48. PENGALIHAN
Udah tembus 100 vote dan lebih dari 40 komentar. Nih, aku kasih update selanjutnya untuk kalian, ya.
Semoga kalian nggak bosen-bosen ngasih vote dan komennya, ya. Supaya aku juga bisa semangat terus ngetik lanjutan cerita ini. 🤩
Trims atas dukungan dan apresiasi kalian semua untuk SBKB#2. ❤️
Mohon bersabar selalu menunggu bab selanjutnya yang akan aku publikasikan secepat yang aku mampu. (◍•ᴗ•◍)
__
___
____
WADUH! GAWAT! Sebelum terjadi hal yang nggak diinginkan, buru-buru gue berdiri menghampiri si Bangsat yang masih memandangi Irfan penuh sorot mengerikan.
"Heh! Gak sopan kalian, ya. Main nyelonong aja. Ada yang mau ganti baju, tau!" tegur gue pura-pura kesal sembari mendorong dada Saga mundur, menjauhi pintu yang segera gue tutup. "Kok elo datang nggak bilang-bilang?" tanya gue dan nyengir pada Saga yang masih belum menyingkirkan raut betenya.
Namun, ketika pandangan gue beralih ke bawah, melihat bahwa Dewi sedang memegangi lengan jaket cowok gue dengan sok mesra, gue pun turut merasakan kebetean seketika.
Kemudian secara sengaja menarik kotak yang Saga bawa sampai bikin pegangan Dewi terlepas. Mamam! "Ini makanan buat gue, 'kan?"
Dewi yang semula tampak sebal mendadak semringah sembari menunjuk bungkusan berisi makanan yang gue pegang. "Eh, jadi itu makanan? Buatan Aa Saga sendiri, ya? Pasti enak. Buat Dewi aja, ya."
Eh, semena-mena ini cewek!
Saga buru-buru mencegah tangan Dewi yang berniat merebut bungkusan milik gue. "No. Ini dibeli khusus untuk Feryan."
"Makasih." Gue senang sebab merasa menang. "Gue ambil nasi dulu."
Baru aja mau melangkah, si Bangsat justru menarik bagian belakang baju gue. "No! Stay here. We need to talk. Just you and me," ujarnya dengan raut serius yang bikin gue meneguk ludah susah payah.
Yah, gagal sudah rencana gue untuk kabur dari introgasi akibat cemburu si Bangsat.
Kemudian dia melirik Dewi yang masih berdiri di dekat kami. "I said, I need to talk with him. So, can you please leave us alone?"
Dewi yang tersadar sedang diusir oleh Saga sontak aja menunjukkan raut nggak terima. Tetapi dia mengangguk pasrah, setelahnya pergi kembali ke depan. Meninggalkan gue dan Saga berdua yang lantas berjalan menuju ke pintu belakang supaya obrolan kami lebih leluasa tanpa ada penguping.
Gue berdeham lebih dulu demi memecah suasana. "Kalo elo mau ngebahas soal Irfan, biar gue jelasin. Tadi dia cuma mau ganti baju karena dia baru selesai mandi. Gue dan dia nggak ngapa-ngapain di kamar. Kami cuma baru selesai beresin kamar. Dan dia nggak bakal macem-macemin gue soalnya udah punya tunangan." Dan gue pun memberitahu segalanya sebelum ditanya.
"Tapi dia tidur sekamar sama lo?"
Anggukkan pelan gue berikan. "Iya. Dulu awal datang juga dia nginep di situ."
Saga mengernyit nggak suka. "Nggak bisa tidur di sofa aja dia?"
"Itu tempat bagian Om Yana, Bangsat! Nggak mau gue kalo tidur sama dia. Ngorok!"
Cowok gue ini menarik napas panjang dan geleng-geleng kepala. "Tapi dia beneran nggak ngapa-ngapain elo, 'kan?"
Duh, pengin banget gue sentil ginjal bule cemburuan satu ini.
"Nggak, ya ampun. Gak percayaan banget sih lo!"
"Oke." Asik nih, dia bilang oke. Tanda persoalan udah selesai, dong
Gue senyum. "Udah, ya? Elo gak usah mikir yang nggak-nggak lagi."
Dia mengangkat bahu. "Entahlah Gue baru bisa tenang kalo sepupu lo itu udah pulang."
"Sinting lo!" Tangan dia gue hadiahi pukulan juga akhirnya. "Orang baru datang, masa mau langsung disuruh pulang."
Ini cowok bangsat malah cengengesan. "Ya udah, oke. Gue percaya sama lo. Sana, elo cepetan makan. Gue yakin elo pasti masih lapar."
"Emang!" respons gue lalu membaui bungkusan di tangan. Bau ayam. "Elo beneran cuma bawain ini doang? Buat Mamah?" tanya gue.
Kepalanya bergerak ke arah depan. "Ada, kok. Udah gue taruh di dapur. Sengaja gue beli lebih supaya Tante nggak perlu masak banyak. Tapi buat lo itu khusus."
"Emang apaan?"
"Ayam geprek sambal ijo." Dia merangkul gue dan mengajak gue melangkah bersamaan ke depan.
Emang paling pengertian dia soal selera makan gue. Terbaik. Gak ada lawan.
"Makasih, Bangsat. Gue mau banget nyium lo rasanya."
Bisikan gue bikin dia terkekeh, sesudahnya dibalas nggak kalah pelan, "Itu bisa dilakuin nanti lagi. Yang penting, kita makan dulu."
Hmmm. Saat di rumah lagi banyak orang begini, emangnya kami bakal bisa cipokan di mana, deh? Dasar si Bangsat tukang ngegampangin.
.
Ternyata cowok gue membeli lebih dari 10 potong daging ayam bakar ditambah bekakak udah jadinya, dong. Sambalnya pun ada. Ditambah lalapan. Nggak ketinggalan minumannya juga. Gilaaa! Kalo mau nunjukin kebaikan selalu totalitas ini orang. Mentang-mentang banyak uang.
"Ya Allah. Nak Saga ini selalu aja. Pake beliin makanan segala buat kami semua. Sebanyak ini lagi. Ngerepotin jadinya," ujar Mamah selepas menyidukan nasi untuk Saga dengan porsi seperti biasa.
"Aduh, iya. Udah mah kasep, bageur pisan pula. Meuni gemes liatnya." Tante Yuni nimbrung dengan kegirangan.
Saga tersenyum simpul. "Saga nggak enak kalo main ke sini tanpa bawa apa-apa, Tante."
Mamah mendecak sok kesal. "Ya, tapi bawaannya yang kira-kira atuh. Sampe banyak begini. Untung di rumah kebetulan lagi banyak orang. Kalo nggak ada? Bisa-bisa mubazir."
Si Bangsat cuma mengangguk dan tersenyum menanggapinya.
Sementara gue sekadar mesam-mesem sambil mulai melahap ayam. Diam-diam merasa bangga dan salut atas sifat penuh perhatian seorang Juanda Andromano Saga. COWOK GUE, NIH!
"Itu, yang di luar mobil kamu sendiri?" Om Yana bertanya.
"Iya, Om."
Belum tau aja si Om cowok gue punya lebih dari tiga mobil. Ini yang dibawa kebetulan yang paling kecil.
"Kamu juga baru lulus sekolah tahun ini, 'kan? Mau lanjut kuliah atau mau langsung kerja?" sambung Om kembali menanyakan.
Saga menjawab dengan tenang, "Kuliah sambil kerja, Om. Saya mau membuka usaha rumah makan."
Dewi pun turut menimpali, "Oh, iya. Denger-denger Aa Saga teh bisa masak, ya. Kalo boleh tau, siapa gitu yang ngajarin?"
"Mendiang Mommy," jawab Saga dengan senyuman agak kecut.
Pandangan kagum Dewi nggak bisa ditutupi. "Keren, ya. Dewi aja meski cewek nggak pinter masak," komentarnya antara serius atau berniat ingin caper.
"Mungkin, kapan-kapan Saga bisa bantuin anak Tante belajar masak?" Tante Yuni meminta.
YAELAH! Nemu aja modus biar ada kesempatan untuk mereka.
Si Bangsat menggeleng laun. "Saga nggak pinter ngajarin orang lain masak, Tan. Karena Saga orangnya nggak sabaran."
Bi Nengsih yang keliatan paling nggak percaya, sedangkan Tante Yuni yang memastikan, "Eh, masa sih? Keliatannya Nak Saga ini orangnya baik-baik aja. Perhatian juga."
Bahu gue tiba-tiba malah disenggol. "Tante bisa tanya Feryan kalo nggak percaya."
Hampir aja gue tersedak dikarenakan ucapannya. Mata gue sontak melotot sebab gara-gara dia gue menjadi pusat perhatian.
"Apaan, sih. Gue malah dibawa-bawa. Rese lo!" bisik gue memprotes. Ngeganggu gue dari menikmati sambal ijo super mantap ini.
Walau gue emang paling tepat bila dijadikan saksi atas sisi kurang sabarannya itu. Tapi maleslah gue angkat bicara. Mendingan fokus makan.
"Ayah Saga sekarang sibuk apa?"
Tante Yuni gak bisa ngebiarin si Bangsat makan dengan santai apa, ya. Ditanyain melulu. Macem reporter di acara-acara gosip.
"Persiapan syuting film baru, Tan. Sambil kadang membantu Saga mempersiapkan rumah makan yang akan Saga kelola."
"Duh, asli keren pisan Saga ini, ya." Beliau bertepuk sebelah tangan secara berlebihan. "Masih muda, tapi udah punya bekal usaha." Matanya sekonyong-konyong mengerling gue dengan sinis. "Tuh, Feryan. Contoh Nak Saga, nih. Jadi anak laki-laki, dia anak tunggal juga, loh. Tapi nggak sering ngerepotin orang tua. Serba bisa lagi."
Perkataannya itu membuat gue berhenti mengunyah makanan yang sedang gue berusaha nikmati.
Namun belum sempat gue merespons, Saga lebih dulu bersuara memberi pembelaan untuk gue. "Saga mohon, tolong jangan membanding-bandingkan Saga dengan Feryan, Tan. Walau bagaimana pun, Saga yakin jika kondisi Feryan nggak sedang dalam masa pemulihan, dia pasti juga sudah ke sana-kemari mencari lowongan pekerjaan atau bahkan membantu Tante Desy berjualan lagi. Tolong sekali, Saya minta, mohon hargai perasaan Feryan, ya."
Kalimat panjang lebar cowok gue bikin kami semua terdiam saking terpana. Mamah dapat gue lihat tampak terharu. Terlebih gue yang sangat berterima kasih pada dia yang selalu aja memikirkan perasaan gue Mau banget gue peluk dan cium asli. Secinta itu dia ke gue. Bangsat kesayangan gue.
Tante Yuni berdeham pelan dengan raut wajah nggak enak. "A-aduh, iya atuh. Maaf, ya. Tante tadi nggak bermaksud buruk, kok."
Halah! Nggak bermaksud buruk, taik kucing.
Dewinta yang gantian mengajukan tanya lagi, "Aa Saga, denger-denger katanya udah punya pacar. Apa bener?"
MULAI BAHAS PACAR!
"Iya. Itu bener."
"Terus, katanya udah tunangan juga?"
Gue dapati si Bangsat menghentikan kunyahannya sebentar untuk melirik ke gue, sebelum menjawab, "Iya."
Tatapan kecewa Dewi nggak bisa disembunyikan. "Serius? Beneran udah tunangan? Yah! Kenapa nggak dibawa ke sini atuh pacarnya?"
"Karena dia orangnya pemalu."
Alasannya selalu itu, ya. Baguslah. Biar konsisten jalur ngarangnya.
"Udah berapa lama pacaran?"
"Jalan dua tahun."
"Beruntungnya yang bisa jadi pacar Aa Saga. Coba aja, Aa Saga kenalnya sama Dewi duluan."
PREETTT! Ngarep terus! Gak ada bosennya ini cewek ngegodain cowok orang. Pih.
"Dewi pasti bisa nemuin dan dapat pacar yang lebih baik dari Saga, kok."
Diberi ucapan macam itu yang ada si Dewi malah tambah berseri-seri dong mukanya. "Ya ampun. Aa Saga bener-bener keren dan bijak pisan. Makin kesengsem Dewi jadinya."
WOI, WOI! TOLONG, GENITNYA DIKONDISIKAN!
Irfan berdeham langsam dan menegur, "Jaim dikit atuh, Neng."
Dewi spontan memelototi kakaknya. "Apaan, sih? Aa diem aja." Dia lalu melirik isi piring Saga dan terkesiap. "Loh, Aa Saga kenapa makannya sedikit? Mau Dewi tambahin lagi?"
"Saga makannya emang sedikit. Soalnya dia juga lagi diet," ujar gue memberitahu sebelum Dewi terlanjur menambahkan nasi ke piring si Bangsat.
"Oh, gitu." Gadis ini manggut-manggut dengan lucu. Mungkin dia baru ketemu langsung sama cowok yang sedang berdiet.
"Pantesan badannya meuni bagus. Ternyata diet. Pasti hobi olahraga juga, ya?" Tante Yuni mulai lagi.
"Betul, Tante."
"Paling suka olahraga apa, Aa?" Dewi juga masih belum puas mengintrogasi rupanya.
"Sit up. Renang. Sama jogging aja."
Dewi menyahut dengan antusias, "Ih, sama! Dewi juga suka berenang, loh."
"Renang gaya batu."
Celetukan Irfan nyaris bikin gue keselek. Kampret dasar!
Seketika wajah Dewi merona mendengar ejekan dari kakaknya. "Aa Irfan, tong mimiluan coba!"
"Sudah!" Om Yana akhirnya buka suara dan menegur kami semua. "Berhenti ngobrolnya kalian. Mending makan yang benar."
Bagus, Om. Telah berhasil membungkam mulut-mulut kepo yang gak ada habisnya merecoki cowok gue.
Karena yang berhak kepo gak ada habisnya ke dia hanyalah gue seorang. Ehehehehe. Becanda. Skuy, lanjut makan aja kita.
.
"Nak Saga beneran mau pulang? Nggak nginep aja sekalian?" tanya Mamah sesudah Saga menyalami tangannya.
Lalu gantian menyalami Tante Yuni dan Bi Nengsih. "Nggak usah, Tante. Di rumah Tante sedang ada tamu, nggak pantas rasanya Saga mengganggu. Kapan-kapan lagi aja nanti Saga main lagi, ya." Bahkan Ririn aja diajak salaman sama dia, dong. Mana bocil ini ngerti aja lagi sama cowok cakep.
Semoga gedenya nggak bakal jadi pelakor si Ririn.
Mamah tersenyum pasrah sembari mengusap bahu Saga. "Ya udah atuh. Sekali lagi, makasih banyak, Nak Saga, ya."
Tante Yuni berbisik genit, "Sampein salam dari tante buat Pak Julius ya, Ganteng."
Nggak pernah ketinggalan caper dan noraknya. Dasar emak-emak.
"Dari saya juga." Bi Nengsih pake segala ikutan lagi.
"Saga nanti akan menyampaikannya, Tante. Kalau begitu, Saga pamit pulang dulu." Si Bangsat pamit dan bersiap melangkah menuju mobilnya.
"Biar Dewi antar, Aa."
"Nggak perlu repot-repot. Lebih baik Dewi istirahat aja." Saga buru-buru mencegah.
Diperlakukan demikian, Dewi justru tampak kesenengan. Nggak tau aja aslinya cowok gue enek banget sama dia. Dasar cewek.
"Sampe ketemu lagi ya, Aa." Dewi melambaikan tangan.
Namun, setibanya si Saga di dekat mobilnya, dia tahu-tahu memanggil gue, dong. Melambaikan tangan seakan meminta gue menghampirinya.
"Gue?" Dia mengangguk begitu gue menunjuk muka sendiri. Tergesa-gesa, gue pun berlari mendekatinya. "Ada apaan?"
Saga membuka pintu kemudi mobil. "Elo masuk mobil sebentar. Cepet!"
"Hah? Gue ikut masuk?" Buru-buru gue masuk dan duduk di kursi sebelah kiri. Baru aja menutup pintu mobil kembali, tiba-tiba si Bangsat menarik tengkuk gue ke arahnya dan menjatuhkan ciuman ke mulut gue yang semata-mata membuat gue terkejut.
Sesudahnya, dia melepaskan ciuman untuk bertanya, "Elo masih mau nyium gue, 'kan?" tanyanya dengan tatapan menggoda.
Gue tersenyum dan mendengkus jengah karena baru memahami maksud tindakannya ini. "Dasar bangsat!" maki gue yang setelah itu benar-benar menciumnya.
Hanya ciuman singkat. Mempertemukan kedua belah bibir kami seperti biasa. Saling mengulum, berbagi air liur dari lidah yang lalu bertautan, selagi bibir kami menghisap ke atas dan bawah secara bergantian. Dengan sensasi rasa ayam yang masih menguar. Begitu dirasa udah puas, gue pun menarik mundur kepala dengan senyum semringah dari mulut gue yang basah.
Gak usah lama-lama, ya. Takut menimbulkan kecurigaan. Meski kalo mau nurutin nafsu sih, mendingan lanjut sampe saling ngocok. Hihi.
HEH! GUE MIKIRIN APAAN, SIH!
"Nih, ambil." Saga sekonyong-konyong memberikan gue sebuah lembar tebal yang mirip majalah. Tapi bentuk kertasnya lebih mengkilap dan keras.
"Ini apaan?"
"Oleh-oleh dari gue. Kumpulan contoh katalog yang akan gue pakai untuk buku menu nanti. Tugas elo adalah milih jenis katalog mana yang harus gue pakai."
Penjelasan dari dia bikin gue urung mengecek isi lembarannya. "KOK GUE YANG HARUS MILIH?" jerit gue heboh saking terlalu kaget atas tugas dadakan darinya ini.
"Biar elo seenggaknya ikut berkontribusi."
BUSEEET! Gampang bener dia ngomongnya. "Kalo pilihan gue jelek gimana?"
"Ya, elo jangan milih yang jelek," katanya disertai putaran bola mata. "Udah, sana. Turun. Gue mau pulang." Mana sekarang gue diusir pula.
Gue seketika melongo. "Terus, katalognya?"
"Elo bawa. Nanti di hari berikutnya gue main, elo harus udah menentukan pilihan. Sana, turun cepet."
Secara pasrah gue turun. Begitu pintu mobil udah ditutup, Saga segera melajukan kendaraannya tanpa bilang apa-apa lagi. Menelantarkan katalog kampret ini bersama gue yang masih berusaha mencerna keadaan.
Emang dasar cowok setan. Kampret! Bangsul! Sialan! Untung gue sayang.
"Itu apa?"
Suara Dewi yang mendadak terdengar dari belakang punggung bikin gue sedikit terlonjak. Secepatnya gue berbalik menghadap dia, lalu menunjukkan katalog yang gue bawa.
"Katalog menu. Disuruh liat-liat soalnya ... aku suka makanan. Hehehe."
Jawaban gue bikin Dewi mengernyit, dan tersenyum geli kemudian. "Ada-ada aja Aa Saga teh, ya. Lucu dia orangnya. Baik juga. Ihhh, aku gemes! Sayang malah udah ada yang punya."
"Anda belum beruntung," komentar gue sok prihatin.
Dia memutar bola mata. "Huh! Sesama orang yang masih jomlo gak usah saling ngeledek, ya.
Gue menahan diri dari ingin menertawakan dia. Enaak aja. Elo aja kali yang jomlo, gue mah nggak. Batin gue membalas.
"Eh, tapi Feryan emangnya nggak punya temen cowok lain selain Aa Saga? Yang masih jomlo," tanya Dewi selagi kami melangkah bersamaan menuju ke rumah.
"Ada. Tapi mereka nggak tertarik pacaran karena mau fokus ke cita-cita dan kuliah," jawab gue sedikit berdusta.
Bisa aja gue kenalin dia ke Ajay, sih. Tapi mengingat gimana karakter Ajay, gue takut temen gue itu cuma bakalan stres ngadepin cewek macam Dewi. Biarlah.
"Dih, nyebelin pisan da." Dewi merajuk dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.
"Lagian nggak usahlah jauh-jauh nyari pacar dari sini. Cari aja dulu yang di Bandung. Supaya gak perlu LDR."
Saran dari gue nggak disangka-sangka justru membikin raut di muka Dewi bertambah dongkol. "Di Bandung mantan aku udah banyak, tauk! Males nambah-nambah lagi!" keluhnya yang lantas melangkah menuju ke dalam rumah.
Meninggalkan gue yang tersengih atas pernyataan super ngeselin darinya. Hadeeeeuh! Bisa-bisanya gue punya sepupu macam dia. Ampun DJ.
___
Gara-gara si Bangsat gue nggak bisa tidur nyenyak. Padahal ini udah jam 12 lewat, dan nanti pagi gue sama Mamah bakal menemani Om Yana sekeluarga ziarah ke makam Kakek dan Nenek. Tapi dikarenakan tugas memilih menu katalog dari seorang bule setan, gue terpaksa begadang sambil terus-menerus membolak-balik per lembar halaman katalog super tebal ini.
Lampiasin emosi dulu ke seseorang supaya perasaan gue lebih tenang.
Gue mengklik WhatsApp. Membuka kontak si Bangsat, mengambil gambar katalog yang sedang gue pangku, lantas gue kirimkan ke dia dengan isi pesan manis.
DASAR ANJING!
Pesan terkirim. Centang dua, yang berubah biru kemudian.
Loh, jadi ini anak masih hidup? Maksud gue, masih melek.
Dia terlihat mengetik balasan.
Saga Bangsat 😼 :
Gak apa-apa anjing, yang penting gue ganteng.
Gue:
Elo belum tidur?
Saga Bangsat 😼 :
Belum.
Elo seharusnya tidur aja. Gue nggak buru-buru juga kok ngebutuhin pilihan katalognya.
KENAPA BARU NGASIH TAUNYA SEKARANG, BAMBANG! Alhasil gue membalas penuh nafsu emosi.
Gue:
ELONYA GAK BILANG, BANGSAT!
Saga Bangsat 😼 :
Sorry.
Gak bagus kalo lo tidur kemaleman. Nanti bisa sakit kepala.
Udah, tidur sana.
Btw, sepupu lo udah tidur, kan?
Mata gue mengerling Irfan yang tidur di bawah sambil memeluk boneka Keroppi gue.
Gue:
Udah sejak jam 10 tadi. Nyenyak tidurnya. Soalnya besok kami mau ziarah.
Saga Bangsat 😼 :
Ah, I see.
Oke.
Oh wait.
Gue baru keinget perihal yang Dewi sempet tanyain tadi.
Mengenai gue dan pacar gue yang udah tunangan.
Itu ide elo? Supaya dia gak bisa deket-deket sama gue?
Gue:
Mamah yang mulai. Gue sih ngikut apa kata Mamah aja.
Saga Bangsat 😼 :
Tapi gue suka alasannya.
Bahwa elo dan gue udah tunangan.
Kira-kira kapan kita bisa tunangan beneran, ya?
Pertanyaan itu bikin gue sedikit lebih lama mengetik balasan lantaran bingung harus menjawab apa.
Gue:
Entahlah.
Menurut lo kapan enaknya?
Saga Bangsat 😼 :
Kapan pun elo siap, Sayang. 💛
Udah. Elo cepetan tidur sana.
Good nite.
Namun gara-gara chat darinya itu, gue semata-mata dibuat terpaku cukup lama hingga berakhir mempertanyakan diri sendiri.
Kira-kira, kapankah kesiapan itu akan datang untuk gue, ya? Apakah sebentar lagi atau justru masih lama? Lebih buruknya, seumpama gue nggak akan pernah siap nanti, gue harus gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com