6. PENGUNGKAPAN
Si Bangsat bilang, dia mau nunda kuliahnya? Dia mau menunda keberangkatan dia untuk kuliah ke UK? Serius?
"Hah?" Gue dan Zyas berseru, kaget.
"What?" Ini dari Setya dan Vano.
"Why?" Dyas mengakhiri, mewakili reaksi kami melalui tanya.
Saga tersenyum timpang. "Karena pandemi ini. Karena Daddy khawatir sama kondisi gue. Karena keluarga McLauren melarang gue datang ke negara mereka. Dan karena gue pikir, gue juga harus menghabiskan waktu lebih lama bareng sama kalian," jelasnya cukup panjang, lalu melirik gue. "Terutama lo." Dia nyengir sebelum meneruskan, "Dan alasan terakhir, gue berniat mau mulai buka usaha."
Kami semua tercenung. Masih berusaha mencerna segala penjelasan yang Saga beberkan. Bingung harus bereaksi bagaimana saking mendadaknya.
Gue meneluk ludah, kemudian memberanikan diri bertanya, "Jadi, maksudnya, tahun depan nanti, elo bakalan batal berangkat ke Inggris?"
"Yes!" Saga menjawab yakin.
"Sampe kapan?" Zyas ikut menanyai.
Kali ini, si Bangsat mengernyit. Kelihatan berpikir. "Entah. Mungkin sampai kondisi pandemi ini membaik. Selama Covid 19 masih merajalela, sementara waktu gue akan belajar materi kuliah dari Om gue yang juga merupakan salah satu dosen di kampus yang gue tuju," terangnya menambahkan.
"Woaaah!" Vano maju duluan untuk akhirnya memeluk Saga. "That's really a good news. Perhaps? Right? I mean, gue nggak senang karena kuliah lo terpaksa ditunda, tapi karena kita masih bisa ngabisin waktu barengan lebih lama," komentarnya dengan ekspresi senang yang kentara. Disusul Dyas yang menghampiri dan menepuk-nepuk bahu cowok gue.
"Lagian, kita-kita juga masih belum yakin apakah mau lanjut kuliah atau nganggur dulu," ujar Setya yang ditanggapi anggukkan setuju oleh Zyas yang lantas menimpali.
"Kondisinya bikin serba susah, sih."
Mereka semua terlihat lega. Sementara gue masih berdiri diam, mematung. Lantaran seolah-olah masih kurang mempercayai kabar yang udah sangat jelas gue dengar dan cerna. Mengenai Saga.
Dia bakalan nunda kuliahnya.
Tahun depan kami nggak jadi LDR-an.
Kami masih punya banyak waktu untuk berduaan. Dan semua itu, bikin gue kebingungan.
Gue nggak tau harus bereaksi bagaimana sekarang. Antara senang, sedih, semuanya bercampur aduk.
Menyadari gue yang masih aja diam, Saga akhirnya melangkah mendekati gue. "Kenapa? Elo kok kelihatan nggak senang?" tanyanya dan bikin perhatian kawan-kawan kami tertuju pada gue.
Kepala gue bergerak pelan. Berdeham, gue memandang si Bangsat disertai senyuman dan tangis yang mulai menggenang di sudut mata.
"Gue seneng sampe rasanya mau nangis," ucap gue setengah merengek seraya menubruk tubuh tingginya.
"Wha--ssst. Don't." Bagian belakang kepala gue sontak diusap-usap lembut, hingga beralih menepuk-nepuk punggung gue laun. "Why should you cry? I'm here, okay. I'm not going anywhere," bisiknya merapalkan kalimat demi menenangkan tangis bahagia gue ini.
"Iya, gue tau!" sahut gue agak terisak, "Cuma yah, selama kita stay at home di masa pandemi ini, gue setiap hari mikirin bakal gimana kesepiannya gue nanti pas elo tinggal pergi. Udah jarang ketemu, gak bisa ngabisin waktu bareng di sekolah, nggak bisa sering jalan berdua, terus nanti elo harus pergi kuliah jauh dari gue. Makanya, denger kabar ini, gue seneng," sambung gue menguraikan. "Sorry, gue cengeng. Sorry, karena gue masih belum siap kalo harus ditinggal pergi jauh sama lo, Bangsat!"
Puncak kepala gue diberi kecupan. "Yeah, I know. Gue paham perasaan lo itu, kok. It's okay to be afraid. You can lean on me. Always."
Ugh. Sayang banget beneran gue sama cowok bangsat ini.
Wajah basah gue secara sengaja gue gosok-gosok dan tempelkan cukup kuat ke baju si Bangsat yang super wangi ini selagi kami masih berpelukan. Anggap aja tisu, lah. Nggak mau soalnya gue kalo sampe yang lain ngeliat muka menyedihkan gue ini. Konyol. Malu-maluin.
Nangis di depan si Bangsat aja gue segan, lah yang ini malah ditontonin semua kawan kami. KACAU. Moga aja kecengengan ini nggak akan dijadiin bahan ejekan.
"Ugh. Jangan nangis dong, Feryan." Zyas buka suara dan terdengar berjalan mendekati kami. "Sini, aku peluk kamu juga."
Eh kampretnya. Si Zyas bukannya memeluk di posisi gue, tapi malah dengan sengaja nemplok ke bagian punggung si Bangsat untuk meluk dia dari belakang.
MODUS TERUUUUS!!!
Lengannya seketika gue beri cubitan. "Heh, Setan! Elo salah meluk orang! Gue di sini!"
DASAR COWOK GANJEN TUKANG NYARI KESEMPATAN.
Zyas mengaduh sembari lalu menatap gue. "Aduh, maaf. Aku sengaja." Dia menjulurkan lidah dan bikin gue memutar bola mata.
Setya tertawa, setelah itu ikut-ikutan nemplok ke badan kami. "Berpelukan!"
Disusul Vano dan juga Dyas yang turut berpelukan juga.
SESEK NAPAS ANJIR!
Adegan norak dan macam sinetron apaan yang sedang terjadi di sini? Gue jadi ngerasa aneh sendiri.
"Kita jadi keluarga Teletubbies nih sekarang?"
"Hahahaha!"
Celetukan gue bikin mereka semua ketawa. Seketika, momen saling berpelukan kami pun usai.
"Thank you, guys. For everything." Saga merangkul gue selama menghadap semua kawan kami sambil berbicara. "I'm happy you guys all here and I'm feeling so grateful. Kita semua sehat sentosa, masih bisa saling ketawa, kumpul sama-sama."
"We should do this often. Starts from today. Dari pada diam di rumah tanpa ngapa-ngapain, dan bepergian juga dilarang. Mendingan kita kumpul bareng gini, 'kan? Lebih seru," usul Vano yang mendapat anggukkan setuju dari Setya dan Zyas.
Si Bangsat juga gue lihat menganggukkan kepala pelan. "Gue sih setuju, tapi kita tetap harus taat prokes. Dan sayangnya, mulai beberapa hari ke depan, gue akan mulai sibuk," ungkapnya bikin gue langsung bertanya.
"Ngapain?"
Dia mencubit pipi gue gemas. "Like I said, gue ada niat mau buka usaha. Bikin restoran dengan daftar menu yang diisi oleh masakan racikan gue sendiri. And I should say, I need your help, guys. Terutama lo. Tunggu aja kabar selanjutnya. Oke?"
Pipi gue elus-elus pelan seraya tersenyum lebar. Senang setiap kali tahu bahwa si Bangsat memerlukan bantuan gue.
Semoga apa pun niatnya, bisa tercapai dengan cukup gampang tanpa banyak halangan.
.
Yellow udah gue elus-elus. Tas, HP, jaket, gak ada yang ketinggalan. Oleh-oleh puding buah buat Nenek sama Mamah dari si Bangsat gak lupa gue bawa. Sip. Gue siap balik pulang.
Maunya sih, gue lebih berlama-lama main di rumah cowok gue ini. Tapi gue kepengin buru-buru ngasih puding enak ini untuk orang rumah. Supaya mereka makin sayang sama pembuatnya. Kayak gue aja gimana. Ehehehe
"Oke. Kalo gitu gue pulang dulu," ucap gue mendului yang lain yang juga lagi bersiap-siap berpamitan.
Sekarang kami semua sedang ngumpul di teras utama rumah gedong si Saga.
"Perlu gue anter?" tanya Saga yang lagi menyerahkan Yellow pada Setya yang kepengin menggendongnya.
Enaknya sih emang diantar, tapi kasihan sama dia guenya. Pasti capek dong si Bangsat karena hari ini udah berdiri dan masak lama di dapur. Mungkin gue mesti ngojek lagi aja. Atau numpang ke salah satu dari mereka yang kepengin balik juga.
"Biar Feryan pulang sama gue aja. Gue ke sini pake motor, kok."
Penuturan Setya bikin gue memandang dia heran. "Elo bawa motor?"
"Iya." Dia mengangguk sembari mengajak Vano bercanda bareng Yellow.
Lah? "Gue pikir, elo ke sini bareng sama Vano karena beberapa jam lalu kalian 'kan ..."
Kalimat tanya gue yang menggantung seketika membuat pasangan bucin ini berbagi sorot mata canggung. "Euh, ya. Itu ..." Vano tampak kesulitan menjelaskan dan nyengir gugup kayak biasanya.
Zyas kemudian berkacak pinggang disertai embus napas sok lelah. "Aduh, Feryan! Kamu peka, dong. Berarti, mereka berdua itu mojok dulu di dalam mobil Vano, sebelum mulai masuk ke rumah Juanda. Tuh, lihat. Mobil Vano aja di parkir di sudut taman!" terangnya membeberkan, menunjuk mobil Vano yang emang tumben-tumbenan diparkir jauh banget.
Setya meringis, sesudah itu melepaskan Yellow. "Ayo, Fer. Elo mau pulang, nggak? Gue duluan, nih!" ajaknya dan buru-buru kabur sebelum tambah kami interogasi yang bukan-bukan.
Si Bangsat pun melirik Vano penuh curiga. "Seriously?"
Vano gak menjawab dan ikutan kabur menyusul yayangnya. "Oh, iya. Gue juga harus segera pulang ... dulu. Bye, semua!" Dia melambaikan tangan sambil melangkah cepat.
Gue dan si Bangsat saling pandang gak percaya.
Pasangan bucin laknat. Semena-mena banget mereka ngeseks di sekitaran rumah orang lain. Walau yah, gue agak memaklumi. Mereka juga 'kan udah lumayan lama nggak mojok. Kalo nggak ditumpahin kangennya sekarang, kapan lagi, 'kan?
Gue 'kan tau sendiri rasanya, ya. Ihir.
"Kalo aku sih nggak mau pulang dulu! Aku mau nemenin Juanda di sini." Zyas dan sifat ganjennya muncul lagi. Dia menempeli cowok gue secara sengaja dan menyandarkan kepalanya ke bahu Saga yang memutar bola mata saking jengah.
Kembarannya gue tatap dan beri perintah. "Dyas, tolong bawa kembaran lo pergi, deh."
"Siap!" Dyas melambaikan tangan kemudian menarik kembarannya jauh-jauh dari si Bangsat sesuai pinta gue. "Ayo, pulang. Gak usah kegatelan."
"Huffft." Zyas mendengkus kecewa, memelototi gue yang gue balas melalui pelototan lagi.
Lalu kami ketawa sama-sama.
Ada-ada aja emang dia.
Tersisa gue dan si Bangsat aja sekarang. Saling berhadapan, bertukar senyuman. Oh. Sama Yellow juga yang lagi mandiin badannya sendiri di sebelah lap di dekat kaki gue. Pen karungin jadinya.
"So, see you later." Saga mengusap-usap puncak kepala gue yang langsung mengangguk-angguk.
"Iya. Makasih buat pudingnya."
"Apa pun buat lo, Sayang." Bibir gue diberi kecupan. "Sana, pulang. Nanti elo ditinggal Setya, lagi."
Gue melambaikan tangan pada si Bangsat. "Iya. Dah." Setelah itu mulai berjalan meninggalkan teras rumah ini.
Dan hadeeeuh. Itu jelmaan tiang listrik sama sohib berbibir dower gue malahan mojok. Saling rangkulan di dekat mobil Vano sambil senyam-senyum gak tau lagi ngobrolin apa.
Hmmm. Jangan-jangan mereka lagi bikin rencana mau ngentot di dalam mobil bagian kedua?
Secara kurang ajar dan sangat sengaja gue membubarkan kemesraan mereka. "Heh, kalian berdua malah lanjut mojok! Ayo, kita balik!" seru gue sok mengomel sambil berkacak pinggang.
Setya nyengir, lalu melepaskan diri dari rangkulan cowoknya. "Iya, iya." Tangannya melambai dengan gaya genit. "Bye, Hannes."
"Sampe rumah, kamu chat aku, ya. Kita lanjut mabar."
Pesan Vano itu gue respons dengan acungan jempol dan bikin dia mengernyit gak suka.
WKWKWKW.
Dasar pohon kelapa berjalan bucin.
.
"Elo ada tamu?"
Loh? Iya. Itu, ada motor gede entah punya siapa yang di parkir di depan halaman rumah gue. Tamunya Mamah, kah? Soalnya gak mungkin Nenek ada tamu bawa motor gede begitu. Kenalan Nenek 'kan kebanyakan orang-orang tua yang badannya dibawa ngebonceng motor gede auto encok.
"Gak tau, deh." Gue turun dari boncengan Setya. "Gak kenal gue itu motor siapa. Mungkin tamunya si Mamah."
Si Setya manggut-manggut lantas menyalakan lagi mesin motornya. "Ya udah, gue balik."
"Iya, Set. Makasih tumpangannya."
Langkah gue bawa perlahan-lahan menuju ke rumah soalnya bagian bawah badan gue masih agak perih, cuy. Langsung masuk lewat pintu depan yang udah terbuka, dan mendapati Mamah yang sedang nonton TV bareng Nenek yang ketiduran di sofa. Cuma berdua.
Hmmm. Terus, itu motor di depan punya siapa, Bambang? Apa ada tetangga numpang parkir sembarangan? Ya, kali.
"Assalamu'alaikum, Mah." Gue melepas masker lalu mencium tangan Mamah yang tersenyum semringah melihat kedatangan gue.
"Wa'alaikumsalam. Fery akhirnya pulang juga." Bahu gue ditepuk-tepuk.
"Iya." Plastik di pegangan gue serahkan ke Mamah secepatnya. "Ini, dari Saga. Puding rasa buah. Buat Mamah sama Nenek."
Mendengar nama cowok gue disebut, Mamah buru-buru menilik isi plastik. "Aduh, Nak Saga itu emang paling baiknya. Pudingnya pasti enak!" komentarnya yang kemudian melotot seakan baru teringat sesuatu. "Oh, iya. Dari tadi teh ada temen kamu nungguin. Mamah mau langsung ngabarin sejak dia pertama kali datang, tapi katanya dia biar nunggu aja. Ada di kamar, tuh."
Penjelasan dari Mamah bikin gue mendadak heran.
Lah? Jadi tamu yang datang itu temen gue? Siapa? Kok nggak ada chat ataupun kabar yang gue terima dulu jika memang salah satu dari mereka hendak bertamu ke rumah?
"Temen Fery? Siapa? Ada berapa?"
"Sendirian aja. Namanya Arbenjo. Katanya, dia itu ketua kelas kamu, 'kan?"
Jawaban Mamah mengejutkan gue seketika.
SIAPA?????????
.
Gue membuka pintu agak kasar, tapi nggak kencang supaya suaranya gak kedengeran orang di luar. Mendelik kesal pada Benjo yang seenaknya banget duduk santai di kasur kesayangan gue.
Dih, najis. Mesti gue cuci dan singkirin lagi deh itu sprei yang baru gue ganti kemarin.
"Lancang banget lo, ya. Masuk kamar orang sembarangan dan berlagak jadi tamu terhormat!" sergah gue agak mendesis disertai pelototan kesal.
Melangkah satu kali ke dalam, gue lalu menutup pintu sedikit buat jaga-jaga takut si Benjo ngelakuin hal yang macem-macem, jadinya gue bisa segera kabur.
"Oh, Feryan. Elo udah pulang." Benjo berdiri, memasukkan HP yang sedang dimainkannya barusan ke kantung celana. "Hai. Lama kita nggak ketemu." Tangan dia dilambai-lambaikan macam pemenang kontes pula.
HALAH. Sok manis, sok sopan. Caper. Pake segala nyapa-nyapa gak penting. Gue tabok itu mulut pake kipas Temari mental deh sampe ke padang Sunagakure.
"Ngapain elo ke sini?"
Sorry, ya. Gue gak doyan basa-basi apalagi ke model makhluk macam Arbenjo yang di luar berlagak kayak orang biasa padahal aslinya manusia biadab.
"Gue mau bersilaturahmi, Fer. Ini masih momen hari raya Idul Fitri, 'kan? Makanya--"
"Gak usah bacot gak jelas, Ben!" tukas gue sengit, melemparkan masker sampai ke depan kakinya selepasnya melipat kedua tangan di depan dada. "Gue capek banget, beneran. Mau banget cepet-cepet istirahat. Tapi gara-gara kedatangan lo, gue bahkan males buat sekadar duduk di kasur gue yang malah elo tempatin tadi."
Sindiran dari gue bukannya menyadarkan Benjo untuk langsung minggat, tetapi ketua kelas tolol ini malahan menggeser posisi berdirinya menjauhi kasur dan mempersilakan gue dengan lagak lugu.
"Silakan istirahat."
Hadeuh. Dasar kotoran kambing.
Gue mendengkus sebab dibuatnya tambah meradang. "Silakan elo kel--"
"Fery, Nak Benjo."
Yaelah. Si Mamah pake menginterupsi pengusiran yang berniat gue lakukan.
"Ini, mamah bawain puding buah. Tadi Fery yang bawain, pemberian Nak Saga."
E, E, EH! Enak banget si Benjo datang bertamu malah disuguhin puding buatan cowok gue. NGGAK BISA DITERIMA.
"Benjo kenal juga, 'kan? Sama Nak Saga?"
Pertanyaan Mamah ngebikin gue tersengih. Urusannya apaan coba si Benjo pake segala ditanyain perihal si Bangsat?
"Maksudnya Juanda, Tante? Iya."
Iyalah. Jelas dia kenal cowok gue. Wong mereka musuhan.
"Benjo tau nggak, Nak Saga ini anaknya selebritis terkenal?" lanjut Mamah bertanya dengan nada bagai Mak-Mak paling up to date sedang berbagi gosip.
Ya ampun, si Mamah. Greget banget gue! Gak ada pertanyaan lebih penting yang bisa dikasih apa? Semacam; Nak Benjo sukanya makan taik sapi apa taik kuda? Soalnya muka Benjo bikin pengin muntah setiap dilihat, 'kan.
"Saya tau, Tante."
Bodo amat, ah. Harus secepatnya gue bubarin obrolan unfaedah ini.
"Jangan-jangan Nak Benjo ini juga anak seleb?"
"Bukan, Tan. Orang tua saya cuma--"
"Udah deh, Mah." Akhirnya gue memotong seraya mengambil satu puding buah dari nampan yang Mamah letakkan di meja. "Nanya-nanya hal yang nggak penting gitu. Norak, tauk. Kebiasaan."
Teguran gue malah bikin Mamah cekikikan garing. "Ya udah atuh. Mamah keluar dulu. Dimakan ya pudingnya."
Seusai Mamah gue keluar, bener aja si Benjo melangkah mendekati nampan berisi puding berharga ini. Secara kasar, gue pun memukul tangan dia yang berniat mengambil satu puding di dekat gue ini.
"Jangan berani-berani nyicipin makanan buatan cowok gue."
Tangan dia dikibas-kibaskan pelan. "Mamah lo yang nawarin."
"Tetap gue yang punya hak ngasih izin. Gak sudi gue makanan buatan si Bangsat malah dicicipin sama lo. Dia ngasih ini ke gue supaya bisa dimakan Mamah sama Nenek. Bukan buat nyuguhin tamu jelmaan Jelangkung kayak lo. Datang gak diundang, pulang harus diusir dulu!" ujar gue mengomel sembari mendelik berang ke arahnya.
Namun sialnya, si Benjo justru tertawa sembari mengoreksi, "Datang tak dijemput, pulang tak diantar kali, Fer."
Gue memutar bola mata. Ini cowok kampret nggak mempan sama sindiran. Mukanya udah tebel macam wafer Tango.
Berapa lapis? Ratusan.
Minta dihajar.
"Gue tau." Puding rasa pisang di tangan gue habiskan dalam sekali hap, lalu meneruskan, "Tapi istilah yang gue pake lebih cocok buat ..."
HP di dalam tas terdengar berdering cukup nyaring dan membuat perkataan gue terpotong. Dari deringnya, ini tanda ada panggilan masuk.
Perasaan gue jadi gak enak soalnya ini pasti telepon dari si Bangsat.
Sewaktu melihat layar HP, gue meringis tambah nggak enak karena ternyata Saga malahan ngajak gue video call. Makin gawat ini, Bambang. Cuma yah, mau gimana lagi? Andai gak gue angkat, takutnya si Bangsat malahan khawatir dan mikir yang nggak-nggak. Sekalian aja gue angkat, deh. Siapa tau jurus mulut licinnya bisa ngebantu gue ngusir si Benjo kunyuk di sini.
"Hey. Elo udah sampe rumah?"
Gue tersenyum pada Saga yang juga ngasih gue senyum gantengnya dari layar HP. "Baru aja sampe. Dan tebak, ada siapa di sini?" Kamera gue arahkan ke posisi Benjo.
Hasilnya, umpatan si Bangsat menyahut seketika. "Damn! What the fuck is he doing in your room?"
"Tamu gak diundang."
"At least, don't let him get in to your room."
Tuh, 'kan. Gue yang jadi kena getahnya.
"Mamah yang nyuruh dia nunggu di sini, Saga," ucap gue mengklarifikasi, seraya menghadap lagi si Bangsat melalui kamera depan HP pemberiannya ini.
Lidahnya mendecak kasar. "Seharusnya tadi gue yang ngantar elo pulang."
Gue mengangguk setuju banget. "Iya. Gue juga agak nyesel jadinya karena tadi malah pulang bareng Setya. Malahan enaknya tadi gue main ke rumah lo sampe malam aja. Atau nginap sekali--oh, iya."
Kalimat yang terlontar dari mulut nakal gue berhasil memunculkan sebuah ide dadakan yang cemerlang. ASOOOY!
"Why?" Si Bangsat nanya dan tampak keheranan saat gue sekonyong-konyong berlari ke ruang depan masih tanpa mematikan panggilan video darinya.
"Aduh, Mah. Fery lupa!" seru gue berlagak sedih. "Habis ini Fery mau balik lagi ke rumah Saga. Ke sini cuma mau ngambil baju ganti sama nganterin puding tadi."
"Loh, kenapa?" Mamah berhenti mengganti-ganti channel dan memandang gue.
Senyuman masam terpaksa gue tunjukkan. "Mau nginep di sana, Mah. Soalnya si Om lagi pergi keluar kota gitu, jadi Saga di rumah sendirian. Kasian dia. Udah gitu ya, rumahnya berantakan. Pembantunya masih libur. Jadi, Fery mau bantuin beres-beres rumah dia," tutur gue berdusta semelas mungkin.
YA ALLAH. AMPUNI FERYAN. TOLONG. Sekali ini aja gue bohong cukup nekat gak apa-apa, ya. Toh, gue berbohong demi menjauhi pengaruh buruk yang ada di sekitar gue alias si Arbenjo.
"Oh, begitu?" Mamah yang masih keliatan ragu asal manggut-manggut doang.
"Nih." Gue menunjukkan wajah si Bangsat yang ada di HP. "Saga sampe nelepon Fery, video call. Nanyain kenapa Fery belum dateng juga."
Mamah merebut HP dari tangan gue dan langsung melambaikan tangan pada Nak Saga kesayangannya. "Halo, Nak Saga."
"Hai, Tante."
"Beneran harus sekarang Fery ke sananya?"
"Eum, itu--"
Hadeuh. Si Bangsat kelamaan mikirin jawaban buat pertanyaan si Mamah. Maklum, sih. Ide dadakan ini sangat di luar rencana. Wajar aja kalo bikin si Bangsat kebingungan.
"Iya, Mah. Buru-buru." Akhirnya gue yang buka suara dengan nada yang terdengar sok darurat.
"Terus, ke sananya? Sama siapa? Ngojek lagi?" tanya Mamah masih penasaran aja.
Kali ini, mau nggak mau gue melontarkan jawaban cukup gila. "Diantar Benjo kok, Mah."
"Huh?" Benjo yang baru sampai kemari sembari memakan puding terkejut.
Nggak beda macam si Bangsat yang menyahut kaget, "What?"
"Iya, 'kan?" Gue melirik Benjo, menyipitkan mata meminta kerja sama darinya meski hati gue sebetulnya gak rela.
Yah, demi menghemat biaya dan supaya dia bisa segera keluar dari rumah gue. Cara apa pun bakalan gue lakuin. Huhahahaha.
Arbenjo yang menangkap sinyal dari gue asal mengangguk-angguk aja. "O-oh, iya. Iya, Tante. Nanti saya yang ngantar. Kebetulan 'kan saya bawa motor," responsnya sesuai harapan.
YES! Berhasil, berhasil, berhasil. Yeeey! Mendepak Benjo. Berhasil!
"Oh. Fery nanti diantar temennya ya, Nak Saga. Tunggu aja." Mamah pun tersenyum pasrah. "Ya udah, kalo Fery maunya begitu. Tapi jangan malah ngerepotin Nak Saga, ya. Baik-baik di sana." HP di tangan diserahkan kembali ke gue yang nyengir puas.
"Siap, Mah." Gue menghadap si Bangsat lagi melalui layar HP hanya untuk melihat wajah kesal-tapi-gue-bisa-apa-lagi-nya. "Oke. Habis ini gue pergi ke sana. Elo tunggu, ya."
Dia mendengkus pelan. "Fine. But don't you dare touch him or let him touch you. Okay?" pesannya memperingatkan sambil memasang ekspresi yang seakan siap ngamuk kapan aja.
Gue mengangguk-angguk super patuh. "Siap! Elo tenang aja. Gue bakalan hati-hati di jalan, kok." Panggilan gue putuskan diakhiri embus napas lega.
Biarin aja jawaban gue nggak nyambung. Bisa bahaya andaikan nanti Mamah gue paham maksud dari kalimat yang si Saga ucapkan.
Bersyukur sih Mamah gue nggak bisa bahasa Inggris kecuali arti yes sama no. Oh. Sama I love you. Sama please juga.
Duh. Lupain soal Mamah. Mendingan sekarang gue buru-buru mengemas baju ganti, terus cabut secepatnya menuju ke rumah si Bangsat. Biar si Benjo sialan juga bisa sesegera mungkin angkat kaki dari sini.
.
Naik di atas boncengan motor ini bener-bener bikin nggak nyaman. Padahal gue beberapa kali diboncengin juga sama Saga di atas motor gedenya, tapi kenapa saat Benjo yang ngeboncengin gue rasanya beda? Apa karena tas ransel yang gue letakkan di tengah-tengah motor sebagai pembatas dan malah bikin sesak? Ataukah emang seenggak suka ini aja gue terhadap si pengemudinya? Ditambah dia dari tadi ngoceh ngajak gue ngobrol. Sudi amat gue ngeladeninnya.
Apa pun itulah. Pokoknya, gue nggak betah lama-lama duduk sok anteng di boncengan yang mau banget gue tinggalin ini. Alhasil, gue minta berhenti ketika motor ini nyaris mencapai pintu gerbang utama komplek.
"Sip. Elo bisa turunin gue di sini sekarang."
"Hah?" Benjo terlonjak, menoleh ke arah gue sekilas untuk melirik.
"Gue nggak betah boncengan lama-lama sama lo. Jadi tolong, turunin gue sekarang," pinta gue mengulang disertai penjelasan.
Namun, cowok anjing ini malah memberikan gelengan. "Gue bisa nganter lo sampe ke rumah Juanda, kok. Gue gak keberatan."
DASAR BAKTERI JAHAT.
"Guenya yang keberatan!" Helm yang dipakainya gue hadiahi pukulan yang siapa tau bisa menyadarkan isi di otak gobloknya. "Elo berhenti sekarang atau gue lompat?"
Dia kedengeran menyemburkan tawa. "Elo berani?"
Wah. Ngeremehin gue ini benjolan kutil!
"Oh, jadi elo pikir gue gak berani?" Lalu gue berdiri secara mendadak, memiringkan badan ke sisi kiri dan bikin keseimbangan motor ini jadi agak oleng.
"Feryan! Elo nga--" Berhasil membuat Arbenjo menghentikan laju motornya.
"Nah, gitu, dong." Gue sontak turun dari boncengan. "Makasih tumpangannya!" ucap gue seraya bersiap lanjut berjalan, sewaktu si Benjo menahan kepergian gue dengan pertanyaan.
"Terus, elo bakal pergi ke sananya, gimana?"
Gue memandangnya malas. "Nunggu jemputan, lah."
"Jemputan?" Dia melepas helm disusul masker, kemudian menatap gue heran.
Kali ini, gue mendesah lelah meladeni kegoblokannya yang beneran goblok. "Iya. Jemputan. Soalnya cowok gue bakal datang ngejemput gue ke sini. Jadi, tumpangan lo udah gak dibutuhin lagi. Silakan pergi!" cecar gue masih enggan berlagak baik terhadapnya.
Mendengar penuturan gue, Arbenjo malah tercenung. Ekspresi di mukanya dibikin sok galau ketika berkata, "Sebenci itu elo ngabisin waktu bareng gue?"
Dan kata-katanya itu jelas mengaktifkan mode meradang gue. Emang nggak ada untungnya nahan kesabaran menghadapi cowok bebal macem dia.
"Sebenci itu?" Gue mendesis sambil mendelik, kemudian menyusul membentaknya. "ELO MASIH NANYA? Otak lo itu masih bisa berfungsi dengan baik nggak sih, Ben? Elo pura-pura lupa?" Nada suara gue makin tambah keras. "Siapa ya, orang yang pernah, MEMBUANG SEMUA BUKU GUE DI SELOKAN SEKOLAH, NYIRAM GUE DI TOILET, MASUKIN PAKU PAYUNG KE SEPATU GUE, BIKIN GUE KEHILANGAN TEMPAT DUDUK DI KELAS, DAN PUNYA NIAT MENCELAKAI GUE TAPI SINTINGNYA NUTUP SEMUA PERBUATAN ITU DENGAN ALASAN 'suka'? Siapa? COBA LO NGACA, SETAN!"
Benjo melotot kaget menyaksikan luapan amarah gue yang menyerangnya secara tiba-tiba. Bahkan gue nggak sudi menghiraukan perhatian orang-orang yang lewat yang turut menangkap dengar.
Gue berkacak sebelah pinggang seraya mendecak kasar. "Coba deh elo mikir. Andaikan elo ada di posisi gue, atau seenggaknya, orang yang lo sayang ada di posisi gue ..." Gue menunjuk wajah gue sendiri sebelum gantian menunjuk wajah melongo si Benjo pakai jari tengah. "Apa lo masih bakalan sanggup maafin dia? Kalo gue sih nggak. Karena gue emang nggak sebaik itu, Ben. Asal lo tau aja." Tangan baru hendak gue turunkan saat gue lihat Arbenjo bersiap bicara, yang cepat-cepat gue tahan dengan gerakan tangan lagi. Memintanya berhenti mencoba. "Dan gue udah nggak mau ngedenger apa pun lagi dari mulut busuk lo itu. Silakan pergi. Gue udah muak ngeliat muka lo."
"Tapi--"
"Pergi sekarang, anjing!" Wajah dia gue pukul menggunakan tas di tangan sembari lanjut berteriak marah. "Jangan nunggu gue habis kesabaran! Berdua sama lo kayak gini sejujurnya bikin gue takut dan gak tenang!" sergah gue dengan napas terengah-engah.
Gue menghela napas panjang, mengembuskannnya lewat dengkusan setelahnya mendudukkan diri ke tepi trotoar. Nggak sudi lagi buang-buang emosi dan tenaga untuk si setan Arbenjo Maulana sialan. Capek.
"Gue, bener-bener minta maaf sama lo, Feryan. Maaf. Lo jaga diri."
Arbenjo nggak lagi gue pandangi. Bahkan begitu gue mendengar laju motornya makin menjauh, gue tetap diam. Menunggu. Memastikan jika dia benar-benar udah nggak ada dan nggak akan ngeganggu gue lagi.
Asli. Gue tuh capek. Tangan gue aja sekarang ini masih gemetaran dan berkeringat dingin saking lelahnya. Degup di jantung gue pun berdebar kencang gara-gara sepanjang waktu tadi dirundung sensasi nggak tenang. Gue, butuh pertolongan.
Seseorang.
Cowok gue.
Tadi itu bohong.
Sewaktu gue bilang ke Benjo bahwa Saga bakalan ngejemput gue kemari. Karena jemputan yang gue harapkan, baru akan gue panggil saat ini.
HP gue tempelkan ke telinga. Menunggu telepon gue mendapat jawaban sambil harap-harap cemas.
Dan begitu sambungannya diangkat, secara nggak santai gue bersuara, "Tolong jemput gue di depan gerbang komplek. Sekarang! Gue tunggu."
Saga nggak menanyakan apa-apa atau pun memprotes disebabkan titah dadakan gue dan sekadar menyahut, "I'll be there soon, okay. Just wait."
Panggilan langsung gue matikan. Memasukkan lagi HP ke kantong celana, setelah itu duduk meringkuk. Menurunkan masker sampe ke bawah dagu agar bisa menghirup napas banyak-banyak. Gue lalu memeluk badan sendiri di tepian jalanan ini macam bocah hilang dan kesasar.
Nggak tau gue udah nunggu berapa lama, tetapi kedatangan sebuah mobil putih yang aroma pengharumnya sangat gue hapal bikin gue akhirnya berdiri. Disambut senyuman hangat si Bangsat yang udah membukakan pintu mobil untuk gue.
"Hey. Ayo, masuk."
Gue masuk. Meletakkan tas ransel ke kursi belakang, sesudahnya duduk terdiam. Sebelum perlahan-lahan terisak-isak dan bikin si Bangsat refleks membawa gue ke dekapannya.
"Sssst. It's okay. I'm here."
Tubuhnya gue peluk erat seraya mengangguk-angguk. Sebab alasan gue menangis kayak gini adalah didorong rasa lega.
Lega karena si Bangsat ada di sini, bersama gue. Membuat gue merasa aman dengan kehadirannya yang berada di dekat gue. Dan untungnya, bakalan selalu ada di sekitar gue seenggaknya dalam waktu beberapa bulan dan satu tahun ke depan. Jadi, sekalipun kehadiran orang-orang yang bikin gue gak nyaman dan kesal tetap bermunculan, asalkan ada cowok ini di sisi gue, itu lebih dari cukup mendatangkan ketenangan.
Tuhan, cowok bangsat ciptaan lo ini betul-betul gue sayang. Dan gue bersyukur atas penundaan kuliahnya yang dia ambil serta putuskan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com