Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49. PEMEGANGAN

Aku minta tolong jangan cuma komen soal 'next / update', boleh?

Kalo bisa komenin juga isi ceritanya gitu, loh. Aku minta tolong banget ke kalian. Huhuhu. ( ・ั﹏・ั) Soalnya komenan kayak gitu yang paling bikin aku seneng. Maaf kalo banyak maunya. Kebetulan sekarang aku juga lagi sakit, jadi butuh penyemangat lebih. (。ノω\。)

Karena untuk update, tanpa kalian minta pun, jika ceritanya udah jadi pasti bakal segera aku publish, kok. Kayak sekarang ini. 🌈

Itu aja yang mau aku sampein, ya. Trims! ❤️

__
___
____

Uang pemberian dari Om Yana dan Tante Yuni, ditambah Bi Nengsih gue simpan ke kotak khusus yang dijadikan sebagai pengganti celengan. Bergabung bersama uang dari Om Julius, Grandma, Mamah, juga THR dari si Bangsat.

Horeee! Gue kaya!

Enaknya nanti nyicil beli peternakan ayam atau motor dulu, ya? Tapi gue masih belum berani naik motor. Takut kecelakaan lagi. Masih untung saat kecelakaan tempo hari gue bisa selamat. Bayangin kalo kejadian lagi terus gue berakhir menghadap selama-lamanya pada Sang Ilahi? Dih, amit-amit. Jangan sampe, deh.

Sesudah menyimpan uang, gue melepas jaket dan menggantungnya. Kemudian lanjut membereskan kamar karena sore ini Om Yana sekeluarga bakalan pulang. Untuk sekarang mereka sedang berada di ruang tengah, berdiskusi dengan Mamah mengenai acara hari peringatan kematian Nenek yang ke satu tahun yang kemungkinan akan digelar bulan depan.

Nggak berasa, ya. Udah mau genap satu tahun aja semenjak Nenek meninggal. Bikin gue lagi dan lagi, teringat senyum serta wajah pucat Nenek untuk yang terakhir kali. Lalu tadi, gue kembali berziarah ke makam Nenek dan diingatkan lagi pada rasa sakitnya.

Ya Allah, Nek. Coba aja Nenek masih ada di sini.

"Nek, Fery kangen," gumam gue dengan perasaan campur aduk, tapi sedapatnya menahan tangis.

"Fery?"

Gue terperanjat mendengar panggilan dari Irfan yang entah sejak kapan membuka pintu kamar. Sontak aja gue gelagapan. Refleks mengusap-usap muka demi menyingkirkan ekspresi sedih yang mungkin aja gue tunjukan, untuk diganti memasang cengiran pada Irfan.

"Udah selesai ngobrolnya?" tanya gue sambil lanjut melepas sprei yang menutupi kasur lantai.

Hadeeeuh! Malu-maluin banget. Lagi sok mellow malah ada yang mergokin.

Irfan melangkah kemari sesudah menutup pintu. "Belum. Biarlah itu mah urusan orang tua. Aku sengaja ke sini soalnya kepikiran kamu. Sekalian mau mulai beberes baju." Dia turut berjongkok dan menatap gue cukup lama, sebelum balik bertanya, "Fery lagi kangen Nenek, ya?

Pertanyaan lirih yang sukses bikin tangan gue gemetaran seketika. Mengundang sesak yang semakin dirasa kian menumpuk di dada. Nyeri. Menjalar naik, membuat gue mulai kesulitan mengambil napas hingga memunculkan perih di kedua sudut mata.

Gue mengepalkan tangan, meremas selimut dalam pegangan sembari menganggukkan kepala pelan. "I-iyahh." Dan tangis gue pecah.

Sprei gue tarik untuk menutupi muka serta isakan. Sementara gue membiarkan Irfan memberi pelukan. Menepuk-nepuk pundak gue laun, berusaha menenangkan.

"Nggak apa-apa. Sok dilepasin aja. Jangan ditahan. Da wajar kalo kamu ngerasa masih kangen. Apalagi kamu cucu yang paling deket sama Nenek," ucap Irfan dan sesekali mengelus rambut belakang gue. "Aku juga kalo deket sama Nenek mah, pasti bakal sama kayak kamu. Bawaannya kangen melulu. Mana kenangan di rumah ini sama Nenek banyak, 'kan."

Kepala gue tarik mundur dari dekapan Irfan sambil mengangguk lemah. "Iya. Maaf, jadi keliatan cengeng," kata gue yang lantas mengusap wajah sekuat tenaga menggunakan sprei.

Irfan terkekeh geli. "Semua orang pada dasarnya cengeng setau aku mah. Nggak peduli berapa usia ataupun keteguhan hati mereka. Yang namanya kepengin nangis tuh pasti ada aja." Dia berbisik setelahnya, "Aku aja pernah nangis cengeng cuma gara-gara nonton adegan matinya Tony Stark di End Game."

Kalimatnya sukses bikin gue menyemburkan tawa tertahan. "Aku juga pernah nangis gara-gara Going Merry." Gue turut membuat pengakuan yang bikin Irfan tercenung.

"Kapal si Luffy itu, yah? Dulu emang pernah viral, sih." Dia manggut-manggut. "Nah. Kamu kalo butuh temen cerita, boleh kok ngehubungin aku kapan aja--jangan dianggurin terus atuh nomor HP aku teh. Nggak usah sungkan. Kita berdua 'kan saudara. Terus, siapa tau Fery juga kepengin dikenalin sama para cewek Bandung. Gampang! Langsung bilang aja ke Aa Irfan, nih. Nanti aku pilihin yang sesuai tipe kamu," ungkapnya diakhiri kernyitan heran. "Eh, iya juga. Emangnya tipe cewek yang Fery suka yang kumaha gitu?"

Senyum gue luntur sedikit demi sedikit begitu ditanyai demikian. MAMPUS! Sekali pun gue nggak pernah mengkhayalkan cewek sebagai pacar atau tipe yang gimana-gimana, woi. Karena pikiran gue selalu dipenuhi oleh sosok si Bangsat Saga yang telah merenggut seluruh atensi sekaligus rasa sange gue.

KACAU!

Duh, coba mikir, Feryan. Cari alasan. Ngarang.

Jawaban mulai gue lontarkan, "Emm, yang ... apa adanya aja. Baik ke Fery, ke Mamah Fery juga. Orangnya bisa masak. Bawel galak, tapi juga penyayang. Perhatian dan pengertian, tapi nggak baperan. Dan asik diajak becanda soal apa aja. Pokoknya, yang enak diajak seru-seruan."

LANCAR BANGET GUE NYEBUTIN TIPE IDAMAN KARENA ITU SEMUA UDAH ADA DI DIRI COWOK GUE, COY!

Irfan tampak berpikir keras. "Kayaknya susah juga, ya. Nyari cewek yang nggak baperan di zaman sekarang. Aku aja yang udah jalan pacaran empat tahun sama Mela masih suka bikin dia baperan nggak jelas, meski aku nggak ngapa-ngapain."

Gumamam berujung curhatnya bikin gue ngakak, dong.

"Eh, serius ini mah. Asli. Nggak becanda aku."

Justru karena gue tau dia lagi nggak bercanda, makanya gue ngetawain. Hihi.

Sedikit, gue merasa bersyukur karena ada sosok Irfan di sini yang bisa dijadikan kawan berbagi cerita. Meski lagi-lagi, waktu yang kami habiskan berdua nggak seberapa lama. Tapi seenggaknya, yang sekarang lebih baik daripada tahun kemarin.

Soalnya tahun kemarin selain masih diselimuti duka mendalam, gue juga lebih banyak diamnya dikarenakan sedih ditinggal Saga ke UK untuk persiapan kuliah.

"Makasih ya, Irfan," ucap gue tulus dibarengi senyuman lebar.

Irfan mengangguk. Turut tersenyum dan membalas, "Sama-sama, Fery."

.

"Jaga diri ya, Bi Desy, Fery. Kapan-kapan main ke Bandung, nya. Jangan mentang-mentang udah jadi orang Jakarta, masa nggak ada kepengin main ke Bandung lagi?" pesan Irfan yang kebagian duduk di kursi kemudi.

Dewi lalu memunculkan muka. "Kalo nanti mau ke Bandung sekalian ajak Aa Saga juga, ya!"

"Pak Juliusnya juga." Tante Yuni nimbrung yang bikin Om Yana geleng-geleng kepala.

Gue dan Mamah nyengir aja melihat kelakuan mereka. "Iya, iya. Nanti kami kapan-kapan main," ujar Mamah dengan anggukkan, lalu melambaikan tangan begitu mesin mobil mulai dinyalakan. "Hati-hati di jalan ya, Kang, Teh. Sampe rumah jangan lupa telpon."

"Iya. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam." Mamah dan gue menyahuti kompak salam dari mereka. Berdiri beriringan, memperhatikan kendaraan pribadi milik Om Yana yang Irfan supiri kian menjauh dari jarak pandang.

Semoga mereka semua selamat sampe tujuan supaya kapan-kapan kami bisa ketemu lagi. Aamiin.

Gue mengembuskan napas panjang. "Alhamdulillah. Akhirnya mereka pulang juga!" kata gue seraya berkacak pinggang kelewat senang.

Mamah mendelik dan menegur, "Hush! Kamu kalo ngomong. Gak boleh gitu sama sadulur sendiri."

Gue balas mencibir, "Tapi dulur Mamah emang pada nyebelin." Kecuali Irfan, sih.

Mamah gue ini sekadar geleng-geleng, setelah itu berbalik badan. Mulai kembali menuju ke rumah diikuti oleh gue. "Maklumin aja. Da watak orang mah semua pasti beda-beda. Tapi tadi Fery dikasih THR sama mereka, 'kan? Berapa?"

"Dari Om Yana dua ratus. Tante Yuni seratus lima puluh. Dari Bi Nengsih seratus. Mamah sendiri? Dititipin uang berapa sama Om Yana buat acara Nenek nanti?" jawab gue kemudian balik bertanya.

"Dua jutaan. Paling nanti kita pesen katering lagi aja. Sambil doa bersama."

"Segimana baiknya menurut Mamah aja. Fery mah asal ngikut."

"Sip atuh!" ucap Mamah sambil bertepuk tangan satu kali. "Eh, tapi mamah tuh penasaran."

Gue menoleh. "Kenapa, Mah?"

Mamah melihat pada gue lantas menanyakan hal yang nggak gue duga, "Nak Saga ini beneran udah tunangan sama pacarnya apa belum, sih? Kemarin mamah iseng aja bilang dia udah tunangan. Tapinya mamah jadi kepikiran, bisi Nak Saga yang sempet ditanyain Neng Dewi ngerasa nggak enak gara-gara mamah bilang begitu."

Ah, soal itu ternyata. Gue jawab sesuai fakta aja, deh. "Setau Fery belum kok, Mah. Untungnya Tante sama Dewi gampang dikibulin. Percaya aja cowok yang baru lulus SMA udah ngajak tunangan pacarnya." Gue cekikikan sebab merasa konyol.

Mendengar respons gue bikin Mamah manggut-manggut. "Iya juga, ya. Pasti belum, 'kan? Soalnya mamah nggak terima juga kalo Nak Saga tunangan sama pacarnya tanpa bilang-bilang ke mamah dulu. Gini-gini 'kan, mamah udah nganggap Nak Saga kayak anak sendiri," ujarnya yakin dengan senyum penuh harap. "Sama masih penasaran. Pacarnya Nak Saga ini kayak gimana orangnya? Apakah baik? Cantik? Bule juga? Atau malah orang biasa? Duh, meuni gregetan. Nggak sabar mau kenalan dan ketemu sama dia!" lanjut Mamah agak menggumam, tampak antusias sendiri.

Sementara gue selaku sosok yang dimaksud oleh Mamah, yang berdiri tepat di sampingnya tanpa mampu berbuat apa-apa, nggak ayal merasa bersalah sebab nggak memiliki sedikit pun keberanian untuk memberitahu.

Bahwa guelah pacar Nak Saga kesayangannya.

Sosok yang sangat ingin Mamah temui nggak lain nggak bukan adalah putra kandung semata wayangnya ini.

Tangan kiri gue mengepal sekuat tenaga. Gemetaran disebabkan takut dan bingung. "Mah!" Lalu tanpa disadari gue udah aja memanggil nama Mamah dengan cukup lantang.

Bikin Mamah berbalik badan dan urung masuk ke dalam rumah. "Iya? Kenapa, Fery?"

Gue menggigit bibir. Nggak tau harus memulai dari mana untuk mengatakan perihal teramat penting ini. Mengenai siapa gue untuk Saga. Tentang hubungan yang terjalin di antara kami di luar sepengetahuan Mamah.

Secara susah payah gue meneguk ludah sebelum ragu-ragu bersuara, "I-ini ... S-so-soal pacar Saga," ungkap gue lirih, gelagapan saking gugup dan deg-degan.

"Iya? Kenapa sama pacarnya Saga?" tanya Mamah yang hanya mampu gue perhatikan ujung kakinya.

Nggak ada nyali sama sekali menatap langsung kedua mata Mamah. Karena gue betul-betul merasa takut ... sekaligus berdosa.

Gimana ini? Apa yang harus gue lakukan? Apa gue benar-benar harus mengungkapkan segalanya sekarang? Di sini?

Gemetar di tangan gue serta-merta semakin parah. "M-Mah, sebenarnya ... pacar Saga itu ..." Suara gue yang menyampaikan kata demi kata pun terasa kian laun aja. "Pacarnya adalah ... Fery ..."

Kedua mata gue mendelik ngeri bersamaan dengan sensasi berdebar-debar di jantung yang makin menegangkan seluruh syaraf di badan. Heh, bentar! Apakah tadi gue baru aja mengaku? Gue telah berhasil mengutarakan rahasia yang cukup lama gue sembunyikan dari Mamah? Begitu aja. Sungguh? Semudah itu?

"Apaan sih, Fery? Kamu ngomong apa barusan? Suaranya pelan banget. Mamah mana kedengeran!"

Namun setelah mendengar keluhan Mamah, gue semata-mata mengembuskan napas lega. Memberanikan diri mengangkat kepala untuk menatapnya, kemudian mengubah pengakuan, "Maksudnya, Fery juga nggak sabar mau ketemu sama dia. Sama pacarnya Saga, Mah. Hehe." Nggak ketinggalan cengiran demi mengurangi kecurigaan.

"Oh, itu. Ya ampun. Kirain teh kenapa." Mamah terlihat sok merajuk, tapi tersenyum juga akhirnya. "Ya udah. Nanti kita bisa ketemu bareng sama pacar Nak Saganya," cetus Mamah yang lanjut melangkah ke dalam.

Meninggalkan gue di teras depan yang langsung terduduk lemas di lantai. Saling memegangi tangan yang masih belum berhenti gemetaran, berkeringat dingin gara-gara ketakutan. Udah mana napas gue ngos-ngosan nggak keruan.

Ya Allah. Begini amat hidup jadi kaum minoritas bareng sama Ibu tunggal. Mau ngambil keputusan apa pun berasa berat banget bebannya. ARRRGHHHH! CAPEK GUE! HUH!

Mata gue memandang ke halaman depan, pada Bambang yang gue lihat sedang mengorek-ngorek tanah. Berpikir, betapa enaknya menjadi dia yang nggak perlu pusing-pusingan merenungi berbagai masalah macam gue.

"Enaknya gue jadi ayam aja apa, ya," gumam gue setengah mengkhayal. "Jadi ayam peliharaan si Bangsat, terus ujung-ujungnya gue dimasak sama dia. Tragis gak, tuh," ujar gue semakin melantur.

Menjadi ayam untuk disembelih, dimasak, lalu lanjut dimakan. Kemudian ujung-ujungnya menjadi taik yang berakhir menumpuk bersama kotoran lain di dalam septic tank. Hiii! Menjijikkan! Belum lagi nanti tulang gue kebagian buat ngasih makan kucing atau anjing. Ogah, deh. Udah emang paling bagus jadi manusia ajalah. Kalo menjelma jadi ayam, toh gue nggak bakalan bisa makan masakan cowok gue lagi. Derita.

"Ya Allah, Fery! Ke sini! Cepet!"

Waduh! Mamah kenapa?

Gue buru-buru berdiri dan berlari menuju ke dalam dengan agak panik. "Mah?" panggil gue yang lantas menghampiri Mamah yang ternyata sedang berdiri di dapur sambil memegangi HP. "A-ada apa? Mamah kenapa?" tanya gue dengan napas yang tambah ngos-ngosan aja.

Mamah menunjukkan layar HP-nya untuk memperlihatkan pesan yang entah dari siapa karena belum sempat terbaca. "Ini. Papah kamu ngirim undangan. Minggu depan acara nikahannya sama Adela bakal digelar."

ASTAGFIRULLAH'AL'ADZIM! GUE PIKIR ADA APA, ELAAH! BIKIN WAS WAS AJA.

"Kita bakal hadir?"

Pertanyaan gue bikin Mamah mengernyit. "YA, WAJIB ATUH, FERY! Kamu lupa, ya. Kamu juga 'kan udah janji sama Adela buat hadir di pernikahan mereka," omel Mamah diakhiri gelengan masygul.

Gue cuma bisa cengengesan, sesudah itu berjalan mendekati kulkas. "Kapan kira-kira kita berangkatnya, Mah?"

Mamah terlihat berpikir sebentar. "Kalo bisa sih, satu hari sebelum hari H, ya. Supaya kita nggak perlu lama-lama di sana. Nggak enak mamahnya. Takut nanti orang-orang mikir mamah nggak bisa move on dari Papah kamu."

Hampir aja gue tersedak gara-gara asumsi Mamah yang super konyol. Hadeeeuh.

"Enaknya sih, mamah ke sana sambil bawa gandengan. Tapi masalahnya, kepengin bawa siapa?"

HAH? BILANG APA BARUSAN?

Jelas aja gue menentang ide itu habis-habisan. "Gak usah bawa gandengan-gandengan. Mending gandeng aja Fery. Udah. Beres," cecar gue yang lalu mengembalikan botol air ke kulkas. "Mamah nggak usah terlalu musingin apa kata orang. Pokoknya, Fery nggak mau Mamah kenalan sama sembarang orang cuma buat dijadiin pacar bohong-bohongan. Gak suka!" sambung gue memprotes yang malah bikin Mamah cekikikan.

"Becanda aja atuh, Sayang. Meuni segitunya." Dia mencubit gemas pipi gue, sesudah itu beranjak dari sini. "Mamah mau beli baju baru di Shopee keburu nggak, ya? Buat dipake di nikahan Papah kamu nanti."

Gue mengekori Mamah menuju ruang tengah. "Emangnya baju Mamah nggak ada yang bagus? Pake aja baju lebaran kemarin."

"Baju lebaran kemarin gerah bahannya. Gak suka mamah mah."

"Ya udah. Terserah Mamah aja kalo gitu."

.

Setya:
Minggu depan elo ke Sumedang?

Vano:
Tahu.

Mentang-mentang Sumedang kota tahu. Gue laporan soal mau pergi ke sana, balasan si Vano begitu doang. Dasar bule kambing.

Zyas:
MAU IKUT!
Kepengin jalan-jalan.

Gue:
Elo pikir gue pergi ke sana mau liburan! 😑

Dyas:
Berdua aja sama Tante?

Gue:
Iyalah. Sama siapa lagi?

Vano:
Saga nggak ikut?

Gue:
Gak tau. Mungkin nggak. Dia kan lagi sibuk. Chat gue aja belum dibales.

Setya:
Cowok lo lagi live di Instagram, noh.

HAH? DEMI APA?

Gue sontak bangun dari posisi berbaring sesudah membaca chat dari Setya, selanjutnya buru-buru mencari aplikasi Instagram untuk gue buka. Menemukan akun Instagram Saga yang beneran sedang live. Anjir! Gue ketinggalan. Coba ditonton, deh.

Oh. Ternyata live ini berisi kegiatan beres-beres tempat bakal usahanya. Semua barang lagi diangkut dan digeser ke sana-kemari. Tapi yang punya HP-nya gak tau di mana. Gak keliatan.

Haruskah gue mengetik komentar kayak yang lain? Eh, iya. Coba gue bacain komen-komennya dulu.

Ini di mana?

Kapan peresmiannya?

Saga muncul, dong!

Saga jadi pacarku, yuk.

I miss you, Saga.

❤️❤️❤️

Saga ganteng, deh.

Ada lowongan pekerjaan, nggak?

Ada ruang kosong di hatimu untuk aku isi?

Boleh daftar jadi pemilik hati kamu?

ANJIR! INI KOMEN-KOMEN MAKSUDNYA APA, BAMBANG? KURANG AJAR! Nggak tau aja mereka pacarnya Saga lagi memantau di sini.

Terbawa emosi, akhirnya gue mengetik komentar untuk dikirimkan.

BALAS CHAT GUE, WOI!

Beberapa detik setelah komentar itu dikirimkan, suara sang pemilik akun akhirnya terdengar.

"Sorry, guys. Live-nya gue udahin sampe sini dulu, oke? See you."

Nggak berselang lama setelah live-nya ditutup, si Bangsat langsung menelepon gue. Bikin gue mesam-mesem kesenengan karena merasa dijadikan prioritas oleh dia. Asyik! Emang terbaik.

"Halo?"

"Halo, Babe!" Anjir! Sengaja banget ini bule memperdengarkan sisi noraknya. "Sorry. Gara-gara lagi live gue nggak sadar ada chat masuk dari lo. Soalnya notifikasi WA sengaja gue matiin dulu."

Ternyata begitu, toh. "Pantesan."

"So, elo bakal hadir di acara nikahan Papah lo? Kapan?"

"Rencana gue sama Mamah mau berangkat hari Sabtu, sih."

"Naik apa?"

"Kereta mungkin. Atau bus. Gimana nanti pokoknya." Soalnya obrolan gue sama Mamah mengenai rencana keberangkatan kami emang belum sedetail itu. Orangnya malah lebih sibuk milih-milih baju untuk dipakai kondangan.

"Elo akan baik-baik aja, 'kan? Meski bepergian cukup jauh padahal baru sembuh."

Waduh! Emangnya bakal ngaruh? "Ya, gue juga nggak tau. Tapi semoga nggak bakal kenapa-kenapa, deh. Nggak mau gue kalo sampe sakit di tempat dan pesta orang lain."

Gue niat hadir jauh-jauh buat jadi saksi sekaligus tamu undangan, ya. Bukan pasien.

"Hmmm." Saga menggumam panjang di seberang sana, entah lagi memikirkan apa.

"Kenapa?" tanya gue penasaran karena isi di kepalanya pasti suka aneh dan macam-macam cuma karena cemas berlebihan.

Dia menghela napas terlebih dahulu sebelum berkata, "Haruskah gue ikut sekalian? Pergi sama lo dan Tante ke Sumedang. Biar nanti gue yang nyetir. Kita bawa mobil gue aja supaya nggak boros biaya. Gimana?"

Tawaran yang diajukan Saga sedikit membuat gue tercenung sesaat. Berusaha mati-matian mencernanya secara benar. Barulah ketika akhirnya gue paham, spontan aja gue memekik kaget.

"HAH?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com