Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

59. PERTUKARAN

Semoga BAB 59 ini bisa menghibur kalian yang sebelumnya dibikin galau dan sedih-sedihan. (≧▽≦)

Jangan lupa vote sama komen aja pokoknya! 🌈❤️

__
___
____



"Fer!"

Mendengar suara Setya dari arah pintu, spontan aja gue melongokan kepala dari yang semula bersembunyi di dalam selimut.

"Ewww! Kamar jelek macam apa ini? Udah nggak ada warnanya. Sempit lagi."

Oh. Ternyata dia datang ke sini bersama Zyas juga.

"Zyas! Ini bukan saatnya untuk elo ngomentarin kamar ini."

Teguran Setya membuat Zyas tersadar. "Oh, yes. I'm sorry." Dia lalu buru-buru menghampiri gue. "Feryan, are you okay?" Memberi rangkulan sembari menepuk-nepuk pundak gue bagai seorang Nenek yang sedang menenangkan cucunya.

Gue menghela napas lantas menyingkirkan selimut. "Saga beneran nyuruh kalian datang, ya."

Mereka berdua gue lihat saling berpandangan, seakan tengah berbagi isi pikiran tanpa suara. Yang mana apa pun artinya, pokoknya gue nggak boleh tahu. Si Bangsat selalu punya cara untuk membungkam mulut mereka. Hhh.

"Elo kenapa? Gue denger tadi pagi elo pingsan lagi," tanya Setya seraya mengeluarkan camilan serta minuman dari kantong belanja yang rupanya dia bawa serta.

"Dan aku tebak, kamu sama Juanda juga berantem, 'kan?" ujar Zyas disertai tepuk tangan girang. "Yes! Akhirnya!"

"Zyas!" Sorakan Zyas seketika tertelan lagi lantaran Setya refleks menjambak rambut belakangnya.

"Awww! Aku cuma bercanda, Setya sayang." Cowok berdarah Palembang ini menjauhkan kepalanya dari jambakan maut Setya. "Gak usah dianggap serius, dong." Kemudian secara centil memeluk lengan Setya dan menyandarkan kepalanya.

Melihatnya gue cuma bisa geleng-geleng kepala. Setelah itu menjawab tanya mereka. "Ini salah gue, kok. Gue yang bikin ulah, makanya Saga jadi marah."

"Emangnya kenapa?" Kali ini mereka bertanya kompak, yang langsung aja gue beri penjelasan berupa cerita yang cukup lengkap.

Mengenai mimpi gue. Alasan gue yang masih nggak berani mengaku ke Mamah. Rasa takut dan khawatir yang merundung gue. Tentang gue yang tadinya telah yakin, tapi berakhir mengecewakan si Bangsat lagi. Semuanya.

Seusai menyimak seluruh penuturan gue, dua sohib gue yang sama-sama menyukai makeup ini terlihat berpikir keras sebelum menyuarakan pendapat.

"Hmmm, gimana, ya?" Zyas terdengar kebingungan.

"Yang jelas ini bukan salah lo, kok," cetus Setya yang membikin Zyas mengernyit gak setuju.

"Tapi Juanda nggak bisa dianggap salah juga, loh."

Setya mengangguk atas komentar yang Zyas ucapkan. "Iya. Mereka berdua punya alasannya masing-masing. Meski masalah yang lebih banyak ada di diri elo, Fer."

"Aku setuju," timpal Zyas yang lalu duduk di samping gue sambil melipat kedua tangannya. "Mana kamu baper cuma gara-gara mimpi. Aduh, tolong, deh. Kita ini hidup udah di tahun 2021, Feryan. Masa iya kamu masih percaya mimpi selebay itu bisa terjadi di dunia nyata? Menurut aku ya, palingan nanti Tante Desy cuma bakal ngeracunin kamu diam-diam, terus--"

"Zyas!" bentak Setya yang kontan memutus perkataan Zyas yang langsung aja nyengir.

"Ya, intinya gitu." Zyas menepuk bahu gue satu kali. "Menurut aku, kamu gak usah terlalu mikirin mimpi itu. Apalagi mimpi sialan kamu itu yang sampe bikin kamu dan Juanda berantem. Nggak lucu."

Setya mengangguk. "Yang dibilang Zyas bener, Fer."

"Aku gitu, loh!" Zyas mengibaskan poni depannya dengan gaya berlebihan.

Yang langsung aja dipelototi Setya. "Diem lo!"

"Ih! Setya gitu, deh."

Gue ragu-ragu mengambil kesimpulan, "Jadi menurut kalian, gue emang mendingan ngaku aja ke Mamah? Soal hubungan gue dan Saga ini."

"Untuk yang satu itu, keputusan kembali ke diri lo sendiri, Fer. Elo siap ataukah nggak untuk ngaku ke mamah lo," respons Setya yang mulai membuka satu wadah keripik kentang untuk dimakan, sambil dengan santai menduduki rak laci.

"Ugh! Gemes deh aku!" geram Zyas sembari mengacak-acak rambutnya yang buru-buru dirapikannnya lagi selagi mengeluhkan, "Kenapa sih kalian para bottom penimbun beban pikiran nggak blak-blakan aja? Supaya lebih bebas. Lebih enak. Kayak aku aja gimana. Aku cuma tinggal bilang sama Mami, 'Mam, aku suka sama Juanda. Dia tuh tipe aku banget, loh. Menurut Mami gimana?', terus aku sama Mami langsung ngerumpi cucok dari benua Australia sampe Afrika ngebahas cowok-cowok seksi di seluruh dunia. Favorit kami Chris Hemsworth, by the way."

Andaikan gue memiliki nyali sebesar Zyas. Bisa dengan mudah mengatakan bahwa gue suka ke cowok dan bahwa gue menyukai Saga yang nggak lain merupakan pacar gue. Kira-kira gimana jadinya, ya? Apakah Mamah juga bakalan bereaksi sama seperti Tante Sanita? Atau justru mengamuk selayaknya gambaran di mimpi gue?

"Mami elo beneran nggak marah atau ngomelin elo ya, Zy? Sama sekali?" tanya Setya penasaran yang dibalas gelengan mantap oleh Zyas.

"Nggak ada. Tapi, Papi ada ngomel sedikit, sih. Dia nyuruh aku buat nggak ngegodain Juanda karena gak enak sama Om Julius." Dilanjutkan dengan bisik-bisik, "Soalnya dulu Papi ngira Juanda tuh straight."

Setya menyemburkan tawa tertahan disambung sindiran, "Dia gay juga tetep aja nggak tertarik ke elo, tuh!"

Lubang hidung Zyas melebar sejadi-jadinya saking mendengkus keras. "Gak usah kamu ingetin pun aku tau, Setya. Huh!"

"Terus, reaksi Dyas gimana?"

Tanya gue kali ini membuat Zyas mendengkus lebih keras lagi. "Aduh, Feryan. Dia mana peduli, sih! Mau aku jadi gay atau transgender sekali pun, selama aku nggak ngegangguin hidupnya, aku yakin itu cukup bikin Dyas puas. Walau yah, kami berdua sama-sama ngerasa nggak enak ke Mami dan Papi. Karena kompakan nggak bisa ngasih keturunan. Dyas yang aseksual--udah ngaku bahwa dia nggak akan pernah nikah atau punya pasangan. Dan akunya homoseksual. Paket komplit!" Dia menerangkan diakhiri raut muka masam.

"Loh, iya!" sahut Setya seakan baru menyadari sesuatu. "Ngomongin soal orientasi seksual kita, nih. Di antara kita berenam, udah jelas-jelas Zyas yang paling keliatan bencong dan homo, 'kan? Tapi Mamah lo kayaknya nggak pernah keliatan risih, Fer. Malahan Tante Desy bisa dengan leluasa nerima kehadiran Zyas di antara kita. Mungkin Tante juga bakalan terima-terima aja jika tau elo adalah gay!" ungkapnya panjang lebar yang didukung oleh anggukkan setuju Zyas.

"Yang pacaran sama Saga? Sedangkan selama ini Mamah ngiranya Saga pacaran sama cewek?" pungkas gue meruntuhkan seluruh dugaannya. "Dia bisa nerima Zyas karena temen-temen di tempat kerjanya dulu beberapa ada yang waria, Set. Elo tau sendiri dunia kerjaan yang bersangkutan sama makeup dan fashion tuh kayak gimana!" kilah gue mengimbuhkan. "Dan kita belum tentu bisa menerima orang dekat dengan orientasi seksual menyimpang mereka walaupun kita bisa menerima orang lain."

"Ya udah, kamu tinggal jelasinlah, Feryan!" Zyas berdiri dan berkacak pinggang menghadap gue. "Gak usah dibikin ribet. Langsung aja kamu ngomong ke Tante begini, 'Mah, Fery suka cowok dan selama ini udah pacaran sama Saga. Mau nggak mau, Mamah harus terima, ya. Soalnya keperjakaan Fery udah telanjur dibobol sama Saga--AW, AW, AW!" Lagi-lagi celotehan ngawur dia terputus lantaran Setya melancarkan jambakan maut lagi ke rambut belakangnya. "SETYA! SADIS KAMU, YA. SAKIT NIH RAMBUT AKU!" protesnya yang sekadar Setya tanggapi putaran bola mata.

MAMPUS! Semena-mena banget lagian mulutnya. Mana sambil bawa-bawa perihal pembobolan keperjakaan. Dipikir lubang bool gue ATM apa.

"Masih untung rambut elo yang ditarik, bukan jembut elo." Selangkangan Zyas gue tepuk yang refleks bikin dia nyengir.

"Sangat disayangkan, jembut aku udah nggak ada semua, tuh. Udah aku cukur sampe mulus."

Pernyataan dari Zyas sontak membuat gue dan Setya meringis nggak nyaman. "Emangnya nggak geli?" tanya gue.

"Sedikit. Tapi adem, kok. Jadi setiap aku bercermin sambil telanjang, yang keliatan cuma titit mungil dan kulit mulus aku. Nggak ada lagi jembut-jembut perusak pemandangan. Mana keriting lagi. Ugh." Zyas kemudian menunjuk gue dan Setya bergantian. "Dan yang penting, nggak lebat kayak jembut gembel kalian."

"Nggak punya jembut udah sombong aja lo."

Ledekan Setya dibalas dengan gaya centil selangit. "Ih, wajib, dong."

"Jangan-jangan elo make jembut itu buat ngeguna-guna si Benjo?"

Tuduhan gue membuat Zyas mendelik nggak terima. "Feryan! Fitnah kamu kejam, deh. Masa aku ngeguna-gunain Arbenjo pake jembut. Kurang nendang, dong!" Dia berdeham, lantas berbisik, "Pejuh lebih direkomendasikan."

"Udah, deh. Malah jadi bablas nggak jelas obrolan kalian!" keluh Setya yang gue tebak udah kehilangan nafsu untuk ngemil.

Mungkin dia membayangkan keripik kentang yang dimakan adalah remahan jembut Zyas.

"Feryan tuh yang mulai nyebut-nyebut jembut. Aku sih cuma ngikut!"

"Dasar kontol keriput."

"Lubang pantat kamu, tuh. Keriput."

"Ya, emang!"

Setya semakin terlihat putus asa dan kehabisan energi untuk meladeni kami. Pada akhirnya dia memutuskan untuk menelepon seseorang yang nggak lama mendapatkan jawaban.

"Halo, Hannes. Jembut aku di rumah Dyas, ya." Tepat setelah mengucapkan hal itu, buru-buru dia meralat. "MAKSUD AKU JEMPUT, ASTAGA! NO, JEMPUT AKU! POKOKNYA, KAMU KE SINI! Nanti aku kirim alamatnya!" Panggilan itu pun segera dimatikan. Dengan wajah Setya yang merah merona memandangi kami yang nggak mampu lagi menahan tawa.

"Hahaha. Jembut Setya ketinggalan di sini."

"Kasian Dyas. Rumahnya dijadiin penampungan jembut sama Setya! Eww!"

"Hati-hati, Zy! Nanti tau-tau elo nginjak jembut Setya yang keramat terus elo berubah jadi jembut juga."

"Ih, nggak mau! Aku terlalu cantik untuk berubah jadi jembut."

Bukannya merasa tersinggung atau kesal dikarenakan olok-olokan kami, nggak disangka Setya malah ikut ketawa terbahak-bahak.

"Dasar gila kalian! Hahaha!"

Sungguh, gue amat mensyukuri kedatangan Zyas dan Setya kemari. Yang sedikit berhasil menyingkirkan beban pikiran yang sejak semalam memenuhi kepala. Dihibur oleh kehadiran mereka yang semata-mata membuat gue kembali menyemburkan tawa ceria tanpa pura-pura.

Biarpun Saga sedang nggak ada di sini, tapi seenggaknya gue masih punya mereka yang bersedia menemani.

.

"Loh, Nak Setya, Zyas, Ervan! Kok pada ada di sini?"

Mereka yang disebut namanya serempak mendongak. Mengalihkan perhatian dari game Ludo yang sejak tadi dimainkan secara bersungguh-sungguh kepada Mamah yang akhirnya datang kembali ke sini. Bersama Dyas yang hanya bisa menghela napas pasrah mendapati kondisi kamar yang dikacaukan oleh kami.

"Iya, Tan. Ngegantiin Juanda. Soalnya dia baru keinget belum ngasih kucingnya makan," jawab Zyas mengatakan alasan yang konyol, tapi tetap masuk diakal.

Gue jadi kangen ke Yellow. Kapan ya, gue sama itu kucing oren bisa ketemu lagi?

"Oh, gitu. Udah lama?"

"Lumayan, Tante. Orang Ludo Setya sampe udah menang lima kali, tuh. Aku sama Feryan udah capek main sama dia!" jawab Zyas lagi disertai keluhan.

Setya mendecak mendengarnya. "Kalian yang nggak becus main, jadi nggak usah nyalahin gue, ya!" balasnya memprotes.

"I'm not!" sahut Vano cepat.

Dasar tiang listrik bucin.

Mamah lalu menghampiri gue yang baru aja mengunci layar HP, mengakhiri sesi bermain game kami. "Fery udah nggak kenapa-kenapa? Masih ada pusing? Sakit?" Kepala gue diusap-usap lembut, penuh perhatian.

Gue menggelengkan kepala. "Nggak kok, Mah. Dan Fery mau pulang sekarang aja," pinta gue yang sesudah itu meregangkan badan.

"Ya udah, ayo. Kita sekalian pulang bareng-bareng, ya!" ajak Mamah yang kini tengah melipat selimut di kasur yang gue tempati.

"Zyas, elo kebagian duduk di bagasi."

Gagasan yang adik kembarnya lontarkan Zyas tolak mentah-mentah. "Dih, siapa sudi! Mending aku naik mobil bareng Setya sama Vano aja!"

"Padahal bagusnya si Zyas dimasukin ke dalam kap mobil sekalian," seloroh gue yang spontan bikin Setya turut menyemburkan tawa tertahan.

"Feryan jahat, ya."

"Bodo!"

"Udah, atuh. Malah ribut kalian!" Mamah yang telah selesai merapikan selimut dan seprei di kasur ini lantas menghampiri gue lagi. "Ayo, Fery bangun. Pelan-pelan aja, ya."

Gue langsung aja berdiri dari posisi rebahan setengah duduk yang nyaman. "Di rumah udah nggak ada wartawan, Mah?"

"Alhamdulillah, nggak ada. Kata Bu Jamilah sih, tadi pagi ada pihak berwajib yang datang ngebubarin mereka atas laporan mengganggu kenyamanan warga sekitar," jelas Mamah yang gue tanggapi anggukkan pelan.

Baguslah kalo gitu. Berarti gue udah nggak perlu khawatir soal kemungkinan hubungan gue dan Saga yang bakal diketahui oleh awak media, 'kan? Horeeey! Saatnya pulang!

Baru aja gue hendak mengambil satu langkah maju, ini badan tahu-tahu limbung ke depan disebabkan lemas yang ternyata masih gue rasakan.

"Fery!"

"Feryan!"

Untungnya, refleks cepat Vano berhasil mencegah gue dari yang tadinya hampir ambruk lagi. Dia bahkan merangkul tubuh kurus gue secara hati-hati dibantu oleh Setya yang memegangi dari sisi satunya.

"Are you okay, Feri? Do you need me to carry you to the car?"

Tawaran bule jangkung ini jelas aja gue tolak. "Nggak usah, Van. Gue cuma ngerasa lemes dikit. Nggak apa-apa, kok. Gue bisa jalan sendiri."

"Elo udah hampir jatuh lagi, tapi masih aja sok kuat. Biar kami bantu elo jalan sampe ke mobil. Ayo!" omel Setya yang nggak mampu gue bantah kali ini.

Ya udahlah. Mau nggak mau, gue terpaksa harus merepotkan mereka lagi. Temen-temen gue yang kadang akhlaknya minus, tapi solidaritasnya nggak perlu diragukan sama sekali.

"By the way, Dyas. Rumah kamu jelek banget!" komentar Zyas begitu kami sampe ke teras bagian depan.

Dibalas telak oleh Dyas dengan santai, "Seenggaknya nggak lebih jelek dari kepribadian elo, Zyas."

Duh! Zyas yang dikatain, anehnya gue yang ngerasa malu, woi. Emang paling bagusnya nggak usah ngajak Dyas adu mulut karena ujung-ujungnya pasti tetep kita yang kalah.

"Kalo gitu, Setya sama Vano dan Zyas mau ke mobil Vano ya, Tan. Kita ketemu di rumah nanti," ucap Setya yang bersiap pergi bersama Zyas dan Vano ke mobil Vano yang entah diparkir di mana.

Gue sigap melongokkan muka. "Kalian kalo mau langsung pulang, sekalian pulang aja. Gue udah nggak kenapa-kenapa, kok!" celetuk gue yang semata-mata bikin mereka bertiga urung berbalik, lalu gue memberi senyuman. "Makasih karena kalian udah nemenin gue, ya."

"Beneran?" tanya Zyas masih dengan sorot mata cemas.

Gue mengangguk yakin. "Iya, Zy. Lagian gue di rumah nggak sendirian juga, 'kan? Ada Mamah yang nemenin." Sosok Mamah yang duduk di sebelah kanan gue lirik.

Zyas akhirnya mengembuskan napas pasrah. "Ya udah. Kalo gitu aku pamit pulang, ya." Lengan gue dielus-elus olehnya. "Kamu cepet baikan ya, Feryan. Jangan pingsan-pingsan lagi." Tangannya lantas melambai-lambai.

Diikuti oleh Vano dan Setya. "Get well soon!" pesan Vano yang kemudian bantu menutup pintu mobil di dekat gue yang segera Dyas kunci.

"Hati-hati nyetirnya, Dyas! Awas kalo kamu sampe bikin Feryan kenapa-kenapa!" seru Zyas memperingatkan yang sekadar Dyas tanggapi gelengan masygul.

Sedangkan gue nyengir maklum selagi mulai memakai sabuk pengaman. Menerawang, memikirkan betapa beruntungnya diri gue sebenarnya. Punya kawan-kawan yang baik dan perhatian. Mamah yang penyayang. Pun, sosok pacar bucin yang merupakan sumber pembawa kebahagiaan gue.

Gue memeriksa HP. Menelan kecewa lantaran nggak mendapati satu notifikasi apa pun dari Saga. Pertanda dia yang emang serius mengenai ucapannya pagi tadi.

Bahwa dia nggak bakal menghubungi, menemui dan mengganggu gue dulu sampe gue mampu mengaku kepada Mamah.

Masalahnya, apakah gue betul-betul mampu melakukan itu? Dan jika gue nggak kunjung punya keberanian untuk bilang yang sejujurnya, apakah selama itu pula gue dan Saga nggak bakal bertutur sapa?

Gue menghela napas lelah karena udah ngerasa capek aja dari hanya memikirkannya.

Bangsat, ini baru sebentar dan gue udah kangen banget ke elo. Plis, jangan lakuin ini ke gue. Gue nggak sanggup kalo harus elo diemin lagi kayak saat elo pergi ke UK waktu itu.

.
.
.
.
.
.
.

*** Bonus obrolan antara Mamah Desy kesayangan kita dengan Dyas Farghandi Rizawijaya.

"Nak Dyas habis uang berapa untuk ngebangun rumah itu?"

Seperti selalu, Desyana Ayudiah tidak tahan untuk membiarkan hening menggantung terlalu lama di sekitarnya. Membuka topik obrolan, menanyai lawan bicara adalah cara yang akan dirinya pilih sebagai solusi. Supaya tidak ada yang merasa bosan apalagi mengantuk.

Dyas yang ditanyai untungnya bersedia merespons dengan senang hati. "Sebagian besar hasil renovasi kok, Tan. Kurang lebih 80 juta. Dengan perkiraan total budget-nya antara 100 sampai 120 jutaan. Udah termasuk furnitur dan lain-lain."

Desy tak mampu menyembunyikan rasa salut mengetahui seorang pemuda seusia anaknya memiliki tabungan uang sebanyak itu demi membangun rumah impiannya sendiri. Jadi, dia kembali bertanya, "Jadi Nak Dyas beli rumah seseorang untuk direnovasi, ya? Bukan beli tanah pekarangan baru?"

Kepala Dyas mengangguk satu kali. "Iya, Tan. Karena kebetulan rumahnya dijual dengan harga murah."

Kata murah yang Dyas sebutkan serta-merta memancing jiwa perhitungan Feryan yang kontan mendelik nggak percaya.

PULUHAN JUTA DIBILANG MURAH?

Desyana manggut-manggut, sesudah itu meringis mengingat suasana di lingkungan baru tempat Dyas menetap. "Apa tempatnya nggak angker? Dyas nggak takut gitu? Mana jauh juga dari rumah yang lain, 'kan?"

Anehnya, saudara kembar Zyas ini malah tersenyum. "Justru itu, Tan. Saya emang sengaja nyari rumah dengan suasana yang sepi. Biar lebih tenang," jelasnya tampak bersungguh-sungguh.

"Nanti rawan diincar sama maling, loh!" desis Desy mengingatkan.

"Nggak apa-apa, Tan." Dyas berdeham langsam. "Saya pastikan malingnya yang nanti akan takut ke saya, kok. Jadi Tante nggak perlu khawatir."

Desyana tidak dapat lagi berkata-kata sesudah menangkap kalimat yang Dyas diucapkan dengan senyuman, akan tetapi terkesan sangat menyeramkan barusan.

Di sampingnya, Feryan yang sekadar menangkap dengar pun menunjukkan reaksi kaget bercampur takut. Tubuhnya bergidik tanpa sadar, kemudian lebih memilih fokus memainkan ponsel di tangan alih-alih membayangkan tentang bagaimana Dyas akan memperlakukan para maling yang berniat mengganggunya.

Punya sahabat yang memiliki bibit-bibit psikopat memang memicu adrenalin tersendiri bagi setiap orang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com