Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

53. PERSELISIHAN

Sedikit peringatan,
Hati-hati. Anda mungkin akan emosi membaca BAB 53 ini. 乁༼☯‿☯✿༽ㄏ

Minta maaf karena komen-komen kemarin belum bisa aku balas, ya. Hari ini sibuk banget ditambah akunya udah ngantuk banget. Huhuhu. Untuk itu, aku izin bobo dulu. 😅🙏
Dan seperti biasa, jangan lupa tinggalkan vote serta komentar kalian untuk cerita ini. 🌈❤️

Good nite. (*'ω`*)/

__
___
____

Gue, Saga dan juga Mamah masih sama-sama tercengang dikarenakan kalimat yang barusan Tante Adela lontarkan. Mengenai dia yang menyimpulkan bahwa Mamah serta Om Julius memiliki hubungan istimewa.

Hubungan istimewa kayak gimana, maksudnya? Bahwa mereka menjalin ikatan lebih dari teman, begitu? NGACO BANGET, ANJIR! Yang ada anak-anaknya di sini yang justru punya hubungan terlarang. Tapi mustahil gue bisa dengan leluasa mengungkapkannya, 'kan?

"Emm, maaf, Tante. Tapi, sepertinya Tante salah paham." Si Bangsat berkata dengan ekspresi yang jelas nggak nyaman. Pasti dia nggak terimalah ayahnya digosipin punya hubungan sama Mamah, woi. Emang ngasal banget calon istri si papah, nih. "Daddy--maksudnya ayah saya dan Tante Desy nggak memiliki hubungan semacam itu."

"Kamu yakin?" balas Papah dengan senyum miring yang terkesan sinis. "Yang saya lihat, ayah kamu itu sangat perhatian sekali pada Desy dan juga putra saya. Jangan pikir saya nggak tau. Dari mulai bantu membayarkan biaya rumah sakit hingga menanggung seluruh biaya pengobatan Feryan. Yang memberi modal usaha untuk Desy juga ayah kamu, 'kan? Bahkan dia nggak mempersalahkan motor kamu yang dirusak oleh Feryan sedikit pun. Saya juga tau setiap bulan ayah kamu masih sering mengirimkan uang pada Desy. Perlu digaris bawahi juga, semua itu Pak Julius berikan secara cuma-cuma. Itu benar, 'kan? Jika semua itu dilakukan bukan karena mereka punya hubungan. Lantas apa alasannya?"

Gue membisu dengan kedua mata melotot kaget menangkap seluruh penuturan Papah yang tepat sasaran. GILAAAAA! Kalo begitu cara Papah balik menyerang, gimana cara gue membalasnya, Bambang? Seketika pusing nih kepala lantaran mendadak berpikir keras demi mengemukakan alasan yang sekiranya masuk akal.

Di samping gue, Mamah menggelengkan kepala lemah. Tampak kesulitan menyanggah juga. "Aduh, Bang Ardian. Abang salah paham. Bener kata Nak Saga. Pak Julius sama saya teh nggak ada hubungan apa-apa," ujarnya dengan nada lemah. Bisa jelas gue lihat Mamah mulai merasa tersudut.

"Nggak ada hubungan apa-apa, tapi kamu mau segala repot-repot mengajak anaknya jauh-jauh datang kemari. Padahal dia bukan siapa-siapa." Papah betul-betul menolak percaya.

Kali ini Mamah meneguk ludah kalut. Matanya menatap gue dan Saga lebih dulu sebelum merespons, "Kan udah saya bilang, Nak Saga ini udah saya anggap anak sendiri."

Suara tawa hambar meluncur dari mulut seorang Ardiansyah Surya. "Nah, itu dia. Anak dari pria yang akan kamu jadikan suami baru. Benar, 'kan?"

Semata-mata Mamah kian dipersulit oleh setiap pernyataan semena-mena Papah. "Bukan, Abang. Semua teman-temannya Fery emang udah saya anggap anak sendiri!"

Papah tersengih sengit. "Tapi di antara anak-anak itu dan orang tua mereka, nggak ada yang seperhatian Pak Julius juga Saga kepada kalian, bukan?" Dia mendengkus. "Buka mata kamu, Desy. Mustahil bisa ada orang asing yang sebaik itu kepada kamu dan anak kamu kalau dia nggak memiliki maksud tersembunyi."

"Apakah Om berpikir ayah saya nggak tulus kepada mereka? Begitu maksudnya?" tanya Saga yang akhirnya nggak mampu berdiam diri lagi.

SUMPAH DEMI APA, NADA SUARA DAN SOROT MATANYA MENGERIKAN!

Membuat gue sigap memegangi lengannya. Berusaha menenangkan emosi yang mulai muncul di paras si Bangsat yang juga berangsur memerah. Jangan sampe terjadi perselisihan yang nggak diharapkan di sini.

Secara santai dan tanpa rasa bersalah, Papah menjabarkan, "Bukan Saga. Saya justru bersyukur kalau emang ayah kamu menjalin hubungan dengan Desy. Dia seorang janda. Dan ayah kamu juga seorang duda. Kebetulan kamu dan Feryan pun berteman baik selaku anak mereka berdua. Jadi, nggak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Iya, 'kan? Saya yakin, mereka berdua akan cocok jika--"

"CUKUP, PAH!" Ketika melihat kedua tangan Saga mulai mengepal erat, gue buru-buru menyela demi mencegah kemungkinan buruk yang bisa aja terjadi. "Tolong, berhenti. Papah jangan asal membuat fitnah. Terlebih untuk seseorang sebaik Om Julius. Fery nggak enak pada beliau. Pada Saga juga. Tolong, hargai perasaan mereka."

Mendengar penuturan gue, Papah malah tertawa terbahak yang sontak membingungkan kami semua. "Fitnah di bagian mananya, hah? Papah sangat yakin Pak Julius hanya nggak siap mengakui hubungan dan perasaaannya untuk mamah kamu, Fery. Karena kalian cuma orang biasa, sedangkan dia adalah orang berada. Mungkin takut bakal mempengaruhi karirnya sebagai artis. Kalau sampai ketauan punya hubungan dengan wanita seperti mamah kamu," cecarnya yang serta-merta turut mengundang kemarahan gue.

Namun belum sempat gue bicara, tiba-tiba aja si Bangsat berdiri dengan ekspresi berang di wajahnya seolah berniat menantang Papah. "Maaf, Om. Maksud Anda apa bicara seperti itu tentang Tante Desy dan juga ayah saya?"

Si Papah sialannya masih dengan berlagak santai menanggapi, "Apakah ada yang salah dari perkataan saya barusan? Bukankah faktanya emang begitu?"

Saga mendelik nggak terima. Sedangkan Papah menatapnya tak gentar kayak yang emang kepengin menantang. Bangsul!

"A-aduh, udah. Udah!" Tante Adela turun diri menengahi di antara calon suaminya dan Saga. "Jangan malah pada ribut, atuh. Baru aja tadi kita maaf-maafan. Masa udah berselisih kayak gini lagi?" ucapnya disertai senyum yang terkesan dipaksakan. Kemudian menarik sosok yang mirip dengannya ke hadapan kami. "Oh, iya. Kenalin, deh. Ini teh adik kembar--"

"Maaf. Saya permisi dulu!" Si Bangsat memotong kalimat Tante Adel untuk lantas beranjak dari ruangan ini.

"Eh, Nak Saga? Mau ke mana?" tanya Mamah.

"Saga!" Disusul gue yang juga coba mencegah kepergiannya.

"Tuan Saga?"

Begitu Mas Bayu memanggil, barulah Saga menoleh. "Just leave me alone. I need to cool my head," ungkapnya yang sesudah itu menerobos kerumunan orang-orang yang entah sejak kapan berdiri memenuhi pintu. Mana sambil bawa-bawa HP segala.

NORAK BENER! Keributan dan gosip gak bermutu aja dijadiin bahan tontonan. Cih!

"Lihat, tuh. Kelakuan dari anak orang kaya. Ada yang sedang bicara, tapi dia nggak punya sopan santun dan malah pergi gitu aja."

Komentar Papah kontan aja makin menguji kesabaran yang gue mati-matian pertahankan. Alhasil gue memandang Papah dengan berani untuk melawannya. "Papah! Tolong jangan sembarangan berpikiran jelek tentang Om Julius dan Saga!"

Telunjuk Papah tahu-tahu menunjuk gue. "Nah, 'kan. Anak ini juga lebih membela orang lain dibandingkan papahnya sendiri. Lihat 'kan, Del? Inilah akibatnya jika derajat kita nggak lebih tinggi dari orang-orang yang punya uang. Apa pun yang kita perbuat, akan tetap salah di mata mereka. Karena kita nggak bisa memberikan lebih dari apa yang mereka dapat dari orang-orang kaya itu!" ujarnya ditutup dengan suara cukup tinggi.

"Bang Ardi, tolong! Udah cukup!" Mamah berseru dengan nada memelas. Raut wajahnya yang udah tampak sangat frustrasi dan lelah membikin gue nggak tahan untuk tetap berdiam di sini.

Akhirnya, gue pun berdiri dan bersiap untuk pergi menyusul si Bangsat. Tapi sebelum betul-betul berlalu, nggak lupa gue menyampaikan hal penting teruntuk Papah. "Bukan cuma karena uang, status ataupun perhatian mereka yang bikin Fery dan Mamah begitu menghormati Om Julius, Pah. Tapi Papah perlu tau, bahwa Om Julius lebih mampu menjadi sosok papah yang Fery inginkan ketimbang Papah selaku papah kandung Fery. Permisi!"

"Fery!" Mamah dan Tante Adel menyebut nama gue bersamaan yang tentunya nggak gue hiraukan.

"DASAR ANAK KURANG AJAR! KEMBALI KAMU KEMARI! FERY!"

Apalagi bentakan dan makian dari Papah. Bodo amat! Ngomong ajalah sama pantat gue yang mau banget ngentutin dia!

"Punten. Saya mau keluar," pinta gue sembari berusaha menerjang barisan para netizen kepo di sini sekuat tenaga. Setibanya di luar, gue pun celingukan mencari-cari keberadaan Saga. "Emm, maaf. Ada yang lihat Saga tadi pergi ke mana?"

"Anak artis yang bule te'a? Tadi aku mah liat dia masuk ke mushola, da."

Jawaban yang gue dapatkan terang aja bikin gue mengangakan mulut. "Hah?"

.

ANJIR! TERNYATA SI BANGSAT BENERAN ADA DI DALAM MUSHOLA YANG LETAKNYA BERSEBERANGAN DENGAN RUMAH BAGIAN SAMPING TANTE ADELA, DONG! Jangan-jangan bule sipit ini berniat jadi mualaf? Eits. Ini di mushola. Tempat suci. Dilarang mengeluarkan bahasa yang nggak pantas dan terkesan kotor. Pamali.

Gue memperdengarkan dehaman laun. Sekadar demi menarik perhatian Saga yang sayangnya cuma menoleh sekilas. Lalu gue hampiri, duduk di dekatnya yang memilih bersila di pojokan mushola yang tertutupi tirai hijau jendela.

"Elo ngapain di sini?" tanya gue yang jadi ikutan bersila juga.

Dia menghela napas panjang dan menjawab, "Gue nggak tau apakah ada gereja di sekitar sini. Makanya gue masuk ke rumah Tuhan terdekat. Meski ini bukan rumah Tuhan yang gue yakini. Yang jelas, gue hanya ingin menenangkan diri. Because I'm really angry right now."

Pengakuan itu jelas dapat gue mengerti mengingat apa yang barusan terjadi di dalam rumah Papah tadi. Gue pun tersenyum kecut ke arahnya. "Maafin papah gue."

Namun mendapati kata maaf itu, nggak disangka-sangka justru mendatangkan ekspresi nggak senang di wajah Saga. "Buat apa elo repot-repot minta maaf atas sikap Papah lo yang seperti itu? I won't accept any apology except he himself who'd said it! Damn!"

"Heh!" Mulutnya yang tadi mengeluarkan serapah spontan gue tepuk. "Jangan ngumpat di dalam sini, woi. Pamali."

Cowok gue ini memutar bola matanya. "Oke! I'm sorry to your Allah!" celetuknya yang sungguh menggelikan bagi gue.

Dasar cowok ... eh, gak boleh ngomong kasar di dalam sini.

Bahunya gue usap-usap pelan. "Mungkin seharusnya sejak awal elo emang nggak usah ikut ke sini."

Lagi, kata-kata gue seolah membuat Saga nggak suka. "Hah?"

WADUH! Salah lagi apa, ya?

Gue meringis. "Sorry. Demi gue elo malah jadi dibikin sakit hati dan tersinggung karena papah."

Dia mengernyit dengan raut muka muak. "Don't be sorry just to defend an asshole like him."

"Hey! Elo juga jangan sembarangan ngatain orang di dalam sini!"

"What?" Sebelah alisnya naik. "Sekarang elo nyalahin gue?"

"Gue nggak ... Ya ampun, Bang--Saga." Sumpah gue beneran bingung harus gimana menghadapi dia. "Elo tuh bener-bener lagi emosi ya sekarang."

"JELAS GUE EMOSI! SIAPA EMANG YANG NGGAK AKAN TERPANCING EMOSINYA KETIKA ORANG TUA KITA DIOMONGIN DENGAN CARA SEPERTI ITU? HAH?"

Bentakan super sadis yang Saga lontarkan sukses bikin gue terlonjak dan nyaris terjungkal. Demi cari aman, gue pun buru-buru berdiri menjauh. Bersiap pergi dari mushola ini. Daripada nanti gue kena marah lagi.

"Sorry. Gue bakal ninggalin elo sendirian. Percuma kayaknya kita bicara kalo diri elo masih dikuasai amarah begini." Sebelum berlalu, nggak lupa gue mengelus puncak kepalanya dulu. "Elo harus tau, gue selalu ada di pihak lo sekalipun Papah adalah papah gue, Saga. Gue keluar dulu."

Setibanya di luar, gue mengembuskan napas panjang seraya memegangi dada yang terasa cukup nyeri. Dibentak begitu oleh si Bangsat setelah sekian lama bener-bener memberikan efek yang luar biasa. Selain kaget dan sakit hati, gue pun berpikiran bahwa sosok Saga sedang nggak menjadi dirinya. Yang mana, gue jelas memaklumi. Toh, semua ini terjadi akibat perbuatan Papah yang salah.

"Aa Fely!"

Laju kaki gue terhenti gitu aja tatkala mendengar seruan dari gadis kecil yang sedari tadi gue sempat cari-cari. Dia tampak melambai-lambai pada gue dari gendongan seorang cowok, untuk kemudian melompat ke gendongan gue dengan girang.

"Sindy!"

Gadis berusia 5 tahun ini memeluk gue erat, setelah itu berceloteh, "Ini, Mang. Aa Felyan. Aa-nya Sindy."

Gue refleks bersalaman dengan pemuda yang Sindy panggil Mang ini. "Kenalin, Feryan."

Dia membalas, "Daffa. Adiknya Teh Dela."

Oh. Adiknya. Jadi, selain punya kembaran, Tante Adela punya adik cowok juga. Rame juga keluarganya.

"Aa Fely lama!"

Keluhan Sindy membuat gue kembali fokus kepadanya. "Sindy, kenapa baru nongol?"

Bocah ini memajukan bibirnya, terlihat berpikir seolah kebingungan menjawab. "Abis tidul tadi."

"Oh. Sindy habis tidur siang?" tanya gue lagi.

"Iya." Kepalanya mengangguk-angguk lucu.

"Dari semalam soalnya dia nungguin Aa Feryannya datang. Jadi kurang tidur." Daffa bersuara untuk bantu menjelaskan.

Bikin gue mencubit pipi Sindy gemas dan memunculkan tawa renyah darinya. Nggak mengira gue bisa amat disukai oleh bocah ini, dong. Padahal kami cuma baru ketemu satu kali dulu.

"Fery! Daffa! Sindy! Sini!"

Gue, Daffa serta Sindy melongok serempak pada sumber suara yang memanggil kami. Melihat Tante Adela melambaikan tangan bersama Mamah yang berdiri di sampingnya. Meminta kami masuk ke rumah Papah yang udah sepi dari kumpulan para tetangga kepo.

Baguslah. Mendingan mereka lanjut bikin kue untuk acara besok alih-alih mengganggu ketenangan.

"Fery, sini. Kita makan dulu," Tante Adela menarik Sindy dari pangkuan gue, kemudian menyodorkan piring. "Ambil nasi yang banyak. Oh, iya. Kenapa nggak ngajak Saga masuk sekalian? Kasian, loh. Pasti dia juga lapar."

"Halah! Biarkan aja dia. Anak sombong macam dia mana mau diajak makan makanan kita."

Gue urung menyiduk nasi menangkap sindiran Papah teruntuk cowok gue yang bahkan sedang nggak berada di sini. Baru aja gue berniat membalas, akan tetapi perkataan Mamah duluan menanggapi.

"Bang, tolong atuh! Jangan begitu sama Nak Saga. Gak enak sama dia sayanya."

Haaah. Capek gue demi apa. Melihat Mamah memelas nggak ada habisnya pada Papah yang nggak sedikit pun mempedulikan.

"Kamu lebih mikirin perasaan dia daripada perasaan saya?" Papah bertanya dengan ekspresi sengit yang kentara.

"Akang! Udah, deh!" tegur Tante Adela yang batal mengisi lauk ke piring Papah. "Akang teh lupa janji Abang sama Dela, ya?"

Sindy yang tengah menikmati wortel di tangannya pun sampai memandang kedua orang tuanya secara bergantian.

"Persetan dengan semua janji itu!" gertak Papah sembari melempar sendok ke atas piring sampe menciptakan bunyi berisik. Akibatnya, kami semua terperanjat. "Saya ini merasa direndahkan oleh anak sombong yang mentang-mentang ayahnya artis. Lalu anak ini!" Telunjuknya mengarah ke gue. "Anak nggak tau diri yang hanya tau cara melawan orang tua!" Lantas beralih menunjuk Mamah dengan sorot mata berang. "Juga wanita yang nggak tau diuntung itu!"

Kalimat demi kalimat itu tampak menjadikan Tante Adela terpukul. "Astaghfirullah al adzim! Akang Ardian! Nyebut atuh!" Beliau sampai udah bergetar suaranya. Gue lihat sudut matanya memerah sebab menahan tangis, lalu menghela napas panjang disertai isak parau. "Kalo Akang mau begini terus, lebih baik pernikahan kita besok dibatalin aja!"

"Apa kamu bilang?" Papah terang aja melotot nggak setuju.

Kemudian calon istri papah gue ini berdiri tanpa lupa menggendong putri semata wayangnya. "Ayo, Dila, Daffa, Sindy. Kita pulang!" ajaknya yang lalu sungguh-sungguh pergi dari rumah Papah bersama keluarganya.

"Tunggu dulu! Dela! Kemari kamu!" Bahkan panggilan Papah aja diabaikan habis-habisan.

Meninggalkan gue yang tertegun hebat. Nggak mampu berbuat apa-apa saking terkejutnya.

"Biar saya yang bicara sama Adel, Bang."

"Nggak usah!" Mamah berhenti bergerak disebabkan larangan Papah. "Siapa yang tau apa yang bakal kamu bicarakan sama dia mengenai saya nanti!"

ANJIR! GUE PUNYA PAPAH SIFAT JELEKNYA KENAPA BISA SEBEGINI BANYAK, SIH! BENER-BENER PAPAH TURUNAN DAJJAL!

"Papah ini sebetulnya punya masalah apa, sih?" tanya gue sambil mendelik heran padanya. Merangkul Mamah yang terlihat stres padahal belum ada setengah hari kami berada di tempat ini. "Sejak kedatangan kami kayaknya Papah ini marah-marah terus!"

"Ya, itu karena kalian yang cari gara-gara!" sembur Papah nggak kalah emosi. Kedua matanya yang dikuasai kemarahan melotot, dengan telunjuk yang lagi-lagi dilayangkan pada kami. "Kalian datang ke sini, tapi sambil bawa-bawa anak artis. Mau pamer, hah? Sombong karena punya kenalan orang kaya yang sebentar lagi akan jadi keluarga baru kalian? Begitu, 'kan?"

Ucapan panjang lebar Papah cuma bikin gue tercengang. Kayak ... HAH? ASLI GUE NGGAK PAHAM SAMA SEKALI MAKSUD DARI TUDUHAN SUPER NGAWURNYA. INI ORANG LAGI KESURUPAN APA, SIH?

"Abang ini bicara apa, sih?" Mamah seakan mampu mewakili pertanyaan dari pusat pikiran gue. "Harus berapa kali saya katakan, hubungan saya dan Pak Julius nggak seperti yang Abang pikir. Demi Allah, Bang!"

Namun mendengar penjelasan Mamah, yang ada Papah malah makin terbawa emosi. "NGGAK USAH SOK SUCI PAKAI NYEBUT-NYEBUT NAMA ALLAH!" murkanya yang di luar dugaan melempar piring ke arah kami kemudian.

Gue dan Mamah terkesiap hingga refleks saling merangkul. Akan tetapi beruntung lemparan benda beling itu berhasil ditangkis oleh Mas Bayu yang sigap melindungi kami dengan cara memukul piring ke sudut ruangan. Menjadikan piring itu pecah menjadi beberapa bagian.

Ya ampun! Nggak kebayang gue semisal piring itu mengenai kepala gue apalagi Mamah.

"Pak! Saya mohon kendalikan emosi Anda!" pinta Mas Bayu yang lantas berdiri seolah siap siapa menjaga kami berdua.

"OH. KAMU BERANI MEMERINTAH SAYA?" Papah yang nggak terima dilawan sontak berdiri juga dari duduknya sambil mengangkat tinju. "KAMU ORANG LUAR! NGGAK BERHAK UNTUK IKUT CAMPUR!"

"PAPAH!" jerit gue cemas begitu tinju itu dilayangkan tanpa ragu oleh Papah.

"Okay, that's enough!" hardikan seseorang yang mendadak muncul dari belakang kami berhasil membekukan gerakan Papah.

Yaitu Saga yang berdiri dengan memasang ekspresi dingin bercampur marah. DIA BETUL-BETUL SEDANG MARAH.

"Om berhenti sekarang atau saya akan memanggil polisi!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com