Truyen2U.Net quay lại rồi đây! Các bạn truy cập Truyen2U.Com. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

60. PENENTUAN

KALAU KALIAN BISA KASIH TEMBUS 200 VOTE DAN 100 KOMEN BAB 60 HARI INI JUGA, AKU JANJI BAKALAN DOUBLE UPDATE, DEH! ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
WKWKWKWKWKWK

Jangan kasih kendor, ygy.
Dan tolong, jangan cuma bisa komen lanjut, up, next doang. Author baperan macam aku cuma bakalan ngerasa bad mood bacanya. Huuffft!

Semoga kalian suka isi bab ini, ya.

__
___
____


Dua belas jam berlalu tanpa ada pesan atau kabar dari si Bangsat, tapi gue masih berusaha tenang.

Lewat 24 jam kemudian, gue mulai dilanda bimbang.

Tiga hari setelahnya, perasaan gue makin-makin dibuat nggak keruan.

Mulai mengecek akun dan nomor dia ke sana-kemari. Lalu mendapati bahwa story WhatsApp gue nggak dilihat oleh Saga sama sekali. Story di Instagram gue pun sama. Status Facebook gue juga diabaikan--ya, emang dia pun gak pernah ngasih like atau komentar karena lebih sering membahasnya lewat jalur pribadi. Pokoknya, segala pancingan gue seakan nggak mempengaruhi si Bangsat sedikit pun padahal gue harap dia kepo meski hanya sekilas. Tapi yang paling ngeselin adalah ... KENAPA INI BULE SIPIT BISA DENGAN SANTAI BIKIN STORY DI INSTAGRAM, ANJIR! Udah mana setiap hari pula bikin story-nya. Masih seperti kebiasaannya yang lalu. Seolah-olah apa yang terjadi pada kami sama sekali nggak berdampak ke dia.

Ya emang sih, gue sama Saga nggak putus hubungan atau gimana-gimana. Bisa dibilang malah cuma dia yang sedang ngambek secara serius ke gue. Tapi tetep aja ... gue meradang, nih. Apalagi setelah HP ini memunculkan notifikasi mengenai Saga yang sedang memulai siaran langsung di akun Instagramnya. Huh, hah!

Godaan banget asli, woi. Mau nggak ditonton, tapi gue kepengin ngeliat mukanya. Mau ditonton, tetapi gue khawatir nanti dia mikir yang macem-macem. Dikira gue kangenlah, atau caperlah--ya, emang iya, sih. Ah, bodo amatlah!

Pada akhirnya, gue hanya bisa menghela napas lesu. Meletakkan HP ke ranjang, lantas berguling memeluk bantal Keroppi gue seraya membayangkan tengah memeluk badan si Bangsat yang hangat. Mengkhayalkan aroma tubuhnya yang wangi. Dadanya yang bidang. Suaranya yang seksi. Terlebih ciumannya yang bikin nagih serta sodokan Minions-nya yang gagah yang selalu sukses membuat tubuh gue diserang sensasi keenakan. Dan serta-merta semua itu membangkitkan gairah si Banana di balik celana.

HADEEEUH BANGSUL! GUE MALAH KEBABLASAN SANGE! ARRRRGHHH!

Aduh, mesti gimana ini? Mau coli, tapi gue mager. Kepenginnya kontol gue dikocokin atau dihisapin oleh si Bangsat. Tambah mantap lagi semisal lubang bool gue dijilatin juga oleh lidah nakal dia. Pasti nikmat tiada dua.

Makin diharapin, semakin keras pula Banana gue bereaksi.

Mendecak sebal, gue mau nggak mau bangun dari posisi berbaring setelahnya melangkah menuju lemari untuk mengambil cairan pelicin. Kemudian nggak lupa mengunci pintu kamar sebelum kembali duduk di sisi ranjang.

Gue segera membuka baju, disusul menurunkan celana hingga ke tengah paha sekaligus dengan sempaknya. Mata gue menyipit memandangi Banana yang sedang ngaceng total sambil mulai menumpahkan cairan licin ke tangan.

Napas gue tarik dalam-dalam terlebih dahulu. "Oke, Banana! Sementara waktu kita berdua bernasib menjadi jablay dulu karena si Bangsat lagi ngambek ke gue. Dan gue yakin, Minions juga nggak mungkin bisa kita panggil ke sini buat diajak main tanpa badan pemiliknya," ucap gue yang lalu memulai praktik senam jari pada Banana.

Tangan gue bergerak naik turun di bagian tengah. Turun sebentar untuk mengusap bola-bola sendiri. Dan berlanjut meraba ke atas lagi sampai tangan gue memegangi bagian kepala. Berputar-putar di sana beberapa saat selagi membayangkan mulut si Bangsat yang tengah menjilat di sana.

"Aaah, Saga!" lirih gue memanggil sembari menggigit bibir. "Gue kangen sama lo, Bangsat. Gue kangen ngeseks sama lo. Kangen elo sodok dan godain! Haah!" Lantas gambaran demi gambaran keintiman yang kami perbuat selama ini muncul dalam ingatan seiring dengan gerakan kocokan gue yang kian cepat.

Ketika gue dan Saga berciuman.

Saling mengocok.

Berbagi sentuhan kecil.

Hangat jilatan dan kecupan dari dia yang membekas di badan.

Lubang anal gue yang ditusuk oleh jari hingga lidah si Bangsat.

Desahannya yang menggairahkan.

Diakhiri hunjaman nikmat Minions ke bawah sana yang sukses mendatangkan puncak ejakulasi gue secara serta-merta.

Gue mengejang sesaat--merasakan gemetaran seperkian detik di sekujur badan, dengan napas yang naik turun nggak keruan. Meneguk ludah, gue lalu melirik pada Banana yang masih menyemburkan sisa muatannya yang kini membasahi perut, tangan dan juga paha gue.

Huuh. Andai aja gue dan Saga lagi nggak marahan, sekarang ini gue pasti udah bakal memotret jejak kemesuman yang dilakukan untuk langsung dilaporkan kepadanya. Berakhir saling mengejek, bertukar foto selangkangan sampai akhirnya kami melakukan phone sex atau video call sex.

"Saga, elo lagi ngapain di sana?" desis gue bertanya pada udara hampa.

Selesai coli, kangen gue bukannya sedikit terobati, yang ada kenapa malah makin menjadi-jadi, sih? Kesel!

ASLI! GUE KANGEN BANGET SAMA SAGA, ANJIR! KANGEN BANGET SAMPE KEPENGIN GUE CEKEK DIA SAKING GEMESNYA! COWOK SETAN EMANG!

_

"Fery?"

Gue tersentak mendengar panggilan Mamah yang juga menepuk pundak gue. Menyadarkan lamunan gue dari memandangi si Bambang yang tengah mencari makan.

Mamah mendecak mendapati reaksi gue. "Akhir-akhir ini kayaknya mamah lihat kamu teh sering bengong. Jangan dibiasain, ah. Takut kesambet!" tegurnya yang setelah itu menyodorkan Mogu-Mogu melon kesukaan gue. "Ini, diminum coba. Supaya Fery ada semangat lagi."

Mogu-Mogu dari tangan Mamah gue terima. "Makasih, Mah," ucap gue disertai senyum kecil.

Kemudian botol minuman rasa melon ini segera gue buka dan tenggak. Yang sialnya, lagi-lagi hanya mengingatkan gue pada sosok si Bangsat. Soalnya stok Mogu-Mogu melon di kulkas gue merupakan hasil kiriman dari dia sekitar sebulan yang lalu. Datang bersama nugget ayam. Kue buatan Kak Armet yang bantu dipesankan dan juga beberapa camilan.

Ini udah hampir seminggu soalnya sejak kali terakhir gue dan Saga bertemu dan saling bicara. Sumpah demi apa pun, gue kangen banget ke dia. Padahal kami masih berada di satu negara. Di dalam satu kota yang cuma berbeda kelurahan aja. Akan tetapi, kenapa seakan-akan si Bangsat susah banget gue jangkau, ya?

Nggak berani gue kirimi chat atau telepon. Apalagi untuk mendatangi rumahnya. Saking malu dan sadar diri. Paham betul bahwa Saga sungguhan kecewa berat ke gue.

Gue menghela napas panjang dengan berat sampe bikin Mamah yang bergabung duduk di teras menatap gue cemas. "Fery kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya sambil refleks memegangi dahi gue. "Tapi nggak panas," desisnya heran sendiri yang membuat gue terkikik geli.

"Kalo Fery lagi nggak enak badan, mana mungkin Fery berani minum Mogu-Mogu dingin ini, Mah," kata gue pada Mamah seraya mengangkat botol Mogu-Mogu yang tinggal setengah.

"Iya juga." Mamah menggumam, baru tersadar. Sesudahnya bertanya lagi, "Terus, Fery kenapa atuh? Coba cerita kalo emang lagi ada masalah mah!" desaknya sembari lebih mendekatkan lagi posisi duduk ke samping gue. "Yang katanya Fery kepengin ngomongin hal penting sama mamah tea oge, sampe detik ini belum pernah Fery bahas lagi. Padahal masalah sama para wartawan udah selesai. Gosip-gosip di sekitaran juga udah berkurang. Tunggu apa lagi atuh? Mamah penasaran, tauk!"

Diingatkan perihal pembicaraan penting yang sempat gue janjikan tempo hari kepada Mamah itu, semata-mata mengingatkan juga pada alasan yang menciptakan kemarahan Saga terhadap gue.

Bahwa semakin cepat gue mengaku, maka semakin bagus juga untuk gue supaya bisa kembali berbaikan dengan si Bangsat tanpa perlu diabaikan lebih lama olehnya. Akan tetapi, gue masih meragu.

Jadi dengan berberat hati, gue memberi Mamah gelengan kepala. "Fery belum siap ngebahas hal itu, Mah."

"Kenapa?"

Ragu-ragu, gue menjawab jujur tanya itu, "Soalnya ... Fery takut."

Kedua mata bulat Mamah mendelik. "Takut sama apa? Hantu?" bisikya menduga-duga yang justru menjadikan gue kian gugup.

Gue meringis. Secara enggan menatap Mamah, lalu dengan gugup mengatakan, "Fery takut ... sama Mamah."

Mamah tertegun sejenak mengetahui hal itu. Untuk lantas berangsur-angsur memekik, "Ya Allah, Fery. Emangnya mamah teh mirip sama dedemit atawa Suzanna kitu? Sampe bikin takut anak sendiri. Meuni sedih mamah dengernya!" ucapnya tampak merajuk.

"Bukan takut karena itu, Mamah. Tapi ... ya, pokoknya Fery takut."

"Emangnya Fery mau ngomongin soal apa, sih?"

"Intinya, ini persoalan serius, Mah."

"Seserius apa sampe kamu takut segininya untuk bilang ke Mamah?"

Pertanyaan lainnya itu nggak bisa langsung gue jawab sebab kuatir salah bicara. Alhasil, gue cuma mampu menunduk diam.

Sekonyong-konyong si Mamah menuding gue penuh curiga. "Jangan-jangan ... Fery ngutang ke pinjol, ya?"

Kepala gue sontak tegak kembali karena mendadak dituduh begitu. "Mah, duit Fery banyak. Buat apa pake segala ngutang ke pinjol!" Gue mendengkus. "Lagian temen-temen Fery pada kaya. Kalo butuh banget duit, pinjem ke mereka juga bisa," sanggah gue menjelaskan.

Kepala si Mamah manggut-manggut. "Iya juga. Terus kunaon atuh? Sok geura, bilang. Jangan suka bikin mamah sendiri penasaran. Bisi kualat kamu." Sekali lagi wajah gue dituding.

Gue mendekatkan muka ke arah Mamah. "Mamah beneran mau tau?" bisik gue memastikan.

"Ya iya atuh, Fery!" ujar Mamah yakin.

Lalu gue pun berkata, "Mau tau aja atau mau tau banget, nih?"

"Fery!" bentak Mamah terdengar gregetan. "Lama-lama mamah cubit kamu, ya. Ngeselin, ah!" keluhnya sambil membuang muka.

Gue terkekeh puas karena udah berhasil mengerjainya. "Maaf, Mah. Tapi Fery beneran nggak siap ngomong sekarang."

"Kapan atuh siapnya?"

"Ya, Fery juga nggak tau."

Matanya melotot nggak sabaran. "Kalo begitu terus mah, mending lupain aja atuh. Mamah jadinya nggak tertarik lagi. Males! Fery ternyata tukang PHP!" pungkasnya terlihat kecewa.

Jelas aja gue jadi merasa bersalah. Lagian gawat juga kalo sampe pembicaraan ini nggak akan pernah tersampaikan pada Mamah. Yang ada gue juga nggak bakalan bisa berdamai sama Saga, dong. Nggak mau, ya!

"Nggak bermaksud PHP, Mamah." Sebelah tangan Mamah gue raih dan pegangi. "Tapi Fery beneran nggak berani aja bilangnya. Takut."

"Emangnya Fery mau ngomongin soal apa sampe takut segitunya buat bilang ke mamah coba?"

"Emm, ini soal ... seseorang," ungkap gue bersuara pelan.

"Seseorang?" ulang Mamah dengan kernyitan. Kemudian Mamah terkesiap mendadak dibarengi ekspresi panik. "Fery, aduh. Ya Allah! Jangan-jangan kamu teh habis ngahamilin anak orang, ya?"

"Ya Allah, Mamah! Bukan!" Tuduhan keduanya itu mentah-mentah gue bantah. "Kok bisa-bisanya Mamah mikir ke sana, sih! Aneh-aneh aja."

Mendengar ucapan gue, ekspresi di wajah Mamah kembali ke bentuk semula. "Beneran? Bukan juga?"

"Bukan, Mamah!"

Mamah langsung aja mengembuskan napas lega yang bagi gue sungguh nggak perlu. Hadeeeuh.

"Alhamdulillah atuh. Mamah kira kamu teh diam-diam udah ngamilin anak orang meski lagi nggak punya pacar!" komentarnya disertai senyum kegirangan.

"Sebenarnya ... Fery punya pacar kok, Mah."

Pengakuan yang gue akhirnya utarakan serta-merta melunturkan senyuman girang di bibir Mamah. Yang kini memandangi gue dengan raut muka yang nggak bisa terbaca, diam seribu bahasa.

Membuat gue kebingungan mendapati reaksinya. "Mamah kenapa diam aja?"

Mamah berkedip-kedip sebelum bertanya, "Itu beneran?"

"Soal?"

"Fery udah punya pacar?"

Meski masih agak ragu, gue coba memberanikan diri menganggukkan kepala. "Ya, bener atuh, Mah! Masa Mamah nggak percaya?"

Mamah sontak aja memekik heboh. Kedua tangan gue digenggamnya erat seraya mulai menyerang gue dengan pertanyaan bertubi-tubi, "Sejak kapan kamu punya pacar? Kenapa baru bilang? Naha nggak pernah dibawa ke rumah? Kenalin atuh ke mamah! Siapa orangnya? Anak mana? Ketemu di ma--"

"Mah, tolong. Satu-satu!" tukas gue memotong rentetan tanya yang gak habis-habis Mamah lontarkan.

Yang sekarang malah cekikikan. "Maaf atuh. Habisnya mamah kelewat kaget dengernya. Tapi, itu tadi beneran, 'kan? Soal Fery yang udah punya pacar?"

Sekali lagi gue mengangguk dengan gerakan yang lebih yakin.

"Asli? Demi naon?" Kedua mata Mamah melotot, kemudian menyipit sengit. "Heh, Fery! Jangan berani-berani bohongin mamah, ya. Kualat nanti kamu." Tudingan curiga Mamah lagi-lagi ditujukan ke wajah gue.

"Ya Allah, Mah. Suudzon melulu sama anak sendiri, sih."

"Habisnya kamu teh suka usil."

"Yang ini beneran, kok!" tegas gue mengatakan. "Sebenarnya Fery emang udah punya pacar."

Tiba-tiba Mamah nyengir senang sambil mencubit kedua pipi gue. "Aduh, meuni gemes. Alhamdulillah anak mamah satu-satunya udah punya pacar." Bahkan kedua kakinya sampe jejingkrakan ke lantai, dong. Reaksi yang di luar dugaan. "Orang mana? Umur berapa? Cakep, nggak?"

Namun ditanyai lebih jauh tentang sosok pacar gue, jelas mustahil bagi gue menjawabnya secara terang-terangan. Bahwa orang yang gue pacari berjenis kelamin sama. Bernama Saga. Seseorang yang udah Mamah anggap anak sendiri. Cowok seumuran gue yang emang cakep sekaligus ganteng mempesona.

Percaya, deh. Jika gue harus menjabarkan sosok pacar secara gamblang begitu, reaksi Mamah pasti nggak bakal sama lagi.

Gue meneguk ludah susah payah. Merasa gamang ketika ragu-ragu menanyakan, "Apa Mamah ... kepengin ketemu sama dia?"

"Ya iya atuh, Sayang!" sahut Mamah tanpa perlu berpikir. "Ibu mana yang nggak pengin ketemu calon mantu coba!"

Menangkap nada girang pada kalimatnya, semata-mata memunculkan senyuman di bibir gue. "Mau Fery kenalin?"

"Iya, Fery! Mau!"

"Maunya kapan?"

"Sekarang juga boleh! Secepatnya pokoknya. Mamah udah nggak sabar pengin ketemu."

Gue tersenyum kian lebar melihat antusiasme yang ditunjukkan oleh Mamah. Akan tetapi, senyum gue pun sedikit demi sedikit memudar menyadari apa yang mungkin bakal terjadi seumpama Mamah betul-betul dipertemukan dengan sosok pacar gue.

Kedua tangan gue mengepal di dalam genggaman Mamah. "Mah?"

"Iya?"

Gue menarik napas. Berusaha menenangkan detakan di jantung yang berdebar makin kencang dikarenakan gugup nan tegang. "Kalo Mamah tau ... pacar Fery ternyata nggak sesuai keinginan Mamah, gimana? Apa Mamah bakal kecewa?" tanya gue, menatap Mamah tepat di mata dengan sorot gusar.

Sedangkan Mamah malah memperlihatkan ekspresi heran. "Ketemu aja belum, udah segala ngomongin kecewa. Ya, mana mamah tau atuh."

"Fery takut ... Mamah bakal benci ke Fery setelah ketemu dia." Tangan gue mulai terasa berkeringat dan gemetaran.

"Masa iya mamah benci ke anak sendiri gara-gara dia punya pacar! Tong lebay, ah!" tandas Mamah yang tetap nggak mampu menyingkirkan kebimbangan gue. Dan menyadari tangan gue yang gemetar kian hebat, dengan penuh kelembutan Mamah mengusap-usapnya. "Fery Sayang. Coba liat ke mamah sini."

Titah yang disuarakan dengan nada yang amat halus itu membuat gue menurut seketika. Mata gue dan Mamah kembali saling bertatapan. Gantian, kali ini Mamah yang lebih ingin menyampaikan pesan ke gue.

"Dengerin, ya," ucap Mamah disertai senyuman meneduhkan yang nggak lepas dari bibirnya. "Siapa pun sosok pacar pilihan anak mamah, tolong percaya aja bahwa itu nggak bakal bikin mamah membenci Fery. Ya? Mamah tau banget Fery itu cowok yang bagaimana. Dan mamah yakin, Fery nggak mungkin memacari orang yang nggak baik. Apa pun pilihan Fery, mamah pasti akan menerima dan menghargainya."

Mendengar seluruh penuturan Mamah, kedua mata gue mendadak terasa perih begitu aja. Ada perasaan terharu, sedih, bercampur takut yang masih membuat gue dilema.

"Tapi nanti Mamah nggak bakal ngusir Fery, 'kan? Setelah Mamah tau, Fery takut Mamah nanti ngebuang Fery gitu aja karena jijik."

Ungkapan gue barusan bikin Mamah menggeleng masygul. "Kamu ini lagi ngomongin apa sih, Fery! Jangan ngaco atuh. Mamah mana yang bakal setega itu memperlakukan anaknya!" responsnya sembari menggenggam tangan gue kian erat. "Mamah paham kalo Fery masih meragukan mamah karena dulu mamah pernah berkali-kali nyakitin Fery. Tapi tolong percaya juga ke mamah. Di sini, mamah kamu bukanlah mamah yang dulu, Fery." Mamah menepuk-nepuk dadanya sendiri.

Gue mengangguk pertanda paham. "Cuma Mamah yang Fery punya sekarang," ucap gue berupa isakan.

"Iya, mamah tau, Sayang." Tubuh gue lantas dipeluknya. "Itulah kenapa, Fery juga harus berusaha mempercayai mamah, ya. Karena mamah juga selalu percaya ke Fery. Apa pun yang terjadi. Karena kamu anak mamah. Buah hati mamah satu-satunya. Yang paling mamah sayangi," bisik Mamah sambil nggak henti mengelus-elus rambut belakang gue.

"Iya, Mah. Fery juga sayang ke Mamah!" balas gue tanpa ragu.

Mamah menyudahi pelukan di antara kami untuk lalu menyeka sudut mata gue yang basah. "Udah, nggak usah sedih-sedih lagi."

Padahal mata Mamah sendiri udah sangat merah.

Namun, gue cuma mengangguk patuh padanya. "Iya, Mah." Sesudah itu, gue berdiri disebabkan kelegaan serta kesiapan yang telah memenuhi diri. "Kalo gitu, Fery izin pergi ya, Mah!" ujar gue sambil buru-buru berlari ke dalam untuk mengambil jaket dan HP gue di kamar.

"Mau ke mana?"

Suara Mamah kedengaran dari luar dan mulai melangkah menyusul gue.

"Mau ngejemput pacar Fery. Buat dikenalin ke Mamah!" jawab gue yakin dengan senyum semringah sembari mengotak-atik HP, memesan kendaraan untuk menjemput gue segera.

"Beneran sekarang?"

"Iya." Gue mengangguk, lantas mulai mengenakan jaket.

"Aduh, mana mamah belum dandan. Belum nyiapin apa-apa juga."

"Nggak apa-apa, Mah. Orangnya juga pasti bakalan maklum, kok," kata gue yang lekas berjalan menuju ke luar lagi.

Diikuti oleh Mamah dari belakang. "Fery ke sananya mau naik apa?"

"Ojol!" cetus gue dibarengi cengiran sebab mengetahui bahwa ojek pesanan gue udah sedang menuju kemari. "Mamah tunggu aja, ya." Gue berpesan, "Begitu Fery balik nanti, Fery janji bakalan ngajak Mamah ngelanjutin obrolan penting tadi."

Mamah tersenyum seraya mengusap-usap kepala gue. "Iya. Hati-hati di jalan ya, Fery."

Anggukkan gue berikan, kemudian gue mulai menyalami tangan Mamah selepas memasukkan HP karena ojol pesanan gue semakin mendekat. "Dah, Mah. Assalamu'alaikum!" Gue melambaikan tangan.

"Wa'alaikumsalam!"

Kaki gue berlari sekuat tenaga ke tepi jalan. Tanpa ada lagi ragu, takut ataupun khawatir yang mengganggu. Senyum gue pun anehnya seolah nggak mau menghilang dari bibir. Bahkan ketika gue mulai naik ke boncengan ojek, memakai masker serta helm. Tetap, senyum gue nggak kunjung luntur. Terus menemani gue, memunculkan keyakinan yang kian kuat tentang gue yang berniat mengungkapkan semuanya.

Hari ini juga.

Demi Mamah. Demi hubungan gue dan si Bangsat Saga.

Tunggu gue, Saga. Semoga elo ada di rumah. Tolong, jangan pergi ke mana-mana. Karena kali ini, gue janji nggak bakal berubah pikiran ataupun ngecewain elo lagi.

YEP! ADEGAN YANG KALIAN NANTI-NANTIKAN SELAMA INI AKAN MUNCUL PADA BAB SELANJUTNYA.
NGUAHAHAHAH. <( ̄︶ ̄)>

Siap-siap aja, ygy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Com