Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. PERDEBATAN

Gue meneguk ludah. Nggak sanggup memberikan respons apa-apa sebab malah ditantang balik sama Dyas. Heeeu. Nyesel gue karena udah bikin jiwa sadisnya keluar.

Saga akhirnya buka suara "Really, Dude? I know you're so pissed off because of him, but please don't cross the line," katanya sembari merangkul gue erat.

Dyas tersengih. Ekspresinya betul-betul gak sedap dipandang. "If you care about him that much, how about you who's volunteering? Kiss Zyas, replace them."

Penuturan enteng dia yang lainnya membuat kami semua makin terperangah.

"What--" Saga pun sampe kehilangan kata-kata.

"Dyas, please," desis Zyas memohon dengan mimik khawatir tanpa akting.

Sekalipun Saga yang ditawarin untuk nyium dia, nyatanya Zyas tetap aja nggak mau.

Dyas menghela napas panjang, menyandarkan badan ke sofa seraya memainkan kaca mata di tangannya. "I already said about how I want to destroy you all in this game. Jangan dipikir ancaman itu cuma candaan," jelasnya mengingatkan.

Vano mendecakkan lidah. "But, to see my boyfriend kissing another boy? I won't accept it!" Protesnya masih belum berubah.

Yah, siapa pun dari kami, mana mungkin bisa rela andaikan tau pacarnya disuruh nyium orang lain. Sakit, Bambang! Gue udah tau sendiri rasanya.

"Then--"

"STOP IT! YOU ALL! PLEASE. JUST. STOP. ALL. OF. THIS. CRAP! Gue muak dengarnya!"

Bentakan mendadak dari Setya sukses mengejutkan dan membungkam kami semua. Termasuk Dyas yang tadi sedang ngomong, tapi malah kepotong teriakan Setya yang sekaligus memasang raut muka muak.

"And you, sit down!" Vano ditarik dari posisi berdirinya sampe duduk lagi ke sofa.

Melihat cowoknya lagi murka begitu, bikin jelmaan kelapa ini kikuk gak keruan. "T-tapi Febri--"

Lagi, kalimat seseorang terpotong suara Setya, "Ini dare buatku, Hannes. Konsekuensi yang pasti aku dapatin dari main game ini. Aku nggak butuh kamu ngelindungin aku karena rasa cemburu kamu. Cause all of this is just A GAME. And you obviously understand that. Kissing with Zyas isn't a big deal." Panjang lebar dia mengungkapkan pendapat.

Yang berarti, dia bakal nerima dare ini dan bersedia nyium Zyas? Heeeh?

"It's a big deal for me, Febri. I don't want you to kissing with someone else!" balas Vano yang masih berkeras menentang dare ini.

"But this is a dare for me. Aku gak punya pilihan. Aku nggak mau, tantangan yang harusnya aku terima malahan merugikan pihak lain."

Seusai Setya bilang begitu, Vano gue dengar mengembuskan napas panjang. "I-I don't know. I don't care anymore!" ucapnya pasrah. Membuang muka sewaktu Setya benar-benar bangun dari sofa lantas melangkah menghampiri posisi Zyas yang ada di seberang meja.

"Serius, Setya? Kamu mau nyium aku?" Zyas bertanya waswas begitu sohib kami itu udah berdiri di depannya. "Aku beneran nggak mau nginget kamu sebagai orang pertama yang nyium bibir seksi aku, loh," terusnya berkomentar yang malah bikin gue meringis.

Tutup mata aja kali, ya? Ngeliat Zyas sama Setya ciuman, yang ada itu cuma bakal jadi salah satu bayangan paling menggelikan. Gak sanggup kalo nanti gambaran itu terus-menerus menghantui kepala.

"Emang Dyas ada bilang harus nyium elo di bibir?"

"Huh?" respons heran bercampur shock kami terdengar serempak gara-gara celetukan Setya ... yang kalo dipikir-pikir, IYA JUGA.

"What?" Vano melongo kayak orang bego ketika Setya memajukan badan, untuk kemudian menjatuhkan bibirnya ke pipi kanan Zyas.

"Muach." Menegakkan badan kembali setelah mencium pipi Zyas, Setya lalu nyengir. "Done. Dare dari elo udah gue selesaiin ya, Dyas."

"Wai--what ..." Dyas sedikit gagap bereaksi saking nggak menyangkakan tindakan tadi.

SIAPA YANG BAKALAN NYANGKA EMANGNYA, BAMBANG!

Setya ketawa sembari jalan balik ke tempatnya. "Elo cuma nyuruh gue nyium dia 'kan. Nggak ada embel-embel kata 'di bibir'. Problem solved!" ujarnya diakhiri acungan jempol.

Vano buru-buru beranjak menyusul Setya untuk menariknya ke pelukan. "God Damn, Febri. Dan kamu udah bikin aku khawatir banget," bisiknya penuh penekanan seraya mengusap-usap bibir dower cowoknya pelan.

Si Setya malah cengengesan. "Sorry. You're also the only boy whom I want to kiss in the lips anyway," balasnya lalu memberikan kecupan ke tepi bibir Vano.

Ah. Pasangan bucin ini. Syukurlah mereka nggak harus saling berselisih disebabkan dare lumayan nekat tadi.

"Sometimes, I forgot that you're actually the most clever person among us," timpal Dyas, tampak udah menyerah.

"I know right!" seru Setya bangga sambil menggandeng erat tangan Hannes tersayangnya untuk dibawa duduk lagi ke sofa.

"I fall in love with you again. Today."

Gue dan Saga saling melirik sesudah mendengar ungkapan super norak dari Vano buat sohib gue itu.

"Sekarang, ayo kita lanjut permainannya!" sorak Setya masih penuh semangat, dan sekonyong-konyong melakukan tektik memutar botol ala Zyas. Asal dibelokkan doang ke arah sosok yang duduk di sebelahnya. "Hannes!"

Vano terkekeh. Mengacak-acak rambut Setya gemas terlebih dulu sebelum menyuarakan pilihan, "Okay. Gue pilih ... truth. Dari Saga."

"The last time you had sex?"

KENAPA MULUT ORANG-ORANG BIADAB DI SINI PADA LICIN BANGET, SIH. GAMPANG BANGET NGUTARAIN TRUTH SERTA DARE PAKE EKSPRESI LEMPENG DENGAN KECEPATAN NGOMONG 10KM/JAM. Bodo amat. Gue asal ngitung, ya.

Lihat, tuh. Yang ditanya, yang mendengar pertanyaan yang si Bangsat lontarkan jadi pada diam semua. Beradu tatapan secara canggung, diiringi dehaman dari Zyas yang gue tebak pasti emang sama-sama penasaran juga.

Vano nyengir lebar, kebiasaannya pas mulai gugup. "Emm, that ... actually, just a few hours ago. In my car."

Jawaban darinya bikin gue refleks menjitak kepala Setya. "Dan elo sibuk ngeledek gue yang tadi baru selesai ngeseks sama si Bangsat. Dasar laknat kalian," sembur gue yang lantas baru menyadari sesuatu. "Eh, tapi gue turut seneng dengernya. Karena artinya, sekarang elo udah berani begituan sama si Vano, dong."

Omongan gue membuat Setya dan Vano sama-sama melotot.

"W-what is that mean, Febri? Kenapa dia bi--"

"Okay, next. Next! Hannes, putar botolnya." Setya dengan sengaja menyela perkataan cowoknya dan langsung aja bantu menaruh tangannya ke botol yang sigap diputar walau muka Vano masih tampak kebingungan.

Botol berputar cukup kencang, bergerak ke sana-kemari sampe akhirnya berhenti. Menunjuk tepat ke posisi gue yang menarik napas panjang. Bersiap-siap mendapat giliran.

"Awww. Akhirnya botol itu sampe juga ke Feryan!" Gak tau deh kenapa si Zyas yang tampak paling senang.

Mungkin dia masih ngarep untuk ngasih gue dare buat lari telanjang.

"Truth or dare?" tanya Saga.

Dyas gue lirik sebelum ragu-ragu menjawab, "Dare, deh. Dari Dyas. Supaya elo lega, siapa tau elo mau ngasih dare balasan buat gue, 'kan."

Bibirnya yang mengkilap mengulas senyum lempeng menangkap penawaran gue. "Emangnya ... kamu siap nerima dare apa pun?"

Anggukkan patah-patah gue tunjukkan disertai ringisan. "Mau nggak mau? Asal lo jangan nyuruh gue lari telanjang atau nyium bibir cowok selain Saga, lebih parahnya, nyuruh gue begituan sama mereka," ungkap gue agak gamang.

Si Bangsat seketika memutar bola mata. "That's too crazy. As if I'm gonna allow it if that's really happen!" sergahnya udah emosi aja.

Yah, emang serem banget kalo sampe gue dikasih dare suruh ngeseks sama cowok lain. Nggak sudi juga lubang bool gue dimasukin kontol selain Minions milik Saga.

Dyas menghela napas, menyusul mengangguk seolah paham maksud permintaan gue setelahnya berkata, "Well, okay. Then go ahead."

"Apa?" Titah darinya beneran nggak mampu gue mengerti.

Gue disuruh ngapain, hee?

"Kiss him. In front of all of us. Your boyfriend," ujar Dyas memperjelas.

Mata gue mendelik gak percaya. ANJIR. Asli? Masa harus itu dare yang dia kasih ke gue?

"S-serius? Gue harus cipokan sama Saga di sini? Sekarang?" Sontak aja gue celingukan gak keruan sebab resah, nggak siap andai harus cipokan di depan banyak orang.

Dyas mengangguk lebih yakin. "Yes. Dan bukan cuma ciuman biasa, ya," tambahnya yang terang aja makin memperparah rasa gelisah gue.

Tahu-tahu Saga berbisik, "Nggak apa-apa, 'kan? Gue udah sering nyium elo juga di depan mereka."

"Tapi, cuma kecupan biasa, Bangsat. Kalo cipokan yang begitu, gue malu." Gue balas berbisik sambil melotot gemas padanya yang pasti nggak punya sedikit pun bimbang mengenai dare ini.

"Anggap aja kami semua nggak ada, Feryan." Zyas malah nimbrung sambil cengar-cengir. "Ayo. Aku mau lihat teknik mencium kamu kayak gimana sih, sampe bisa bikin Juanda cinta setengah mampus ke kamu."

HADEEEUH. KEKEPOAN DIA SUNGGUH SANGAT NGGAK BERFAEDAH.

"Cium!" Vano bersorak.

MULAI NYALA KOMPORNYA! BULE JELMAAN TIANG SIALAN.

"Cium! Cium! Cium!" Disusul oleh Setya dan Zyas yang sekarang ikut berisik juga.

Kacau. Kepengin gue tampol mulut mereka semua jadinya.

Jantung gue deg-degan udah macam baru pertama kali kepengin cipokan sama si Bangsat. Membasahi bibir, lalu melihat Saga melakukan hal serupa membuat gue meneguk ludah secara susah payah. Perlahan-lahan, gue memajukan wajah untuk mulai mencium dia.

"No tongue!" desis gue memperingatkan seraya memejamkan mata saat dia turut memperpendek jarak di antara paras kami berdua.

"No tongue, no fun, Baby." Kemudian langsung menempelkan mulutnya ke bibir gue.

Awalnya gue diam, pasif. Ketika si Bangsat mengulum bibir bawah gue berulang-ulang, menjilat hingga menghisapnya. Gue berusaha untuk nggak terpancing dan pasrah menerima. Sayangnya, lidah dia malahan berhasil menerobos masuk sewaktu gue berusaha menghirup napas melalui mulut. Dan terlalu sulit bagi gue menolak daging nggak bertulangnya yang kini tengah bergerak di dalam rongga mulut gue, mengajak lidah gue menari bersama, bertukar saliva. Sampe membuat gue udah nggak lagi memikirkan akan jadi gimana reaksi kawan-kawan kami berdua.

Akhirnya, gue memeluk erat pinggang Saga. Berciuman seakan-akan kami berada di penghujung nafsu dan takut mati apabila nggak sanggup terlampiaskan. Menikmati salivanya yang menguarkan aroma melon, membiarkan dia meraba perut gue di balik kaus. Setelah itu terkesiap dan sigap menyudahi ciuman saat si Bangsat malahan menaruh tangan gue di atas selangkangan dia yang menggembung.

COWOK SANGEAN BIADAB.

Gue lagi-lagi meneguk ludah seraya mengusap mulut demi menghapus jejak saliva yang mungkin aja membekas. "Eum, u-udah cukup, 'kan?" tanya gue risih sendiri, nggak berani menatap satu pun kawan gue yang ada di ruangan ini saking malu.

"Well, yes. That's pretty impressive," respons Dyas cukup bikin lega.

Meski entah deh ekspresi mereka semua kayak gimana sekarang.

"Wow. Feryan, kayaknya aku harus belajar cara ciuman dari kamu, deh. Nggak aku sangka ternyata kamu ... cukup ahli dalam hal berciuman. Aku kira, setiap Juanda mulai nyium kamu, kamu seketika berubah jadi patung." Komentar Zyas tambah bikin pening.

"Zyas, itu jelas nggak mungkin, lah. Elo pikir, Feryan ini tipe bottom pasif pasrahan yang nggak becus ngapa-ngapain sedangkan dia sekalinya ngasih cupangan ke cowoknya sampe nyaris menuhin seluruh badan?" Setya lalu menimpali.

Zyas mendecakkan lidah. "Iya juga, ya. Kok aku nggak mikir ke sana, sih. Habisnya nyali dia 'kan macam agar-agar belum jadi, Set. Makanya aku sedikit salah paham."

BACOT TERUS. Heran gue kenapa si Setya sama Zyas makin ke sini makin kompak aja kalo udah berurusan buat ngejek gue. Nggak tau apa mereka di sini gue udah bener-bener malu bukan kepalang sampe rasanya kepengin ngomong aja sungkan. Capek gue.

Tangan Saga tiba-tiba mengusap-usap puncak kepala gue. "Guys, gue tau kalian masih mau ngeledekin cowok gue lebih jauh. But, please berhenti. Kasian dia."

Mata gue menyipit, kemudian menatap si Bangsat gak percaya. DIA? KASIAN SAMA GUE? TUMBEN. Padahal biasanya ini orang yang paling semangat setiap berniat mempermalukan gue.

Alhasil gue mengembuskan napas lesu, setelah itu menatap satu per satu dari mereka secara sengit. "Nggak apa-apa. Terusin aja sampe kalian puas. Gue udah gak peduli. Habis game ini selesai, kalian bukan temen gue lagi," ucap gue masih berusaha menahan kesal, tetapi akhirnya ambyar juga. "Arrrghhh! Bangsul kalian semua!" jerit gue diakhiri pukulan ke meja dan ngebuat botol sampe berguling.

"Awww, jangan gitu dong, Feryan." Zyas manyun, tetapi masih memasang raut geli.

Sedangkan Setya menepuk-nepuk bahu gue. "Sorry, deh. Sorry."

Gue berdiri dari sofa sembari berkacak pinggang. "Bodo! Gue bakalan musuhin kalian!" ungkap gue mengancam, "Seenggaknya, sampe dua menit ke depan."

"Nggak sekalian dua detik aja? Nanggung amat," sahut si Bangsat sambil terkekeh.

"Bacot lo!" maki gue, setelah itu memegangi perut. "Ngomong-ngomong, gue mau makan lagi."

Perkataan gue langsung ngebuat mereka semua tercengang.

"Seharusnya kita nggak perlu kaget, tapi beneran, deh. Perut lo itu terbuat dari apa, sih?" Vano bertanya, menggeleng-geleng masygul keheranan.

Padahal setau gue porsi makan kami sama banyaknya. Walau yah, rasa lapar gue selalu datang lebih cepat, sih.

Gue mengangkat bahu nggak peduli. "Nggak tau. Gue udah kebanyakan bacot dan stres dari tadi, makanya sekarang lapar. Game-nya udah selesai juga, 'kan?"

Toh, kami semua udah kebagian dapat giliran.

Saga mengangguk dan turut berdiri. "Iya. Game-nya kita udahin sampe sini aja."

Dyas pun berdiri juga dari duduknya. "So, that means, I'm allowed to come back to my own self again, right?"

Gue tersenyum gak enak. "Iya. Dan gue minta maaf, kalo dare gue agak norak dan ngeselin," balas gue pada Dyas yang sekarang sudah memakai lagi kacamata seraya mengacak-acak tatanan rambutnya.

"It's okay. Yang gue dapatin ini nggak sebanding sama rasa malu yang lo tanggung, kok."

Respons itu bikin gue meradang lagi. "Dasar sadis kalian semua!" cibir gue dan melangkah pergi.

Namun, nggak lama laju kaki gue berhenti lagi karena gue cuma berjalan sendirian. Menoleh ke belakang, gue mendengkus mendapati si Bangsat yang malah diam memandangi gue masih dari ruang santai.

"Kenapa lo masih diem? Gue lapar. Temenin gue makan."

Dia ketawa mendengar omelan gue, lantas mulai berjalan kemari. "Oke, oke! Kayak cewek PMS lo, ya. Ngambek terus."

Sembarangan aja kalo ngatain orang, ini lumut akuarium.

"Gue hajar itu mulut baru tau rasa lo."

"Pake mulut lo? Sini."

Gue mengerling sebal, tapi akhirnya nyengir juga dan benar-benar mencium bibir Saga secara singkat. "Tuh! Puas lo?"

Dia ikutan nyengir, lalu malah mengajak gue berciuman lagi. DUH. Ya ampun. Bisa-bisa kami jadi bahan tontonan lagi kalo begini urusannya.

"Ih, ini dua orang kayaknya nggak ada puasnya cipokan terus. Lama-lama bibir suci aku ikutan nangis, nih."

Celetukan Zyas membuat ciuman kami terlerai gara-gara mendadak ketawa.

Emang dasar. Paling ahli banget ini orang ngacauin suasana yang lagi seru-serunya.

"Ayo, katanya elo lapar." Saga pun menggandeng tangan gue menuju ke dapur.

"Kamu nggak sekalian ngajak aku, Juanda?"

"Nggak tertarik," jawab si Bangsat tanpa berniat menoleh dulu pada Zyas yang terang aja manyun.

Aduh. Capek badan, capek ketawa juga gue hari ini. Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang sableng emang paling asik.

"Feryan, kamu gak mau ngajak aku?"

"Nggak. Nanti lo cuma bakalan ngeganggu kami."

"Huh. Aku benci kalian!"

.

"Unconditional, unconditionally~ I will love you, unconditionally. Oww, yeah! There is no fear now, let go and just be free. Cause I will love you, unconditionally~ Huuuu."

Setya menutup lagu Unconditionally dari Katy Perry dengan senandung penutup penuh merdu. Diakhiri petikan gitar dari Saga yang menemaninya bernyanyi. Mereka saling memberi acungan jempol, setelahnya bertepuk tangan atas penampilan duet mereka.

"YEEEY!" Setya menjerit dengan nada super tinggi dan bikin kami ngakak.

Saga menggelengkan kepala sebab takjub. "Pretty amazing. Kayaknya, elo harus mulai mempertimbangkan ikut audisi nyanyi. Like, in The voice? Or even Indonesian Idol?" Gitar di pangkuan dia letakkan ke kursi santai yang kosong.

"Or America's Got Talent," sambung Vano dan membuat yayang Febrinya mengernyit.

"That's too far, Hannes. Nyanyi itu cuma hobi gue. Cita-cita gue masih sama. Kepengin punya galeri seni sendiri, lalu gue jualan karya gue di sana."

Konsisten banget sohib gue ini sama cita-citanya. Gak kayak gue yang bahkan belum mampu nentuin tujuan hidup kecuali; kepengin terus bisa makan enak dan punya duit banyak. Ehehehe

"I know you'll make it," komentar Vano penuh optimisme.

Setya gue lihat tercenung sebentar, lantas mengangkat bahu pelan. "I hope so. Orang tua gue selalu maunya gue jadi ... euh, PNS, kuliah dan masuk jurusan ekonomi. Akuntansi," tuturnya menampakkan raut nggak suka. "Mana pernah mereka nanya keinginan gue yang sebetulnya apa."

Gue paham, tuh. Mamah dan Papah gue juga mana pernah nanya gue maunya apa selaku anak mereka. Dan malah sibuk nyuruh gue ini dan itu banyak sekali sedangkan gambaran gue nggak sampe ke sana.

"Oh, iya. Gue baru ingat sesuatu." Saga berdiri, melangkah agak menjauh untuk lalu menghadap kami semua. "Bicara soal kuliah. Sebenarnya, tujuan gue ngumpulin kalian semua di sini juga karena gue mau ngasih kabar. Mengenai kuliah gue."

Mendengar hal itu, kami sontak saling beradu pandang. Ada apaan, sih? Kok dia sebelumnya gak ada bilang apa pun ke gue. Bikin mikir yang nggak-nggak aja.

"Kenapa, Juanda? Jangan bilang kamu harus pergi lebih cepat ke UK? Di saat pandemi kayak gini?"

Tebakan Zyas nyaris serupa sama apa yang langsung gue pikirin. Tapi gue harap sih, bukan itu kabar yang bakalan gue dengar.

Si Bangsat tersenyum sembari menggelengkan kepala pelan. "No. Bukan itu." Lebih dulu dia berdeham sebelum melanjutkan, "Tapi, adalah gue ... yang udah memutuskan untuk menunda kuliah ke UK."

Butuh waktu beberapa detik untuk gue mencerna kabar yang diberitahukan Saga. Dia mau ... apa? Hah? BARUSAN DIA BILANG APA? GUE NGGAK SALAH DENGAR, 'KAN?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com