disebutkan.
"Emang film itu gila banget, sih." Jofan tampak bergidik di posisinya.
"Bukannya seru?" Setya menyahut dengan pendapat berbeda.
"Seriously?" Saga seketika menatap Setya ngeri.
"Dari judulnya aja gue udah bisa ngebayangin." Arnando geleng-geleng masygul.
"Human Centipede juga, tuh. Seru!"
"Wrong Turn!"
"Saw!"
"THE GROSTEQUE!"
Gue menggebrak meja. "Udah, jangan ditambahin lagi, anjir. Bikin munculin bayangan serem aja yang ada!" sembur gue sembari menutup telinga dan menggoyangkan kepala demi membuang gambaran sadis dari judul-judul yang tadi disebutkan.
"Emangnya elo pernah nonton film-film kayak gitu? Bukannya elo takut?"
"Dikasih liat sama itu setan!" jawab gue atas pertanyaan si Bangsat seraya mendelik pada Setya yang cuma cengengesan.
"Hehe."
"Mending kita lanjutin aja game-nya, deh. Rima!"
"Hah? Gue, nih?" Arima segera berdiri untuk meraih botol. "Ahsiaap!" Satu gulungan kertas dikeluarkan dan diambil yang serta-merta meluncurkan tawa dari mulutnya. "Hahaha! Dari Feryan. Isinya receh banget lagi. Truth about your favourite food."
Begitu truth milik gue dibacakan, semua pandangan spontan mengerling ke posisi gue.
"Kamu beneran nggak kreatif ya, Feryan."
"Yang ada di pikirannya gak di mana-mana cuma makanan."
"Feryan gitu, loh!"
"Gak usah banyak bacot, deh," sungut gue atas komentar nggak berbobot mereka. "Buruan jawab aja!"
Arima nyengir. "Indomie, dong. Indomie seleraku."
"Itu doang?" Benjo tampak heran.
"Pokoknya, gue suka semua makanan yang bentuknya mie." Cowok beralis super tebal itu menambahkan.
"Itu beneran?" Gue melirik Jofan selaku pacarnya yang memberikan anggukkan.
"Iya. Soalnya Rima kalo nemenin gue jalan juga selalu ngajak nongkrong ke tukang jualan mie, sih," jelas Jofan diakhiri kekehan kecil.
"Gak romantis banget lo."
"Pantes aja kemarin elo bawa mie ayam pas main ke rumah gue."
"Gak modal!"
"Nggak apa-apa gak modal juga, yang penting ada yang tetep bucin sama gue," sanggah Arima seraya merangkul Jofan erat. "Lanjut, deh. Nando."
"Oke!" Cowok berkulit paling putih di antara 13 orang di sini langsung aja mengeluarkan satu kertas tanpa mengocoknya dulu. Gulungan kertas dibuka dan membikin dia nyengir. "Oh, gantian. Ini dari Vano. Truth juga. First Impression about your lover," tuturnya sambil menatap Julian lantas menyambungkan, "Cowok ini nggak bisa ngomong kali, ya. Nyebelin banget, sih"
Julius tampak refleks menutup mulut, sementara beberapa dari kami sontak terbahak.
"Serius elo mikir gitu?" Setya bertanya.
Nando mengangguk, membenarkan. "Serius! Habisnya Julian ini 'kan pendiam banget. Padahal gue sama dia sekelas dan duduk sebangku juga. Tapi setiap kali gue nanya dan ngajak ngobrol, dia gak pernah ngejawab."
"Tapi sekalinya Julian buka suara, Nando langsung jatuh cinta, tuh!" ledek Arima yang disahuti siulan dari Ajay yang semata-mata menjalarkan rona di wajah Nando.
"Wow. Cinta pada pendengaran pertama, ya. Lain daripada yang lain!" celetuk gue yang lalu disahuti oleh yang lain.
"Cieee, cieee."
"Udah, deh. Malah pada ngeledek kalian semua!" Nando mendelik sok galak. "Lanjutin aja. Euh, gue pilih Jofan."
Jofan gantian mengambil satu kertas dari dalam botol. Akan tetapi, begitu dia mengintip isinya, raut mukanya mendadak berubah panik dan kertasnya langsung disembunyikan.
HEEE, KENAPA INI ANAK?
"Kok diumpetin?" Arima melirik heran. "Apaan isinya, Manda?"
Namun, Jofan malah melotot pada seseorang. "Zyas! Keterlaluan lo, ya."
"Hayoo, ketauan!" Zyas malah bersorak girang seolah memahami sesuatu. "Itu pasti dare dari aku, 'kan?"
"Emang apa isi dare-nya?" tanya Ajay yang duduk di sebelah Jofan dan nggak keburu mengintip isi tulisan.
"Making hickey on your lover's neck!" jawab Zyas yang kembali mendatangkan suasana berisik.
"Cieee."
"Diem, deh!" Jofan memprotes dibarengi senyum jengah.
"Ya udah, nggak apa-apa. Bikin aja. Nih!" Arima secara suka rela mengekspos lehernya. "Biasanya juga kamu gitu, kan."
"Cieee."
"Rima!" Paras Jofan udah merah banget.
"Cupangin! Cupangin!" Ditambah kami komporin pula. Makin seru.
Akhirnya, Jofan menarik napas pasrah dan lekas meninggalkan cupangan ke leher Arima. Karena posisi mereka agak jauh, gue sampe mesti berdiri untuk turut menonton. Setya dan Zyas lebih wow lagi. Pake ngerekam segala.
"Ngapain direkam segala, sih?" tanya Jofan jelas malu pada Zyas dan Setya yang cekikikan puas.
"Buat bahan ancaman kalo sewaktu-waktu elo rese."
Jawaban itu membuat Jofan tertawa sembari memaki. "Dasar brengsek kalian."
"Cupangnya kecil amat, Fan."
"Gak ada tenaga lo?"
"Iya, tuh. Bentuknya kayak bekas digigit bayi Drakula."
"Nggak apa-apa cupangannya kecil, yang penting cinta dia buat gue gede."
Selorohan Arima memunculkan tawa heboh di tengah meja ini.
"Yhahaha!"
"Bacot banget!"
"Makan tuh cinta!"
Jofan nggak ikut-ikutan dan lebih memilih menunjuk Setya. "Elo selanjutnya, Set."
"Sini." Setya menarik botol lalu mengeluarkan satu kertas sesudah mengocok isinya sebentar. Begitu dibuka, isinya dibacakan dengan lantang. "Ini ... truth. Dari Ajay. Your bad habit that no one knows."
"Guess what?"
"Elo ngelakuin pesugihan?"
"Fitnah lo kejam banget, Fer. Padahal gue cuma melihara Tuyul."
Saga berdeham keras. "Guys, please. Serius dikit, deh."
Setya mengeluarkan lip balm berwarna hijau kesayangannya. "Gue bisa make lip balm kapan pun dan di mana pun. Karena nggak betah setiap kali berpikir kalo bibir lagi gue kering," ungkapnya sambil memoles lagi bibirnya pakai lip balm itu.
"Tapi bibir elo 'kan bagus, Set."
"Iya, tuh. Pink, tebel, enak buat disedot."
"HEH!"
"DISEDOT SAMA ERVAN MAKSUDNYA!"
Vano menghajar Arima disebabkan komentar fulgarnya barusan.
"Dan menurut gue ini termasuk kebiasaan jelek. Karena sejak SMP gue bahkan suka diem-diem pake lipstik Ibu." Setya menambahkan.
"Tapi kami semua udah tau soal itu, 'kan."
"Iya juga, sih. Tapi anggaplah kalian nggak tau kebiasaan jelek gue."
Pacarnya lalu berkata, "Kebiasaan jelek dia, kalo kalah main game, dia bakal caci maki lawan mainnya."
"Hah? Serius?" Gue belum pernah sekali pun menang main game lawan Setya soalnya. Boro-boro, deh.
"Gue sering kena soalnya."
Pengakuan itu ditimpali oleh Yayang Febrinya. "Cuma sama kamu aja, kok."
"Iya. Aku terima, kok." Rambut Setya diacak-acak lembut. "Ayo, lanjut. Kamu pilih siapa, Febri?"
"Julian, deh."
Yang disebut namanya menegakkan badan. Menerima botol yang sang pacar sodorkan, selepaskan segera memunculkan satu kertas dari botol tanpa mau repot-repot mengocoknya.
"Ervano. Dare," kata Julian dengan nada super datar dan tanpa ekspresi selagi membaca.
"Woohooo! Gotcha!" Lah, heboh amat ini Titan Bule.
Isi dare-nya apaan, sih?
"Pas banget, ya. Nando sama Ian dapat dare dari Vano semua."
Oh. Bener juga si Ajay. Baru sadar gue.
"Dare-nya apa?"
"Confess to your lover like the time when you first dating." Julian membacakan.
Mendadak aja anak-anak yang seangkatan sama dia bertepuk tangan kompak. ANJIR! PADA KENAPA MEREKA?
"Seriously? Finally!"
"Ayo, bilang. Kami mau liat."
"Ayo, Ian! Langsung praktik!"
"Kenapa malah kalian yang heboh, sih?" Gue bertanya sebab beneran kebingungan.
"Karena kami emang belum tau cerita saat mereka awal jadian."
Jawaban Saga membuat jiwa kepo gue menjadi lebih bergejolak. Wah! Menarik, nih. Mau liat juga dong gue.
"Ayo, cepetan mulai."
"Come on, Ian. Replay adegan elo nembak Nando!"
Karena yang disuruh bertindak masih aja diam, alhasil cowoknya terlihat khawatir. "Ian, are you okay?"
Julian menggeleng pelan.
"Jangan-jangan yang nembak Nando duluan? Makanya Julian bingung."
"Kayak dare yang Saga dapat waktu itu."
"Gue yang nembak dia duluan." Julian mengaku sembari berdiri dari duduknya dan menghadap Nando yang mendongak memandangnya, setelah itu berkata, "Gue suka sama lo dan gue tau elo juga suka ke gue. Jadi, elo mau jadi pacar gue, 'kan? I would like to spend more time together with you. Singing, playing music, listening to all your story. I like you, Arnand."
Seperkian detik, kami semua dibuat terkesima oleh cara Julian mengungkapkan perasaan. ASLI! TATAPAN MATANYA KEBACA BANGET. BUCINNYA GAK KETUTUP SAMA SEKALI!
"Waaaah."
"That's actually so sweet."
Arima dan Ajay bersiul-siul rese. Sedangkan Julian udah kembali duduk.
"Terus, reaksi Nando gimana?"
"Perlu gue peragain juga reaksi gue?" Nando bertanya balik.
"Kalo lo nggak keberatan," ujar gue mempersilakan.
"Kira-kira begini..." Nando menunjukkan raut wajah bengong bercampur kaget yang lucu yang asli ngegemesin. " 'Hah? I love you too, but ... huh? Elo bilang apa?' , pokoknya waktu itu gue bener-bener shock, bingung. Nggak nyangka aja tiba-tiba dia bakal nembak. Udah lagi habis itu Saga sama Ajay dateng. Jadi, kami nggak bisa lanjut ngobrol."
"Tapi sejak saat itu gue dan Ash pacaran," tegas Julian menyatakan.
Ash. Baru sekarang gue denger langsung Julian manggil Nando pake sebutan istimewa darinya itu.
"Berarti udah mau empat tahun kalian pacaran, ya?" Gue.
"Lebih lima tahun, sih. Soalnya gue dan Ian jadian sejak pertengahan semester pertama kelas dua." Nando.
"Lebih duluan kalian yang jadian daripada Arima sama Jofan, 'kan?" Setya.
"Iyalah. Gue sama Jofan baru jadian begitu kami mau lulus SMP." Arima.
"Darren dan Shen panutan kita!"
Oh. Shen itu Nando ternyata. Hehehe. Maklum. Gue belum hapal nama panjang mereka semua. Di Facebook nama akun Nando aja Ash Michael doangan.
"Udahlah. Berhenti ngebahas soal kami." Nando menyenggol bahu Julian. "Ian, kamu pilih siapa."
"Dyas."
"I know it." Dyas meraih botol dari depan Julian. Mengocok sebentar, lalu mengambil satu gulungan kertas yang keluar. "Dari Arima. Truth. Someone you hated among us." Seusai membacakan isi tulisan, sorot di balik kacamatanya terarah tepat pada sosok Benjo yang seketika mendapatkan perhatian dari kami semua.
"It's so obvious." Bahkan Jess sampe ikutan komen.
"Ih, Dyas. Kamu gak boleh gitu sama calon kakak ipar sendiri, dong!" Lagi, Zyas pun membela si Arbenjo.
Kena guna-guna apa sih dia? Segitunya sama Benjo.
"Kakak ipar, my ass!" maki Dyas jelas banget nggak suka. "Kalo elo bisa nemuin cowok lebih baik di luar sana, kenapa harus dia?" Jari tengahnya menunjuk pada Benjo yang cuma bisa menghela napas panjang.
"Hey, dengerin, ya. Gue nggak tau elo punya masalah apa sama gue--"
"Elo nggak tau? Really?" potong Dyas dengan nada lebih sengit seraya memajukan badannya. "Apa perlu gue jabarkan satu per satu daftar kesalahan lo? Terhadap Feryan, Saga, terutama kembaran gue? Nggak usah pura-pura tolol, Brengsek!"
BRAKK!
Gebrakan di meja itu seketika bikin kami semua terlonjak kaget. Bajingan emang manusia psikopat satu ini. Diam-diam menyeramkan. Takut gue beneran sama dia kalo mulai emosi gini.
"Eum, guys! Ini kita lagi main game, 'kan. Kenapa mendadak suasananya jadi mencekam." Jofan berusaha meredakan situasi.
"Dia yang mulai."
ANJRIT! Berani amat si Benjo ngomong, woi!
"SHUT UP!" Tuh, 'kan. Tambah ngamuk si Dyas jadinya. "Gue nggak mau ngedenger pembelaan apa pun lagi dari lo!"
"Udah deh kalian!" Zyas menjerit lalu memelototi Dyas. "Gak usah cari ribut. Mending kita lanjutin aja permainannya. Ajay."
Ajay jelas aja bingung karena Zyas yang justru memilihnya. "Kok elo yang mil--"
"UDAH, KAMU NURUT AJA, DEH! GAK USAH BANYAK PROTES!"
"Oke, oke. Bentar!" Ajay menyerah dan segera mengambil gulungan kertas untuknya dari botol. "Ini dare dari Julian." Helaan napasnya terdengar lesu. "Elo bener-bener rese, ya." Dia menunjuk Julian yang sekadar mengangkat bahu nggak acuh.
"Kenapa?"
"Singing your favourite song with nose closed."
"Hahaha!" Kami kompak menertawakan nasib dia yang dapat dare super konyol barusan.
"Mana suara gue jelek lagi," desis cowok berambut plontos itu resah.
"Dan apa lagu favorit lo?"
"Bruno Mars. The Lazy Song."
"Gue juga suka itu lagu." Benjo nimbrung.
"Ya udah. Elo aja yang nyanyiin."
"Yeee! Ini dare punya lo!" Gue mengomeli Ajay yang berakhir meringis pasrah.
"Capek banget kalo gue harus nyanyi dengan hidung ditutup, kali," kata Ajay seakan betulan nggak ingin bernyanyi.
"Ayo, Ajay. Tunjukan suara jelek lo."
"Nggak apa-apa suara lo jelek, yang penting muka lo lebih jelek."
"Thanks!" ujar Ajay dengan nada terpaksa lalu mulai menutup hidungnya dan bernyanyi, " "Today I don't feel like doing anything
I just wanna lay in my bed
Don't feel like picking up my phone, so leave a message at the tone
'Cause today I swear I'm not doing anything." Cuma segitu dan dia melepas hidungnya lagi. "Puas kalian?"
Kami kontan ngakak lagi.
"Untung bukan gue yang dapat dare itu. Bayangin harus nyanyi lagu Never Enough dengan hidung tertutup." Setya geleng-geleng masygul.
Never Enough tuh lagu yang mana, sih?
"Lanjutin. Gue pilih Feryan."
Pertanyaan nggak penting gue tergantikan oleh giliran yang sekarang datang. Duh, deg-degan asli. Moga aja isinya nggak aneh-aneh
Mula-mula gue mengocok botol dua kali, ke bawah dan ke atas. Barulah gue perlahan-lahan mengeluarkan kertas dari dalam botol. Eits, nongol satu. Ambil. Kasihin ke cowok gue.
"Nih, coba, elo bukain."
Si Bangsat memutar bola mata dan menerima kertas milik gue. "Ngerepotin lo."
"Bacot!" Gue mendelik.
Sesudah kertasnya dibuka, Saga yang juga membaca isinya tiba-tiba memperlihatkan reaksi nggak senang. "Wait. I won't allow it!"
"Apa isinya?" tanya Vano penasaran.
Gue mengambil kertas dari tangan si Bangsat dan membaca isi dare dari Benjo ini. "Kiss the person in front of you."
Spontan aja gue dan Jess saling beradu pandang. "What?" Jess dan gue memekik bersamaan.
"Masa gue harus nyium Jess, sih?"
"Don't you dare!"
Baik gue ataupun Jess udah jelas sama-sama nggak mau, sih.
"Tadi aja Zyas udah nyium Benjo, loh." DASAR SETYA BANGSUL! Malah nggak ngebantu ini setan.
"But--"
"Ini cuma game, Saga. Kamu jangan baper, dong!" tukas Zyas menghentikan protes yang cowok gue hendak sampaikan lagi.
Akhirnya, Saga mengumpat pasrah. "Damn! Whatever."
"Ayo, Fer. Elo cium Jess."
Buseet! Ini sohib Setan niat banget jadi kompor.
"Mendingan gue cium cowok gue aja!"
"Udah sering, kali!"
"Sampe bosen kami ngeliatnya!"
Hadeeeuh. Udah susah beneran.
Lebih dulu gue melirik Saga yang masih tampak kesal. "Nggak apa-apa gue nyium Jess?" tanya gue minta izin.
Si Bangsat menghela napas dan mengangguk. "Mau gimana lagi? Udah risikonya, 'kan. Asal elo jangan nyium dia di bibir!"
"Siapa juga yang mau!" sahut gue yang langsung bikin Saga kembali semringah.
"Ya udah. Sana, elo lakuin dare bagian lo." puncak kepala gue diusap-usap pelan.
Mau nggak mau, gue berdiri dan mulai melangkah mendekati posisi Jess. Sampai di depannya, sekali lagi gue minta izin, "I want to do my dare to you."
Awalnya, Jess diam aja. Dia menatap gue dari atas sampai bawah, lalu menunjukkan senyum masam. "Go ahead."
"Is it okay if I kiss your cheek?"
"It's okay, Feryan. Just kiss me."
Gue meneguk ludah. Kemudian, ragu-ragu mulai mendaratkan kecupan secepat kilat ke pipi Jess. Akan tetapi, sialnya Jess justru mengubah posisi wajahnya hingga membuat bibir gue jatuh menempel ... ke bibirnya.
Kedua mata gue spontan melotot shock dan sigap menjauhkan badan. Hanya untuk mendapati seringai licik di bibir Jess.
"What the fuck! Jess, you--"
PLAK!
Saga belum selesai menyuarakan protesnya sebab suara tamparan yang gue layangkan ke pipi Jess cukup lantang untuk memotong ucapannya.
Di hadapan Jess, gue berusaha keras menahan kepalan tangan gue agar nggak dihantamkan juga ke wajah songongnya. Sebab setelah sekian lama, baru sekarang gue benar-benar dibuat emosi lagi.
"BERANI-BERANINYA ELO NYIUM BIBIR GUE! DASAR BULE DAJJAL BAJINGAN!"
___Bersambung
Sampe ketemu lagi di lanjutan permainan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com